Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 93533 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aisya Nadiandra
"Apotek merupakan sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian oleh apoteker. Dalam memberikan pelayanan kefarmasian di Apotek, dapat dilakukan oleh apoteker, tenaga ahli kefarmasian dan asisten tenaga kefarmasian. Seorang pasien dapat menebus resep obat yang diberikan oleh dokter ke apotek. Namun, terdapat permasalahan apabila yang memberikan pelayanan kefarmasian tersebut bukanlah tenaga kefarmasian. Terlebih lagi, apabila obat yang diberikan tersebut menyebabkan pasien menjadi tidak sadarkan diri akibat ketidaksesuaian obat yang diberikan oleh pihak apotek dengan obat yang tertulis di dalam resep dokter. Kasus serupa telah terjadi di salah satu apotek di Medan dimana pasien mengalami penurunan kesadaran, hipoglicemia, stroke, serta adanya suspek. Oleh karena itu, penulis ingin membahas dan meneliti bagaimana perlindungan hukum bagi pasien terhadap pengolahan obat berdasarkan resep dokter oleh apotek dengan menganalisis Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 2258/Pid.Sus/2020/Pn Mdn. Telah terjadi kesalahan serta kelalaian dalam kasus tersebut, antara lain mengenai tanggung jawab apoteker, pelayanan resep, serta kesalahan pemberian sediaan farmasi atau obat oleh tenaga non kefarmasian yang menyebabkan korban tidak sadarkan diri. Penulis menyarankan bagi Dinas Kesehatan untuk meningkatkan pengawasan serta apotek untuk memiliki standar operasional prosedur yang komprehensif.

Pharmacy is a pharmaceutical service facility where pharmacists practice pharmacy. In providing pharmaceutical services, it can be done by pharmacists, pharmaceutical experts and assistant pharmacy staff. A patient can redeem their drug prescription given by a doctor to a pharmacy. However, this could cause a problem if the one who gives the drug is not a pharmacist nor pharmacist assistant nor assistant pharmacy staff. Moreover, if the drug given causes the patient to become unconscious due to the incompatibility of the drug given by the pharmacy with the drug written in the doctor's prescription. A similar case had occurred in a pharmacy in Medan where the patient had hypoglycemia, stroke, suspected hypertensive heart disease and lost consciousness. Therefore, author wants to analyze and examine the legal protection for patient in drug processing based on doctor's prescriptions by pharmacies by analyzing the Medan District Court Decision Number 2258/Pid.Sus/2020/Pn Mdn. There have been fallacies and omissions in cases involving the pharmacist's responsibility, prescription services, and errors in drug processing by non-pharmaceutical staff which caused the victim to become unconscious. The author suggests for the Health Agency to improve their supervision and for pharmacies to have more comprehensive standard operating procedures."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kayla Aliyah Putri
"Penelitian ini membahas peredaran antibiotik tanpa resep dokter atau dokter gigi sebagai upaya mencegah resistensi antimikroba yang mengancam kesehatan masyarakat. Penelitian menggunakan metode doktrinal dengan tipe penelitian deskriptif. Penggunaan antibiotik secara tidak rasional dapat memicu resistensi antimikroba, sehingga bakteri menjadi kebal terhadap pengobatan dan meningkatkan risiko komplikasi serius. Penelitian ini menganalisis pengaturan hukum terkait peredaran serta pengawasan antibiotik. Meskipun kebijakan mengenai penggunaan antibiotik telah tersedia, implementasi dan efektivitas pengawasan terhadap pengaturan tersebut masih lemah. Penjualan antibiotik tanpa resep dokter tetap menjadi permasalahan utama yang berkontribusi pada peningkatan kasus resistensi antimikroba. Melalui analisis Putusan Nomor 105/Pid.Sus/2019/PN Bjb, ditemukan adanya praktik peredaran antibiotik tanpa resep dokter. Kasus tersebut menunjukkan penjualan antibiotik secara bebas oleh pihak yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan, termasuk di warung yang bukan merupakan fasilitas pelayanan kefarmasian. Berdasarkan hasil penelitian, disarankan agar Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Kementerian Kesehatan, dinas kesehatan, serta aparat penegak hukum, termasuk kepolisian, memperkuat pengawasan dan pengaturan terhadap distribusi antibiotik. Pengawasan ini harus mencakup penjualan antibiotik di luar fasilitas pelayanan kesehatan untuk memastikan kepatuhan terhadap regulasi serta mencegah resistensi antimikroba yang dapat membahayakan kesehatan masyarakat.

