Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 152583 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Putu Martha Gerynda Sukma
"Latar Belakang: Photoaging ditandai dengan perubahan struktur dan fungsi kulit yang terutama disebabkan oleh pajanan sinar ultraviolet (UV). Individu yang tinggal di daerah yang sering terpajan sinar matahari lebih rentan mengalami photoaging, contohnya daerah pesisir. Hingga saat ini, belum ada baku emas yang ditetapkan untuk mengidentifikasi photoaging. Skala penilaian subjektif yang paling banyak digunakan adalah skala Glogau. Dermoscopy Photoaging Scale (DPAS) adalah skala pemeriksaan objektif dan noninvasif untuk mendiagnosis photoaging. Tujuan: Menganalisis korelasi profil photoaging yang dinilai berdasarkan skala Glogau dan DPAS pada populasi daerah pesisir. Metode: Penelitian deskriptif analitik dengan desain potong lintang ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Cilincing, DKI Jakarta pada bulan Oktober 2022. Kriteria inklusi adalah individu yang tinggal di daerah pesisir, berusia ≥ 20 tahun, memiliki kulit tipe Fitzpatrick III – V, memiliki pekerjaan berisiko tinggi photoaging dengan rerata pajanan sinar matahari ≥ 3 jam per hari. Subjek dengan penyakit kulit lain, menggunakan obat yang memengaruhi penuaan kulit dan diskromia dalam 1 bulan terakhir, dan menjalani prosedur estetik medis dalam 6 bulan terakhir dieksklusi. Anamnesis dan pemeriksaan fisis dilakukan untuk menilai profil photoaging berdasarkan skala Glogau. Pemeriksaan dermoskopi dilakukan dengan acuan kriteria DPAS. Uji korelasi Spearman digunakan untuk menilai korelasi antara skala Glogau dan DPAS. Nilai p < 0,05 dianggap signifikan secara statistik. Hasil: Sejumlah 30 individu dengan rerata usia 41,5 ± 11,45 tahun direkrut menjadi subjek penelitian. Median skor Glogau adalah 3 (2 – 4). Rerata DPAS adalah 28,5 ± 5,59. Pada seluruh SP didapatkan tampilan klinis lentigo, hypo-hyperpigmented macule, telangiectasis, deep wrinkles, dan superficial wrinkles. Terdapat korelasi positif sedang bermakna antara skala Glogau dan DPAS (r = 0,536; p = 0,002). Terdapat korelasi positif sedang bermakna antara skala Glogau dan DPAS untuk komponen kerutan (r = 0,512; p = 0,004) dan pigmentasi (r = 0,486; p = 0,007). Kesimpulan: Semakin tinggi skor DPAS, semakin tinggi skala Glogau. Korelasi positif sedang bermakna antara skor Glogau dan DPAS ditemukan baik pada komponen kerutan maupun pigmentasi. DPAS dapat menjadi alat bantu diagnosis yang reliabel, mudah, praktis, dan cepat untuk mengidentifikasi proses photoaging.

