Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 147104 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fathan Akbar
"Indonesia dapat dikatakan sebagai negara yang kaya akan keragaman suku, agama, ras, dan budaya. Keragaman demikian salah satunya mendorong penerapan budaya kolektivisme di mana tercermin melalui semangat gotong royong. Selain itu, Indonesia turut dipandang sebagai negara beragama. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara religiusitas dan kolektivisme pada emerging adulthood. Studi kuantitatif korelasional dilaksanakan terhadap sebanyak 241 partisipan yang merupakan Warga Negara Kesatuan Republik Indonesia, berusia 18-25 tahun, minimal telah menempuh pendidikan SMA/SMK sederajat, serta penganut salah satu dari enam agama yang sah di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa religiusitas dan kolektivisme memiliki hubungan positif yang signifikan pada emerging adulthood. Individu dapat membangun religiusitas sebagai sarana memupuk budaya gotong royong dan mengeksplorasi identitas melalui penerapan budaya kolektivisme.

Indonesia is a counry rich in ethnic, religious, racial and cultural diversity. Such diveristy encourages the application of a culture of collectivism, which is reflected through the spirit of gotong royong. In addition, Indonesia is also seen as a religios country. This study aims to examine the relationship between religiosity and collectivism in emerging adulthood. A quantitative correlation study was conducted on 241 participants who were citizens of the Republic of Indonesia, aged 18 – 25 years, had at least a high school education, and adhered to one of the six legal religions in Indonesia. The results showed that religiosity and collectivism have a significant positive relationship in emerging adulthood. Individuals can build religiosity as a means of fostering a culture of gotong royong and exploring identity through the application of a culture of collectivism."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rr. Salsabila Putri Herfina
"Nilai merupakan tujuan yang bervariasi dalam kepentingannya dan berfungsi sebagai pedoman dalam kehidupan manusia. Sosialisasi budaya pada kehidupan individu juga dapat memengaruhi pemilihan perilaku mereka, serta prioritas nilai yang mungkin terbentuk dalam hidup mereka. Salah satu bentuk orientasi budaya merupakan budaya kolektivisme, dimana individu mengidentifikasikan diri sebagai bagian dari kelompok dan mengutamakan tujuan kelompok. Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah terdapat hubungan antara nilai dan kolektivisme pada emerging adulthood. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Portrait Value Questionnaire (PVQ)-21 untuk pengukuran nilai dan The Individualism-Collectivism Interpersonal Assessment Inventory (ICIAI) untuk pengukuran kolektivisme. Hasil penelitian yang dilakukan terhadap 258 partisipan emerging adults menggunakan analisis korelasional menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara 9 tipe nilai, yaitu stimulation, hedonism, achievement, power, security, conformity, tradition, benevolence, dan universalism dan empat jenis hubungan kolektivisme, yaitu keluarga, teman dekat, kolega, dan orang yang tidak dikenal, pada emerging adulthood. Adanya korelasi antara nilai dan kolektivisme diharapkan dapat menjadi sarana penanaman nilai yang positif dalam masyarakat untuk pencapaian tujuan bersama yang positif.

