Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 125142 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Stebby Julionatan
"Hukum Kasih dalah ajaran utama Kekristenan. Dengan Hukum Kasih maka umat Kristiani diajar untuk bersikap inklusi dan memperjuangkan hak-hak orang-orang yang tertindas. Sayangnya, ketika Hukum Kasih diperhadapkan pada pemenuhan hak spiritualitas transpuan, maka “hukum” tersebut kehilangan sisi inklusinya. Wacana tentang heteronormatif dalam Kekristenan menjadi kontra narasi atas nilai inklusi Hukum Kasih. Bahkan, dalam konteks ini, Kekristenan justru menjadi hambatan terbesar terhadap penerimaan pada ketubuhan dan seksualitas kelompok transpuan. Namun, benarkah heteronormatif telah final dalam wacana Kristen? Bagaimana para pendeta menjembatani kontradiksi yang ada dalam amanat pelayanan spiritualitas jemaat, termasuk transpuan? Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi pandangan dan pemahaman 6 (enam) pendeta sekutu Protestan mengenai Hukum Kasih guna membangun landasan pemaknaan atau peta tafsir alternatif yang memfasilitasi pemenuhan kebutuhan spritiualitas kelompok transpuan. Menggunakan pendekatan fenomenologi dengan perspektif feminis yang berpihak kepada kelompok transpuan, penelitian ini mewawancarai 2 (dua) pendeta perempuan cis-gender heteroseksual, 3 (tiga) pendeta laki-laki cis-gender heteroseksual dan seorang pendeta laki-laki non-heteroseksual yang memiliki keberpihakan terhadap kelompok minoritas seksual. Studi ini mengungkap tiga hal, yaitu upaya membangun kesadaran dan keberpihakan terhadap kelompok minoritas seksual, agensi pendeta sekutu dan makna pemberkatan perkawinan transpuan bagi pendeta sekutu. Upaya yang telah dilakukan dari studi ini menunjukkan: Pertama, sekadar pemaknaan akan “kasih” yang inklusi, ternyata tidak cukup dalam membangun kesadaran kritis dan keberpihakan, para pendeta sekutu membangunnya melalui refleksi kesadaran akan privilese, makna panggilan dan pengutusan gerejawi, adanya perjumpaan dengan kelompok minoritas seksual dan menyadari bahwa kelompok minoritas kebutuhan spiritualitas. Kedua, dalam upaya membangun agensi, para pendeta sekutu menggunakan identitas kependetaan mereka (paspor) sebagai strategi untuk membangun tafsir baru, mengubah wacana inklusi menjadi DNA gereja dan melakukan gerakan inklusif SOGIESC. Ketiga, dalam memaknai pemberkatan perkawinan transpuan, para pendeta masih dihadapkan pada ragam tafsir yang menjadi tantangan dalam pemenuhan kebutuhan spiritualitas kelompok tranpuan. Pada akhirnya, penguatan wacana teologi feminis dan SOGIESC pada para pendeta dan pengambil kebijakan di gereja menjadi suatu yang niscaya untuk pengejawantahan nilai Hukum Kasih yang sebenarnya.