Background: Photoaging is characterized by the changes of structures and functions of the skin, which is predominantly caused by ultraviolet (UV) radiation. Individuals who live in the area with high sun exposure are more susceptible to photoaging, for example those living in coastal area. To date, there has been no gold standard for the identification of photoaging. The most commonly used subjective assessment is Glogau scale. Dermoscopy Photoaging Scale (DPAS) is an objective and non-invasive diagnostic tool for photoaging identification. Objective: To analyze the correlation of photoaging profiles based on Glogau scale and DPAS in a coastal population. Methods: This analytic descriptive study with cross-sectional design was conducted at work area of Cilincing Municipal Health Center, DKI Jakarta in October 2022. The inclusion criteria were individuals living in coastal area, aged ≥ 20 years old, having Fitzpatrick skin type III – V, having an occupation with high risk of photoaging and mean duration of sun exposure of ≥ 3 hours per day. Subjects with other skin disorders, using drugs affecting skin aging and dyschromia in the past one month, and undergoing medical esthetic procedure in the last six months were excluded. History taking and physical examination were performed to assess the photoaging scale based on Glogau scale. Dermoscopic examination was performed according to DPAS criteria. Spearman correlation test was used to assess the correlation between Glogau scale and DPAS with p-value < 0.05 considered statistically significant. Results: A total of 30 individuals with mean age of 41.5 ± 11.45 years old were recruited. Median Glogau scale was 3 (2 – 4). Mean DPAS score was 28.5 ± 5.59. Lentigo, hypo-hyperpigmented macule, telangiectasis, deep wrinkles, and superficial wrinkles were identified in all subjects. There was moderate positive correlation between Glogau scale and DPAS (r = 0.536; p = 0.002). There were moderate positive correlations between Glogau scale and DPAS for wrinkle (r = 0.512; p = 0.004) and pigmentation (r = 0.486; p = 0.007) components. Conclusion: The higher DPAS score, the higher Glogau scale. Moderate positive correlations were significant between Glogau scale and DPAS score for both wrinkle and pigmentation components. DPAS can be a reliable, easy, practical, and fast diagnostic tool for photoaging identification."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Natalia Rania Sutanto
"Latar Belakang: Photoaging dapat mengakibatkan terjadinya penuaan kulit dini, kerutan kasar, hilangnya elastisitas dan kelenturan, tekstur kulit menjadi tidak rata, keratosis, serta perubahan pigmentasi kulit. Individu yang secara geografis tinggal di daerah sering terpajan sinar matahari lebih rentan mengalami photoaging, contohnya di area pesisir. Pengukuran photoaging menggunakan Skala Glogau, sedangkan pengukuran pajanan sinar matahari menggunakan sun index.
Tujuan: Menganalisis profil photoaging berdasarkan skala Glogau dan korelasinya dengan riwayat pajanan matahari menggunakan sun index pada masyarakat pesisir.
Metode: Merupakan studi deskriptif analitik dengan desain potong-lintang. Populasi target penelitian adalah orang berusia ≥20 tahun dengan kulit tipe Fitzpatrick III, IV, atau V, serta berisiko tinggi photoaging dengan rerata pajanan sinar matahari ≥ 3 jam perhari. Subjek penelitian (SP) diambil dengan metode consecutive sampling berdasarkan kriteria penerimaan dan penolakan. Analisis statistik dilakukan untuk membuktikan hipotesis penelitian. Nilai p<0,05 dianggap signifikan secara statistik.
Hasil: Diantara 55 SP, 3 orang termasuk dalam Skala Glogau II, 42 orang dalam Skala Glogau III, dan 10 orang dalam Skala Glogau IV. Mayoritas memiliki kerutan yang tetap ada saat wajah tidak bergerak, paling banyak pada regio dahi 74,5%, nasolabial 70,9%, dan sudut mata 69,1%. Perubahan pigmentasi paling dominan ditemukan adaalah diskromnia (65,5%), serta tidak ditemukan keratosis aktinik pada mayoritas SP (98,2%). Diperoleh nilai median sun index sebesar 10,91, dan median BSA yang terpajan matahari sebesar 20,50%. Rerata total durasi pajanan matahari adalah 53,63 jam/minggu. Didapatkan korelasi lemah namun tidak bermakna secara statistik antara sun index dengan keparahan derajat photoaging berdasarkan Skala Glogau (r = 0,205; p = 0,134). Dari data tambahan didapatkan korelasi positif lemah yang bermakna antara lamanya pajanan matahari per minggu dan keparahan derajat photoaging berdasarkan Skala Glogau (r = 0,281; p = 0,038), serta didapatkan korelasi positif sedang yang bermakna antara usia dan derajat keparahan photoaging berdasarkan Skala Glogau (r = 0,631; p < 0,001). Didapatkan keratosis seboroik pada hampir seluruh SP, terutama pada kelompok Glogau tipe III (77,3%). Lebih banyak ditemukan SP yang tidak merokok pada Glogau II (100%) dan III (57,1%), sedangkan Glogau IV lebih banyak pada pasien merokok (80%). Didapatkan pula Glogau II dan III lebih banyak pada perempuan (100% dan 59,5%), sedangkan Glogau IV lebih banyak pada laki-laki (80%).
Kesimpulan: Berdasarkan klasifikasi photoaging menurut Glogau, 3 orang termasuk dalam Skala Glogau II, 42 dalam Skala Glogau III, dan 10 dalam Skala Glogau IV. Tidak terdapat korelasi yang bermakna antara sun index dengan keparahan derajat photoaging berdasarkan Skala Glogau.

