Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 181941 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bambang Novianto Putro
"Latar belakang. Iskemia miokard sering terjadi karena efek klem silang aorta selama bedah jantung terbuka dengan pemakaian mesin pintas jantung paru. Kardioplegia sebagai metode kardioproteksi, dapat berupa kardioplegia darah maupun kristaloid. Telaah sistematik ini bertujuan mengidentifikasi semua uji acak yang membandingkan tingkat cedera miokard, kejadian fibrilasi atrial, infark miokard, penggunaan inotropik, lama perawatan intensif dan mortalitas pascabedah.
Metodologi. Telaah sistematik dilakukan dengan melakukan pencarian literatur melalui database pada COCHRANE, PubMed, PMC, dan Google Scholar untuk mengidentifikasi semua uji acak yang membandingkan tingkat cedera miokard, kejadian fibrilasi atrial, infark miokard, penggunaan inotropik, lama perawatan intensif dan mortalitas pascabedah antara kardioplegia darah dan kristaloid pada seluruh prosedur operasi bedah jantung terbuka dewasa dengan mesin pintas jantung paru yang dipublikasikan dalam bahasa Inggris. Artikel sekunder yang bukan merupakan jurnal dan research article akan dieksklusi. Cochrane Risk of Bias digunakan untuk menilai potensi bias.
Hasil penelitian. Kami mengidentifikasi 6 uji acak yang dengan total 796 pasien yang menjalani bedah jantung terbuka (CABG, bedah katup, transplantasi), 431 mendapatkan perlakuan kardioplegia darah, 365 lain mendapat perlakuan kardioplegi kristaloid. Subyek berkisar antara 60 hingga 297 pasien. Mayoritas membahas perbandingan kardioplegia darah dan kristaloid pada bedah jantung revaskularisasi koroner (CABG). Keseluruhan studi memiliki risiko bias rendah.
Kesimpulan. Kardioplegia darah menunjukkan luaran yang lebih baik dibandingkan kardioplegia kristaloid. Namun, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terkait analisis dari hasil perlindungan miokard masing-masing larutan kardioplegia.

Background. Myocardial ischemia is commonly occured due to aortic cross-clamping during open-heart surgery using a cardiopulmonary bypass (CPB) machine. Cardioplegia, as cardioprotective method, can be divided into blood or crystalloid base. This systematic review aims to describe the effectiveness of two types of cardioplegic solutions in adult open-heart surgery procedures by focusing on their effects on cardiac enzyme, atrial fibrillation incidence, myocardial infarction, inotropic use, length of stay in ICU, and postoperative mortality
Methodology. We searched on several databases, including COCHRANE, PubMed, PMC, and Google Scholar to identify all randomized controlled trials published in English that compared levels of myocardial injury, atrial fibrillation incidence, myocardial infarction, inotropic use, intensive care length of stay, and mortality postsurgery between adults underwent CPB who received blood cardiolegia and crystalloid cardioplegia. Secondary publications were excluded. Cochrane Risk of Bias tool was used to assess for potential biases.
Outcome. We identified 6 randomized trials with a total of 796 patients underwent open heart surgery (CABG, valve surgery, transplantation), 431 receiving blood cardioplegia, another 365 receiving crystalloid cardioplegia. Subjects ranged from 60 to 297 patients. Most studies discussed the comparison of blood cardioplegia and crystalloids in CABG. The entire study had a low risk of bias.
Conclusion. Blood cardioplegia provided better outcome compared to crystalloid cardioplegia. However, further analysis should be developed to facilitate the conduct of high quality trials.
Keywords. Cardiac surgery, cardiac enzyme, blood cardioplegia, crystalloid cardioplegia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Suleha
"Stroke merupakan salah satu masalah kesehatan yang terjadi di daerah perkotaan. Klasifikasi stroke yang sering terjadi adalah stroke iskemik. Jika iskemik terjadi di basal ganglia, salah satu masalah keperawatan yang muncul adalah hambatan mobilitas fisik. Hambatan mobilitas fisik dapat mengakibatkan penurunan kekuatan otot.
