Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 104459 dokumen yang sesuai dengan query
cover
John Christian
"Saat hipoksia, tubuh memproduksi radikal bebas yang berbahaya bagi tubuh. Radikal bebas, salah satunya, dapat menyerang protein sehingga menghasilkan dikarbonil. Namun, terdapat mekanisme adaptasi tubuh yang mungkin diinduksi hipoksia hipobarik intermiten, termasuk antioksidan yang melindungi tubuh dari radikal bebas dan dapat dilihat, salah satunya dengan penurunan produksi dikarbonil. Penelitian ini dilakukan dengan desain eksperimental dengan melibatkan 25 ekor tikus yang dibagi ke dalam 5 kelompok, yakni kelompok Hipoksia Hipobarik Intermiten (HHI) 7 kali, kelompok HHI 14 kali, kelompok HHI 21 kali, kelompok HHI 28 kali, dan kelompok kontrol. Terjadi fluktuasi kadar dikarbonil dan dapat terlihat tren perubahan kadar dikarbonil antara kelompok-kelompok perlakuan walaupun hasil uji statistik tidak memiliki perbedaan signifikan. Hasil penelitian menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan dari kadar dikarbonil pada jaringan hati tikus di kelompok yang diberikan perlakuan hipoksia hipobarik intermiten dengan kelompok kontrol sehingga hipotesis “jumlah paparan hipoksia hipobarik intermiten yang berbeda mengakibatkan perbedaan kadar dikarbonil yang bermakna pada jaringan hati tikus” dan adanya efek perlindungan HHI terhadap radikal bebas tidak terbukti.

During hypoxia, the body produces free radicals which are harmful to the body. Free radicals can attack proteins to produce dicarbonyl. However, there are body adaptation mechanisms that may be induced by intermittent hypobaric hypoxia, including antioxidants that protect the body from free radicals and can be seen, one of which is by decreasing dicarbonyl production. This study was conducted using an experimental design involving 25 rats which were divided into 5 groups, namely the Intermittent Hypobaric Hypoxia (HHI) group 7 times, the HHI group 14 times, the HHI group 21 times, the HHI group 28 times, and the control group. Fluctuations in dicarbonyl levels occurred and a trend of changes in dicarbonyl levels could be seen between the treatment groups, although the results of the statistical tests did not have a significant difference. The results showed that there was no significant difference in dicarbonyl levels in rat liver tissue in the group that was given intermittent hypobaric hypoxia treatment with the control group so that the hypothesis "different amounts of intermittent hypobaric hypoxia exposure resulted in significant differences in dicarbonyl levels in rat liver tissue" and there was an effect HHI's protection against free radicals is not proven."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Isabela Andhika Paramita
"Banyak penduduk yang tinggal di dataran tinggi mengalami keadaan hipobarik hipoksia intermiten IHH . Kondisi tersebut bahkan diciptakan sedemikian rupa untuk pelatihan pilot, atlit dan pendaki gunung. Dalam percobaan ini, akan dilihat apakah efek perlindungan IHH dimediasi oleh enzim glutathione peroksidase GPX . Sampel percobaan adalah ginjal tikus Sprague-Dawley sehat usia 2 bulan dengan berat 200-250 g. Perlakuan IHH diterapkan dengan menggunakan Hypobaric Chamber tipe I yang dapat mengondisikan tekanan udara seperti pada ketinggian 35,000 1 menit ; 30,000 3 menit ; 25,000 5 menit ; dan 18,000 30 menit kaki. Tikus dibagi dalam lima kelompok perlakuan yaitu kelompok kontrol, kelompok hipobarik-hipoksia, dan kelompok hipobarik-hipoksia intermiten 1x, 2x, dan 3x dengan jumlah tikus masing-masing 3 ekor/kelompok. Aktivitas spesifik GPX diukur menggunakan metode RANDOX dan RANSEL. Analisa statistik ANOVA-one way menunjukkan tidak terjadi perbedaan yang signifikan antar kelompok P>0.05 walaupun aktivitas spesifik GPX ginjal tikus pada kelompok dengan perlakuan hipobarik hipoksia lebih tinggi dibanding kelompok kontrol. Hal ini kemungkinan terjadi karena aktivitas antioksidan lain. Kesimpulan penelitian penerapan IHH tidak mempengaruhi aktivitas GPX pada ginjal tikus.