Background: Photoaging can cause premature skin aging, coarse wrinkles, loss of elasticity, uneven skin texture, keratosis, and skin pigmentation changes. Individuals who geographically live in areas frequently exposed to sunlight are more susceptible to photoaging, for example in coastal areas. Photoaging was classified using Glogau scale and sun exposure was measured by sun index.
Aim: To analyze the photoaging profile based on Glogau Scale and its correlation with the history of sun exposure using sun index in coastal population.
Method: This is an analytic descriptive study witha cross-sectional design. The target population for this study were people aged ≥20 years with skin types Fitzpatrick III, IV, or V, and at high risk of photoaging with an average sun exposure of ≥ 3 hours per day. The research subjects were taken by consecutive sampling method based on acceptance and rejection criteria. Appropriate statistical analysis was performed to prove the research hypothesis. P value of <0.05 is considered statistically significant.
Results: Among 55 subjects, 3 people are included in the Glogau II cathegory, 42 people in the Glogau III, and 10 people in the Glogau IV. Majority have wrinkles at rest, the most wrinkles were found in forehead region 74.5%, nasolabial 70.9%, and crow’s feet 69.1%. The most dominant pigmentation changes were dyschromia (65.5%), and no actinic keratosis was found in the majority subjects (98.2%). The median sun index value was 10.91, and the BSA median exposed to the sun was 20.50%. The average total duration of sun exposure was 53.63 hours/week. In additional data, there a was weak correlation but not statically significant between sun index and the severity of photoaging based on the Glogau Scale (r = 0.205; p = 0.134). A significant weak correlation was obtained between sun exposure per week and the severity of photoaging based on the Glogau Scale (r = 0.281; p = 0.038), and a significant moderate correlation was obtained between age and the severity of photoaging based on the Glogau Scale (r = 0.631; p < 0.001). Seborrheic keratosis was found in almost all subjects, especially in the Glogau type III group (77.3%). There were more non-smokers in Glogau type II (100%) and III (57,1%), while type IV was more common in smoking patients (80%). It was also found that type II and III Glogau were more common in women (100% and 59,5%), while type IV Glogau were more common in men (80%).
Conclusion: Based on Glogau photoaging scale, 3 people are included in the Glogau II category, 42 people in the Glogau III, and 10 people in the Glogau IV. There was no significant correlation between sun index and the severity of photoaging based on the Glogau Scale.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Diah Pitaloka
"Proses penuaan kulit secara ekstrinsik dipengaruhi oleh radiasi UV, merokok, gizi buruk, polusi udara, dan stres fisik. Dermoscopic photoaging scale (DPAS) adalah metode non-invasif untuk menilai penuaan foto. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi prevalensi penuaan kulit akibat paparan sinar UV pada personel militer pria berusia 30-42 tahun, dengan membandingkan kelompok infanteri dan administrasi yakni kelompok kesehatan militer (CKM) menggunakan DPAS. Selain itu, hubungan antara prevalensi penuaan, konsumsi alkohol, dan kebiasaan merokok akan diteliti. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitik dengan desain potong lintang. Kriteria penuaan foto dinilai berdasarkan DPAS. Hasil dari penelitian ini yaitu sebanyak 40 subjek penelitian, semuanya memiliki skor DPAS total > 1, dengan kriteria yang paling sering ditemukan adalah ephelides/lentigines, yellow papules, dan superficial wrinkles. Tidak ada hubungan yang signifikan secara statistik antara kebiasaan merokok dan skor DPAS di setiap wilayah wajah. Setelah melakukan penelitian, peneliti memiliki kesimpulan bahwa berdasarkan metode DPAS, tidak ada perbedaan prevalensi penuaan foto di kedua kelompok. Namun, skor total DPAS (StDPAS) infanteri lebih tinggi daripada StDPAS kelompok CKM, dengan perbedaan signifikan pada skor DPAS di wilayah pipi kanan dan pipi kiri dibandingkan dengan wilayah wajah lainnya.