Values are goals that vary in importance and serve as guidelines in human life. Cultural socialization in an individual's life can also influence their choice of behavior, as well as the value priorities that may form in their lives. One form of cultural orientation is collectivism, where individuals identify themselves as part of a group and prioritize group goals. This study aims to see if there is a relationship between values and collectivism in emerging adulthood. The instruments used in this study are the Portrait Value Questionnaire (PVQ)-21 for measuring values and The Individualism-Collectivism Interpersonal Assessment Inventory (ICIAI) for measuring collectivism. The results of a study conducted on 258 emerging adults using correlational analysis showed that there is a significant relationship between 9 types of values, which are stimulation, hedonism, achievement, power, security, conformity, tradition, benevolence, and universalism and four types of collectivism relationships, which are family, close friends, colleagues, and strangers, in emerging adulthood. The correlation between value and collectivism is expected to be a means of instilling positive values in society for the achievement of positive common goals."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hana Salsabila Mahdiyah
"Indonesia merupakan negara yang beragama dan agama menjadi salah satu aspek penting dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Allport dan Ross (1967) ketaatan terhadap agama atau religiusitas individu dapat dilihat berdasarkan orientasinya, yaitu orientasi religiusitas intrinsik dan orientasi religiusitas ekstrinsik. Dalam proses individu memaknai agama dalam hidupnya, dapat dilihat dari bagaimana nilai atau value yang tertanam dalam dirinya. Nilai atau value merupakan pedoman bagi individu untuk berperilaku, mengambil keputusan, dan mengevaluasi peristiwa. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan antara tipe-tipe nilai Schwartz dengan orientasi religiusitas. Peneliti menggunakan alat ukur PVQ-21 untuk mengukur nilai dan Religious Orientation Scale- Revised (ROS-R) untuk mengukur orientasi religiusitas, dengan metode Pearson Correlation. Melalui penyebaran kuesioner, peneliti memperoleh 241 partisipan emerging adulthood dan menemukan hasil yang cukup beragam. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan antara nilai dan orientasi religiusitas. Lebih spesifik, tipe-tipe nilai yang berkorelasi dengan orientasi religiusitas intrinsik adalah benevolence, conformity, tradition, dan stimulation, sedangkan nilai yang berkorelasi dengan orientasi religiusitas ekstrinsik adalah benevolence, achievement, stimulation, tradition, hedonism, dan conformity.

Indonesia is a religious country and religion is one of the important aspects of daily life. According to Allport and Ross (1967), adherence to their religion or religiosity can be seen based on their orientation, which is intrinsic religiosity orientation and extrinsic religiosity orientation. In the process of how individuals perceive religion in their lives, it can be seen based on how values are embedded in them. Values are guidelines for individuals to behave, make decisions, and evaluate events. The purpose of this study is to see the relationship between Schwartz's value types and religiosity orientation. The researcher used the PVQ-21 to measure values and the Religious Orientation Scale- Revised (ROS-R) to measure religiosity orientation, using the Pearson Correlation method. Through the distribution of questionnaires, researchers obtained 241 emerging adulthood participants and found quite diverse results. The results showed there is a relationship between types of several values and religiosity orientation. More specifically, the types of values that correlate with intrinsic religiosity orientation are benevolence, conformity, tradition, and stimulation, while the values that correlate with extrinsic religiosity orientation are benevolence, achievement, stimulation, tradition, hedonism, and conformity."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abigail Cornelia Ayu
"Emerging adulthood merupakan masa transisi bagi individu dari masa remajamenuju dewasa muda. Pada kelompok usia ini ditemukan terdapat beberapa masalah yang muncul dan memengaruhi kehidupan individu yang dapat menyebabkan distres bagi mereka.Salah satu hal yang memiliki peran dalam membantu individu untuk menghadapi permasalahan tersebut yaitu agama. Melalui penelitian ini digunakan untuk melihat hubungan antara religiusitas dan distres psikologis pada populasi masyarakat miskin. Adapun dari hasil penelitian, diperoleh bahwa terdapat hubungan antara religiusitas (M =46.98, SD = 6,87) dan distres psikologis (M = 1,64, SD = 0,47), dengan nilai r(262) = 0,139, p < 0,024. Populasi dari penelitian ini yaitu masyarakat yang berdomisili di wilayah DKI Jakarta, dengan rentang usia 18-29 tahun. Adapun karakteristik partisipan penelitian ini yaitu masyarakat DKI Jakarta yang menerima bantuan dari pemerintah berupa KJP, KIS, atau BPJS. Penelitian ini menggunakan teknik analisis pearson correlation dengan Teknik bivariat. Alat ukur yang digunakan yaitu HSCL-25 (Hopkins Symptom Check List - 25) yang terdiri 25 item (Turnip & Hauff, 2007) dan CRS-15 (Centrality Religiosity Scale) dengan 15 item yang menggambarkan lima dimensi dalam religiusitas (Huber & Huber, 2012).