Many people live in high altitude experiencing a condition called intermittent hypobaric hypoxia IHH . Some people even create IHH condition as an exercise for pilot, athletes, and mountaineers. In this experiment, we wanted to see whether the protective effect of IHH is mediated through glutathione peroxidase GPX enzyme. The experiment rsquo s sample is 2 months old healthy Sprague Dawley rat rsquo s kidney weighing 200 250 g. Intermittent hypobaric hypoxia treatment is done by using Hypobaric Chamber type I that can mimic air pressure at certain altitudes 35,000 1 minute 30,000 3 minutes 25,000 5 minutes and 18,000 30 minutes feet. The rats were divided into five treatment groups such as control group, hypobaric hypoxia group, and intermittent hypobaric hypoxia 1x, 2x, and 3x groups with each group consisting of 3 rats. The specific activity of GPX was measured using RANDOX and RANSEL methods. Statistical analysis of one way ANOVA did not show significant difference between the groups P 0.05 even though specific activities of renal GPX of rats exposed to hypobaric hypoxia were higher compared to the control group. This may be caused by the other antioxidants rsquo activities. In conclusion, the IHH treatment did not affect GPX activity in rat rsquo s kidney."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S70354
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakhri Rahmadiansyah
"Hipoksia hipobarik merupakan kondisi dimana tubuh memiliki kekurangan oksigen dalam jaringan dan sel. Pada keadaan hipoksia, tubuh mampu memproduksi radikal bebas. Sehingga, tubuh menghasilkan antioksidan yang berfungsi menangkal radikal bebas. Salah satu antioksidan yang berfungsi yaitu glutation (GSH). Glutation memiliki peranan penting dalam antioksidan khususnya menangkal radikal bebas hidrogen peroksida (H2O2). Dengan adanya antioksidan ini, maka dapat melindungi sel tubuh yang mengalami kerusakan akibat radikal bebas. Penelitian yang dilakukan yaitu menggunakan metode desain eksperimental. Penelitian ini menggunakan 25 ekor tikus yang dikelompokkan menjadi 5 kelompok, yaitu kelompok kontrol, kelompok 7 kali, kelompok 14 kali, kelompok 21 kali, dan kelompok 28 kali hipoksia hipobarik intermiten (HHI). Setiap kelompok diberikan prosedur hypobaric chamber training. Selanjutnya melakukan pengukuran kadar glutation dengan menggunakan metode Ellman. Rata-rata kadar glutation organ hati kelompok tikus 7 kali HHI lebih rendah secara bermakna dibandingkan dengan kelompok tikus kontrol (p = 0.001). Rata-rata kadar glutation organ hati kelompok tikus 14 kali HHI lebih tinggi secara bermakna dibandingkan dengan kelompok tikus 7 kali HHI (p < 0.001). Rata-rata kadar glutation organ hati pada kelompok lainnya kembali menurun setelah diberikan paparan 21 kali HHI dan 28 kali HHI dibandingkan dengan kelompok normal namun tidak memiliki makna yang signifikan. Menurut hasil penelitian ini, kadar glutation pada keadaan HHI mengalami penurunan akibat dari suatu efek perlindungan hati terhadap adanya radikal bebas yang dihasilkan dari hipoksia hipobarik intermiten.