The extrinsic process of skin aging influenced by UV radiation, smoking, poor nutrition, air pollution, and physical stress. Dermoscopic photoaging scale (DPAS) is a non-invasive method to assess photoaging. This study aims to evaluate the prevalence of UV-induced skin aging in male military personnel aged 30-42, comparing infantry and administration groups in this research represented by military medical service group using DPAS. Additionally, the relationship between aging prevalence, alcohol consumption, and smoking habits will be examined. This is a descriptive analytic research with cross-sectional design. Photoaging criteria was assessed based on DPAS. The results of this research are a total of 40 research subjects, all had a total DPAS score > 1, with the most frequently found criteria being ephelides/lentigines, yellow papules, and superficial wrinkles. There was no statistically significant association between smoking habits and DPAS scores in each facial region. After doing this research, the writer concludes that based on DPAS method, there is no prevalence difference of photoaging in both groups. But the infantry's DPAS total score (TsDPAS) was greater than military medical service’s TsDPAS, with a significant difference in the DPAS score in the right and left cheek regions compared to other facial regions."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Matheus Nathanael
"Pendahuluan. Proses penuaan merupakan kondisi gangguan fungsi akibat penurunan integritas fisiologis yang dapat menjadi faktor risiko penyakit utama lain. Proses penuaan diakibatkan radikal bebas dan kondisi stres oksidatif sehingga dapat mempercepat proses penuaan. Kondisi ini menyebabkan peningkatan mediator proinflamasi, penurunan kognisi dan kekuatan otot. Berdasarkan studi, Acalypha indica Linn (AI) menunjukkan efek antioksidan dan antiinflamasi. Ekstrak tanaman herbal AI juga diketahui dapat menekan sitokin proinflamasi, meningkatkan kognisi dan kekuatan otot. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh AI dalam proses penuaan melalui perlakuan terhadap tikus Sprague-Dawley (SD) tua.
Metode. Tikus SD terdiri dari Tikus SD tua (n=21) dan Tikus SD muda sebagai pembanding (n=6). Tikus SD tua dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok perlakuan (ekstrak etanol AI 250 mg/kg berat badan), kontrol negatif, dan kontrol positif (vitamin E 6 IU). Kognisi tikus SD diuji menggunakan metode Y-maze sebelum dan selama perlakuan melalui uji setiap minggu. Perlakuan diberikan tikus selama 28 hari. Pada hari ke-29, kekuatan otot tikus dilakukan dengan metode grip test, setelah itu tikus diterminasi dan dilakukan pengukuran kadar interleukin-6 darah menggunakan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA).
Hasil. Ditemukan penurunan kadar IL-6 darah (p=0,02) dan peningkatan kekuatan otot (p=0,032) yang signifikan pada kelompok perlakuan (AI) dibandingkan dengan kontrol negatif. Namun, tidak memperlihatkan perbedaan yang signifikan pada kognisi tikus (p>0,05).
Kesimpulan. Ekstrak etanol AI dapat menurunkan kadar IL-6 darah dan meningkatkan kekuatan otot tikus SD tua, tetapi tidak memberikan efek yang signifikan terhadap kognisi tikus SD tua. Dibutuhkan penelitian lanjutan untuk melihat lebih jauh dan mendalam mengenai potensi AI sebagai agen antipenuaan.

Objectives. Aging is a condition of impaired function due to the decrease of physiological" "integrity that can be a risk factor for another disease. Aging process is caused by free radicals and oxidative stress that can increase proinflammatory mediators, such as interleukin-6. Acalypha indica Linn (AI), is widely used as a herbal medicine. Studies have shown that AI have antioxidant and antiinflammatory effects and known to suppress proinflammatory cytokines, improve cognition and muscle strength. We aimed to study the effects of AI in the aging process through treatment on aged Sprague-Dawley (SD) rats.
Methods. Old (n=21) and young SD rats as a comparison group (n=6). Aged rats were divided into treatment group (AI ethanolic extract 250mg/kg bodyweight), negative control, and positive control (6IU vitamin E). SD rats cognition was tested (Y-maze method) before and during treatment every week. Treatment was given for 28 days. On the 29th day, muscle strength was tested (grip test). SD rats were terminated and measured for its blood interleukin-6 levels using enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA).