Tujuan penulisan ini adalah untuk melakukan analisis evidence based mengenai latihan range of motion (ROM) dalam mengatasi hambatan mobilitas fisik pada klien stroke iskemik.
Hasil dari latihan ROM terbukti efektif dalam meningkatkan fungsi otot. Untuk itu diperlukan secara mandiri dan/atau kolaborasi kepada klien stroke iskemik untuk menanggani penurunan kekuatan otot setelah fase krisis.

Stroke is one of the health problems that occur in urban areas. Classification often occur of stroke is ischemic stroke. If ischemia occurs in the basal ganglia, one of the nursing problems is impaired physical mobility. Impaired physical mobility can lead to decreased muscle strength.
The purpose of this paper is to analyze the evidence based on the exercise range of motion (ROM) in overcoming barriers to physical mobility client ischemic stroke.
Results of ROM exercises proven to be effective in improving muscle function. It is necessary to independently and / or collaboration to clients ischemic stroke to handle the decline in muscle strength after the crisis phase.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2014
PS-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Winda Kusumaningrum
"Latar Belakang: kematian dan kecacatan diseluruh dunia dan mempunyai dampak yang sangat besar baik dari segi klinis maupun sosio-ekonomi. Pada stroke iskemik akut, terdapat peningkatan kadar IL-6 yang berkorelasi dengan defisit neurologis yang lebih berat, kerusakan otak yang lebih luas dan prognosis yang lebih buruk.Oleh karena itu IL-6 dapat digunakan sebagai pemeriksaan biomarker awal untuk identifikasi pasien stroke akut yang memiliki risiko tinggi mengalami progresifitas defisit neurologis dan tingkat kematian yang lebih tinggi.
Tujuan: Untuk mengetahui hubungan kadar interleukin 6 dengan keluaran klinis jangka panjang menggunakan mRS (Modified Rankin Scale) pada pasien stroke iskemik akut.
Metode: Penelitian dilakukan menggunakan disain penelitian retrospective cohort, melanjutkan dari penelitian Al Rasyid. Semua sampel yang didapatkan di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta, dari bulan Februari 2013 sampai selesai dilakukan follow up dilakukan pemeriksaan interleukin 6 serta penilaian keluaran fungsional mRS 3 bulan dan 6 bulan.
Hasil: Data sekunder yang berjumlah 135 subjek, diambil secara simple random sampling sebanyak 50 subjek. Masing-masing 25 subjek untuk kelompok interleukin 6 normal dan 25 subjek untuk kelompok interleukin 6 tinggi lalu dilakukan penilaian mRS 1 bulan dan 3 bulan. Hasil penelitian menunjukkan pada kedua kelompok IL-6 tidak memiliki perbedaan yang bermakna terhadap mRS 1 bulan dan 3 bulan (p= 0.244; p=0.155). Namun penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna pada kelompok penelitian IL-6 normal dan tinggi dengan perubahan nilai mRS 1 bulan ke mRS 3 bulan (p=0.012; p=0.021) dengan perubahan nilai mRS yang membaik menunjukkan proporsi yang lebih besar. Faktor risiko stroke lain seperti hipertensi, penyakit jantung, DM, dislipidemia dan merokok tidak menunjukkan adanya hubungan yang bermakna dengan perubahan nilai mRS (p=0.377; p=0.285; p=0.736; p=0.222; p=0.736).
Simpulan: Penelitian saat ini menunjukkan pada pasien stroke iskemik akut sirkulasi parsial anterior, tidak didapatkan hubungan langsung yang bermakna antara keluaran fungsional stroke fase akut berdasarkan mRS 1 dan 3 bulan dengan kadar IL-6 namun terdapat hubungan yang bermakna antara perubahan nilai mRS dengan IL-6 yang menandakan terdapat kecenderungan bahwa keluaran mRS buruk 1 dan 3 bulan dipengaruhi IL-6. Secara umum terdapat kecenderungan keluaran mRS buruk saat 1 maupun 3 bulan pada subjek dengan IL-6 tinggi.

