Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 196081 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Steven Gunawan
"Latar Belakang Sebagian besar kasus batu Staghorn ditangani dengan tindakan nefrolitotomi perkutan (PCNL), baik dengan pendekatan dari kutub atas (UP) atau nonkutub atas (bawah atau tengah) (NP). Pendekatan NP memiliki risiko perdarahan dan komplikasi pada toraks yang lebih rendah namun memungkinkan tidak tercapainya pembersihan batu secara menyeluruh. Pendekatan UP dapat menjadi pilihan karena dapat menciptakan akses langsung ke sistem pengumpulan ginjal. Namun, pendekatan UP berkaitan dengan tingkat komplikasi yang lebih tinggi, diantaranya pneumotoraks dan hidrotoraks serta risiko perdarahan yang lebih tinggi. Meta-analisis ini bertujuan untuk mendeskripsikan luaran dan keamanan PCNL untuk batu staghorn menggunakan pendekatan UP dan NP. Metode Tinjauan literatur sistematis dilakukan menggunakan beberapa pangkalan data seperti: PubMed; EBSCO; ScienceDirect; Cochrane dan Google Scholar. Data dari semua artikel terpilih diekstraksi oleh dua peninjau independen. Parameter yang relevan ditelaah lebih lanjut menggunakan Review Manager V5.3. Hasil Lima studi komparatif terkait batu Staghorn melibatkan 384 unit ginjal dianalisis; 176 kasus ditatalaksana dengan pendekatan UP dan 208 kasus dengan pendekatan NP. Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam stone-free rate antara kedua pendekatan, dimana 74,4% dengan pendekatan UP dan 71,1% dengan pendekatan NP mencapai kondisi stone-free (OR: 1,55; 95% CI: 0,92-2,63; P=0,10). Tidak ada perbedaan yang signifikan pada tingkat komplikasi pada toraks (hidrotoraks dan pneumotoraks) (OR: 3,14; 95% CI: 0,63-15,62; P=0,16). Namun, 5 dari 176 pasien yang menjalani pendekatan UP tercatat mengalami komplikasi pada toraks. Kedua pendekatan memiliki insidensi demam pasca prosedur dan sepsis yang sama (OR: 1,18; 95% CI: 0,52-2,64; P=0,69). Baik kebocoran urin pasca prosedural (OR: 2.03; 95% CI: 0.70-5.85; P=0.19) maupun kebutuhan transfusi darah (OR: 0.49; 95% CI: 0.14-1.76; P=0.27) tidak berbeda signifikan antara kedua pendekatan. Kesimpulan PCNL dengan akses UP untuk tatalaksana batu staghorn memiliki stonefree rate yang sama dengan pendekatan NP. Tingkat komplikasi pada toraks yang semula diyakini lebih tinggi pada kelompok UP juga didapatkan sama dengan pada pendekatan NP.

Background Staghorn stones are mostly treated by percutaneous nephrolithotomy (PCNL), either with an upper-pole (UP) or non-upper (lower- or middle-) pole (NP) approach. NP access has a lower risk of bleeding and thoracic complications but may not be sufficient for complete stone clearance. UP access is advocated as the preferred approach, because of direct access to the collecting system. However, it is associated with a higher complication rate, including pneumothorax and hydrothorax, and a higher risk of bleeding. This meta-analysis aimed to describe the outcomes and safety of PCNL for staghorn stones using UP and NP approaches. Methods A systematic literature review was conducted using several databases such as: PubMed; EBSCO; Science Direct; Cochrane and Google Scholar. Data from all selected articles were extracted by two independent reviewers. Relevant parameters explored using Review Manager V5.3. Results Five comparative studies of staghorn stones involving 384 renal units were analyzed; 176 cases used the UP approach and 208 the NP approach. There was no significant difference in stone-free rate between these approaches, with 74.4% undergoing the UP approach and 71.1% the NP approach considered stone-free (OR: 1.55; 95% CI: 0.92-2.63; P=0.10). The rate of thoracic complications (hydrothorax and pneumothorax) did not differ significantly (OR: 3.14; 95% CI: 0.63-15.62; P=0.16). However, we noted that 5 of 176 patients that underwent the UP approach experienced thoracic complications. The incidence of post-procedural fever and sepsis is similar (OR: 1.18; 95% CI: 0.52-2.64; P=0.69). Neither post procedural urine leakage (OR: 2.03; 95% CI: 0.70-5.85; P=0.19) nor requirement of blood transfusions (OR: 0.49; 95% CI: 0.14- 1.76; P=0.27) differed significantly. Conclusion PCNL with UP access for staghorn stone has a similar stone-free rate to the NP approach. Thoracic complication rate which was believed to be higher in the UP group is also deemed similar with NP access."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dhita Kurniasari
"Pendahuluan: Masalah fungsional dan kosmetik semakin meningkat akibat adanya defek pada area craniofacial termasuk mandibula yang membentuk bagian bawah wajah. Rekonstruksi mandibula bertujuan memberikan kemungkinan maksimal dari hasil fungsional dan estetik. Hasil yang optimal dari fungsi rekonstruksi mandibula adalah salah satu tujuan dari penggunaan teknik flap bebas fibula. Dengan bantuan dari perkembangan system proses komputer dalam desain dan pembuatan, operasi craniomaxillofacial dapat dilakukan dengan bantuan komputer melalui berbagai bentuk dan variasi tujuan. Dalam rangka menelaah kualitas dari penelitian yang telah tersedia dan memberikan informasi untuk pengambilan keputusan, kajian mengenai perbadingan operasi dengan bantuan komputer (CAS) dengan metode konvensional freehand (CFS) menjadi penting untuk dilakukan.
