Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 146863 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Salli Fitriyanti
"Tujuan
Mengetahui korelasi antara kadar vitamin E plasma dengan kadar MDA dan CRP plasma pada penderita DM tipe 2
Tempat
Poliklinik Metabolik dan Endokrin Departemen Ilmu Penyakit Fakultas Kedokteran Universitas Indanesia/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Metodologi
Penelitian potong lintang pads 52 orang pasien DM tipe 2. Data yang diambil meliputi data demogra5, lama menderita DM tipe 2, komplikasi DM yang ada, asupan energi, lemak, dan vitamin E dengan metode food frequency questionnaire (FFQ) semikuantitatif, data laboratorium kadar vitamin E, MDA, dan CRP plasma. Data dianalisis dengan menggunakan uji korelasi Pearson.
Hasil
Subyek terdiri dari 14 orang laki-laki dan 38 orang perempuan, dengan rerata usia 49,75 ± 5,99 tahun. Rerata lama menderita DM tipe 2 adalah 64,12 ± 60,96 bulan, 53,8% berpendidikan sedang dan tinggi, 50% berada di bawah garis kemisldnan, 79,1% telah mengalami komplikasi DM tipe 2. Rerata IMT 25,89 ± 4,89 kglm2 dan 65,4% termasuk kriteria BB lebih, rerata asupan energi 1125 ± 315,13 kkal, 61,5% mengkonsumsi lemak yang berlebih, 98,1% mempunyai asupan vitamin E yang kurang. Nilai rerata kadar vitamin E plasma 25,86 ± 5,56 p.mol/L dan 98,1% subyek mempunyai kadar vitamin E normal. Rerata kadar MDA plasma 0,38 ± 0,12 unol1L dan 94,2% subyek memiliki kadar MDA normal. Rerata kadar CRP plasma 3,88 ± 3,13 mgfL dan 46,2% subyek mempunyai kadar CRP yang tinggi. Terdapat korelasi positif lemah dan tidak bermakna (p >0,05) antara asupan lemak dengan kadar vitamin E plasma, dan antara asupan vitamin E dengan kadar vitamin E dan MDA plasma, serta korelasi negatif lemah dengan CRP plasma. Terdapat korelasi positif lemah dan tidak bermakna antara kadar HbArc dengan kadar vitamin E, MDA, dan CRP plasma. Didapatkan korelasi positif lemah dan tidak bermakna (p >0,05) antara kadar vitamin E plasma dengan kadar MDA plasma, demikian pule dengan kadar CRP plasma
Kesimpulan
Antara kadar vitamin E dengan kadar MDA plasma terdapat korelasi positif derajat lemah yang tidak bermakna (p >0,05), demikian pula antara kadar vitamin E plasma dengan kadar CRP plasma."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T17677
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Azri Nurizal
"Latar Belakang: Peningkatan kadar high sensitivity C-reactive protein ( hsCRP ) dan kekakuan arteri berhubungan dengan peningkatan insiden kejadian kardiovaskular dan peningkatan mortalitas akibat penyakit jantung koroner pada pasien diabetes melitus tipe 2.
Tujuan: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kadar hsCRP dan kekakuan arteri pada pasien diabetes melitus tipe 2.
Metode : Melalui studi cross-sectional, dilakukan pemeriksaan kadar hsCRP dan derajat kekakuan arteri karotis pada 40 pasien dengan diabetes melitus tipe 2. Kekakuan arteri karotis kommunis diperiksa dengan doppler echotracking system untuk menentukan pulse wave velocity (PWV) atau kekakuan arteri karotis lokal (carotid-PWV).
Hasil : Nilai median hsCRP pada penelitian ini adalah 4,5 (0,2 - 18,9) mg/L dan nilai rata-rata kekakuan arteri karotis adalah 8,8 ±1,7 m/detik. hsCRP berkorelasi kuat dengan karotid-PWV (r = 0,503, P = 0,001). Korelasi hsCRP dengan karotid-PWV ini tetap terlihat setelah dilakukan koreksi terhadap umur, indeks masa tubuh dan mean arterial pressure (r = 0,450, P = 0,005).
Kesimpulan : Setelah dilakukan koreksi terhadap umur, indeks masa tubuh dan mean arterial pressure, hsCRP berkorelasi positif cukup kuat dengan kekakuan arteri pada pasien diabetes melitus tipe 2.