Background: Stroke is one of the leading diseases that causes death and disability throughout the world. In acute ischemic stroke, there is an increase in IL-6 levels were correlated with more severe neurological deficit, brain damage is more extensive and a worse prognosis. Therefore, IL-6 can be used as an early biomarker screening for the identification of acute ischemic stroke patients who have a high risk of progression of neurological deficits and higher mortality rates.
Objective: To determine the relationship of interleukin 6 with functional outcome using mRS (modified rankin scale) in patients with acute ischemic stroke.
Methods: The study was conducted using a retrospective cohort study design, this study is a part of main study from Al Rashid research. All samples were obtained at Cipto Mangunkusumo, from February 2013 until complete follow-up. Interleukin 6 examination performed in all samples as well as evaluating the functional outcome based on mRS 3 months and 6 months.
Results: Secondary data totaling 135 subjects, drawn by simple random sampling of 50 subjects. Each group of 25 subjects for high IL-6 and 25 normal IL-6 subjects were assesed with mRS 1 month and 3 months. The results showed in both groups that IL‐6 does not have a significant difference in mRS 1 month and 3 months (p = 0.244, p = 0.155). However, this study shows there is a significant correlation between IL‐6 changes in mRS score mRS 1 month to 3 months (p = 0.012, p = 0.021) with changes that improved mRS score indicates a greater proportion. Other stroke risk factors such as hypertension, heart disease, diabetes, dyslipidemia, and smoking did not show any significant correlation with changes in mRS score (p = 0.377, p = 0.285, p = 0736, p = 0.222, p = 0736).
Conclusions: The present study showed in patients with acute ischemic stroke partial anterior circulation there is no significant direct relationship found between the acute phase of stroke functional outcome based on mRS 1 and 3 months with the levels of IL‐6 but there is a significant correlation between changes in mRS score with IL-6 indicates there is a tendency that poor mRS outcomes 1 and 3 months influenced by IL‐6. In general there is a tendency of poor outcomes pf mRS 1 and 3 months in subjects with high IL‐6.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kaski, Juan Carlos
"Much has been written about reperfusion injury in the past decade but unfortunately the information has been generally presented in the form of original specialist papers and little if any integral publication exists on the topic, summarising and analysing the clinical impact of the condition and its management. The pathophysiology and molecular mechanisms of reperfusion injury are complex and, regarding diagnosis, individual diagnostic techniques have been proposed but without a proper assessment of the relative values of these methods. A publication dealing with integral diagnostic strategies would be welcome by the managing physician. Management of the condition is also problematic, as strategies that appear to work in the experimental models do not translate into beneficial interventions in patients. There is a need for these issues to be addressed and discussed in a monographic fashion. Management of myocardial reperfusion injury will tackle these issues in a modern and systematic way and the information will be delivered in a fashion that will be appealing to the reader.
"
London : Springer, 2012
e20426109
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Ika Komar
"Role of Collateral Circulation in MR Imaging-Verified Myocardial Infarct Size in Acute Phase of ST-Segment Elevation Myocardial Infarction Treated with Primary Percutaneous Coronary Intervention
Abstrak Berbahasa Indonesia/Berbahasa Lain (Selain Bahasa Inggris):
Latar Belakang. Intervensi koroner perkutan primer (IKPP) yang dilakukan segera oleh merupakan upaya reperfusi utama dalam tatalaksana infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST). Meskipun disadari betapa pentingnya diagnosis dan reperfusi dini pada pasien IMA-EST, keterlambatan waktu reperfusi seringkali tidak dapat dihindarkan. Selama waktu keterlambatan reperfusi ini sirkulasi kolateral koroner (SKK) menjadi sumber alternatif suplai darah yang penting ketika pembuluh darah utama gagal memberikan aliran darah yang cukup ke jaringan karena adanya oklusi. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh SKK terhadap luas infark dan myocardial salvage index (MSI) yang diukur dengan pencitraan resonansi magnetik jantung (RMJ) pada pasien IMA-EST dengan onset <12 jam yang menjalani IKPP.