This research discusses the circulation of antibiotics without a doctor or dentist's prescription as an effort to prevent antimicrobial resistance that threatens public health. The research uses doctrinal method with descriptive research type. The irrational use of antibiotics can trigger antimicrobial resistance, making bacteria resistant to treatment and increasing the risk of serious complications. This research analyses the legal arrangements related to the circulation and supervision of antibiotics. Although policies on antibiotic use are in place, the implementation and effectiveness of supervision are weak. The sale of antibiotics without a doctor's prescription remains a major problem that contributes to the increase in antimicrobial resistance cases. Through the analysis of Decision Number 105/Pid.Sus/2019/PN Bjb, it was found that there was a practice of distributing antibiotics without a doctor's prescription. The case shows the free sale of antibiotics by parties who do not have the expertise and authority, including in stalls that are not pharmaceutical service facilities. Based on the results of the study, it is recommended that the Food and Drug Monitoring Agency (BPOM), the Ministry of Health, the health department, and law enforcement officials, including the police, improve supervision and regulation of antibiotic distribution. This supervision should include the sale of antibiotics outside health care facilities to ensure compliance with regulations and prevent antimicrobial resistance that can endanger public health."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pasaribu, Abigail Frida Christine Chiquita
"Banyak perdebatan apabila dokter melakukan kesalahan. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya pengaduan kasus malpraktik medis yang diajukan masyarakat pada profesi dokter. Kondisi demikian dipicu oleh makin meningkatnya tingkat pendidikan dan kesadaran masyarakat atas hak perawatan dan pemeliharaan kesehatan dan hak untuk menentukan nasib diri sendiri. Cara dokter dalam menangani seorang pasien adalah antara kemungkinan dan ketidakpastian karena tubuh manusia bersifat kompleks dan tidak dapat dimengerti sepenuhnya. Berangkat dari permasalahan tersebut, skripsi ini membahas perlindungan hukum bagi dokter pada kasus alergi obat dengan menganalisis Putusan Pengadilan Negeri Bekasi Nomor 630/Pdt.G/2015/PN Bks. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan bentuk yuridis-normatif. Hasil Penelitian ini adalah pengaturan malpraktik medis di Indonesia diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, serta peraturan turunan, yaitu Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 269/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam Medis dan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 2052/MENKES/PER/X/2011 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran. Terkait perlindungan hukum bagi dokter pada kasus alergi obat studi kasus : putusan pengadilan negeri Bekasi No. 630/Pdt.G/2015/PN Bks. Majelis Hakim tidak memberikan perlindungan hukum bagi dokter tersebut.

There are so many debate when doctors make mistakes. This is demonstrated by the many complaints of medical malpractice cases filed society in the medical profession. Such conditions triggered by the increasing level of education and public awareness of the right to health care and the right of self determination. How doctors treat patients is between probable and uncertainty because the human body is complex and cannot be fully understood. Departing from these problems, this thesis discusses the legal protection for doctors in case of allergy drugs by analyzing the Bekasi District Court 39 s Decision Number 630 Pdt.G 2015 PN Bks. This research is a qualitative study with normative juridical form. Results of this research is the regulation of medical malpractice in Indonesia stipulated in the Penal Code, Civil Code, The Law of Republic Indonesia Number 36 of 2009 on Health, The Law of Republic Indonesia Number 36 of 2014 on Health Workers, as well as derivative legislation, namely the Regulation of the Minister of Health of the Republic of Indonesia Number 269 MENKES PER III 2008 on the Medical Records and Regulation of the Minister of Health of the Republic Indonesia Number 2052 MENKES PER X 2011 on Permit Practice and Implementation of Medical Practice. Related to Legal Protection For Doctors In Case Of Drug Allergy Case Study Bekasi District Courts rsquo s Decision Number 630 Pdt.G 2015 PN Bks. Judges do not provide legal protection for the doctor. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S66686
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vincent Velayo
"ABSTRAK
Dokter dan apoteker merupakan salah dua dari tenaga kesehatan yang saling bersinergi dalam memberikan pelayanan kesehatan, dimana dokter melakukan penanganan medikal sementara apoteker yang akan menindaklanjuti produk (resep) dari dokter tersebut, yakni dispensing. Namun demikian, tidak sedikit dokter melakukan pemberian obat secara langsung (dispensing) kepada pasien. Tumpang tindih praktik dispensing yang dilakukan antara dokter (tenaga medis) dengan apoteker (tenaga kefarmasian) tersebut menyebabkan ketidakpastian hukum, sehingga perlu diketahui bagaimana sebenarnya regulasi yang mengatur mengenai kewenangan antara dokter dengan apoteker terkait praktik dispensing. Adapun metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah normatif, yakni dengan meneliti terhadap bahan primer, sekunder, dan tersier. Hasil penelitian ini menemukan bahwa pengaturan mengenai praktik dispensing yang merupakan lingkup bagian kefarmasian, telah memiliki regulasi yang jelas, baik mengenai pihak yang berwenang melakukan pekerjaan di bidang kefarmasian, mengenai apa saja yang termasuk bidang kefarmasian dan mengenai larangan serta sanksi bagi yang tidak berwenang namun melakukannya. Namun demikian, praktik dispensing tersebut tetap terbuka bagi dokter dalam keadaan dan situasi tertentu. Oleh karena itu, peran aktif masyarakat dan upaya dari masing-masing profesi untuk menghormati kewenangan antar profesi sangat diperlukan supaya hukum yang ada dapat ditegakkan sehingga tercapai kepastian hukum.