Emerging Adulthood is a transition period for individuals from adolescence to young adults. In this age group, there are some problems that arise and affect the lives of individuals that can cause distress for them. One of the things that have a role in helping individuals to deal with these problems is religion. This research is used to see the relationship between religiosity and psychological distress in the poor population. As for the results of the study, it was found that there was a relationship between religiosity (M = 46.98, SD = 6.87) and psychological distress (M = 1.64, SD = 0.47), with a value of r (262) = 0.139, p < 0.024. The population of this study is the people who live in the DKI Jakarta area, with an age range of 18-29 years. The characteristics of the participants of this study were the people of DKI Jakarta who received assistance from the government in the form of KJP, KIS, or BPJS. This study used the Pearson correlation analysis technique with bivariate techniques. The measuring instrument used is HSCL-25 (Hopkins Symptom Check List - 25) which has 25 items (Turnip & Hauff, 2007) and CRS-15 (Centrality Religiosity Scale) with 15 items that describe five dimensions in religiosity (Huber & Huber, 2012)."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Niken Regina Hapsari
"Banyaknya isu-isu politik yang menggunakan sentimen agama sudah menjadi keseharian masyarakat Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara religiusitas dengan konservatisme politik, dan peran need of closure sebagai moderator pada hubungan antar variabel-variabel tersebut. Penelitian ini termasuk penelitian korelasional dan cross-sectional serta menggunakan metode analisis korelasi Pearson dan analisis statistik regresi berganda dengan moderasi. Partisipan penelitian ini adalah 282 orang yang merupakan WNI berusia minimal 18 tahun dan menganut agama Islam, Kristen Protestan dan Katolik. Hasil penelitian dengan Pearson correlation menunjukkan adanya korelasi yang signifikan antara religiusitas dengan ideologi politik dan need for closure juga memiliki korelasi yang signifikan dengan konservatisme politik, tetapi hasil analisis moderasi menunjukkan bahwa need of closure ternyata tidak memiliki efek moderasi yang signifikan terhadap hubungan antara religiusitas dengan konservatisme politik.

Many political issues that use religious sentiments have become the daily lives of the people of Indonesia. This study aims to see the relationship between religiosity and political conservatism, and the role needs to be closer as a moderator in the relationship between these variabels. This study included correlational and cross-sectional research and also used Pearson correlation analysis and multiple regression analysis with moderation as analysis method. This study involved 282 participants who represented Indonesian citizens at least 18 years of age and adhered to Islam, Protestantism and Catholicism. The results of the study show that there is a significant correlation between religiosity and political conservatism and need for closure also has significant correlation to political conservatism, but the moderating effect of need for closure turns out to be not significant on the relationship between religiosity and political conservatism."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Minang Warman K
"[ABSTRAK
Religiusitas adalah unsur keberagamaan yang diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan manusia yang diwarnai oleh nuansa kebertuhanan. Di dalam antropologi salah satu cara memeriksa pemaknaan religiusitas bagi pemeluk agama atau kepercayaan adalah melalui perhatian terhadap praktik-praktik dalam diskursus pemeluk agama atau kepercayaan tersebut. Cara ini merupakan kritik bagi antropologi intepretatif yang menyebutkan simbol agama sebagai satu- satunya wahana pemberi makna religiusitas bagi pemeluknya. Salah satu organisasi kepercayaan yang berada di Indonesia yaitu Paguyuban Sumarah menjalankan sebuah praktik spiritual guna memaknai religiusitasnya. Upaya ini melalui sujud sumarah yang diyakini oleh warganya sebagai cara guna memaknai kebersatuan manusia dengan sang pencipta (manunggal). Untuk dapat memaknai kemanunggalan tersebut di dalam praktik sujud, paguyuban sumarah melakukan latihan bersama yang diselenggarakan secara gradual. Pada latihan bersama warga diminta untuk mengikuti kaidah dan ajaran yang terdapat di dalam paguyuban guna mencapai tujuan yaitu memaknai kemanunggalan terhadap Tuhan. Di sini terlihat bahwa usaha menumbuhkan pemaknaan akan Tuhan harus di lalui dengan melaksanakan kaidah-kaidah di dalam praktik sujud guna membangun emosi keagamaan yang berfungsi membentuk struktur disposisi tubuh dan jiwa pada perilaku warga. Dalam tradisi sumarah, proses kontemplasi intelektual dan proses manunggal tak dapat dipisahkan dari latihan dalam praktik sujud sumarah.