Background: The elevated level of high-sensitivity C-reactive protein (hsCRP) and arterial stiffness are associated with higher incidences of cardiovascular events and with increased mortality from coronary heart disease in type 2 diabetic patients.
Aim: The aim of this study was to investigate the relationship between hsCRP and arterial stiffness in type 2 diabetic patients.
Methods: A cross-sectional study was conducted to assess the plasma levels of high sensitive C-reactive protein and carotid arterial stiffness among 40 patients with type 2 diabetes mellitus. The common carotid artery was studied by a doppler echotracking system to determine the local carotid pulse wave velocity (carotid-PWV).
Results: The median value of hsCRP in this study was 4.5 (0.2 to 18.9) mg/L and the average value of local carotid stiffness was 8.8 ± 1.7 m/sec. hsCRP showed a strong correlation with carotid-PWV (r = 0.503, P = 0.001). Levels of hsCRP were independently associated with carotid-PWV after adjusting for age, body mass index, and mean arterial pressure (r = 0,450, P = 0,005).
Conclusion: After adjusting for age, body mass index, and mean arterial pressure, hsCRP was strongly positively correlated with arterial stiffness in patients with type 2 diabets mellitus.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Frida Soesanti
"ABSTRAK
Latar belakang: Vitamin D dianggap berperan dalam patogenesis diabetes melitus tipe 1 (DMT1), memperbaiki kontrol metabolik dan menurunkan risiko terjadinya komplikasi mikrovaskuler.
Tujuan: Mengetahui profil kadar vitamin D remaja DMT1 dan hubungan kadar vitamin D dengan retinopati dan nefropati diabetik.
Metode: Penelitian potong lintang pada remaja DMT1 usia 11-21 tahun dengan lama sakit minimal satu tahun. Semua subjek dilakukan wawancara menggunakan kuesioner, pemeriksaan fisis lengkap, kadar 25(OH)D, HbA1c, rasio albumin/kreatinin urin, dan fotografi fundus.
Hasil: Terdapat 49 subjek, 34 (69,4%) perempuan dan 15 (30,6%) lelaki dengan median lama sakit lima tahun (1-16 tahun). Sebanyak 96% subjek menggunakan insulin basal bolus. Median HbA1c adalah 9,5% (6,3% - 18%). Tidak ada subjek dengan kadar 25(OH)D ≥ 30 ng/mL, 6 subjek (12,2%) dengan kadar 25(OH)D 21-19 ng/mL dan 87,8% memiliki kadar 25(OH)D ≤ 20 ng/mL. Rerata kadar 25(OH)D adalah 12,6 ng/mL (SD ±5,4 ng/mL). Faktor yang berhubungan dengan kadar vitamin D adalah lama pajanan matahari (RP 13,3; 95%IK = 1,8-96, p= 0,019). Jenis pakaian, penggunaan sunblock, IMT, lama sakit, konsumsi susu tidak berhubungan dengan kadar vitamin D. Prevalens retinopati pada penelitian ini adalah 8,2%, mikroalbuminuria 28,5%, dan nefropati 16,3%. Tidak terdapat hubungan bermakna antara kadar vitamin D dengan retinopati, mikroalbuminuria, dan nefropati diabetik.
Kesimpulan: Tidak ada remaja DMT1 dengan kadar vitamin D yang cukup dan tidak ada hubungan antara kadar vitamin D dengan retinopati, mikroalbuminuria, dan nefropati diabetik.;Background: Many studies showed that vitamin D involved in the pathogenesis of type 1 diabetes mellitus (T1DM), metabolic control and decreased the risk of microvascular complication.

ABSTRACT
Objective: To find out the vitamin D profile in adolescence with T1DM and its association with retinopathy and nephropathy diabetic.
Methods: This was a cross sectional study performed during April to May 2015 involving T1DM adolescence aged 11-21 years old with duration of illness ≥ 1 year. We used questionnaire to know factors associated with vitamin D level. We performed physical examinations, tests for level of 25(OH)D serum, HbA1c, urine albumin/creatinine ratio and fundal photographic.
