Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 109507 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nyityasmono Tri Nugroho
"Latar Belakang: Penyakit AAA sebagian besar berlokasi pada infrarenal. Mortalitas meningkat dengan ruptur. Faktor risiko utama ruptur adalah diameter aneurisma dan hipertensi. Analisis computational fluid dynamic (CFD) pada aliran darah memungkinkan untuk mengetahui predileksi area tempat terjadinya ruptur. Wall shear stress (WSS) dan tekanan dinding merupakan parameter yang bisa dianalisis melalui CFD untuk melihat potensi ruptur pada AAA. Tujuan: Mengetahui morfologi aneurisma AAA infrarenal beserta sebaran nilai WSS dan tekanan dinding aneurisma berdasarkan CFD untuk memprediksi ruptur aneurisma. Metode: Studi cross-sectional dengan analisis CT angiogram pasien AAA infrarenal di Divisi Vaskular dan Endovaskular-Departemen Bedah dan Departemen Radiologi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo pada bulan Juli–Desember 2022. Data CT angiografi diolah dengan Radiant Viewer untuk dijadikan model 3D. Dari keseluruhan sampel, dikelompokkan menjadi 5 tipe aneurisma. Kemudian masing-masing model dilakukan proses pembuatan solid vessel dengan Meshmixer. Proses selanjutnya adalah geometri, meshing, setup parameter CFD, dan solution untuk menghasilkan kontur WSS dan tekanan dinding pada berbagai kecepatan dan tekanan darah dengan program ANSYS 2022 R2 Academic Student. Hasil visual pada tiap tipe dianalisis dan dibandingkan. Uji statistik non-parametrik WSS dan tekanan dinding pada tiap tipe dan antar grup menggunakan SPSS 25.0 dengan nilai p dianggap bermakna jika p<0,05. Hasil: Dari 93 CT angiogram, setelah eksklusi didapatkan 40 sampel. Median usia 67 (47-76 th), dengan 90% adalah laki-laki. Sebanyak 25% sampel memiliki komponen sakular. Hasil analisis visual, terdapat korelasi area antara WSS terendah dengan tekanan dinding tertinggi. Perubahan kecepatan dan tekanan darah inisial juga mengubah nilai dan luas area pada kontur WSS dan tekanan dinding aorta, meskipun pusat perubahan kontur masih berada pada area yang relatif sama. Terdapat perbedaan bermakna pada WSS dan tekanan dinding (p=0,038 dan p<0,001). Kesimpulan: Area WSS terendah berkaitan dengan lokasi tekanan dinding tertinggi. Berubahnya kecepatan dan tekanan darah, mempengaruhi luas dan nilai dari WSS dan tekanan dinding.

Background: AAA disease is mostly located in infrarenal. Mortality increases with rupture. The main risk factors for rupture are diameter sac and hypertension. Computational fluid dynamic (CFD) analysis of blood flow allows for a detection where rupture area will occur. Wall shear stress (WSS) and wall pressure are parameters that can be analyzed through CFD to see the potential location for rupture in AAA. Objective: Knowing the morphology of infrarenal AAA along with the distribution of WSS values ​​and aneurysmal wall pressure based on CFD to predict aneurysm rupture. Method: Cross-sectional study with CT angiogram analysis of infrarenal AAA patients in the Vascular and Endovascular Division-Department of Surgery and the Department of Radiology RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo in July–December 2022. CT angiography data was processed with Radiant Viewer to be used as a 3D model. From the whole sample, grouped into 5 types of aneurysms. Then for each model the process of making a solid vessel is carried out with the Meshmixer. The next process is geometry, meshing, CFD parameter setup, and solutions to produce WSS and wall pressure contours at various speeds and blood pressures with the ANSYS 2022 R2 Academic Student program. Visual results for each type were analyzed and compared. WSS and wall pressure non-parametric statistical test were performed for each type and between groups using SPSS 25.0 with a p-value considered significant if p <0.05. Results: Of the 93 CT angiograms, after exclusion, 40 samples were obtained. Median age 67 (47-76 years), with 90% were men. As much as 25% of the sample had a saccular component. The results of the visual analysis showed that there was an area correlation between the lowest WSS and the highest wall pressure. Changes in velocity and initial blood pressure also changed the value and area of ​​the WSS and the aortic wall pressure contours, although the center of the contour change was still in the relatively same area. There was a significant difference in WSS and wall pressure (p=0.038 and p<0.001). Conclusion: The area of ​​lowest WSS corresponds to the location of the highest wall pressure. Changes in blood velocity and pressure affect the area and value of WSS and wall pressure."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Perwira Widianto