ABSTRACT
Religiosity is an element of diversity that manifested in various sides of human life which shape by shades of Godliness. In anthropology a one way to check the meaning of religiosity to religion or belief is through pay the attention to practices in their discourse of the religion or belief. This way is a criticism of interpretative anthropology which mentions religious symbols as the sole vehicle for giving significance to its adherent?s religiosity. One of the belief organization's in Indonesia, namely the Sumarah run a spiritual practice in order to make sense of religiosity. This effort through Sujud Sumarah believed by its citizens as a way to make sense of human oneness with the creator (unified). To understand the oneness in the practice of prostration, Sumarah community conduct joint exercises gradually. In the joint exercises, the residents were asked to follow the rules and teachings contained in the community in order to achieve the objectives that make sense of oneness of God. Here can see the effort to grow the meaning of God must be passed to implement the rules in the practice of sujud in order to build a functioning religious emotions form the structure of the disposition of the body and soul on the behavior of citizens. In the Sumarah tradition, intellectual contemplation process and unified process cannot be separated from the exercise in practice of Sujud Sumarah., Religiosity is an element of diversity that manifested in various sides of human life which shape by shades of Godliness. In anthropology a one way to check the meaning of religiosity to religion or belief is through pay the attention to practices in their discourse of the religion or belief. This way is a criticism of interpretative anthropology which mentions religious symbols as the sole vehicle for giving significance to its adherent’s religiosity. One of the belief organization's in Indonesia, namely the Sumarah run a spiritual practice in order to make sense of religiosity. This effort through Sujud Sumarah believed by its citizens as a way to make sense of human oneness with the creator (unified). To understand the oneness in the practice of prostration, Sumarah community conduct joint exercises gradually. In the joint exercises, the residents were asked to follow the rules and teachings contained in the community in order to achieve the objectives that make sense of oneness of God. Here can see the effort to grow the meaning of God must be passed to implement the rules in the practice of sujud in order to build a functioning religious emotions form the structure of the disposition of the body and soul on the behavior of citizens. In the Sumarah tradition, intellectual contemplation process and unified process cannot be separated from the exercise in practice of Sujud Sumarah.]"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Fauzan Riyadi
"Di era digital ini identik dengan kemajuan tekhnologi, salah satunya adalah kemudahan dalam komunikasi melalui media sosial yang menyebabkan banyaknya informasi yang tidak semua benar atau disebut informasi palsu atau hoax. Ini memunculkan permasalahan intensitas dalam menyebarkan informasi hoax. Karena banyak masyarakat yang tidak berhati-hati dalam menyebarkan informasi, hingga banyak yang menyebarkan informasi palsu secara tidak sengaja tanpa mengecek informasinya terlebih dahulu. Peneliti melihat adanya self control dan religiusitas dapat mengatasi permasalahan banyaknya penyebaran informasi hoax ini.
Tujuan dari penelitian ini adalah mencari tahu apakah ada hubungan antara self control dan religiusitas terhadap intensitas penyebaran informasi hoax serta mencari tahu seberapa besar kontribusinya.
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif. Respoden dalam penelitian ini adalah komunitas remaja Islam di Jakarta yaitu Remaja Islam Sunda Kelapa (RISKA) di Menteng, Jakarta Pusat dengan rentang usia antara 18 sampai 30 tahun. Hasil dari data yang didapat dari kuesioner diolah dengan statistik tekhnik regresi dengan SPSS. Hasil penelitian ini untuk mencari arah hubungan antara variabel self control dan religiusitas terhadap intensitas penyebaran informasi hoax dan melihat apakah ada hubungan antara ketiga variabel tersebut atau tidak serta kontribusinya.
Hasil dari penelitian menunjukan ada hubungan antara self control, religiusitas, dan intensitas penyebaran informasi hoax, hubungan tersebut bersifat negatif, artinya jika self control atau religiusitas seseorang naik, maka intensitas penyebaran informasi hoax orang tersebut akan menurun, begitu juga sebaliknya. Kontribusi dari self control terhadap intensitas penyebaran informasi hoax bernilai sedang, yaitu dengan nilai pearson correlation sebesar 0.485. Sedangkan kontribusi dari religiusitas terhadap intensitas penyebaran informasi hoax bernilai rendah dengan nilai pearson correlation sebesar 0.211. Hal ini menunjukan jika self control memiliki kontribusi lebih besar terhadap intensitas penyebaran informasi hoax dibandingkan religiusitas.