ABSTRACT
Doctor and pharmacist are part of health labour that synergy in giving health service, in which doctor do the medical treatment while pharmacist will work based on the doctor`s prescribing, which is called dispensing. However, not few doctor do the dispensing straightforward to the patient by themselves. The overlap practice of dispensing which is done by doctor (medical labour) with pharmacists (pharmacy labour) causing law uncertainty, so it is important to know about how actually the regulation that regulate about authority between doctor and pharmacist in dispensing practice. Using the methodology of the normative legal research conducted a study of the primary material, secondary, tertiary. This research found out that regulation of dispensing practice which is part of pharmacy, has well regulated, that regulate the subject who has authority in doing pharmacy`s work, regulate about what is include in pharmacy section and regulate about the prohibition and sanction for subject who don`t have authority in doing work in pharmacy section but still do it. However, dispensing practice is still applicable for doctor in some condition and situation that has been regulated. Therefore, society`s active role and each profession effort to honour authority between those two professions are really needed so that regulation can be enforced and will be result on law certainty."
2016
S64853
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shesha Annisa Desrina
"ABSTRAK
Pengawasan obat di apotek merupakan bagian dari urusan pemerintahan konkuren yang dibagi antara Pemerintah Pusat, daerah Provinsi, dan daerah Kabupaten/Kota. Penyelenggaraan pemerintahan di daerah dilakukan dengan tiga asas yakni desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Dalam pembagian kewenangan pengawasan obat di apotek, adanya persinggungan antara kewenangan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah yang berpotensi menghambat efektivitas pengawasan obat. Tulisan ini mengangkat permasalahan hubungan kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam pengawasan obat di apotek dan upaya yang dilakukan untuk meningkatkan efektivitas pengawasan obat di apotek. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis-normatif melalui pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Hasil penelitian disajikan dalam bentuk preskriptif-analitis. Hasil penelitian menunjukan bahwa pengawasan obat di apotek seharusnya diselenggarakan dengan asas dekonsentrasi dengan tetap menempatkan kewenangan BPOM sebagai lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap obat di apotek. Oleh karena itu, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 73 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2017 tentang Apotek perlu direvisi dengan menegaskan bahwa wewenang pengawasan obat merupakan kewenangan Pemerintah Pusat, yakni BPOM. Sedangkan, Pemerintah Daerah berwenang melakukan pengawasan terhadap izin apotek dan penyelenggaraan kegiatan di apotek yang tidak beririsan dengan kewenangan BPOM.

ABSTRACT
Drugs control in pharmacies is part of concurrent governmental affairs that are divided between the Central Government, the Provincial Region, and the Regency/City Region. The implementation of governance in the regions is carried out with three principles namely decentralization, deconcentration, and co-administration. In the distribution of drug control authority at the pharmacy, there is a conflict between the authority of the Central Government and the Regional Government which has the potential to hamper the effectiveness of drug control. This research raises the issue of the relationship between the authority of the Central Government and Local Governments in drug control in pharmacies and the efforts are made to improve the effectiveness of drug control in pharmacies. The research method used in this study is juridical-normative research through the statutory approach and the conceptual approach. The research results are presented in a prescriptive-analytical form. The results showed that drug control in pharmacies should be carried out with the principle of deconcentration while giving the authority of BPOM as an institution authorized to conduct drug control in pharmacies. Therefore, Regulation of the Minister of Health Number 73 Year 2016 concerning Pharmaceutical Service Standards in Pharmacy and Minister of Health Regulation Number 9 Year 2017 on Pharmacy needs to be revised by emphasizing that the authority of drug control is the authority of the Central Government, in this case is BPOM. Meanwhile, the Local Government has the authority to supervise the permit for pharmacies and supervise the activities in pharmacies that are not the authority of BPOM."