Metode. Penelitian dirancang potong lintang melibatkan 33 pasien IMA-EST dengan onset <12 jam yang menjalani IKPP yang diambil secara konsekutif pada bulan November 2012 hingga April 2013 di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta. Pasien dibagi dalam 2 kelompok berdasarkan pembagian SKK menurut Rentrop, yakni grup A (Rentrop 0 atau 1) dan grup B (Rentrop 2 atau 3). Pasien menjalani pemeriksaan pencitraan RMJ untuk menilai luas infark dan MSI.
Hasil. Dalam studi ini, dua belas dari 33 (36%) pasien memiliki kolateral yang signifikan (Rentrop 2 atau 3). Angina pre-infark merupakan faktor klinis yang berhubungan dengan kemunculan SKK (p<0,001). Luas infark dihitung sebagai persentase massa infark terhadap massa ventrikel kiri (IS %LV). Dari analisa didapatkan IS %LV lebih kecil pada grup B dibandingkan dengan grup A (14,2% vs 23,3%, p=0,036). Hal ini sejalan dengan besarnya nilai MSI pada grup B dibandingkan dengan grup A (0,6 vs 0,1, p<0,001).
Kesimpulan. Sirkulasi kolateral koroner memiliki pengaruh dalam menurunkan luas area infark dan meningkatkan MSI yang diukur dengan menggunakan pencitraan RMJ pada fase akut IMA-EST yang menjalani IKPP.

Background. Primary percutaneous coronary intervention (PPCI) conducted immediately by an expert operator is a primary reperfusion strategy in acute ST-segment elevation myocardial infarction (STEMI) patient. Although fully aware of the importance of early diagnosis and reperfusion in patients with STEMI, time delays are often unavoidable. During this period, coronary collateral circulation be an important alternative supply when the main blood vessels fail to provide adequate perfusion to myocardial tissues due to occlusion. This study aims to determine the effect of collateral circulation in MR Imaging-Verified Myocardial infarct size and myocardial salvage index (MSI) in the acute phase of STEMI treated with PPCI.
Methods. Study was designed as cross-sectional study involving 33 STEMI patients with symptoms < 12 hours who underwent successful PPCI. Samples were taken consecutively from November 2012 to April at the National Cardiovascular Center Harapan Kita Jakarta. Collateral flow was gradded regarding to Rentrop classification. Patients were divided into 2 groups; Group A had absent or weak collateral flow and group B had significant flow. All patients underwent cardiac magnetic resonance (CMR) to assess infarct size and MSI.
Result. In our study, 12 out of 33 (36%) patients had significant collateral circulation (Rentrop grade 2 or 3). Pre-infarction angina was a clinical factors associated with recruitable collaterals (p<0,001). Infarct size expressed as percent LV mass (IS %LV) was significantly smaller in group B (14.2% vs. 23.3%; p = 0.036). Extent of MSI was significantly higher in group B (0,6 vs 0,1; p<0,001).
Conclusion. Well-developed collaterals before reperfusion by PPCI in patients with STEMI are associated with a protective effect on infarct size and MSI.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Isra Tuasikal
"Latar Belakang: Angka defisiensi besi di negara berkembang sangat tinggi dibandingkan negara maju dan hubungan antara defisiensi besi dengan myocardial blush kuantitatif pada pasien infark miokard akut disertai elevasi segmen ST (IMA-EST) yang menjalani intervensi koroner perkutan primer (IKPP) belum pernah dilakukan.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara defisiensi besi dengan myocardial blush kuantitatif pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP.
Metode: Kami mengevaluasi 64 pasien IMA-EST yang menjalani IKPP dan memenuhi kriteria untuk dilakuakan penilaian myocardial blush kuantitatif menggunakan program Quantitative Blush Evaluator (QuBE). Penilaian defisiensi besi diukur menggunakan feritin, serum besi, dan total iron binding capacity (TIBC).