"Aneurisma aorta abdominal merupakan kasus yang relatif sering dijumpai, namun hingga saat ini belum ada analisis karakteristik serta evaluasi klinik yang memadai. Dilakukan penelitian dengan desain retrospektif analitik untuk mendapatkan karakteristik serta evaluasi klinik melalui data rekam medis. Dilakukan analisis pada faktor risiko pasien untuk melihat hubungan dengan tipe aneurisma, letak aneurisma, serta komplikasi pasca bedah. Selama Januari 2009 - Desember 2012 terdapat 32 pasien aneurisma aorta abdominal. didapatkan beberapa faktor risiko pasien 15 orang dengan diabetes, 22 orang dengan hipertensi, 24 orang dengan perokok serta 11 orang dengan riwayat aneurisma dalam keluarga. Didapatkan perbedaan signifikan pada kategori usia dengan tipe aneurisma (p=0,012). Demikian dengan jenis kelamin dengan tipe aneurisma (p=0,012). Pada uji statistik juga didapatkan kemaknaan fraksi ejeksi jantung (p=0,047) dan ukuran aneurisma (p= 0,009) terhadap tipe aneurisma. Juga terdapat kemaknaan faktor sistolik preoperatif terhadap komplikasi pasca bedah (p=0,025).

Abdominal aortic aneurysm (AAA) is relatively common in Indonesia, however until the present, there is no sufficient data on the characteristics and clinical evaluation of AAA. This study utilized an analytic retrospective design to obtain data on the characteristics and clinical evaluation of AAA. Analysis was done to evaluate the association between risk faktors and the type of aneurysm, location of the aneurysm, and postoperative complications.Between January 2009 and December 2012, 32 patients with abdominal aortic aneurysm treated in RS Dr. Cipto Mangunkusumo. Risk faktors were identified, 15 patients had diabetes, 22 patients had hypertension, 24 patients were smokers, and 11 patients had a family history. Significant association was found between age category (above and below 45 years) and the type of aneurysm (p=0,012). Significant association was also found between gender and the type of aneurysm (p=0,012). It also was done to evaluate the association between cardiac ejection fraction (p=0,047) and the aneurysm diameter (p= 0,009) as risk faktors for the type of aneurysm. Significant association was also found between postoperative complications and preoperatif systolic blood pressure (p=0,025).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T59165
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indra Raymond
"Latar belakang :Tesis ini membahas tentang analisis kasus kematian pada pasien Aneurisma aorta abdominal di RSUP Fatmawwati yang menjalani operasi elektif. Sampel dan Metode : Data pasien diambil periode 2013 sampai April 2018. Semua pasien yang meninggal dari operasi elektif aneurisma aorta abdominal akan di data. Penelitian ini ditampilkan dalam bentuk deskriptif, dengan data kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif didapatkan dengan melakukan wawancara dengan tim operasi, operator, tim anestesi dan paramedis instrumen. Data kuantitatif didapatkan dengan telusur rekam medis. Hasil : Terdapat 27 kasus, selama periode 2013 sampai April 2018. Hanya 15 kasus yang rekam medis lengkap, 5 kasus hidup, 2 kasus meninggal pada operasi emergency dan 8 kasu meninggal pada operasi elektif. Dari 8 kasus ini, 5 kasus disertai anemia dan trombositopenia yang menetap sampai pada tahap postoperasi, 2 kasus dengan gangguan ginjal dan 1 kasus dengan penyebab yang belum jelas. Pada 8 kasus kematian, lama operasi berkisar dari 4 jam 20 menit sampai 8 jam 10 menit. Jumlah perdarahan berkisar dari 750 cc sampai 7.000 cc. Kadar creatinin preoperasi, berkisar dari 1,0 sampai 4,3 mg/dL. Kadar creatinin postoperasi berubah dari 1,0 sampai 4,5 mg/dL. Kadar hemoglobin postoperasi berkisar 5,9 sampai 9,4 g/dL. Kadar trombosit, berkisar 45.000 sampai 108.000/uL. Rata rata jumlah perdarahan adalah 3.156 cc. Kesimpulan : Penelitian ini menyimpulkan bahwa kasus dengan hasil akhir kematian, sebagian besar disertai oleh jumlah perdarahan yang masif. Perbaikan yang dilakukan untuk resusitasi komponen darah tidak mencapai hasil yang optimal.