2020
T55063
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anissa Tasya Lintang
"Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 73 tahun 2016 menetapkan standar pelayanan kefarmasian di Apotek, yang bertujuan untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. Pelayanan kefarmasian telah berkembang dari orientasi produk menjadi berorientasi pada pasien. Pengkajian resep adalah aspek operasional penting dalam pelayanan kefarmasian, yang bertujuan untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan permasalahan terkait obat sebelum disiapkan. Dalam pengkajian resep, terdapat tiga aspek yang diperhatikan: administratif, farmasetik, dan klinis. Tujuan penelitian ini adalah melakukan pengkajian pada resep pasien dengan diagnosis osteoarthritis di Apotek Kimia Farma 049 untuk mengidentifikasi kemungkinan kesalahan pengobatan dan memberikan saran. Ditemukan bahwa resep pasien osteoarthritis memiliki beberapa permasalahan administratif, seperti ketidaklengkapannya, tetapi dari segi farmasetik dan klinis sudah sesuai. Kesimpulan dari pengkajian adalah bahwa meskipun ada permasalahan administratif pada resep, obat yang diresepkan sudah sesuai dengan tatalaksana osteoarthritis. Saran yang diberikan adalah untuk memperhatikan aspek administratif yang kurang lengkap pada resep dan melakukan konfirmasi kepada pasien atau dokter jika diperlukan.

Minister of Health Regulation No. 73 of 2016 sets the standard for pharmaceutical services in pharmacies, aimed at improving the quality of patient life. Pharmaceutical services have evolved from product-oriented to patient-oriented. Prescription assessment is a crucial operational aspect in pharmaceutical services, aiming to identify and resolve medication-related issues before preparation. In prescription assessment, three aspects are considered: administrative, pharmaceutical, and clinical. The aim of this study is to assess prescriptions for patients diagnosed with osteoarthritis at Kimia Farma Pharmacy 049 to identify potential medication errors and provide recommendations. It was found that prescriptions for osteoarthritis patients had some administrative issues, such as incompleteness, but were adequate in terms of pharmaceutical and clinical aspects. The conclusion of the assessment is that despite administrative issues in prescriptions, the prescribed medications are suitable for osteoarthritis management. Recommendations include paying attention to incomplete administrative aspects in prescriptions and confirming with patients or doctors if necessary.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
PR-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Giovanni
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas proses rehabilitasi bagi penyalahguna narkotika yang dikaitkan
dengan hukum kesehatan dan studi di RSKO Jakarta. Dalam penelitian ini yang
menjadi permasalahan adalah pengaturan rehabilitasi bagi penyalahguna narkotika
ditinjau dari hukum kesehatan dan proses rehabilitasi di RSKO Jakarta. Tujuan
penulisan skripsi untuk mengetahui dan membahas lebih lanjut mengenai bagaimana
pengaturan rehabilitasi bagi penyalahguna narkotika, serta untuk mengetahui
bagaimana proses-proses rehabilitasi bagi penyalahguna narkotika. Metode penelitian
ini adalah penelitian kualitatif dengan tipe deskriptif. Hasil penelitian menyimpulkan
bahwa perlunya sosialisasi, pengawasan dan sanksi bagi pihak yang belum
menjalankan peraturan perundang-undangan yang mengatur dan terkait dengan
rehabilitasi narkotika di waktu yang akan datang.

ABSTRACT
This thesis is about the process of rehabilitation for drug abusers who is associated
with health law studies in RSKO Jakarta. In this research, the problems are the
regulation for the rehabilitation of drug abusers in terms of health law and the
procesof rehabilitation in RSKO Jakarta. The purpose of this thesis writing is to study
and further discuss on how to rehabilitate the drug abusers, and to find how those
rehabilitation processes are undertaken. This research method is the qualitative with
descriptive design. This research concludes the need for socialization, supervision
and sanction for those who do not follow the rules of law governing narcotics and
also related to drug rehabilitation in the future."