Hypobaric hypoxia is a condition in which the body has a low level of oxygen in the tissues and cells. The effect that occurs when in a state of hypoxia is that the body produces free radicals. However, the body also produces antioxidants that work to eliminate free radicals. One of the antioxidants is glutathione. Glutathione has a role in antioxidants, especially scavenging free radical hydrogen peroxide (H2O2). With this antioxidant, it can protect from cell damage by free radicals. This research use the experimental design method. This study used 25 rats which grouped into 5 groups, namely the control group, group with 7 times, group with 14 times, group with 21 times, and group with 28 times intermittent hypobaric hypoxia (IHH). Each group will be exposed to hypobaric chamber training procedure. Furthermore, measuring glutathione levels in rat liver samples in each group using the Ellman’s method. The average glutathione level of the group rats 7 times IHH was significantly lower than that of the control rats group (p = 0.001). The average liver glutathione levels in the group rats 14 times IHH were significantly higher than the group rats 7 times IHH (p < 0.001). The average liver glutathione levels in the other groups decreased again after exposure to 21 times IHH and 28 times IHH compared to the control group but did not significantly different. According to the results of this study, glutathione levels in rat's liver decreased due to a protective effect of the liver against the presence of free radicals resulting from IHH."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ari Estuningtyas
"Keadaan hipoksia pada berbagai macam organ dapat menyebabkan terjadinya kerusakan pada sel tubuh. Pemberian oksigen kembali pada jaringan yang telah mengalami hipoksia ternyata dapat menyebabkan kerusakan lebih lanjut dari sel tersebut, yang berat ringannya tergantung dari lamanya terjadi hipoksia. Baik pada kondisi hipoksia maupun reoksigenasi terjadinya kerusakan pada sel diduga disebabkan oleh terbentuknya radikal bebas. Adanya radikal bebas tersebut akan menyebabkan perubahan pada aktivitas antioksidan dalam tubuh seperti glutation peroksidase dan peningkatan kadar MDA. Kurkumin yang merupakan zat aktif berwarna kuning yang terdapat pada rimpang suku temu-temuan telah diteliti memiliki efek sebagai antioksidan. Efek proteksi kurkumin akan dilihat dengan mengukur aktivitas glutation peroksidase dan kadar MDA dari mitokondria jantung marmut.
Kemurnian mitokondria yang diisolasi dari jantung marmut cukup baik dengan RSA untuk enzim suksinat dehidrogenase (SDH) dari masing-masing kelompok adalah > 2,5. Keadaan hipoksia dan reoksigenasi menyebabkan terjadinya peningkatan aktivitas enzim glutation peroksidase (GPx) dibandingkan dengan kondisi normoksia yaitu dari 0,3235 ± 0,1153 µmol/menit/mg protein menjadi 0,3916 ± 0,1498 µmol/menit/mg protein dan 0,8256 ± 0,2684 µmol/menit/mg protein. Peningkatan kadar MDA juga terjadi pada keadaan hipoksia dan reoksigenasi dibandingkan dengan kondisi normoksia yaitu dari 17,8453 ± 2,7852 nmol/mg protein menjadi 21,2371 ± 3,5319 nmol/mg protein dan 29,5232 ± 9,4673 nmol/mg protein. Pemberian kurkumin dosis 0,25 pM pada keadaan reoksigenasi dapat menurunkan aktivitas GPx dan kadar MDA yang bermakna secara statistik dibandingkan tanpa pemberian kurkumin menjadi 0,4975 ± 0,0441 µmol/menit/mg protein dan 16,4707 ± 1,9896 nmol/mg protein. Penambahan dosis kurkumin menjadi 0,5 µM pada keadaan reoksigenasi dapat menurunkan aktivitas GPx dan kadar MDA menjadi 0,6654 ± 0,2186 µmollmenitlmg protein dan 24,4532 ± 3,2411 nmo1/mg protein dibandingkan tanpa pemberian kurkumin, namun secara statistik tidak bermakna. Pada keadaan hipoksia kurkumin dosis 0,25 µM maupun 0,5 µM justru menyebabkan peningkatan aktivitas GPx menjadi 0,5131 ± 0,0589 µmol/menit/mg protein dan 0,6642 ± 0,2061 µmol/menit/mg protein dibandingkan tanpa pemberian kurkumin, sedangkan kadar MDA turun namun secara statistik tidak bermakna. Analisa statistik yang digunakan untuk uji parametrik adalah Anova satu arah sedangkan untuk uji non parametrik adalah Kruskal Wallis.

The Effects of Curcumin toward Glutathion Peroxidase Activity and MDA Concentration in Hypoxia/Reoxygenation Isolated Working Heart Guinea Pig MitochondriaThe state of hypoxia on different kinds of organ can cause damage to the cell. Giving the oxygen back to the tissues which have experienced hypoxia turns out causing further damage to the cell, whose degree of damage depends on the duration of hypoxia. Both on hypoxia and reoxygenation, the reason for the damage is thought to be caused by the formation of reactive oxygen species. The presence of reactive oxygen species will cause changes activity of some antioxidant in the body such glutathion peroxidase (GPx) and increase in MDA concentration. Curcumin, a yellow active component found in the curcuma, has been found to have antioxidant property. The protective effect of curcumin will be investigated by measuring the cellular parameters such as glutathione peroxidase activity (GPx) and MDA concentration in the heart mitochondria of guinea pig.