Results. Decrease in blood IL-6 levels (p=0.02) and an increase in muscle strength (p=0.032) significantly was found in the treatment group (AI) compared to negative control. Statistics did not show significant differences in rats cognition (p>0.05).
Conclusions. AI ethanolic extracts can reduce blood IL-6 levels and increase muscle strength on aged SD rats, but did not have a significant effect on its cognition. More research is needed to look further about the potential of AI as an antiaging agent.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rowlan, Donald T.
"It provides a foundation for understanding and reflecting on key demographic and social trends, together with related theoretical and policy frameworks that are important in explaining changes and designing informed responses. With particular reference to countries that have the oldest or largest aged populations, the book presents a synthesis of research on population aging, new analyses of trends and a discussion of the major social policy strategies. Key topics include the new demography of aging, population health, family change, the third age, international policy concepts and strategies, and comparisons of countries."
New York: Springer, 2012
e20400607
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Akmal Primadian Suprapto
"Pada paru yang menua, terjadi perubahan pada komponen penyusun jaringan alveolus dan jaringan interstitial paru. Perubahan morfologi ini berpengaruh terhadap proses pertukaran gas yang terjadi di alveolus serta penurunan fungsi faal paru. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara ketebalan septum dan rongga udara alveolus pada paru yang mengalami penuaan dengan menggunakan model hewan coba tikus Sprague-Dawley. Metode penelitian yang digunakan adalah cross sectionalanalitic observational. Pengukuran ketebalan septum dan rongga udara alveolus dilakukan pada jaringan paru tikus Sprague-dawley yang dibagi menjadi beberapa kelompok yaitu: kelompok usia 2 hari, 16 hari, 3-4 bulan, dan lebih dari 12 bulan. Hasil pengukuran rata-rata ketebalan septum interalveolar sesuai dengan urutan kelompok usia adalah 0,436 ± 0,059 μm , 0,399 ± 0,022 μm, 0,474 ± 0,043 μm, 0,512 ± 0,020 μm. Sedangkan rata-rata diameter rongga udara alveolus secara berurutan adalah 0,467 ± 0,038 μm, 0,410 ± 0,052 μm, 0,370 ± 0,046 μm, 0,378 ± 0,028 μm. Berdasarkan uji korelasi Pearson, didapatkan hasil bahwa ketebalan septum alveolus mempunyai berkorelasi sedang dengan rongga udara alveolus (r = -0,528). Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada penuaan tikus Sprague-Dawley, ketebalan septum interalveolar akan bertambah dan rongga udara alveolus akan berkurang.

Aging process on the lung gives a result in morphological changes of alveolus and its interstitial components. These changes alter the respiratory function of the lung as marked as increasing lung residual volume and decreasing lung vital capacity. The aim of this research is to study the morphological changes of alveolus including septum thickness and alveolar air space changes in aging lung. We used cross sectional-analitic observational study to conduct this research. The microscopic observation has been done on Sprague-Dawley rats’ lung preparation from different age group of rats (2 days, 16 days, 3-4 months, and more than 12 months). The means of interalveolar septum measurement are 0.436 ± 0.059 μm, 0.399 ± 0.022 μm, 0.474 ± 0.043 μm, and 0.512 ± 0.020 μm respectively. The means of alveolar air space measurement are 0.467 ± 0.038 μm, 0.410 ± 0.052 μm, 0.370 ± 0.046 μm, and 0.378 ± 0.028 μm respectively. The Pearson correlation study show that there is a moderate correlation between septum thickness and alveolar air space (r = -0.528). As the age of the rats increased, the alveolar septum thickness increased and alveolar air space reduced.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Leonardi Armando Goenawan
"Kemajuan di bidang kesehatan memberikan dampak yang besar dalam status kesehatan manusia, Hal ini dapat terlihat dengan semakin rnenurunnya angka morbiditas dan rendahnya angka mortalitas, serta usia harapan hidup yang semakin meningkat. Indonesia sebagai negara berpenduduk terbesar ke empat di dunia memiliki jumlah penduduk 207,5 juta jiwa pada tahun 2000. Dengan tingkat pertumbuhan 1,35% per tahun, jumlah penduduk akan menjadi 400 juta jiwa di tahun 2050. Untuk itu, usaha menekan laju pertumbuhan harus terus dilakukan dan memberikan prioritas pada pembinaan potensi dan kualitas penduduk.