The Law of Love is the main teaching of Christianity. With the Law of Love, Christians are taught to be inclusive and fight for the rights of oppressed people. Unfortunately, when the Law of Love is confronted with fulfilling the spiritual rights of transgender women, the "law" loses its inclusion. Discourse about heteronormative in Christianity becomes a counter narrative on the inclusion value of the Law of Love. In fact, in this context, Christianity is actually the biggest obstacle to acceptance of the body and sexuality of transgender groups. However, is it true that heteronormative is final in Christian discourse? How do pastors bridge the contradictions that exist in the mandate of the church's spiritual ministry, including transwomen? This study aims to explore the views and understanding of 6 (six) allied Protestant pastors regarding the Law of Love in order to build a basis for interpretation or an alternative interpretation map that facilitates the fulfillment of the spiritual needs of the transgender group. Using a phenomenological approach with a feminist perspective that favors transgender groups, this study interviewed 2 (two) heterosexual cis-gender female priests, 3 (three) heterosexual cis-gender male priests and one non-heterosexual male priest who has a bias against sexual minorities. This study reveals three things, namely efforts to build awareness and alignment with sexual minority groups, the agency of allied priests and the meaning of the blessing of transgender marriages for allied priests. The efforts that have been made from this study show: First, the mere meaning of "love" which is inclusive, turns out to be insufficient in building critical awareness and partiality, the allied pastors build it through reflection on awareness of privilege, the meaning of ecclesiastical vocation and mission, the existence of encounters with groups sexual minorities and realize that minority groups need spirituality. Second, in an effort to build agency, allied pastors use their clerical identity (passport) as a strategy to build new interpretations, change the discourse of inclusion into the DNA of the church and carry out the SOGIESC inclusive movement. Third, in interpreting the blessing of transgender marriages, priests are still faced with various interpretations which are a challenge in meeting the spiritual needs of transgender groups. In the end, the strengthening of feminist theological discourse and SOGIESC among pastors and policy makers in the church is necessary for the realization of the true value of the Law of Love."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik Global Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hilbram Rahmansyah Bayusasi
"Penelitian ini membahas tantangan komunitas transpuan memperoleh pengakuan identitas hukum di Indonesia. Pasal 56 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan Pasal 58 Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil belum sempurna menangani permasalahan tersebut. Tidak sempurnanya kedua pengaturan hukum tersebut karena pengajuan permohonan pengubahan identitas hukum kepada pengadilan negeri dapat ditolak. Dengan begitu, transpuan di Indonesia tidak mendapatkan salah satu hak dasarnya, yakni identitas hukum. Melalui metode sosio-legal, penelitian ini menganalisis kekurangan kedua pengaturan hukum yang ada dan mewawancarai transpuan di Jakarta Selatan tentang identitas hukum mereka. Hasil ditemukan bahwa para transpuan ini belum melakukan pengubahan identitas hukum karena terintimidasi dengan hukum yang ada. Hal tersebut mengakibatkan keseharian mereka terdapak, termasuk dalam aspek sosial, ekonomi, dan keamanan pribadi. Berdasarkan temuan ini, peneliti memberikan beberapa saran ke depan. Pertama, dicanangkan self-ID law yang memungkinkan transpuan untuk secara langsung mengajukan perubahan identitas tanpa hambatan pengadilan yang berlebihan. Kedua, perlunya kompensasi bagi mereka yang pernah ditolak, serta edukasi intensif bagi petugas pemerintah untuk menghindari diskriminasi. Ketiga, pentingnya dukungan sosial dan hukum yang lebih luas, termasuk layanan kesehatan yang sensitif terhadap transisi gender. Keempat, edukasi masyarakat luas untuk mengurangi stigma terhadap identitas gender yang beragam. Dengan menerapkan saran-saran ini, diharapkan bahwa transpuan di Indonesia dapat mengakses hak mereka untuk identitas hukum dengan lebih mudah dan adil, menjadikan perubahan identitas sebagai bagian normal dari proses transisi mereka.