Results: There were 49 subjects, 34 female (69.4%) and 15 male (30.6%) with median duration of illness was five years (1-16 years). Most of the subjects (96%) were on basal bolus regimen. Median of HbA1c level was 9.5% (range 6.3%-18%). None of the subject had 25(OH)D level ≥ 30 ng/mL, 12.2% with 25(OH)D level of 21-19 ng/mL and 87,8% was ≤ 20 ng/mL. Mean of 25(OH)D level was 12.6 ng/mL (SD ±5.4 ng/mL). Duration of sun exposure was associated with 25(OH)D level (prevalent ratio of 13.3; 95%CI = 1.8-96, p= 0.019); While type of clothing, sunblock, body mass index, milk and juice intake were not associated with 25(OH)D level. Diabetic retinopathy was found in 4 subjects (8.2%), microalbuminuria in 14 subjects (28.5%), and nephropathy in 8 subjects (16.3%). All the subjects who suffered from microvascular complication had 25(OH)D level ≤ 20 ng/mL. None of the subjects with 25 (OH)D > 20 ng/mL suffered had microvascular complication. There was no significant association between vitamin D level with diabetic retinopathy, microalbuminuria, or diabetic nephropathy.
Conclusion: None of the adolescent with type 1 DM had sufficient vitamin D level, and 87.8% had vitamin D deficiency. There was no association between vitamin D level with diabetic retinopathy, microalbuminuria, or diabetic nephropathy.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sarwono Waspadji
"ABSTRAK
Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu penyakit menahun yang merupakan problem kesehatan masyarakat di Indonesia, terutama di kota-kota besar, yang meningkat menyertai adanya perubahan pola hidup masyarakat. Di Jakarta, penelitian epidemiologis pada penduduk yang dilakukan pada tahun 1982 mendapatkan prevalensi DM penduduk usia > 15 tahun sebesar 1,7 %, dan pada penelitian tahun 1993 meningkat menjadi 5,7 %. Jika tidak dikelola dengan baik, DM dapat mengakibatkan komplikasi kronik, baik komplikasi mikrovaskular yang dapat mengenai mata dan ginjal, maupun komplikasi makrovaskular yang terutama mengenai pembuluh darah jantung, otak, dan pembuluh darah tungkai bawah. Keadaan hiperglikemia kronik disangka merupakan dasar terjadinya komplikasi kronik, antara lain melalui proses glikasi berbagai macam protein. Terbentuknya produk akhir glikosilasi lanjut (advanced glycation end product) yang ireversibel akan berpengaruh terhadap fungsi protein terkait.
Komplikasi kronik DM terjadi balk pada pasien DM yang tidak tergantung insulin (DMTTI non insulin dependent DM = NIDDM = DM tipe 2) maupun DM yang tergantung insulin (DMTI = insulin dependent DM = IDDM = DM tipe 1), walaupun ada perbedaan dalam kekerapan jenis komplikasi yang terjadi. Komplikasi makrovaskular lebih sering ditemukan pada DM tipe 2, sebaliknya pada DM tipe 1, komplikasi mikrovaskular yang terjadi pada ginjal dan mata tampak lebih menonjol.
Di antara komplikasi menahun makrovaskular DM, "kaki diabetes" merupakan komplikasi yang paling mengesalkan, baik bagi pasien maupun bagi dokter yang mengelolanya. Kasus ulkus/gangren diabetes merupakan kasus DM yang terbanyak dirawat. Diperkirakan sebanyak sepertiga dari seluruh pasien DM akan mengalami masalah pada kakinya. Hari perawatan yang lama dan biaya pengobatan yang mahal merupakan salah satu persoalan yang harus mendapat perhatian sebaik-baiknya. Belum lagi dihitung tenaga yang hilang akibat kecacatan, dan ketidakhadiran di tempat kerja, serta biaya yang diperlukan untuk pengelolaan kecacatan tersebut. Apalagi kalau dilihat nasib pasien pasca amputasi, 30 - 50 % pasien yang telah diamputasi akan memerlukan tindakan amputasi untuk kaki sisi lainnya dalam kurun waktu 1 - 3 tahun setelah amputasi. Suatu nasib yang sungguh sangat suram."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2000
D431
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aguslina Kirtishanti
"Diabetes melitus adalah penyakit yang menyebabkan morbiditas dan mor-
talitas di dunia. Hubungan antara diabetes melitus dengan obesitas telah
diketahui, tetapi peran distribusi pada daerah abdominal belum sepenuh-
nya dijelaskan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh pember-
ian edukasi kesehatan terhadap perubahan lingkar pinggang pada pasien
diabetes melitus tipe 2. Penelitian ini merupakan studi eksperimental de-
ngan satu kelompok desain pretest-posttest di Surabaya pada bulan Juni
_ Juli 2013, dan melibatkan 31 subjek yang diberi program edukasi ke-
sehatan selama 1 bulan yang dibagi dalam 4 pertemuan. Data dari pretest
dan posttest dikumpulkan dan dianalisis dengan metode wilcoxon signed
rank test pada data yang tidak normal (p > 0,05). Hasil penelitian menun-
jukkan peningkatan pengetahuan dan perilaku pasien serta mengurangi
besar lingkar pinggang pasien secara signifikan (p < 0,05). Lingkar ping-
gang mulai menunjukan perbedaan signifikan pada minggu ketiga edukasi
(Z = 12,93; P = 0,003) dibandingkan pretest. Penurunan lingkar pinggang
antara posttest dan pretest sebesar 0,94 cm (minggu ke-4) dan 1,68 (4
bulan kemudian). Oleh karena itu, edukasi kesehatan memiliki manfaat
dalam meningkatkan self-monitoring diabetes melitus yang dapat mengu-
rangi lingkar pinggang yang berguna untuk mengurangi risiko komplikasi.