Di tahun 1991, usia harapan hidup penduduk Indonesia adalah 64,4 tahun. Pada tahun 2000 diproyeksikan umur harapan hidup telah mencapai 67 tahun. Diperkirakan, pada tahun 2020 usia harapan hidup Iansia Indonesia mencapai 71.7 tahun. Dari segi jumlah, lansia Indonesia juga menempati urutan ke empat terbesar di dunia setelah RRC, India dan Amerika Serikat, yaitu 15.4 juta jiwa, atau sekitar 7,4% dari jumlah penduduk Indonesia, menurut data terakhir yang dikemukakan Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Terjadi peningkatan yang cukup dramatis bila dibandingkan dengan tahun 1970-an yang hanya 4,5% dari jumlah penduduk, atau 6.6% di tahun 1990. Karenanya diperkirakan, pada tahun 2020 jumlah lansia di Indonesia akan mencapai 11% dari jumlah penduduk.
Kenyataan ini membawa Indonesia pada era penduduk berstruktur tua (aging society) dengan potensi dan permasalahannya. Pembinaan potensi dan kualitas penduduk menjadi prioritas pada saat ini agar aging society tersebut tidak menjadi beban masyarakat dan negara. Kebijakan kesehatan masyarakat sudah perlu mengarah kepada memperpanjang "usia kehidupan yang aktif dan produktif ?
Kondisi tetap aktif dan produktif ini, tentunya mustahil bila harus bergantung kepada orang lain. Dengan kata lain, lansia harus mampu berfungsi secara otonom dan tetap independen dalam menjalani kehidupannya. Dalam hal ini dikenal istilah kapasitas fungsional atau kompetensi sebagai determinan penting tingkat independensi seseorang.
Berbagai usaha antisipatif terhadap kemungkinan-kemungkinan menurunnya kapasitas fungsional atau tingkat kompetensi akibat proses penuaan maupun penyakit degeneratif harus menjadi prioritas. Termasuk di sini adalah perlunya dikembangkan instrumen-instrumen yang dapat mendeteksi secara dini terjadinya penurunan tersebut. Seperti telah kita ketahui, terdapat banyak aspek yang perlu dinilai dalam menentukan kapasitas fungsional atau tingkat kompetensi seseorang. Sejauh ini, telah dikembangkan berbagai instrumen yang mampu menilai kapasitas fungsional berdasarkan aspek tertentu.
Sebagai contoh instrumen Activities of Daily Living (ADL/Index Barthel) yang menilai aspek kemampuan pemeliharaan fisik diri sendiri dan Instrumental Activities of Daily Living (IADL) yang menilai aspek kemampuan pemeliharaan diri secara instrumental atau kemampuan pemeliharaan fisik diri sendiri dalam kaitan dengan aplikasinya di komunitas. Karena yang diukur adalah aspek yang relatif mendasar dalam kapasitas fungsional maka penggunaannya lebih tepat pada pengukuran yang berbasis rumah sakit atau pada lansia yang telah mengalami penurunan kapasitas fungsional yang jelas. Sedangkan untuk menilai kapasitas fungsional yang lebih tinggi, tidak akan terdeteksi oleh kedua instrumen tersebut.
Untuk itu dibutuhkan instrwnen seperti Tokyo Metropolitan Institute of Gerontology Index of Competence (TMIG IoC) yang mampu mengukur tingkat kapasitas fungsional yang lebih tinggi di samping fungsi lainnya yang lebih mendasar yang terkait dengan kompetensi lansia. Tokyo Metropolitan Institute of Gerontology Index of Competence (TMIG IoC) adalah merupakan suatu instrumen yang sangat praktis dan sederhana sehingga dipertimbangkan agar dapat dipakai sebagai self-rating/self-administrative instrument untuk mengukur indeks kapasitas fungsi luhur dan fungsi-fungsi lainnya yang lebih mendasar. Dengan diketahuinya indeks kapasitas fungsional tersebut maka dapat dilakukan berbagai tindakan antisipatif untuk mencegah ataupun memperlambat kemungkinan terjadinya penurunan indeks tersebut di kemudian hari, yang berarti semakin berkurangnya tingkat independensi seseorang."