Background : The aim of this study is to confirm the factors that affect the mortality following open elective abdominal aortic aneurysm repair. Subject and Methode : This study was a retrospective study. Qualitative and quantitave data were collected from interviewing the team in charge and from the hospital database medical record. The data were collected for five years, from 2013 until April 2018. Data will be displayed in descriptive. Result : Twentyseven cases were hospitalized during the periode of 2016 until April 2018. Ten cases were not availlable to analyze, medical record were missing. Out of two case from these fivteen cases, was an emergency case. Five cases were alive when they discharge from the hospital. The other eight were elective cases and were able to analyze. Five cases, out of this eight, were accompanied by anemia and thrombositopenia, which last until they all move from the surgery room to the ICU. Two cases with renal disfunction, and one case with unclear cause of death. Duration of surgery in all this elective cases, ranged from 4 hours 20 minutes until 8 hours 10 minutes. Bood loss during surgery, estimated from 750 cc to 7.000 cc. Preoperative creatinin level, ranged from 1,0 to 4,3 mg/dL. Postoperative cretainin level, ranged from 1,0 to 4,5 mg/dL. Postoperative hemoglobin level, ranged from 5,9 to 9,4 g/dL. Postoperative platelet count , ranged from 45.000 to 108.000/uL. Mean blood loss during surgery was 3.156 cc. Conclusion : This study concluded that most of the death case was accompanied by massive bleeding. And all those attempt to improve by blood rescusitation, was not promptly worked."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
I Ketut Wisudana Yuana
"Latar belakang : Sejak munculnya EVAR pada 1990an, pengalaman dan teknologi mengenai stent garft semakin maju. Di RSCM pertama kali dilakukan pada tahun 2013. Menurut Ad Hoc Committee for Standarized Reporting Practices in Vascular Surgery of the Society for Vascular Surgery, keberhasilan teknis utama membutuhkan pengenalan sistem alat ini dengan baik. Sebelum melakukan tindakan EVAR, ahli bedah vaskular harus menilai severitas anatomi untuk disesuaikan dengan IFU dari Endurant Medtronics. Belum banyak penelitian yang menggambarkan hubungan antara kesesuaian teknis EVAR dengan IFU.
Metode : Penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan design cross-sectional pada pasien yang menjalani EVAR oleh ahli bedah vaskular di Indonesia pada tahun 2013-2019. Data ditabulasi untuk mengetahui adanya hubungan antara implantasi prosedur EVAR sesuai IFU dengan technical intraoperating complication (TIC) pada pasien AAA, dilakukan uji Chi-Square jika distribusi data normal atau Mann-Whitney test jikadistribusi data tidak normal. Pengolahan data pada penelitian ini menggunakan program SPSS 20.0 untuk membantu perhitungan statistik.