Diabetes mellitus is a disease that causes morbidity and mortality in the
world. Association of diabetes mellitus with obesity are well known, but the
role of distribution in the abdominal area has not been fully elucidated. The
aim of this study was to determine the relationship of giving education to
change waist circumference in type 2 diabetes mellitus. This study is an
experimental with one group pretest-posttest design in Surabaya, from
June July 2013, and involving 31 subjects whom were given health edu-
cation program for 1 month which are divided in 4 meetings in Surabaya
University. Data from the pretest and posttest were collected and analyzed
with the Wilcoxon signed rank test method on the data that isn?t normal (p
> 0.05). The results showed an increase in knowledge and behavior of
patients and reduced significantly the size of the waist circumference (p
<0.05). Waist circumference began to show a significant difference in the
third week of education (Z = 12.93, P = 0.003) compared to the pretest.
The decrease in waist circumferences between the pretest and posttest
were 0.94 cm (week 4) and 1.68 (4 months later). Therefore, health edu-
cation has benefits in increasing self-monitoring of diabetes mellitus that
can reduce waist circumference are useful for reducing the risk of compli-
cations."
Lengkap +
Universitas Surabaya, Fakultas Farmasi, 2013
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Rr. Dyah Purnamasari Sulistianingsih
"Latar Belakang. Terdapat dua hipotesis mengenai terjadinya diabetes melitus tipe 2 yaitu kegagalan sel beta pankreas dan resistensi insulin. Mengingat pengaruh faktor genetik pada kejadian DM tipe 2 maka diperkirakan resistensi insulin juga dipengaruhi faktor genetik. Sejauh ini data prevalensi resistensi insulin dan gambaran metabolik pads saudara kandung subyek DM tipe 2 di Indonesia belum ada.
Tujuan. Mendapatkan angka prevalensi resistensi insulin pada saudara kandung subyek dengan DM tipe 2 dan mendapatkan data profil metabolik (profil lipid, IMT, lingkar perut, konsentrasi asam urat darah), tekanan darah dan distribusinya pads seluruh saudara kandung subyek dengan DM tipe 2
Metodologi. Studi pendahuluan dan potong lintang dilakukan pada 30 saudara kandung subyek DM tipe 2 yang datang berobat di Poliklinik Metabolik dan Endokrinologi RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo, untuk dilakukan wawancara, pemeriksaan fisik, konsentrasi insulin darah puasa, glukosa puasa, trigliserida, kolesterol HDL dan asam urat. Resistensi insulin ditentukan dari persentil 75 dari HOMA-IR.
Hasil. Nilai cut-off HOMA-IR pada penelitian ini sebesar 2,04. Frekuensi resistensi insulin pads saudara kandung subyek DM sebesar 26,67% dengan proporsi di tiap keluarga bervariasi dari 0-75%. Semua subyek dengan resistensi insulin memiliki obesitas sentral dan sebanyak 75% memiliki IMT > 25. Komponen metabolik yang paling banyak ditemukan adalah obesitas sentral (56,7%), menyusul hipertensi (46,7%), hipokolesterol HDL dan hipertrigliseridemia masing-masing 26,6%, dan hiperglikemia (20%).