This study discusses the challenges faced by trans women in obtaining legal recognition of their identity in Indonesia. Article 56 of Law Number 23 of 2006 on Population Administration and Article 58 of Presidential Regulation Number 96 of 2018 on Population Registration Requirements have not adequately addressed these issues. The imperfections in these legal provisions arise from the potential rejection of applications for legal identity change by district courts. Consequently, trans women in Indonesia are denied a fundamental right, namely legal identity. Using socio-legal methods, this research analyzes the shortcomings of existing legal frameworks and interviews trans women in South Jakarta about their legal identities. The findings reveal that these women have refrained from pursuing legal identity changes due to intimidation by existing laws, impacting their daily lives including social, economic, and personal security aspects. Based on these findings, the researcher proposes several recommendations. First, the implementation of a self-ID law that allows trans women to directly request identity changes without excessive judicial barriers. Second, the need for compensation for those previously denied, along with intensive education for government officials to prevent discrimination. Third, the importance of broader social and legal support, including healthcare services sensitive to gender transitions. Fourth, public education to reduce stigma against diverse gender identities. Implementing these recommendations is expected to facilitate easier and fairer access to legal identity rights for trans women in Indonesia, making identity changes a normal part of their transition process."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fatima Mernissi
Surabaya: ALFIKR, 1997
297.43 MER b
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
New York: Routledge, 2023
306.768 TRA
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Kai, Cheng Thom
"Kai Cheng Thom grew up a Chinese Canadian transgender girl in a hostile world. As an activist, psychotherapist, conflict mediator, spiritual healer, and celebrated writer, she's always pursued the same deeply personal mission: to embrace the revolutionary belief that every human being, no matter how hateful or horrible, is intrinsically sacred. But then Kai Cheng found herself in a crisis of faith, overwhelmed by the viciousness with which people treated each other, and barely clinging on to the values and ideals she'd built her life around: justice, hope, love, and healing. Rather than succumb to despair and cynicism, she gathered all her rage and grief and took one last leap of faith. Kai Cheng began writing letters to everyone she has trouble holding in her heart-those seemingly beyond saving. She wrote to dead people, exes, prostitutes, johns, monsters, transphobes, and racists; to the fantasy man she still longs for, to the ones who hurt her, and to the ones who watched. In writing these love letters, Kai Cheng found herself not only rediscovering and deepening her faith in humanity, but falling back in love with being human."
New York: The Dial Press, 2023
155.2 KAI f
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
"Tulisan ini menganalisis bagaimana gay dan transgender dalam dua dunia yang berbeda, secara sosial dan politik, yaitu Indonesia dan Eropa Barat, aktif berparitsipasi dalam pembentukan subjektivitasnya. Subjektivitas gender dalam kajian ini terkait dan tak dapat dipisahkan dari seksualitas, agam, hubungan romatis mereka dengan laki-laki dari Eropa Barat dan tali ikatan persaudaraan mereka dengan keluarga mereka di Indonesia. Mereka berjuang menegosiasikan norma dan nilai masyaralat yang diproyeksikan oleh masyarakat terhadap mereka. Kajian ini menyimpulkan bahwa sunjektivitas gender dan seksual sesorang yang minoritas ditentukan oleh struktur yang dominan di dalam masyarakat."
362 JP 20:4 (2015)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Chaterina Janes Pratiwi
"ABSTRAK
Prevalensi HIV pada waria semakin meningkat. Spiritualitas harus dipahami sebagai bagian dari visi holistik kesehatan seseorang karena spiritual melekat dalam diri setiap orang, sehingga semua orang adalah makhluk spiritual. Persimpangan identitas waria menghasilkan pengalaman hidup yg unik, seperti spiritual identities.Tujuan penelitian untuk menggali pengalaman dukungan spiritualwariaODHA. Metode penelitian dengan pendekatan studi fenomenologi. Penelitian ini melibatkan 15 partisipan waria dengan kriteria positif HIV dan beragama Islam. Hasil penelitian dengan wawancara mendalam menemukan 6 tema : Saat melakukan ibadah, wariamempersepsikan sesuai kodrat laki-laki; Bersyukur dengan kondisi yang waria ODHA miliki; Memohon ampun pada Tuhan dengan beramal baik; Kendala dalam menjalankan ibadah sebagai waria; Pelayanan perawat kurang baik terhadap waria ODHA; Persepsi wariabahwa pelayanan spiritual tidak diberikan oleh perawat dirumah sakit.