The isolation of mitochondria from guinea pig was doing good, indicated with the relative specific activity of sucinate dehydrogenase for all groups greater than 2,5. Hypoxya and reoxygenation conditions increased the activity of glutathione peroxydase from 0,3235 ± 0,1153 µmol/menit/mg protein to 0,3916 ± 0,1498 µmol/menit/mg protein and 0,8256 ± 0,2684 µmol/menit/mg protein compared with normoxia condition. The MDA concentration was also increased during hypoxia and reoxygenation from 17,8453 ± 2,7852 nmol/mg protein to 21,2371 ± 3,5319 nmol/mg protein and 29,5232 ± 9,4673 nmol/mg protein. Curcumin 0,25 µM during reoxygenation decreased the activity of glutathione peroxidase to 0,4975 ± 0,0441 µmol/menit/mg protein and the MDA concentration to 16,4707 ± 1,9896 nmol/mg protein. With curcumin 0,5 p.M the activity of glutathione peroxidase decreased to 0,6654 ± 0,2186 µmol/menit/mg protein and MDA concentration to 24,4532 ± 3,2411 nmol/mg protein during reoxygenation. During hypoxia curcumin 0,25 p.M and 0,5 µM increased the activity of glutathione peroxidase to 0,5131 ± 0,0589 µmol/menit/mg protein and 0,6642 ± 0,2061 µmol/menit/mg protein. Curcumin decreased the 1VIDA concentration during hypoxia with the 0.25 µM and 0,5 µM dose, although the changes are not statistically significant. curcumin, glutathione peroxidase, MDA, hypoxia/reoxygenation, mitochondria."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002
T10664
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Harmelia
"Hipoksia adalah keadaan yang menjadi penyebab penting terjadinya cedera sel dan kematian sel. Hal ini disebabkan karena pada keadaan hipoksia terjadi penurunan oksigen yang mengakibatkan kerusakan sel akibat deplesi ATP. Sel otot rangka yang mengalami hipoksia mengalihkan jalur glikolisis aerob ke glikolisis anaerob. Perolehan ATP pada glikolisis anaerob sangat tidak efisien, sehingga mempengaruhi pembentukan kreatin fosfat sebagai sumber energi otot rangka yang lain. Enzim kreatin kinase mengkatalisis reaksi perubahan kreatin fosfat menjadi kreatin secara reversibel, kreatin bebas yang tidak terikat lagi oleh fosfat secara spontan akan didegradasi menjadi kreatinin dan diekskresi melalui urin. Pada penelitian ini dilakukan pengukuran aktivitas spesifik enzim kreatin kinase dan kadar kreatinin pada otot rangka tikus dengan kondisi normoksia dan hipoksia. Hewan coba yang digunakan adalah tikus (Rattus sp Strain Sprague Dawley). Kondisi hipoksia dilakukan dengan cara memasukkan tikus ke dalam hypoxia chamber yang dialiri campuran gas oksigen 10% dan nitrogen 90%. Tikus dibagi dalam 6 kelompok perlakuan, yaitu kelompok I adalah kelompok kontrol tanpa perlakuan hipoksia (normoksia), sedangkan kelompok II, III, IV, V dan VI dengan perlakuan yaitu dipaparkan pada keadaan hipoksia selama 1 hari untuk kelompok II, 3 hari untuk kelompok III, 5 hari untuk kelompok IV, 7 hari untuk kelompok V dan 14 hari untuk kelompok VI. Aktivitas spesifik CK diukur secara spektrofotmetri menggunakan kit CK NAC (Creatine kinase N-acetyl-L- cysteine) (Randox®), sedangkan kadar kreatinin diukur menggunakan metode Folin. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan antara aktivitas spesifik kreatin kinase otot rangka tikus normoksia dengan hipoksia. Pada kelompok tikus hipoksia 1 hari, hipoksia 3 hari , 5 hari, 7 hari, dan 14 hari aktivitas spesifik CK menunjukkan perbedaan yang bermakna dibanding dengan kelompok kontrol (p < 0.05). Kadar kreatinin otot rangka tikus juga menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna antara tikus kelompok kontrol dengan kelompok hipoksia 14 hari (p<0.05).