Simpulan. Frekuensi resistensi insulin pada saudara kandung subyek DM tipe 2 sebesar 26,67% dengan proporsi yang bervariasi di setiap keluarga antara 0-75%. Komponen metabolik paling banyak ditemukan adalah obesitas sentral.

Backgrounds. There are two hypothesis in the pathogenesis of type 2 DM, beta cell failure and insulin resistance. As genetic background has significant role in type 2 DM cases, insulin resistance is also suspected to be influenced by genetic factor. Thus far, there are no insulin resistance prevalence data and metabolic abnormalities among siblings of subjects with type 2 DM available in Indonesia.
Objectives. To obtain prevalence figure of insulin resistance among siblings of subjects with type 2 DM and to obtain their metabolic abnormality profiles as measured by their BMI, waist circumference (WC), blood pressure, glucose intolerance, concentration of triglyceride, HDL cholesterol and uric acid.
Methods. Cross-sectional study is conducted to 30 siblings of subjects with type 2 DM who are still alive and agree to participate in this study. The subjects are interviewed, physically examined and go through laboratory examination (fasting plasma insulin, plasma glucose, serum triglyceride, HDL cholesterol and uric acid concentration). Insulin resistance is derived from 75 percentile of HOMA-IR.
Results. The HOMA-IR cut-off value found in this study is 2,04. The frequency of insulin resistance is 26,67% among siblings of subjects with type 2 DM within variation range of 0-75%. All of subjects with insulin resistance have central obesity. About 75% subjects with insulin resistance have BMI ? 25. The metabolic components which are frequently found in this study can be ranked as follows; central obesity (56,7%), hypertension (46,7%), hypocholesterol HDL (26,6%), hypertriglyceridemia (26,6%) and hyperglycemia (20%).
Conclusion. The frequency of insulin resistance is 26,67% among siblings of subjects with type 2 DM within variation range of 0-75%. Among the metabolic components found in this study, central obesity is the most frequent."
Lengkap +
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T21416
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hana DK Horasio
"Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit yang banyak diderita penduduk dunia dari segala tingkatan sosial. Di Indonesia prevalensi DM cukup tinggi yaitu berkisar antara 1,37%.-2,3%. Dengan menurunnya insiden penyakit infeksi diIndonesia, DM sebagai penyakit degeneratif kronis cenderung meningkat dari tahun ke tahun dan akan merupakan masalah kesehatan di kemudian hari. Banyak penyulit yang akan dialami oleh penderita DM antara lain nefropati diabetik, yang proses perjalanannya progresif menuju stadia akhir berupa gagal ginjal dan akan menyebabkan kematian. Gejala dini penyakit ini dapat dikenai dengan peningkatan ekskresi albumin urin yang lebih besar .dari pada normal, tetapi belum dapat dideteksi dengan Cara konvensional. Keadaan ini disebut mikroalbuminuria atau secara klinis disebut nefropati diabetik insipien. Pada stadium ini kelainan masih bersifat reversibel dan bila dilakukan penatalaksanaan yang baik maka proses nefropati diabetik (ND) yang akan berlangsung dapat dicegah. Dengan demikian, dapat diperpanjang harapan hidup penderita DM.
Penelitian ini bertujuan mendapatkan data kadar albumin urin kelompok kontrol sehat dan penderita NIDDM, membuktikan bahwa ekskresi albumin pada penderita NIDDM lebih besar dari pada kantrol sehat, serta ada korelasi antara lamanya DM dan peningkatan ekskresi albumin urin.
Penelitian dilakukan terhadap 25 orang kontrol sehat dan 100 penderita DM yang dibagi menjadi 4 kelompok, tiap kelompok 25 orang, menurut lamanya penderita diabetes yaitu kelompok DM I (<2 tahun), kelompok DM II (2-5tahun), kelompok DM III (5-10 tahun) dan kelompok DM IV (> l0 tahun). Urin kumpulan 12 jam (semalam) diperiksa terhadap albumin (makroalbumin) dengan carik celup Combur-9, kadar albumin kuantitatif dengan Cara RIA dan juga dihitung kecepatan ekskresinya. Sebelumnya dilakukan pemeriksaan penyaring untuk menyingkirkan faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan peningkatan proteinuria.