2016
S65380
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Choirunisa Lisdiyani
"Skripsi ini membahas tanggung jawab hukum apotek dan toko obat dalam penyerahan obat dengan menganalisis perbandingan Putusan No. 104/Pid.B/2015/ PN.pgp dan Putusan No. 153/Pid.Sus/2014/PN.Kbr. Apotek dan toko obat merupakan sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukannya praktik kefarmasian oleh tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan yang dimaksud adalah Apoteker pada apotek dan Tenaga Teknis Kefarmasian pada toko obat. Baik Apoteker ataupun Tenaga Teknis Kefarmasian yang menjalankan pelayanan penyerahan obat kadang kala tidak menjalankan kewenangannya sebagaimana aturan yang ada. Dengan menggunakan metode penulisan berbentuk Yuridis Normatif dan tipe penelitian deskriptif, skripsi ini menjabarkan analisis mengenai tanggung jawab hukum apotek dan toko obat dalam penyerahan obat berdasarkan Putusan Pengadilan No. 104/Pid.B/2015/PN.pgp dan Putusan No. 153/Pid.Sus/2014/PN.Kbr. Kesimpulannya, terhadap apotek dan toko obat yang melakukan pelanggaran penyerahan obat dapat dikenakan sanksi administratif dan sanksi pidana. Representasi dari apotek adalah Apoteker, sedangkan representasi dari toko obat adalah Tenaga Teknis Kefarmasian. Peneliti menyarankan agar Kementerian Kesehatan melalui Dinas Kesehatan dan Balai Pengawasan Obat dan Makanan (B-POM) lebih aktif dalam hal pengawasan apotek dan toko obat, terutama dalam hal penyerahan obat kepada pasien dan penerbitan izin usaha pada toko obat.
This essay discusses the legal responsibilities of pharmacy and drug store in drugs delivery by analyzing the comparison of Judgment No. 104/Pid.B/2015/PN.pgp and Judgment No. 153/Pid.Sus/2014/PN.Kbr. Pharmacy and drug store are pharmaceutical service facilities where pharmacy practices are carried out by health workers. Health workers in question are Pharmacists at the pharmacy and Pharmaceutical Technical Staff at the drug store. Both Pharmacists and Pharmaceutical Technical Staff who carry out drug delivery services sometimes do not carry out their authority according to existing rules. By using Normative Juridical writing methods and descriptive research types, this essay lays out an analysis of the legal responsibilities of pharmacy and drug store in drug delivery based on Juedgment Number 104/Pid.B/2015/PN.pgp and Judgment No. 153/Pid.Sus/2014/ PN.Kbr. In conclusion, pharmacy and drug store violating the drug delivery may be subject to administrative sanctions and criminal sanctions. Representatives from pharmacy are Pharmacists, while representations from drug store are Pharmaceutical Technical Staff. Researchers suggests that the Ministry of Health through the Department of Health and the Food and Drug Monitoring Agency (B-POM) be more active in terms of supervision of pharmacy and drug store, especially in terms of drug delivery to patients and issuance of business licenses at drug store."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Beatrice Chrestella
"Salah satu upaya mengatasi permasalahan overcapacity lapas adalah dengan mengusahakan rehabilitasi bagi pelaku penyalahgunaan narkotika. Dalam rangka mengoptimalkan pemberian rehabilitasi, melalui Peraturan Bersama Rehabilitasi 2014 dibentuklah Tim Asesmen Terpadu yang bertugas melakukan asesmen medis dan hukum terhadap pelaku, lalu memberikan rekomendasi rehabilitasi bagi pelaku. Namun, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU No. 35/2009) tidak mengatur kewajiban asesmen oleh Tim Asesmen Terpadu sebagai syarat pemberian rehabilitasi. Selain itu, tidak terdapat pengaturan secara jelas mengenai kekuatan pembuktian hasil asesmen Tim Asesmen Terpadu. Melalui penulisan ini, akan diteliti mengenai bagaimana kedudukan Tim Asesmen Terpadu dalam UU No. 35/2009 serta kekuatan pembuktian hasil asesmennya dan pengaruhnya terhadap pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan. Metode penelitian ini berbentuk yuridis-normatif dengan menggunakan data primer dan data sekunder, yakni melalui wawancara dan studi kepustakaan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Tim Asesmen Terpadu tidak memiliki kedudukan dalam UU No. 35/2009 karena pembentukannya yang hanya didasarkan pada Peraturan Bersama yang bukan termasuk sebagai peraturan perundangundangan sehingga membuat kedudukan Tim Asesmen Terpadu lemah dalam proses penegakkan hukum. Kemudian, hasil asesmen yang dilakukan oleh Tim Asesmen Terpadu dapat digunakan sebagai alat bukti surat atau keterangan ahli, tetapi kekuatan hasil asesmen tersebut tidak mengikat hakim dalam mengambil putusan.