This digital era is identical with technological advances; one of which is ease of communication through social media. It facilitates the spread of a lot of information that is not all true or what so-called false information or hoax. This raises problems in the intensity of hoax spread because there are many people who are not careful in spreading information. Therefore, many people spread false information accidentally because they do not check the truth of the information first. The researcher argues that self-control or religiosity can overcome problems related to the hoax spread.
The objective of this study is to find out whether or not there is a relationship between self-control or religiosity and the intensity of the hoax spread and to find out how much they contribute.
This study applies quantitative method. The respondents of this study were the Muslim youth community in Jakarta; i.e. Remaja Islam Sunda Kelapa (RISKA) in Menteng of Central Jakarta with an age range between 18 and 30 years. The results, from the data obtained from the questionnaire, were processed using statistical regression technique with the help of SPSS. The results of the study are intended to find the direction of the relationship between the variables of self-control or religiosity and the intensity of the hoax spread and to see whether or not there is a relationship between the three variables and their contribution.
The results of the study showed that there is a relationship between self-control or religiosity and the intensity of the spread of hoaxes where the relationship is negative. It means that if a person`s self-control or religiosity increases, the intensity of the hoax spread on that person will decrease and vice versa. The contribution of self-control to the intensity of the hoax spread is in moderate value; i.e. the Pearson correlation value is 0.485. In addition, the contribution of religiosity to the intensity of the hoax spread is low; i.e. the Pearson correlation value is 0.211. This shows that self-control has a greater contribution to the intensity of hoax spread than religiosity.
"
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2019
T54250
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Intan Kusumadewi
"Mahasiswa merupakan populasi yang rentan terhadap distres psikologis dikarenakan berbagai macam kesibukan dan karateristik yang ia miliki. Saat ini mayoritas mahasiswa merupakan emerging adult yang sedang bereksplorasi dengan dirinya dan terbuka lebar berbagai peluang untuknya. Dengan hal tersebut berbagai aspek kehidupannya pun menjadi hal yang diperluas terus menerus. Religiusitas merupakan satu dari berbagai macam hal yang menjadi bagian eksplorasi emerging adult. Pada penelitian sebelumnya ditemukan bahwa mahasiswa cenderung memiliki keikutsertaan pada kegiatan agama yang cukup rendah dan memiliki distres yang tinggi.
Dalam penelitian ini, peneliti ingin melihat apakah ada kaitan antara religiusitas dengan tingkat distres psikologis pada mahasiswa. HSCL-25 dan CRS-15 digunakan untuk mengukur distres psikologis dan religiuitas pada 1959 respponden. Hasilnya menunjukan dari lima dimensi religiusitas, 2 diantaranya berkorelasi secara positif yakni dimensi intelektual r= 0.056, n=1959, p>0.05 dan praktik keagamaan pribadi r= 0.074, n=1959, p

College students are prone to psychological distress due to their own characteristics. Today lsquo s college students are emerging adult that most likely doing things to explore many aspects in their life. Religiosity is one of many aspects from emerging adult rsquo s life that is being explored while they are still in college. In previous study, college students are low when it comes to religious practice. In another study, they found that college students have a high psychological distress.
In this study, the main objective is to find if there is any significant relationship between religiosity and psychological distress. HSCL 25 and CRS 15 is used to measure psychological distress and religiosity in 1959 college students. The finding is that 4 from 5 dimension of religiosity have a significant relationship with psychological distress.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2017
S67746
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Judithia A. Wirawan
"Dalam rangka menghadapi era pasar bebas dunia, Indonesia harus mempersiapkan sumber daya manusianya agar mampu bersaing dengan SDM dari negara lain. Salah satu kelemahan SDM kita adalah masih adanya kecenderungan untuk mendahulukan kepentingan kelompok yang Iebih dekat, walaupun dengan hasil yang tidak menguntungkan. Hai ini terutama menjadi masalah bila dilakukan oleh para profesional karena mereka mempunyai wewenang mengambil keputusan untuk perusahaannya. Ciri mendahulukan kepentingan kelompok yang Iebih dekat adalah ciri dari orang yang menganut kolektivisme, yang merupakan salah satu titik ekstrim dan dimensi individualisme-kolektivisme.