Pada kelompok kontrol sehat didapatkan rata-rata kadar albumin urin (KAU) adalah 3,45 ug/ml (SD3,65 ug/ml; rentang nilai 2,02 - 4,90 ug/ml) dan rata-rata kecepatan ekskresi albumin urin (KEAU) 2,74 ug/menit {5D=2,60 ug/menit, rentang nilai 1,72-3,76 ug/menit), sedangkan pada kelompok DM didapatkan nilai rata-rata yang lebih besar dari pada kelompok kontrol sehat dan secara statistik ada perbedaan bermakna (p<0,05). Dari 100 penderita NIIDM yang diperiksa dengan carik celup Combur-9 didapatkan 91 penderita memberikan basil negatif dan 9 penderita positif. Dan dari 91 penderita ini bila diperiksa dengan RIA ternyata ada 10 penderita (11%) berdasarkan KAU dan 21 penderita (23,1%) berdasarkan KEAU telah menunjukkan mikroalbuminuria. Dari keseluruhan 100 penderita NIIDM berdasarkan KAU didapatkan 617. normaalbuminuria, 14% mikroalbuminuria dan 5x makroalbuminuria. Sedangkan berdasarkan KEAU didapatkan 70% normoalbuminuria, 26% mikroalbuminuria dan 4% makroalbuminuria.
Hasil pemeriksaan KAU dan KEAU pada penderita DM sangat bervariasi, namun dapat dilihat bahwa rata-rata KAU dan KEAU makin meningkat dengan bertambah lamanya menderita DM dan pada perhitunaan statistik ada korelasi antara lamanya DM dan meningkatnya eksxresi albumin urin (r=0,36). Juga didapatkan bahwa dengan bertambah lamanya DM, prevalensi mikroalbuminuria makin meningkat. Antara lamanya DM dan tingginya kadar glukosa darah tidak ada korelasi (r=0,04), sedangkan antara tingginya kadar glukosa darah dengan KAU dan KEAU didapatkan adanya korelasi yang cukup bail: yaitu r=0,47 an 0,56).
Prevalensi mikroalbuminuria didapatkan lebih tinggi bila dinyatakan dengan KEAU dari pada KAU, sehingga dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan berdasarkan KEAU Iebih sensitif dari pada KAU. Oleh karena itu dianjurkan memeriksa KEAU untuk menentukan adanya mikroalbuminuria?"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1990
T2252
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ekowati Rahajeng
"ABSTRAK
Penyakit diabetes melitus tipe 2 (DM tipe 2) merupakan penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Faktor yang berkaitan dengan sekresi dan kerja insulin antara lain kebiasaan minum kopi. ToIeransi Glukosa Terganggu (TGT) merupakan suatu prakondisi kejadian DM. Penelitian bertujuan mengetahui pengaruh kebiasaan minum kopi pada kasus TGT terhadap terjadinya DM tipe 2 dan gambaran laju insidensi DM tipe 2 pada kasus TGT serta kesintasannya.
Penelitian merupakan Study Kohort Praspektif selama 2 tahun 4 bulan terhadap 289 kasus TGT. Konsumsi kopi dinilai dari jumlah kandungan kafein sesuai frekuensi minuet, jumlah bubuk, dan merk minuman kopi. Kandungan kafein diperiksa dengan alat Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) menggunakan metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT). Diagnosis DM tipe 2 ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan klinis dan hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa ?120 mg/dL danlatau hash pemeriksaan glukosa darah 2 jam sesudah pembebanan glukosa > 200mg/dL. Analisis statistik menggunakan perangkat lunak Stata versi 8.0. Penilaian laju insidensi dengan analisis survival, peranan faktor risiko DM tipe 2 dan TGT dengan analisis multivariat Cox Proportional Hazard Regression dan Multinomial Logistic Regression.