Jakarta: Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"EPDM dan NR merupakan polimer yang tidak misibel dan kompatibel. Penambahan kompatibiliser maleat anhidrat diharapkan menghasilkan campuran yang kompatibel dengan sifat mekanik yang baik. Pencampuran EPDM dan NR dilakukan menggunakan alat two roll mill, dengan rasio EPDM/NR adalah: 100/0, 80/20, 70/30, 60/40, 50/50, dan 40/60 phr.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh rasio EPDM/NR terhadap sifat reologi, aging, termal dan swelling dari campuran EPDM/NR.
Hasil penelitian menunjukkan penambahan NR mempengaruhi torsi maksimum, waktu scorch dan waktu vulkanisasi optimum. Penambahan EPDM memberikan sifat aging, termal dan swelling lebih baik.

The blends of EPDM and NR are immiscible in nature and incompatible. Introducing maleic anhydride as a compatibilizer into the blends was expected to produce compatible blends with balanced mechanical properties.
The purpose of this research was to determine the effect of EPDM/NR ratio on the rheological, aging, thermal and swelling properties of the blends. The variation of EPDM/NR ratio were 100/0, 80/20, 70/30, 60/40, 50/50, and 40/60 phr. The blends were mixed using two roll mill.
The results showed that the addition of NR affects the maximum torque, scorch time, and optimum vulcanization time. In the blends, EPDM plays an important role in improving aging, swelling, thermal properties.
"
[Place of publication not identified]: Balai Besar Kulit, Karet, dan Plastik, 2016
530 KKP 32:1 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Nava Alisia
"Salah satu faktor utama penyebab penuaan kulit adalah paparan sinar matahari berlebihan yang mengarah pada terjadinya pembentukan spesies oksigen reaktif (ROS). Akumulasi ROS dalam kulit dapat menyebabkan stres oksidatif yang mengarah pada kerusakan protein, lipid, serta DNA yang mempengaruhi fungsional dan estetis kulit. Senyawa fenol, flavonoid, vitamin C dan E serta karotenoid merupakan antioksidan alami yang dapat menghambat pembentukan ROS. Kulit jeruk mengandung senyawa fenol dan flavonoid yang lebih tinggi dibandingkan dengan agen antioksidan lain seperti vitamin C, vitamin E, dan karotenoid. Sehingga senyawa fenol dan flavonoid dalam kulit jeruk yang biasa dibuang dapat dimanfaatkan sebagai sumber antioksidan. Tujuan dari penelitian ini adalah menguji aktivitas antioksidan dari ekstrak kulit buah jeruk nipis (Citrus aurantifolia), jeruk lemon (C. limon), dan jeruk purut (C. hystrix) serta menghitung kadar fenol total dan flavonoid totalnya. Kulit buah jeruk diekstraksi dengan metode soxhlet dan menggunakan pelarut etanol 70%. Uji antioksidan dilakukan dengan menggunakan metode perdaman radikal 1-1-difenil-2-pikrihidrazil (DPPH) dan metode daya antioksidan pereduksi besi (FRAP). Ekstrak kulit buah jeruk lemon memberikan hasil kadar fenol dan flavonoid total berturut-turut 94,450 mg GAE/g ekstrak dan 11,383 mg QE/g ekstrak. Aktivitas antioksidan tertinggi berdasarkan uji DPPH adalah ekstrak kulit buah jeruk lemon dengan nilai IC50 131,9619 µg/mL. Pembanding asam askorbat digunakan dalam metode DPPH memiliki nilai IC50 3,1276 µg/mL. Pada uji FRAP aktivitas antioksidan tertinggi adalah ekstrak kulit buah jeruk lemon dengan nilai FeEAC 411,16 µmol/g. Pembanding kuersetin pada uji FRAP menunjukkan nilai FeEAC 4124,003 µmol/g. Ekstrak kulit buah jeruk lemon menunjukkan adanya aktivitas antioksidan yang lebih tinggi dibandingkan dengan ekstrak kulit buah jeruk nipis dan jeruk purut.