Dari teori yang diajukan oleh Kohlberg, peneliti mendapat gambaran bahwa ciri orang yang menganut kolektivisme Iebih dekat dengan ciri orang yang berada dalam tingkat perkembangan moral konvensional sedangkan ciri orang yang menganut individualsme Iebih dekat dengan ciri orang yang berada dalam tingkat perkembangan post-konvensional. Selain itu, nilai seseorang juga akan dipengaruhi oleh gendernya, karena anak dari jenis kelamin berbeda disosialisasikan secara berbeda sehingga menganut nilai-niiai yang berbeda pula, yaitu wanita Iebih mementingkan keluarga sedangkan pria Iebih mementingkan prestasi dan karirnya sendiri. Berdasarkan hal itu, peneliti ingin melihat apakah ada hubungan antara individualisme-kolektivisme dengan tahap perkembangan moral dan gender. Penelitian ini dilakukan pada 76 subyek dengan menggunakan incidental sampling. lnstrumen penelitian berupa kuesoner Indcol 1994 dan Dilema Moral Kohlberg.
Hasil utama penelitian menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara individualisme-kolektivisme dengan tahap perkembangan moral maupun dengan gender. Hasil yang tidak sesuai dengan tinjauan kepustakaan ini menurut peneliti terutama disebabkan oleh adanya restriction of range pada data yang diperoleh, yaitu data kurang bervariasi, skor hanya berkisar pada central tendency saja. Untuk penelitian Iebih lanjut. peneliti menyarankan untuk mengambil sampel dengan karakteristik berbeda untuk menghindari homogenitas sampel yang menyebabkan restriction of range. Selain itu, peneliti juga menyarankan dilakukan penyempurnaan dalam hal metodologi."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1996
S2363
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zahra Fathiyah
"Penelitian ini menganalisis representasi budaya kolektivisme masyarakat Korea Selatan dalam tren busana musim dingin di Korea Selatan. Kolektivisme merupakan salah satu nilai yang terdapat di tengah masyarakat Korea Selatan yang didasari oleh paham Konfusianisme. Kolektivisme merupakan nilai yang menekankan pada kepentingan dan identitas kolektif di atas individu. Pada masyarakat dengan nilai kolektivisme, individu cenderung memiliki konstruksi diri interdependen yang terfokus pada hubungan dan keselarasan sosial. Nilai kolektivisme yang terdapat di tengah masyarakat Korea Selatan dapat dilihat melalui perilaku mereka terhadap berbagai fenomena sosial, salah satunya tren busana yang berkembang. Oleh karena itu, pertanyaan penelitian pada penelitian ini adalah bagaimana tren busana musim dingin menunjukkan kolektivisme masyarakat Korea Selatan. Penelitian ini merupakan studi pustaka dengan menggunakan pendekatan kualitatif-deskriptif. Penelitian ini bertujuan untuk menguak representasi nilai budaya kolektivisme masyarakat Korea Selatan melalui cara mereka menghadapi tren busana musim dingin. Hasil penelitian memperlihatkan respon masyarakat Korea Selatan terhadap tren busana musim dingin yang menunjukkan adanya nilai budaya kolektivisme yang didasari oleh konstruksi diri interdependen di masyarakat.

This study analyses the representation of South Korean collectivism seen in South Korea’s past winter fashion trends. Collectivism is one of Confucianism-based values that currently exist in the South Korean society. Collectivism is a value that puts an emphasis on collective identity and interests over individual. In a society with collectivistic values, individuals tend to have the interdependent self construal that focuses on social relationships and harmony. Collectivistic values that prevail in the middle of the South Korean society can be seen through the attitude of the people towards numerous social phenomenons, one of them being the fast-growing fashion trends. Therefore, the research question proposed for this study is how the winter fashion trends show the collectivistic values of the South Korean society. This literature study uses qualitative-descriptive method of research. The purpose of this study is to reveal the representation of collectivistic values of South Koreans through their ways of facing winter fashion trends. The results show the South Koreans’ ways of responsing to the winter fashion trends that exhibit collectivistic values as a result of the interdependent self-construal of the people."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>