Temuan panting dari penelitian ini : (1) Laju insidensi DM tipe 2 adalah 9,3 per I00 kasus TGT per tahun; (2) konsumsi kopi dengan kafein 240 - 359,9 mg per hari hari mempunyai rasio hazard (FIR) 2,33 dan kafein ? 360 mg per hari mempunyai FIR 3,24; (3) faktor lain yang berisiko adalah konsumsi lemak ? 40 gram per hari dengan FIR 2,07, obesitas (IMT ? 25) HR 2,25, obesitas abdominal (RPP L : > 0,95; W: > 0,85) HR 2,28, lama minum kopi (? 10 tahun) HR 1,97, hipertrigliserida (? 200 mg/dL) HR 2,41 dan FFA tinggi (? 0,93 mM) HR. 1,9; (4) mencampur minuman kopi dengan susu atau krim, aktivitas fisik (indeks 120 menitlhari), konsumsi serat ? 25 gram per hari dan konsumsi teh ditemukan mencegah DM tipe 2 masing-masing dengan HR 0,28 0,56, 0,42, dan 0,50; (5) kafein 240 - 359,9 mg mempunyai rasio risiko relatif (rasio RR) tetap mengalami TGT 2,95, kafein ? 360 mg mempunyai rasio RR 3,28;(6) faktor lain yang berisiko TGT adalah konsumsi lemak dengan rasio RR 2,51, obesitas abdominal 2,47 dan hipertrigliserida 2,97; (7) aktivitas fisik dan konsumsi serat ditemukan mencegah TGT masing-masing dengan rasio RR 0,29 dan 0,40; (8) Dari temuan penelitian dihasilkan tiga model sistim skor prediksi DM tipe 2, tiga model untuk memprediksi kejadian tetap TGT dan tiga model untuk memprediksi kejadian normal dengan 4 batasan risiko, dengan probabilitas area ROC model prediksi antara 83,59% -94,73%.
Konsumsi kopi pada kasus TGT mempunyai respon dosis dan respon waktu terhadap kejadian DM tipe 2 dan tetap TGT. Sebaliknya terhadap kejadian normal, respon tersebut berbanding terbalik. Jumlah kafein yang terkandung pada minuman kopi meningkatkan FFA mengakibatkan resistensi insulin dan kelelahan sel j3 dalam mengsekresi insulin yang berakhir dengan diabetes. Campuran susu atau krim pada minuman kopi menambah asupan kalsium pada tubuh dan mereduksi kandungan kafein, sehingga mencegah DM tipe 2 pada peminum kopi. Model predisksi dengan sistim skor cukup baik dan praktis untuk memprediksi risiko DM tipe 2, tetap TGT, dan normal. Jika risiko diketahui lebih dini, tindakan pencegahan dapat segera dilakukan dan memberikan hasil penanggulangan lebih baik.

ABSTRACT
Type 2 Diabetes Mellitus (Type 2 DM) is a metabolic disease characterized by hyperglycemia, due to the abnormal insulin secretion, insulin function, or both. One of the factors related to insulin function and secretion is drinking coffee. Impaired Glucose Tolerance (IGT) is a precondition for the occurrence of Diabetes Mellitus. This research is aimed to study the risk of developing Type 2 DM among impaired glucose tolerant cases that regularly drinks coffee, and to determine the incidence rate of Type 2 DM on IGT cases as well as its survival rate.
This is a cohort prospective study with the duration of 2 years and 4 months among 289 IGT cases. Coffee consumption was assessed by caffeine content according to drinking coffee frequency, weight of coffee powder, and coffee brand's name. The caffeine content was measured by spectrophotometer, used High Performance Liquid Chromatography (HPLC) method. Type 2 DM diagnosis was determined according to ADA 1997 criteria (fasting blood glucose of > 126 mg/dL and/or 2 hours after glucose load of > 200 mg.dL Statistical analysis software used in this study was Stala version 8.0. Assessment of the incidence rate was calculated by survival analysis, while the risk factors of developing Type 2 DM, remained IGT, and reversing to Normal Glucose Tolerance (NGT) were analyzed by multivariate Cox Proportional Hazard Regression and Multinominal Logistic Regression.
Result
Important findings in this research are: (I) The incidence rate of Type 2 DM was 9.3 per 100 cases of IGT person-year; (2) Coffee consumption with caffeine content of 240 - 359,9 mg daily had hazard ratio (HR) of 2.31 and HR for coffee contents > 360 mg caffeine daily was 2.92; (3) Other risk factors for the development Type 2 DM include fat consumption of > 40 g daily, with HR value of 1.99, HR obesity (BMI > 25) was 2.24, and HR for abdominal obesity ( waist hip ratio, men: > 0.95; women: > 0.85) was 2.44, while HR for duration of drinking coffee (? 10 years) was 1.97, for hyper triglyceride (? 200 mg/dL) was 2.74, and for high FFA (> 0.93 mM) was 1.88; (4) Drinking coffee with cream or milk, physical activity (index of 120 minutes/day), and food fiber consumption > 25 gram/day, prevent the development of Type 2 DM with HR value of 0,28, 0.56, and 0.38 respectively; (5) Relative risk ratio (RR) to remain 1GT was 2.95 in drinking coffee with caffeine content of 240 - 359.9 mg, and 3.28 in drinking coffee with caffeine content > 360 mg; (6) Other risk factor of remaining IGT were fat consumption, abdominal obesity, and hyper triglyceride, with RR values of 2.51, 2.47, 2.97 respectively; (7) Physical activity and food fiber consumption prevent reversal to IGT with RR value of 0.29 and 0.40; (8) This study resulted in three prediction score system models for the development of type 2 DM, three prediction score system models for remaining to IGT, and three prediction score system models for reversing to NGT, with the probability of prediction model ROC area between 83.5% to 94.73%.