Hypoxia is a condition that causing cell injury and cell mortality. It is because of decreased oxygen that makes cell damaged due to the ATP depletion. A hypoxia in skeletal muscle shift aerobe glycolysis way into anaerobe glycolysis. ATP’s amount in anaerobe gylcolysis is inefficient. That condition influence phosphate creatine formation as an energy source for another skeletal muscle. Creatine kinase enzyme catalyze changing creatine phosphate reaction become creatinine in reversible, free creatine which isn’t tied by phosphate will be scattered as a creatinine and excreted with urine. Measuring activity of creatine kinase specific enzyme and creatinine degree on mouse skeletal muscle with normoxia and hypoxia condition conducted in this research. Experimental animal used was a mouse (Rattus sp Strain Sprague Dawley). Put the mouse into the hypoxia chamber which flowed by mixing 10% oxygen gas and 90% nitrogen gas conducted in order to know hypoxia condition. Mouse divided into 6 groups experimental, there are group I is a group with no hypoxia treatment (normoxia), whereas group II, III, IV, V and VI with a hypoxia treatment. Group II with 1 day hypoxia treatment, group III with 3 days hypoxia treatment, group IV with 5 days hypoxia treatment, group V with 7 days hypoxia treatment, and group VI with 14 days hypoxia treatment. Activity of CK specific measured on spectrophotometry using kit CK NAC (Creatine kinase N-acetyl-L-cysteine) (Randox®), while creatinin degree measured with Folin metode. The result shows there are differences between creatine kinase specific normoxia and hypoxia in skletal muscle mouse. In group II, III, IV, V and VI shows significant differences compared group I (p < 0.05). skeletal muscle mouse creatinine degree also shows significant differences between group I and group VI (p < 0.05).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riskyana Dewi Intan Puspitasari
"Perekaman gambaran Denyut Jantung Janin (DJJ) dan kontraksi uterus ibu merupakan salah satu pemeriksaan yang dilakukan untuk pemantauan kesehatan ibu dan janin. Pemantauan gambaran DJJ dan kontraksi uterus biasanya didukung dengan alat elektronik yang disebut Kardiotokografi (KTG). Tujuan dari pemantauan menggunakan KTG, terutama bagi kesehatan janin, adalah untuk mencegah terjadinya mobiditas dan mortalitas pada janin yang memiliki resiko mengalami hipoksia. Dalam penggunaannya, pergerakan ibu atau janin serta pergeseran sensor pada saat pengambilan data menyebabkan sinyal KTG bersifat non-stasioner dan memuat noise. Noise dan bentuk non-stasioner yang muncul menurunkan kualitas perekaman sinyal KTG sehingga dapat menimbulkan kesalahan interpretasi oleh dokter atau bidan. Deteksi otomatis dapat ditambahkan pada sistem KTG untuk memudahkan obgin dan bidan dalam melakukan interpretasi serta membantu mengurangi resiko kesalahan interpretasi gambaran DJJ. Penelitian ini bertujuan untuk menyelesaikan masalah deteksi otomatis terjadinya hipoksia pada janin mengunakan sinyal DJJ pada data KTG yang robust terhadap noise. Pada penelitian ini digunakan pendekatan metode Higher Order Spectral (HOS) Bispektrum. Hasil evaluasi menunjukkan dari penelitian ini diperoleh hasil akurasi, sensitivitas, spesifisitas, f1-score, dan AUC sebesar 60.02%, 60.91%, 57.75 %, 60.02 %, dan 60.23 %.

Recording signal of Fetal Heart Rate (FHR) and maternal uterine contractions is one of the examinations conducted for monitoring maternal and fetal health. The monitoring of FHR and uterine contractions signal is usually supported by an electronic device called Cardiotocography (CTG). The purpose of monitoring using CTG is to prevent morbidity and mortality in the fetuses who are at risk of developing hypoxia. In the mechanism of the occurence of FHR, changes that occur at FHR are also effected by uterine contractions. In its use, the movement of the mother of fetus, and shifts of the sensor during data collection cause CTG signal to be non-stationary and noisy. Noise and non-stationary shape that appear in signal reduce the quality of CTG signal so that it can cause misinterpretastion by doctor and midwives. Automatic detection can be added to the CTG system to make easier for midwives to interpret and help reduce the risk of misinterpretation of FHR and uterine contractions signal. This study aims to solve the problem of automatic detection of hypoxia in the fetus using FHR and uterine contraction signal from CTG data. Besides, a detection process that is robust to noise is also carried out. Bispektrum cross-correlation wavelet approach was used in this study. Evaluation results show that the method proposed in this study obtained accuracy, sensitivity, specificity, f1-score, and AUC 60.02%, 60.91%, 57.75 %, 60.02 %, dan 60.23 %."