Hasil: Pasien dengan defisiensi besi memiliki nilai QuBE yang 7,48 kali lebih buruk dibandingkan dengan pasien tanpa defisiensi besi. Analisis multivariat menunjukan bahwa defisiensi besi merupakan prediktor terhadap nilai QuBE yang rendah (OR 7,48, 95% interval kepercayaan 1,78-31,49, p 0,006).
Kesimpulan: Terdapat hubungan antara defisiensi besi dengan nilai QuBE yang lebih buruk pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP

Background: Prevalence of iron deficiency in developing countries is higher than developed country, and association between iron deficiency and quantitative myocardial blush in acute ST-segment elevation myocardial infarction (STEMI) undergoing primary percutaneous coronary intervention (PPCI) has not been investigated.
Objective: This study sought to evaluate the association between iron deficiency and quantitative myocardial blush of patient with acute STEMI undergoing primary PCI.
Methods: We enrolled 64 patients with acute STEMI underwent primary PCI who fulfilled the standard criteria for quantitative myocardial blush evaluation using quantitative blush evaluator (QuBE). Iron deficiency were measure by ferritin, serum iron, and total iron binding capacity (TIBC).
Results: Patients with Iron deficiency 7,48 times risk of poor QuBE index than group without iron deficiency. Multivariate logistic analysis showed that iron deficiency was an predictor of a poor QuBE index (OR 7,48, 95% confidence interval 1,78-31,49, p 0,006).
Conclusion: There is association between iron deficiency with poor QuBE index in patients STEMI undergoing primary PCI.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Athikah Khairunnisa
"Latar belakang: COVID-19 menyebabkan respon inflamasi sistemik yang dapat disertai dengan pembentukan trombus koroner dan berhubungan dengan morbiditas serta mortalitas yang tinggi. Pasien IMA-EST yang menjalani IKPP dengan beban trombus intrakorener yang tinggi berhubungan dengan luaran klinis yang lebih buruk. Tujuan: Mengetahui hubungan antara COVID-19 dengan beban trombus intrakoroner pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP. Metode: Terdapat 181 pasien IMA-EST yang menjalani intervensi koroner perkutan primer (IKPP) pada periode April 2020 hingga November 2021 dianalisis secara retrospektif. Beban trombus intrakoroner menurut TIMI saat IKPP dibagi menjadi beban trombus tinggi (BTT) dan beban trombus rendah (BTR). COVID-19 dibagi menjadi positif dan negatif berdasarkan pemeriksaan laboratorium, kemudian dinilai hubungannya dengan BTT. Hasil: Beban trombus intrakoroner tinggi berdasarkan TIMI didapatkan pada 70,2% pasien. Subjek COVID-19 positif cenderung mempunyai resiko 3,03 kali (95% IK: 1,11 – 8,31; p=0,025) untuk mengalami BTT. Namun, dari analisis multivariat tidak didapatkan hubungan antara status positif COVID-19 dengan BTT. Pada model akhir analisis multivariat, faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian beban trombus tinggi adalah nilai CRP > 5 mg/L dengan odds ratio 3,29 (95% IK: 1,09 – 9,88; p=0,034) dan merokok (OR 2,92; 95% IK: 1,12 – 7,58; p=0,027). Kesimpulan: Status COVID-19 positif tidak berhubungan dengan kondisi beban trombus intrakoroner tinggi pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP. Kata Kunci: IKP primer; IMA-EST; COVID-19; C-reactive protein; trombus; beban trombus