The incidence rate of Type 2 DM increases every year. Caffeine content in the coffee drinks has linear correlation with increased FFA value, insulin resistance, fasting blood glucose, and two hours after glucose load, as well as the occurrence of DM. Drinking coffee among the IGT cases has dosage and time response relationship to the occurrence of type 2 DM and remaining IGT. On the other hand, the relationship is opposite for the reverse to normal glucose tolerance (NGT). Drinking coffee with cream or milk can prevent the occurrence of type 2 DM. Prediction model with scoring system is good and practical to predict risk of type 2 DM and IGT. If the risk is found earlier, the prevention can be immediately performs and will give better result.
"
Lengkap +
2004
D574
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sihotang, Yenny Rotua Lucyana
"ABSTRAK
Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Penerapan GayaHidup Sehat Diabetes Pada Penderita DM tipe 2 di KotaPematangsiantar Tahun 2017Penyakit Diabetes Mellitus DM menjadi salah satu masalah kesehatan yangbesar di dunia, termasuk di Indonesia. Prevalensi DM tipe 2 mengalamipeningkatan di Kota Pematangsiantar akibat dari perubahan gaya hidup. Tujuanpenelitian ini untuk menganalisis faktor-faktor yang berhubungan denganpenerapan gaya hidup sehat penderita DM tipe 2. Desain penelitian yangdigunakan adalah Cross Sectional, jumlah sampel 124 responden diambil denganmenggunakan Cluster Sampling. Analisis data menggunakan Uji Chi Square danregresi logistik ganda. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan antarapersepsi hambatan, efikasi diri, pengetahuan, dukungan keluarga, dan jeniskelamin dengan penerapan gaya hidup sehat DM Faktor-faktor yang palingdominan berhubungan dengan penerapan gaya hidup sehat adalah efikasi diri OR=8,378 dan dukungan keluarga OR=2,626 . Responden yang memilikiefikasi diri yang tinggi akan berpeluang 8 kali lebih besar melakukan penerapangaya hidup sehat, dan responden yang mendapat dukungan keluarga yang tinggiberpeluang 3 kali lebih besar melakukan penerapan gaya hidup sehat.Rekomendasi dari penelitian ini agar dilakukan upaya peningkatan efikasi diridengan pemberian edukasi pada penderita DM dengan melibatkan peran sertakeluarga penderita.Kata kunci : Diabetes melitus, Penerapan gaya hidup sehat, Persepsi Individu,Efikasi Diri, Pengetahuan, Dukungan Keluarga.

ABSTRACT
Factors Related to Application of Healthy Lifestyle of Type 2Diabetes Mellitus in Pematangsiantar 2017Diabetes Mellitus DM has become one of the major health problems inIndonesia as well as in many other countries. The prevalence of Type 2 DiabetesMellitus T2DM has increased in Pematangsiantar as result of lyfestyle change.This research aimed to analyze the factors related to application of healthylyfestyle of T2DM patient. This research rsquo s design used was Cross Sectional, thesample of 124 respondents was taken by Cluster Sampling. Data analysis usingChi Square Test and multiple logistic regression. The results show there is arelationship between perception of barriers, self efficacy, knowledge, familysupport, and gender with the application of healthy lifestyle. The most dominantfactors related to the application of healthy lifestyle are self efficacy OR 8,378 and family support OR 2,626 . Respondents who have high self efficacywill have 8 times greater chance of implementing a healthy lifestyle, andrespondents who have high family support have 3 times greater chance ofimplementing a healthy lifestyle. The recommendation of this research is to makeefforts to increase self efficacy by giving education to T2DM patient by involvingpatient 39 s family participation.Key Word T2DM application of healthy lifestyle Individual perceptions knowledge cues to action"
Lengkap +
2017
T47585
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>