One of the main factors causing skin aging is excessive sun exposure which leads to the formation of reactive oxygen species (ROS). The accumulation of ROS in the skin can cause oxidative stress that leads to lipid and protein peroxidation as well as DNA damage which affects the functional and aesthetics of the skin. Polyphenols and flavonoids are natural antioxidant that can prevent ROS formation. Citrus peel contains phenol and flavonoid compounds which are higher than other natural antioxidant such as vitamin C, vitamin E and carotenoids. Therefore the phenol and flavonoid compounds in citrus peel which are usually discarded can be used as a source of natural antioxidants. The objective of this research was to determine antioxidant activity of the peel extracts of key lime (Citrus aurantifolia), lemon (C. limon), and kaffir lime (C. hystrix). Total phenol and total flavonoid content were also determined. Citrus peels were extracted by soxhlet method and using 70% ethanol as solvent. The antioxidant test was carried out using the 1-1-diphenyl-2-picrilhydrazyl (DPPH) radical scavenging method and the ferric reducing antioxidant power method (FRAP). Lemon peel extract gave the highest results of total phenol and flavonoid content of 94,450 mg GAE/g extract and 11,383 mg QE/g extract, respectively. The highest antioxidant activity based on the DPPH test was lemon peel extract with an IC50 value of 131,9619 µg/mL. In comparison, ascorbic acid has an IC50 value of 3,1276 µg/mL. In the FRAP test, the highest antioxidant activity was lemon peel extract with FeEAC value of 411,16 µmol/g. In comparison, quercetin showed FeEAC value 4124,003 µmol/g. Lemon peel extract showed higher antioxidant activity than key lime peel and kaffir lime peel."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Regina Talitha Rosa
"Salah satu komponen alveolus yang berperan penting dalam proses pertukaran gas adalah septum interalveolar. Diketahui bahwa dengan bertambahnya usia, terjadi perubahan-perubahan dalam komponen interstitial seperti serat elastin dan kolagen yang dapat berpengaruh pada ketebalan septum interalveolar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi perubahan ketebalan septum interalveolar dengan usia selama proses pematangan paru. Desain penelitian ini berupa analitik observasional menggunakan metode cross sectional dengan subjek penelitian tikus Sprague-Dawley berusia 2, 4, 10, dan 16 hari. Paru tikus yang sudah dijadikan sediaan histologis dan diwarnai dengan pewarnaan Trichrome Masson difoto di bawah mikroskop cahaya, kemudian diukur dengan Optilab Image Raster. Ketebalan septum interalveolar diukur menggunakan proporsi panjang total septum interalveolar dengan panjang total lapang pandang di garis sepertiga tengah lapang pandang foto. Data dari pengukuran ketebalan septum interalveolar (0,434 pada usia dua hari, 0,412 pada usia empat hari, 0,394 pada uia 10 hari, dan 0,407 pada usia enam belas hari) diolah dengan program IBM SPSS Statistics 11.5 dan diuji dengan uji korelasi Spearman; didapatkan p= 0,861 dengan nilai r= -.038. Disimpulkan bahwa terdapat penurunan ketebalan septum interalveolar seiring bertambahnya usia, namun tidak terdapat korelasi signifikan antara keduanya.

One of the alveoli component that plays an important role in oxygen and carbon dioxide gas exchange is interalveolar septum. It is known that with increasing age, changes occur in the interstitial components such as elastin and collagen fibers that can affect the thickness of the interalveolar septum. This study aimed to determine the correlation of interalveolar septum thickness changes with age during lung maturation. This research is an analytic observational with cross-sectional method to study the subject of Sprague-Dawley rats aged 2, 4, 10, and 16 days. Rats’ lung histological preparations that have been made and stained with Trichrome Masson staining were photographed under a light microscope and then measured with an Optilab Image Raster. Interalveolar septum thickness was measured using the proportion of one-third the length of the visual field divided by the total length of visual field. Data from the measurement of interalveolar septum thickness (0,434 at the age of two days, 0,412 at the age of four days, 0,394 at the age of ten days, and 0,407 at the age of sixteen days) processed by the IBM SPSS Statistics 11.5 program and tested with Spearman's test, p = 0.861 obtained with a value of r = -.038. From these results, it can be concluded that there is a decrease in the thickness of the interalveolar septum with age, but there is no significant correlation between the two.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>