Introduction: COVID-19 infection causes a systemic inflammatory response that increases the activation of coagulation system prone to hypercoagulable conditions that can trigger thrombus formation. Erosion of susceptible atherosclerotic plaques can lead to intracoronary thrombus which is the main cause of ST segment elevation acute myocardial infarction (STEMI). STEMI patients undergoing primary percutaneous coronary intervention (PPCI) with a high intracoronary thrombus burden were associated with a worse clinical outcome. Objective: Aimed to determine association between COVID-19 positivity and other factors related to intracoronary thrombus burden in STEMI. Methode: A total of 181 patients with STEMI who underwent PPCI between April 2020 and November 2021 were retrospectively analized. Intracoronary thrombus burden based on TIMI criteria was reclassified into high thrombus burden (HTB) and low thrombus burden (LTB). HTB was analyzed with COVID-19 which divided into positive and negative based on laboratory results. Results: HTB was found in 70,2% patients. Positive COVID-19 patients tend to showed HTB during PPCI (OR 3,03; 95% IK: 1,11–8,31; p=0,025). From multivariate analysis, there is no association between COVID-19 positivity and HTB. In the last model of multivariate analysis, CRP > 5 mg/L (OR 3,29; 95% IK: 1,09 – 9,88; p=0,034) and smoking status (OR 2,92; 95% IK: 1,12 – 7,58; p=0,027) were associated with HTB. Conclusion: There is no association between COVID-19 positivity and HTB in STEMI patients underwent PPCI. Keywords: Primary PCI; STEMI; COVID-19; intracoronary thrombus; thrombus burden."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Fajarwati
"STEMI masih menjadi penyebab kasus kematian utama di Indonesia. Di Jakarta, angka kejadian STEMI meningkat setiap tahunnya. IKP primer merupakan tindakan utama untuk penanganan STEMI, namun tidak mengatasi penyebab terjadinya oklusi. Pengetahuan pencegahan sekunder diperlukan untuk mencegah terjadinya restenosis sehingga mampu meningkatkan kualitas hidup setelah IKP primer.
Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan pencegahan sekunder dengan kualitas hidup pada pasien STEMI Pasca IKP Primer. Desain penelitian ini bersifat analitik dengan pendekatan potong lintang cross sectional. Responden terdiri dari 60 pasien STEMI pasca IKP Primer yang dipilih melalui teknik consequtive sampling. Instrumen yang digunakan Maugerl Cardiac Prevention Questionnare MICRO-Q dan Seattle Angina Questionaire-7 SAQ 7.
Hasil penelitian menunjukkan hasil tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan pencegahan sekunder dengan kualitas hidup pada STEMI pasca IKP primer p=0,662; =0,05. Namun, pengetahuan pencegahan sekunder penting untuk tetap diperlukan sabagai salah satu komponen yang dapat meningkatkan kualitas hidup pada pasien STEMI pasca IKP primer.

STEMI is one a leading cause of death cases in Indonesia. In Jakarta, the incidence of STEMI increases anually. Primary PCI is the main treatment eventhough it is not the causes of occlusion. Secondary prevention knowledge is needed to prevent the occurrence of restenosis so it can improve quality of life after primary PCI.
This research has purpose to know the relationship between knowledge level about secondary prevention and quality of life in STEMI patient after Primary PCI. This is analytic with cross sectional approach. Respondents consisted of 60 STEMI patients post Primary PCI selected through concequtive sampling technique. The instrument is the Maugerl Cardiac Prevention Questionnare MICRO Q and Seattle Angina Questionaire 7 SAQ 7.
The results showed no correlation between knowledge level and quality of life in STEMI after primary IKP p 0,662 0,05. However, secondary prevention knowledge is important to remain as one of the components that can improve quality of life in STEMI post primary IKP.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Benjamin Ngatio
"Pendahuluan: Revaskularisasi segera jaringan yang telah iskemia, tidak selalu membuahkan hasil yang diharapkan. Berbagai reaksi yang timbul dari pembentukan reactive oxygen species dan aktivasi sistem komplemen menyebabkan cedera iskemia reperfusi. Ischemia preconditioning PRC dan hipotermia diduga dapat mengurangi efek dari cedera iskemia reperfusi.