ABSTRACT
HIV prevalence among transgender is increasing. Spirituality must be understood as part of the holistic vision of one 39 s health because it is inherent in everyone, so that everyone is a spiritual being. The crossroads of transfemale identity produce a unique life experience, such as spiritual identities. The purpose of the research to explore the experience of spiritual support transfemale with HIV. Research method used approach of phenomenology research. The research involved 15 transfemale participants with HIV and they are Muslim. The results of in depth interviews found 6 themes while performing worship, transfemale perceive the nature of men Grateful to the conditions that transfemale PLWH have Asking God 39 s forgiveness by doing good deeds Constraints in performing worship as transfemale Poor nursing services to transfemale PLWH The transfemale perception that spiritual service is not given by nurses in the hospital. "
2017
T47923
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Afif Rodjaldy
"Berbagai penelitian menunjukkan bahwa transprejudice memiliki dampak negatif terhadap kesejahteraan transgender. Namun, belum banyak studi yang mempelajari faktor-faktor yang melatarbelakangi transprejudice di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara openness to experience, social dominance orientation, dan transprejudice di Indonesia. Dimensi transprejudice yang dianalisis meliputi gender essentialism dan discomfort. Penelitian ini merupakan penelitian korelasional pada WNI berusia 18-35 tahun (M = 86,89, SD = 37,02, N = 202). Mayoritas partisipan dalam penelitian ini adalah perempuan yaitu sebanyak 71,28%. Hasil analisis multiple regression menunjukkan bahwa model dapat memprediksi transprejudice individu secara signifikan, (F(2,199) = 4,658, p = 0,011). Selain itu, hasil analisis juga menunjukkan bahwa openness to experience tidak memprediksi transprejudice secara signifikan (β = -0,32, p > 0,05) sementara social dominance orientation memprediksi transprejudice (β = 0.57, p < 0,01) secara positif dan signifikan. Untuk penelitian lanjutan disarankan mengeksplorasi aspek-aspek lain seperti gender role belief dan stereotip lain tentang gender/minoritas seksual yang mungkin digunakan orang untuk merasionalisasi diskriminasi dan sikap-sikap merugikan terhadap transgender.

A number of studies have shown that transprejudice has negative effects on transgender’s well-being. However, there are limited studies that explore possible factors which might be contributing to the level of one’s transprejudice. This research was aimed to study the correlation between openness to experience, social dominance orientation, and transprejudice in Indonesia. The dimensions of transprejudice that were analyzed in this research were gender essentialism dan discomfort. The subjects of this research were Indonesian citizens with the age of 18-35 years old (M = 86,89, SD = 37,02, N = 202). The majority of the participants are female (71,28%). The results of multiple regression analysis found that the model could predict one’s transprejudice significantly (F(2,199) = 4,658, p = 0,011). Other than that, the result also showed that openness to experience did not predict transprejudice significantly (β = -0,32, p > 0,05), meanwhile social dominance orientation predicted transprejudice significantly in positive way (β = 0,57, p < 0,01). Future research will benefit from exploring other dimensions of transprejudice that people use to justify discrimination and prejudice against transgender."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Eksistensi transgender Male to Female (MTF) atau yang secara umum sering kita dengar dengan istilah Waria lebih populer dibandingkan dengan transgender Female to Male (FTM). Eksistensi FTM atau seseorang yang terlahir secara biologis perempuan tetapi mendefinisikan dirinya sebagai laki-laki belum diangkat dan terdokumentasikan secara baik, sehingga eksistensi FTM sulit dikenali dalam diskursus publik. Pemilihan Jakarta sebagai area penelitian karena merupakan kota urban yang mempresentasikan Indonesia. Responden yang diinterview berjumlah 22 orang, dan di dalam perjalanan penelitian, 5 FTM dari luar Jakarta. Studi FTM ini menemukan bahwa seseorang tidak secara otomatis akan mendefinisikan gendernya sesuai dengan seks/jenis kelamin biologinya. Mereka membentuk identitas dirinya sendiri secara subjektif melalui proses pendefinisian diri. Dalam perjalanan menuju "diri", FTM mengalami banyak kekerasan baik dari negara, masyarakat, tempat kerja dan keluarga. "
362 JP 20:4 (2015)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Nangoi Priscilla Francis
"Di Indonesia, Jakarta khususnya, kita kenal dengan keberadaan kelompok individu yang memiliki nama popular waria atau wanita-pria. Waria adalah individu yang memiliki jenis kelamin pria namun mengidentifikasikan dirinya serta berpenampilan selayaknya seorang wanita. Waria dapat disebut atau digolongkan ke dalam istilah transeksual, karena selain memiliki identifikasi sebagai seorang wanita, is juga mengubah penampilannya seperti seorang wanita, baik dari pakaian hingga bentuk tubuh. Hal ini dilakukannya dengan melakukan operasi ataupun melakukan suntikan hormon pada bagian-bagian tubuh tertentu sehingga semakin mirip dengan wanita. Operasi yang pada umumnya dilakukan oleh para waria adalah suntik payudara atau memasang silikon, operasi wajah (tulang pipi, dagu, hidung, dli.), dan juga pada bagian-bagian tubuh lainnya kecuali pada alat kelamin.