Hasil : Didapatkan 103 data aneurisma aorta abdominalis yang menjalani EVAR dari tahun 2013-2019. Terdapat 99 pasien (96.1%) pria dan 4 pasien (3.9%) wanita dan sebanyak 8 pasien (7.8%) berusia dibawah 60 tahun serta 95 pasien (92.2%) berusia diatas 60 tahun. Berdasarkan klasifikasi aortic neck severity score didapatkan 49 pasien (47.6%) memiliki klasifikasi ringan, 47 pasien (45.6%) dengan klasifikasi sedang, dan 7 pasien (6.8%) dengan klasifikasi berat. Berdasarkan klasifikasi total aortic anatomy severity score didapatkan 61 pasien (59.2%) dengan klasifikasi ringan, 42 pasien (40.8%) dengan klasifikasi sedang, dan 0 pasien (0%) dengan klasifikasi berat. Sebanyak 86 pasien (83.5%) prosedur EVAR dilakukan sesuai dengan IFU dan 17 pasien (16.5%) tidak sesuai dengan IFU. Dari data technical intraprocedure complication (TIC) didapatkan 19 pasien (18.4%) mengalami TIC dan 84 pasien (81.6%) tidak mengalami TIC. Dari penelitian ini didapatkan sebanyak 13 pasien (76.5%) yang tidak mengalami TIC dilakukan tindakan EVAR tidak sesuai IFU dan sesuai dengan IFU sebanyak 71 orang (82.6%). Sedangkan, sebanyak 4 pasien (23.5%) yang mengalami TIC dilakukan tidakan EVAR yang tidak sesuai IFU dan sebanyak 15 pasien (17,4%) yang mengalami TIC dilakukan tindakan EVAR sesuai dengan IFU. Pada data ini dihasilkan data OR (95% interval kepercayaan) sebesar 1.848 (0.385-8.864) dengan nilai p=0.556
Kesimpulan : Dari penelitian ini didapatkan hasil diameter leher proksimal, aortic neck severity score dan klasifikasi total aortic anatomyc severity secara independen memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian TIC pada pasien AAA di Indonesia tahun 2013-2019 dengan nilai p<0.05 dan secara umum skoring severitas anatomi memiliki pengaruh terhadap kejadian TIC setelah tindakan EVAR dan variasi anatomi menjadi pertimbangan untuk dilakukannya tindakan EVAR. Sedangkan faktor lainnya seperti panjang leher proksimal, angulasi aortic, kalsifikasi, trombus, usia, jenis kelamin, dan IFU secara independen tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian TIC.

Background. Since EVAR in the 1990s, the experience and technology of stent-graft has advanced. At the RSCM, it was first carried out in 2013. According to the Ad Hoc Committee for Standardized Reporting Practices in Vascular Surgery of the Society for Vascular Surgery, major technical success requires a good introduction to this system of tools. Before performing an EVAR procedure, vascular surgeons must assess the severity of the anatomy to match the IFU of Endurant Medtronics. Not many studies have described the relationship between EVAR's technical suitability and IFU.
Method. This study is analytic with cross-sectional design in patients undergoing EVAR by vascular surgeons in Indonesia in 2013-2019. Data were tabulated to determine the relationship between implantation of the EVAR procedure according to IFU and technical intraoperative complication (TIC) in AAA patients, Chi-square test was performed if the data distribution was normal or the Mann -Whitney test if the data distribution was abnormal. Data processing in this study uses the SPSS 20.0 program to help statistical calculations.
Results. 103 data obtained from abdominal aortic aneurysms undergoing EVAR from 2013-2019. There were 99 patients (96.1%) male and 4 patients (3.9%) female and as many as 8 patients (7.8%) aged under 60 years and 95 patients (92.2%) aged over 60 years. Based on the classification of aortic neck severity score, 49 patients (47.6%) had a mild classification, 47 patients (45.6%) with a moderate classification, and 7 patients (6.8%) with a severe classification. Based on the total aortic anatomy severity score classification, there were 61 patients (59.2%) with mild classification, 42 patients (40.8%) with moderate classification, and 0 patients (0%) with severe classification. A total of 86 patients (83.5%) EVAR procedures were performed following IFU and 17 patients (16.5%) did not comply with IFU. From technical intraoperative complication (TIC) data, 19 patients (18.4%) experienced TIC and 84 patients (81.6%) did not experience TIC. From this study, there were 13 patients (76.5%) who did not experience TIC. EVAR measures were not performed according to IFU and according to IFU, there were 71 people (82.6%). Meanwhile, as many as 4 patients (23.5%) who experienced TIC were performed EVAR actions that were not IFU compliant and as many as 15 patients (17.4%) who experienced TIC were performed EVAR measures according to IFU. In this data generated OR data (95% confidence interval) of 1,848 (0.385-8,864) with a value of p = 0.556
Conclusion. From this study the results obtained proximal neck diameter, aortic neck severity score and total classification of aortic anatomic severity independently have a significant relationship with the incidence of TIC in AAA patients in Indonesia in 2013-2019 with a p-value <0.05 and in general the scoring of anatomical severity has an influence the occurrence of TIC after the EVAR procedure and anatomic variations are considered for the EVAR procedure. While other factors such as proximal neck length, aortic angulation, calcification, thrombus, age, sex, and IFU independently did not have a significant relationship with the incidence of TIC."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
S. J. K. Juniarti Hatta
"ABSTRAK
Tujuan penelitian ini untuk menilai, apakah tolok ukur prabedah yang selama ini dipergunakan untuk memperkirakan keberhasilan tindakan bedah ganti katup aorta di RSJHK sudah cukup memadai. Penelitian bersifat studi retrospektif terhadap semua penderita Regurgitasi Aorta yang dilakukan penggantian katup aorta di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita Jakarta pada periode Februari 1986 s.d. 31 Desember 1989.