Depok: Fakultas Ilmu Kompter Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuni Arini
"ABSTRAK
Ruang Lingkup dan Cara Penelitian
Manusia sangat peka terhadap kekurangan oksigen terutama mata dan sel otak dengan kepekaan paling tinggi pada kortek dan retina. Indera penglihatan merupakan indera terpenting yang harus dimiliki seorang penerbang, sebab jika fungsi mata terganggu akan berakibat fatal. Dalam keadaan hipoksia mata akan mengalami gangguan fungsinya, salah satunya adalah fungsi sensitivitas kontras. Seorang penerbang harus memiliki kemampuan penglihatan sensitivitas kontras yang prima, sebab pada saat terbang harus melihat atau mendeteksi sesuatu dari jarak yang jauh dengan cepat dan tepat.
Tujuan penelitian ini ialah mengidentifikasi pengaruh hipoksia setara dengan ketinggian simulasi 18.000 kaki terhadap kemampuan penglihatan sensitivitas kontras talon penerbang militer TNI AU/PSDP. Disain penelitian adalah kuasi eksperimen pre dan post tes, sedangkan jumlah subyek yang diteliti adalah 94 calon penerbang militer TNI AU/PSDP dalam ruang udara bertekanan rendah (RUBR), yang merupakan total sampel dari calon penerbang militer yang datang di Lakespra Saryanto untuk melakukan indoktrinasi dan latihan aerofisiologi.
Hasil Penelitian : ditemukan perbedaan bermakna dengan uji T berpasangan, pada variabel Sa02, nadi dan sensitivitas kontras (SK) pada ground level dan pada FL 180 (p < 0,05). Dengan analisis silang didapatkan hubungan yang bermakna pada kadar Rb dengan sensitivitas kontras (SK) di ground level dan pada FL 180 (p < 0,05). Dengan analisis multivariat tidak didapatkan hubungan yang bermakna (p > 0,05).
Kesimpulan : Telah dibuktikan bahwa hipoksia setara dengan ketinggian simulasi 18.000 kaki akan menurunkan kemampuan sensitivitas kontras.

ABSTRACT
The Influence of Hypoxia on Contrast Sensitivity among Military Pilot Candidates at 18.000 ft in Lakespra Saryanto, Jakarta 1997
Human being is a very sensitive to the lack of oxygen especially eyes cells and brain. Cortex and retina are the most sensitive. Vision has an important role for the pilot because visual malfunction will cause a fatal accident. One mayor aspect which influenced by hypoxia is sensitivity contrast. A Pilot needs good contrast sensibility of his eyes because he must have a capability identifying the target fastly and accurately.
METHODE
The objective of this research was to identify the influence of hypoxia to contrast sensitivity of pilot candidates at 18.000 ft simulated altitude. The design of this study is a quasi experiment, a pre and post test at ground level and at simulated 18.000 ft. The total sample was 94 respondents, are Military Pilot candidates which come to Lakespra Saryanto for aerophysiological training exercise.
RESULT
T pair analysis showed that there were significant differences (p < 0,05) among variables Sa02, pulse rate and contrast sensitivity at ground level and at FL 180. Cross analysis revealed a significant correlation between hemoglobin value with contrast sensitivity at ground level and at simulated altitude 18.000 ft. The multivariate regression analysis showed a significant correlation the level of Sa02 related to the decrease of contrast sensitivity.
CONCLUSION
Hypoxia at simulated 18.000 ft will decrease contract sensitivity, although the deviation was still within normal range.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suoth, Charles P.J.
"Latar Belakang: Waktu Reaksi adalah suatu pengukuran kecepatan reaksi, suatu proses mental dari pengaliran rangsang di dalam sel-sel otak dan saraf, sering digunakan untuk menilai kemampuan pelaksanaan tugas mental seseorang. Berkurangnya suplai oksigen, terutama dalam jaringan otak dan saraf oleh pengaruh hipoksia akan memperpanjang waktu reaksi seorang penerbang dalam misi penerbangan. Keadaan ini merupakan faktor utama meningkatnya risiko terjadinya kecelakaan dalam misi penerbangan.