Metode: Penelitian eksperimental ini adalah lanjutan dari penelitian sebelumnya, di mana dilakukan uji statistika terhadap kelompok kontrol dan tiga kelompok perlakuan, yaitu cedera reperfusi IRI, ischemia preconditioning PRC, dan hipotermia. Data kelompok kontrol dan IRI diambil dari penelitian sebelumnya. Kelompok PRC dan hipotermia masing-masing menggunakan enam hewan coba Oryctolagus cuniculus. Pada kelompok PRC dilakukan ligasi arteri femoralis komunis kanan selama dua menit, dilepaskan tiga menit sebanyak dua siklus. Pada kelompok hipotermia dilakukan pembungkusan ekstremitas bawah kanan dengan es. Kemudian kedua kelompok dilanjutkan dengan dilakukan pengikatan arteri femoralis komunis kanan selama empat jam, dan kemudian ikatan dilepaskan selama delapan jam. Kemudian dilakukan laparotomi, dan diambil organ gaster. Bagian antrum diambil untuk pemeriksaan histopatologi dan biokimia. Pemeriksaan biokimia dilakukan menggunakan malondialdehid MDA.
Hasil: Uji hipotesis dari perbedaan histopatologi dan biokimia secara keseluruhan bermakna secara statistik. Derajat kerusakan secara histopatologi pada kelompok ischemia preconditioning lebih rendah dengan signifikan dibandingkan kelompok IRI; namun secara biokimiawi, lebih tinggi namun tidak signifikan. Derajat kerusakan secara histopatologi pada kelompok hipotermia lebih rendah namun tidak signifikan dibandingkan dengan kelompok IRI; namun secara biokimiawi, lebih tinggi dengan signifikan dibandingkan dengan kelompok IRI. Bila membandingkan PRC dan hipotermia, secara histopatologi, PRC lebih rendah dengan signifikan. Secara biokimia, rerata PRC lebih rendah namun tidak signifikan.
Kesimpulan: Ischemia preconditioning memiliki efek protektif terhadap dampak destruktif yang yang dihasilkan oleh ischemia reperfusion injury terhadap organ jauh. terhadap organ jauh. Hipotermi juga memiliki efek protektif, namun tidak sebaik ischemia preconditioning.

Background: Immediate revascularization of ischemic tissue, does not always produce the expected results. Various reactions that arise from the formation of reactive oxygen species and the activation of the complement system cause ischemia reperfusion injury. Ischemia preconditioning PRC and hypothermia are thought to reduce the effects of ischemic reperfusion injury.
Methods: This experimental study was performed on the control group and three treatment groups, namely reperfusion injury IRI, ischemia preconditioning PRC, and hypothermia. Two experimental animals were used in control group and six experimental animals were used in IRI, PRC and hypothermia groups. In IRI group, right common femoral artery was ligated for four hours, and released for eight hours. In the PRC group, ligation of right common femoral artery was performed for two minutes and released for three minutes in two cycles. In the hypothermia group, right lower extremity was wrapped with ice. Subsequently, in the two groups, the right common femoral artery was ligated and released like IRI group. Then, laparotomy was performed and the stomach was taken. The antrum part is acquired for histopathology and biochemistry assay. Biochemical examination was performed using malondialdehyde MDA.
Results: The hypothesis test of histopathologic and biochemical differences in general was statistically significant. The degree of histopathological damage and MDA in IRI group was significantly higher than control group. The degree of histopathological damage in the PRC group was significantly lower than in the IRI group but biochemically, higher but not significant. The degree of histopathologic damage in the hypothermia group was lower, but not significant, compared to the IRI group but biochemically, significantly higher than the IRI group. When comparing PRC and hypothermia, histopathologically, PRC is significantly lower. Biochemically, the mean PRC is lower but not significant.
Conclusion: Ischemia preconditioning has a protective effect on the destructive impact of ischemia reperfusion injury in distant organs. Hypothermia also has a protective effect, but is not as good as ischemia preconditioning.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Infark ventrikel kanan yang terutama terjadi sebagai komplikasi infark enitas penaykit tersendiri dimana dapat terjadi gangguan hemodinamik mayor."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>