Terdapat 31 penderita yang memenuhi kriteria penelitian, terdiri atas 9 penderita wanita dan 22 pria,umur berkisar antara 10-60 tahun, rata rata 33,77±14,58 tahun.
Empat belas variabel prabedah dan tiga variabel intrabedah .diteliti untuk melihat pengaruhnya terhadap kematian bedah dan perbaikan kelas fungsionalnya (NYHA) pascabedah. Dari hasil tindakan bedah penderita dikelompokkan dalam dua kelompok yaitu kelompok A (hasil kurang baik) dan kelompok B (hasil baik). Kelompok A penderita yang mengalami kematian bedah atau penderita dengan kelas fungsional menetap atau bahkan memburuk (n : B). Kelompok B penderita yang hidup dan kelas fungsionalnya meningkat satu tingkat atau lebih dinilai secara kriteria NYHP (n : 23).
Angka kematian bedah 16.12%. Dari 14 variabel prabedah tidak didapatkan perbedaan yang bermakna dari kelompok A dan kelompok B, dari 3 variabel intrabedah terdapat satu variabel yang berbeda bermakna yaitu lama klem aorta.
Kelompok A dengan rata rata 185±221,56 menit dan kelompok B 80,69±22,01 menit ( p:0.03 ).
Sebagai kesimpulan penelitian ini belum dapat mencari variabel prabedah mana yang berpengaruh terhadap kematian bedah ,pada tindakan bedah ganti katup aorta pada penderita Regurgitasi Aorta. Dengan tolok ukur yang lama tampaknya seleksi penderita prabedah sudah cukup ketat oleh karena nilai dari rata-rata tolok ukur dibawah nilai risiko tinggi yang dianjurkan peneliti sebelumnya.
Suatu penelitian prospektif dan jangka panjang perlu dilakukan agar dapat dicari variabel prognostiknya dan angka ketahanan hidup dari penderita Regurgitasi Aorta pascabedah ganti katup aorta di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita Jakarta."
1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Il recente sviluppo tecnologico degli scanner TC e dei sistemi di visualizzazione delle immagini ha consentito un imponente ingresso della tecnica di angio-TC nella pratica clinico-diagnostica, conferendole un ruolo di primo piano sia nello studio in elezione che in situazioni di urgenza/emergenza, grazie ad immagini di qualità ottimale e di facile interpretazione. Il presente volume intende offrire un’introduzione alle tecniche di imaging vascolare con la massima semplicità e praticità possibili, cercando di riportare in maniera esaustiva le basi della tecnica d’esame, le principali patologie riscontrabili nella pratica clinica e i quadri normali e patologici da riconoscere nello studio post-operatorio. "
Milan: Springer, 2012
e20426730
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Moch Arrol Iswahyudi
"ABSTRAK
Latar belakang. Diseksi aorta Stanford A adalah penyakit dengan tingkat mortalitas yang tinggi. Penelitian ini bertujuan mencari ketahanan hidup satu tahun pasien diseksi aorta Stanford A dengan lesi hingga arkus aorta yang dibedah serta untuk mengetahui karakteristik pasien, tindakan dan faktor- faktor yang berhubungan.