Metodologi: Penelitian ini adalah suatu eksperimen kuasi dengan desain pra dan pasca tes terhadap 64 orang calon siswa sekolah penerbangan TN1 Angkatan Udara dengan usia 21-26 tahun. Kadar hemoglobin, saturasi oksigen, fungsi kardio respirasi, kadar gula darah, dan waktu reaksi di ketinggian permukaan diukur. Subyek diintervensi ke ketinggian simulasi 18.000 kaki dalam ruang udara bertekanan rendah untuk mencapai kondisi hipoksia, yaitu dengan nilai saturasi oksigen 64-72%. Dilakukan pengukuran waktu reaksi di ketinggian permukaan dengan waktu reaksi di ketinggian simulasi 18.000 kaki.
Hasil: Terjadi pemanjangan waktu reaksi yang signifikan di ketinggian simulasi 18.000 kaki. (100.11 mdet ± 15,76) dibandingkan dengan waktu reaksi di ketinggian permukaan (90.98 mdet ± 14.53) (p < 0.05). Pemanjangan waktu reaksi ini disebabkan oleh berkurangnya kecepatan pengaliran rangsang di dalam jaringan otak dan saraf akibat berkurangnya suplai oksigen. Kadar hemoglobin mempunyai hubungan yang kuat dengan terjadinya pemanjangan waktu reaksi ini.
Kesimpulan: Hipoksia pada ketinggian simulasi 18.000 kaki menyebabkan pemanjangan waktu reaksi.

The Effect of Hypoxia on Reaction Time Among Indonesian Military Pilot's Candidates at a Simulated Altitude of 18.000 feet in the Hypobaric Chamber, 1999Background: Reaction time is a measure of the speed of reaction, it's a mental process that results from the impels processing through brain and nerves. It is often used to assess the ability of mental tasks performance. The lack of oxygen supply especially in the brain and nerves through hypoxia will prolong reaction time of the pilot which is a main factor to increase the risk of catastrophic in the flight mission.
Methodology: A quasi experiment study with a pre and post test design on 64 Indonesian Military Pilot's candidate's age 22-26 years was conducted. Hemoglobin, oxygen saturation, cardio respiratory function, blood sugar and reaction time at ground level was measured. Subjects were exposed to a simulated altitude of 18.000 feet for hypoxia condition in the hypobaric chamber. Hypoxia condition was indicated by 65-72% oxygen saturation. Reaction times at ground level and at 18.000 feet were measured.
Results: Reaction time was significantly longer at 18.000 feet (100.11 m sec ± 15.76) compared to ground level (90.98 m sec ± 14.53) (p < O.05). Prolonged reaction time at 18.000 feet is due to decrease of the speed of mental process in brain and nerves caused on reduced oxygen supply. Hemoglobin level showed strong correlation with prolonged reaction time (p-0,000).
Conclusion: Hypoxia at a simulated altitude of 18.000 feet prolonged reaction.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdulrosyid
"Latar Belakang: Indera penglihatan merupakan indera terpenting yang harus dimiliki oleh seorang penerbang, sebab jika fungsi mata terganggu akan berakibat fatal. Dalam keadaan hipoksia mata akan mengalami gangguan fungsinya. Salah satu dari fungsi yang mungkin akan terganggu adalah fungsi sensitivitas kontras. Seorang penerbang harus memiliki kemampuan penglihatan sensitivitas kontras yang prima, sebab pada saat terbang harus mampu melihat atau mendeteksi sesuatu dari jarak yang jauh dengan cepat dan tepat. Tujuan penelitian ini ialah mengidentifikasi pengaruh hipoksia setara dengan ketingggian simulasi 18.000 kaki terhadap kemampuan penglihatan sensitivitas kontras calon penerbang. Disain penelitian adalah Kuasi Eksperimen Pre dan Post Test menggunakan ruang udara bertekanan rendah. Jumlah responden yang diteliti adalah 101 orang yang merupakan total sampel dari calon penerbang PLP-Curug yang datang di Lakespra Saryanto untuk melakukan Indoktrinasi dan Latihan Aerofisiologi (ILA).
Hasil: Ditemukan adanya perbedaan bermakna pada uji t berpasangan (paired A), dimana variabel Sa02, Nadi dan Sensitivitas kontras pada "Ground Level" dan "FL180" dimana p 0,05. Dengan analisis multivariat ditemukan adanya perbedaan bermakna (p ? 0,05) pada variabel Sant yang merupakan faktor penentu utama terhadap penurunan sensitivitas kontras.