Keputusan seseorang untuk menentukan ia menjadi seorang waria ataukah tidak, terkait dengan istilah gender identity atau identitas jender. Identitas jender adalah proses dimana seseorang melakukan klasifikasi terhadap dirinya, apakah ia seorang wanita ataukah pria. Selama seorang anak menjalani proses pembentukan identitas jender, yang paling memiliki peran sebagai pembimbing anak adalah keluarga, terutama orang tua. Ketika anak dalam masa pengenalan jenis kelamin serta perannya, tugas utama dari prang tua adalah memperkenalkan hal-hal yang menunjang pembentukan identitas jender sesuai dengan jenis kelamin anak, seperti misalnya mainan, pakaian, gaga rambut, warna, dan lain sebagainya. Selain pengenalan terhadap obyek, hal lain yang juga sangat penting adalah pengenalan terhadap peran dan perilaku yang sesuai dengan jenis kelaminnya.
Ayah dan ibu sebagai orang tua dalam keluarga memiliki peran penting dalam perkembangan anak. Peran tersebut antara lain adalah untuk merawat anak, menjadi teman/companion bagi anak, mengajarkan anak mengenai nilai-nilai ataupun norma-norma terutama yang berkaitan dengan jender, menjadi tokoh model bagi anak, dan juga sebagai pencari nafkah untuk pemenuhan tuntutan ekonomi keluarga. Selain itu menurut Lamb (1997), hubungan ayah dan ibu sebagai pasangan suami istri dan orang tua juga mempengaruhi perkembangan kepribadian anak. Terpenuhi atau tidaknya peran tersebut dapat mempengaruhi perkembangan kepribadian anak, terutama identitas jender.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitati f, dengan teknik pengambilan data dengan wawancara dan observasi. Subyek penelitian ini ada 3 orang, yang pengambilan subyek dengan menggunakan teknik purposive sampling. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa instrument penelitian yaitu alat perekam, pedoman wawancara, lembar informed conscent, dan lembar Identitas diri.
Dari data yang didapat serta berdasarkan hasil analisis dapat terlihat bahwa terdapat kontribusi yang tidak sedikit dari peran orang tua terhadap pembentukan identitas jender anak. Pada setiap peran orang tua terdapat salah satu orang tua yang menonjol dalam memenuhi peran mereka. Salah seorang yang menonjol ini kemudian menjadi patokan anak dalam memandang orang tuanya. Pada responden penelitian sangat terlihat bahwa pemenuhan peran yang paling dinilai positif adalah ibu, dimana ibu sebagai orang yang dekat dengan anak, merawat anak, menerima anak, serta menjadi idola serta rontoh dari anak. Padahal mungkin ibu sebenarnya tidak memenuhi perannya dengan baik, namun karena dianggap menguntungkan anak sehingga dinilai positif oleh anak. Seperti misalnya ibu yang menerima keadaan anak apa adanya, atau juga ibu yang menjadi pembela anak. Pada ayah, terlihat bahwa dalam memenuhi perannya ayah lebih cenderung ditakuti karena ayah lebih banyak melakukan kontrol dengan hukuman fisik yang menyebabkan anak takut dan menghindar dari ayah, atau bahkan melawan ayah. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa masing-masing peran orang tua sangat mempengaruhi pembentukan identitas jender anak, seperti pegajaran, pengawasan, kontrol, perhatian, role model, dan Iainnya."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T17423
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>