Metode. Studi kohort retrospektif dengan data diambil melalui rekam medis pada pasien diseksi aorta Stanford A yang dilakukan operasi dari periode 1 Januari 2014 sampai dengan 31 Oktober 2017. Tingkat ketahanan hidup satu tahun dinilai menggunakan metode Kaplan Meier dan faktor faktor yang berhubungan dengan ketahanan hidup akan dianalisis dengan regresi Cox

ABSTRACT
Background: Stanford type A Aortic Dissection is a disease with high mortality rate. This study not only to find a one-year survival of patients with Stanford type A Aortic Dissection with lesion to the aortic arch that is dissected but also to determine patient characteristics and its related factors.
Methods: A retrospective cohort study with datas taken from medical records in Stanford type A Aortic Dissection patients who were operated from 1st January 2014 to 31st October 2017. One-year survival rate was assessed using the Kaplan-Meier method and its survival-related factors will be analyzed by Cox regression"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sulaiman Yusuf
"Recurrent abdominal pain is one of the most common symptoms found in children. Description of abdominal pain is important in determining the etiologic cause. Organic pain must be ruled out first before suspecting psychogenic cause of pain. However; Children and infant are likely having difficulties in describing abdominal pain. Referred pain may lead to misdiagnosis. Alarm symptoms of abdominal pain are important indices and must be recognized. Careful and complete anamnesis and physical examination play critical role in management approach of recurrent abdominal pain in children and determine whether medical therapy only or combination with surgical intervention is considered necessary."
Jakarta: The Indonesian Journal of Gastroenterology Hepatology and Digestive Endoscopy, 2006
IJGH-7-2-Agt2006-42
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Yudha Lantang
"Latar Belakang: Bedah abdomen merupakan salah satu tindakan yang memiliki persentase mortalitas dan morbiditas yang tinggi. Pemberian cairan sebagai kompensasi hipotensi dan kehilangan darah yang menyebabkan gangguan hemodinamik pada pasien bedah mayor abdomen menjadi faktor resiko utama dalam terjadinya morbiditas dan mortalitas. Hipotensi dan gangguan hemodinamik dapat dipertahankan dengan pemberian vasopressor. Norepinefrin merupakan vasopressor lini pertama yang diberikan untuk mempertahankan hemodinamik. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan sistem random sampling, 196 subjek dipilih berdasarkan kriteria inklusi dan dilakukan randomisasi untuk dikategorikan menjadi dua kelompok yaitu kelompok terapi standar dan kelompok norepinefrin. Hasil: Hasil penelitian dengan Chi-square menunjukkan bahwa durasi hipotensi dan laktat serta profil hemodinamik (index contractility, mixed vein, stroke volume variation) tidak memiliki perbedaan yang bermakna antara kelompok norepinefrin dan kelompok terapi standar (OR 1.00;95% CI = 0.062 - 16.217; OR 1.18;95% CI = 0.670-2.095; OR 1.09;95% CI = 0.611 – 1.952; OR 0.94;95% CI = 0.472- 1.872; OR 1.54;95% CI = 0.863-2.746). Kesimpulan: Pada penelitian ini didapatkan bahwa dengan pemberian norepinefrin dini pada awal fase hipotensi memiliki efek yang sama baiknya dengan terapi cairan, sehingga dapat menjadi alternatif dalam mempertahankan hemodinamik perioperatif.