Kesimpulan: Telah dibuktikan bahwa hipoksia setara dengan ketinggian simulasi 18.000 kaki akan menurunkan kemampuan sensitivitas kontras, namun penurunan kemampuan penglihatan sensitivitas kontras ini masih dalam batas normal. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk membuktikan adanya pengaruh hipoksia terhadap penglihatan sensitivitas kontras.

Pilots needed a good vision on their work because of visual malfunction will cause fatality. Hypoxia influence several aspects of visual function. Sensitivity contrast is one major aspect which influence by hypoxia. Pilots have to identify a target fast and accurately. This research would identify the influence of hypoxia to contrast sensitivity. The design of this study was a quasi experiment, a pre and post test 18.000 ft in a hypobaric chamber. The sample was 101 respondents carried out of total civil pilot candidates from PLP Curug.
Results: A t-test analysis showed that there was significant differences (p < 0,05) among variables Sa02 , Pulse rate and contrast sensitivity. Multivariate regression analysis showed that there was significant differences (p < 0,05) between Sa02 to decreasing of contrast sensitivity. Nevertheless the decrease was still in the range of normal value of sensitivity contrast.
Conclusions: This study concluded that hypoxia at simulated altitude 18.000 ft caused decreasing of contrast sensitivity, although the decreasing was still normal. Further research are needed to continue exploring the influence of hypoxia on contrast sensitivity.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hansens Yansah
"Latar Belakang: Kondisi hypobaric diinduksi pada manusia di daerah dataran tinggi; kondisi hipoksia hypobaric intermiten adalah paparan normoxic di antara induksi hipoksia. Kondisi hipoksia hypobaric dapat membahayakan karena meningkatkan produksi stres oksidatif. GSH adalah antioksidan utama yang merupakan pertahanan utama terhadap hidrogen peroksida. Kadar hidrogen peroksida meningkat pada kondisi hipoksia. Dalam percobaan ini saya akan menelurusi pengaruh kondisi hipoksia hypobaric intermiten pada kadar glutathione GSH .
Metode: Percobaan ini menggunakan otak dari tikus jantan Sprague Dawley yang berusia 2 bulan dengan berat di 200-250 gram. Kondisi hipoksia hypobaric intermiten disimulasikan menggunakan tipe I Chamber profil penerbangan hypobaric. Tikus dibagi menjadi lima kelompok yang masing-masing terdiri dari 5 tikus dan diberi perlakuan kondisi hipoksia hypobaric yang berbeda. Kemudian, kandungan protein dan kadar GSH dalam homogenat otak dengan spectrofotometer.
Hasil: Kadar GSH menurun di otak yang terpapar oleh efek hipoksia hipobarik. Tetapi dari hasil analisa statistic membuktikan bahwa data yang sudah peroleh tidak signifikan. Kesimpulan: Menurut hasil penelitian ini, tidak ada korelasi antara tingkat GSH dan hipoksia hypobaric intermiten tetapi penelitian lebih lanjut harus dilakukan.

Background: A hypobaric hypoxic condition is induced in human in high altitude areas an intermittent hypobaric hypoxic condition is continuous exposure with normoxic conditions in between. A hypobaric hypoxic condition can potentially be harmful because of the oxidative stress that it causes. GSH is the prime antioxidant that is the main defense against hydrogen peroxide. Hydrogen peroxide levels increase in hypoxic conditions. In this experiment, I am analyzing the effect of intermittent hypobaric hypoxic condition on the level of glutathione GSH.
Method: We utilized the cerebellum of two months old healthy male Sprague Dawley rats weighing at 200 250 grams. An intermittent hypobaric hypoxic condition was simulated using a hypobaric Type I Chamber flight profile. The rats are split into five groups with 5 rats in each group of varying exposure to the hypobaric hypoxic condition. Protein content in the cerebellum homogenate was also measured and the GSH level is measured.
Results: The level of GSH decreases in rat cerebellum exposed to hypobaric hypoxia. However, after statistical analysis the data is shown to be insignificant.Conclusion According to the results of this experiment, there is no correlation between the level of GSH and intermittent hypobaric hypoxia but further research should be conducted.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S70420
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>