One of the efforts to overcome the problem of prison overcapacity is to provide rehabilitation for drug abuse offenders. In order to optimize the provision of rehabilitation, through the 2014 Joint Regulation on Rehabilitation, an Integrated Assessment Team was formed to conduct medical and legal assessments of offenders, and provide recommendations for rehabilitation for offenders. However, Law No. 35/2009 on Narcotics (Law No. 35/2009) does not regulate the obligation of assessment by the Integrated Assessment Team as a condition for providing rehabilitation. In addition, there is no clear regulation regarding the evidentiary power of the Integrated Assessment Team's assessment results. This paper will examine the position of the Integrated Assessment Team in Law No. 35/2009 as well as the evidentiary power of the assessment results and their influence on the judge's consideration in making a decision. This research method is juridical-normative by using primary data and secondary data, namely through interviews and literature studies. The results of this study indicate that the Integrated Assessment Team has no position in Law No. 35/2009 because its formation is only based on a Joint Regulation which is not included as a statutory regulation, making the Integrated Assessment Team's position weak in the law enforcement process. Then, the results of the assessment conducted by the Integrated Assessment Team can be used as documentary evidence or expert testimony, but the strength of the assessment results does not bind the judge in making a decision."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lintang Mutiara Savana
"Prinsip non-punishment merupakan prinsip yang mengandung ketentuan bahwa korban perdagangan orang tidak dipidana ketika mereka melakukan tindak pidana karena dipaksa oleh pelaku perdagangan orang. Di Indonesia, terdapat masalah dalam penerapan prinsip tersebut, terutama dalam tindak pidana yang berkaitan dengan kejahatan narkotika. Dengan metode penelitian yuridis normatif, penelitian ini membahas 2 (dua) pokok permasalahan, antara lain: 1) pengaturan prinsip non-punishment dalam perlindungan korban perdagangan orang, dan 2) implementasi prinsip tersebut berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Prinsip non-punishment diatur dalam Pasal 18 UU PTPPO, di mana keberlakuannya memiliki keterkaitan dengan bentuk penyertaan doen plegen, daya paksa (overmacht), dan dasar penghapus pidana. Pengaturan dan penerapan prinsip non-punishment dalam hukum pidana di Indonesia masih memiliki berbagai ketidakpastian. Mulai dari kaitannya dengan dasar penghapus pidana, kriteria paksaan yang perlu dipenuhi, hingga tidak adanya preseden dikabulkannya prinsip non-punishment sebagai dasar penghapus pidana. Oleh karena itu, diperlukan pedoman tentang keberlakuan yang disertai penjelasan komprehensif mengenai prinsip tersebut dalam kerangka hukum tindak pidana perdagangan orang. Pedoman tersebut diharapkan dapat meningkatkan dan mengebangkan peran aktif APH, terutama hakim, untuk menggali fakta-fakta hukum dan nilai-nilai yang ada, serta menindaklanjuti pembuktian terhadap pembelaan dengan dasar prinsip non-punishment.

The principle of non-punishment is a principle that stipulates that victims of trafficking are not punished when they commit criminal offenses because they are forced by traffickers. In Indonesia, there are problems in the application of this principle, especially in criminal offenses related to narcotics crimes. Using normative juridical research method, this research discusses 2 (two) main issues, among others: 1) the regulation of the principle of non-punishment in the protection of victims of human trafficking, and 2) the implementation of the principle based on Article 18 of Law No. 21/2007. The principle of non-punishment is regulated in Article 18 of Law No. 21/2007, where its applicability is related to doen plegen, overmacht, and the basis for criminal expungement. The regulation and application of the principle of non-punishment in criminal law in Indonesia still has various uncertainties. Therefore, there is a need for guidelines on the applicability and comprehensive explanation of the principle in the legal framework of human trafficking crimes. These guidelines are expected to increase and develop the active role of law enforcement officers, especially judges, to explore legal facts and values, as well as to ensure that the principle of non-punishment is applied."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>