Introduction: Major abdominal surgery is one of the actions that have a percentage of high mortality and morbidity. Giving fluid as compensation for hypotension and loss of blood causes disturbance in hemodynamics in patients with major abdominal surgery factor risk main in happening morbidity and mortality. Hypotension and disorders in hemodynamics could be maintained with the administration of vasopressors. Norepinephrine is a first-line vasopressor for maintaining hemodynamics. Method: In this experimental study with systematic random sampling, 196 subjects were chosen based on criteria inclusion and randomization for categorized into two groups that is group therapy standard and group norepinephrine. Result: This experiment analyzed with Chi-square shows that duration hypotension and lactate as well as profile hemodynamics (index contractility, mixed vein, stroke volume variation) do have meaningful differences _ Among group norepinephrine and group therapy standard OR 1.00;95% CI = 0.062 - 16.217; OR 1.18;95% CI = 0.670-2.095; OR 1.09;95% CI = 0.611 – 1.952; OR 0.94;95% CI = 0.472- 1.872; OR 1.54;95% CI = 0.863-2.746). Conclusion: This experiment obtained that given norepinephrine at the beginning phase of hypotension has the same effect as fluid therapy, so that could be an alternative in maintaining hemodynamics perioperativ"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agnes Minarni
"Latar Belakang: Sebagian besar pasien pasca pembedahan abdominal yang masuk ICU menggunakan alat bantu berupa ventilasi mekanik. Kecemasan akibat penggunaan ventilasi mekanik dapat meningkatkan respon stres pasca pembedahan yang bila dibiarkan dapat menghasilkan hal-hal yang tidak diinginkan. Sedasi dibutuhkan untuk meniminalkan respon stres yang terjadi akibat penggunaan ventilasi mekanik. Deksmedetomidin dan midazolam merupakan agen sedasi yang banyak digunakan di ICU.
Metode: Penelitian uji klinis acak tersamar ganda ini mengelompokkan 22 pasien dewasa pascabedah abdominal yang mendapat layanan sedasi di ruang ICU RSCM menjadi 2 kelompok. Grup deksmedetomidin menerima 0,5 μg/kgbb intravena. Grup midazolam menerima 0,05 mg/kgbb intravena. Pemberian ke dua obat tanpa loading dose dan mulai diberikan setelah pasien tiba di ICU pada skala RASS nol (0). Kriteria inklusi adalah pasien dengan rentang usia 18-65 tahun, ASA I sampai III yang membutuhkan ventilasi mekanik pascabedah abdominal.
Hasil: Deksmedetomidin dan midazolam tidak mampu menurunkan respon stres karena hanya satu dari tiga parameter yang signifikan secara statistik. Penurunan gula darah terjadi pada grup midzolam setelah 6 jam pasca pembedahan abdominal (p<0,05), sedangkan untuk kadar IL-6 dan kortisol tidak ada perbedaan yang signifikan (p>0,05). Skala RAAS pada grup deksmedetomidin menunjukkan perbedaan yang signifikan dibandingkan grup midazolam (p<0,05) sedangkan FAS tidak ada perbedaan yang signifikan (p>0.05).
Simpulan: Sebagai agen sedasi, deksmedetomidin dan midazolam tidak mampu menurunkan respon stres pada pasien yang menggunakan ventilasi mekanik pasca bedah abdominal. Tingkat sedasi pada grup deksmedetomidin lebih baik daripada grup midazolam, tetapi deksmedetomidin dan midazolam sama-sama mampu meminimalkan kecemasan.

Background: Post-operative mechanical ventilation were often needed in patients after abdominal surgeries. Sedation was often given to minimize anxiety and stress response to mechanical ventilation. Both dexmedetomidine and midazolam are commonly used as sedatives in ICU. This study was aimed to compare the ability of dexmedetomidine and midazolam in reducing anxiety and stress response.
Methods: Twenty two patients aged 18-65 years, ASA physical status I to III, underwent abdominal surgery and requiring postoperative ventilation were included. Subjects were randomly divided into equal groups. Subjects in group D received dexmedetomidine 0.5 µg/kg iv, while in group M received midazolam 0,05 mg/kg iv. Vital signs, Face Anxiety Scale, RASS score, cortisol, blood glucose and IL-6 level were taken at baseline when subjects were admitted to the ICU and followed up until 6 hours.
Results: Both of dexmedetomidine and midazolam can not decreased stress response, in group M only decreased blood glucose level after 6 hours post-operative achieved statistical significance (p<0.05). Only RASS scale was significantly differed between group D and group M(p<0.05), while there was no statistically significant difference in other measured parameters.
Conclusions: Both dexmedetomidine and midazolam as sedative can not decreased stress response on abdominal surgery patients who required mechanical ventilation. Sedation level of dexmedetomidine was better than midazolam, but both of them can minimize anxiety.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>