Metode: Pencarian pustaka sistematis dilakukan pada pusat data PubMed, ProQuest, Cochrane Library, EBSCOhost, Wiley Library, Science Direct, dan Scopus, mencakup semua studi dengan data utama yang membandingkan hasil akurasi, efisiensi, komplikasi, dan fungsional diantara kelompok CAS dan CFS. Risiko bias studi dinilai menggunakan Newcastle-Ottawa Scale (NOS). Meta-analisis dilakukan melalui Review Manager.
Hasil: Enam belas studi kohort memenuhi kriteria eligibilitas dari 355 studi pada pencarian awal. Studi dengan hasil yang sama (akurasi, efisiensi, komplikasi, dan fungsional) dibandingkan antara kelompok CAS dan CFS. Sebanyak 13 studi menunjukkan hasil signifikan secara statistik pada penilaian efisiensi: waktu ischemia lebih singkat (-34.84 menit, 95% CI: -40.04 to -29.63; p<0.00001; I2=94%), total waktu operasi lebih singkat (-70.04 menit, 95% CI: -84.59 to -55.49; p<0.00001; I2=77%), waktu rekonstruksi lebih singkat (-41.86 minutes, 95% CI: -67.15 to -16.56; p=0.001; I2=93%), dan lama rawat inap yang lebih singkat(-2.98 days, 95% CI: -4.35 to -1.61; p=0.0001; I2=7%) pada kelompok CAS dibanding kelompok CFS.
Kesimpulan: Kajian sistematis dan meta-analysis menunjukkan hasil yang lebih baik pada kelompok CAS dibandingkan dengan CFS yang signifikan pada hasil efisiensi, Namun beberapa studi melaporkan berbagai analisis statistik dengan berbagai parameter untuk kategori hasil komplikasi, akurasi, dan fungsional. Seluruh studi sepakat bahwa CAS memberikan manfaat yang lebih dibandingkan CFS, walaupun CFS masih dapat menjadi pilihan.

Background: Major functional and cosmetic problems will arise from defects in craniofacial regions, including mandible which constructs the shape of lower third of the face. The aim of mandibular reconstruction is to achieve the best possible functional and aesthetic outcomes. The optimal return of mandibular bone function is one of the reconstruction goals using free fibular flap (FFF). With aid of the evolving computer processing system for design and manufacturing, craniomaxillofacial surgery can be conducted with computer-aided surgery in many forms and varied proposes. In order to evaluate the quality of available article and to provide information for decision-making, review of comparison between computer-aided surgery (CAS) and conventional freehand surgery (CFS) need to be evaluated.
Methods: A systematic search was conducted on PubMed, ProQuest, Cochrane Library, EBSCOhost, Wiley Library, Science Direct, and Scopus, including all studies with primary data that compared accuracy, efficiency, complication, and functional outcomes between CAS and CFS group. Risk of bias for included studies were assessed based on Newcastle-Ottawa Scale. Meta-analysis was performed in Review Manager.
Results: Sixteen cohort studies were included that meet the eligibility criteria from initial searches of 355 studies. Studies with the same outcome (accuracy, efficiency, complication, and functional) are compared in CAS and CFS group. Thirteen studies demonstrated statistically significant efficiency outcomes: shorter ischemia time (-34.84 minutes, 95% CI: -40.04 to -29.63; p<0.00001; I2=94%), shorter total operative time (-70.04 minutes, 95% CI: -84.59 to -55.49; p<0.00001; I2=77%), shorter reconstruction time (-41.86 minutes, 95% CI: -67.15 to -16.56; p=0.001; I2=93%), and shorter length of hospital stay (-2.98 days, 95% CI: -4.35 to -1.61; p=0.0001; I2=7%) in CAS group than CFS group.
Conclusion: Systematic review and meta-analysis demonstrated higher outcomes CAS group compared to conventional group significantly in efficiency outcomes. However, some studies performed diverse statistical analysis on several parameters for outcomes category such as complications, accuracy, and functional. All studies agreed that CAS group has higher benefits than conventional method, although the conventional method is still an option.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Prahara Yuri
"Background: the optimal management of lower calyceal stones is still controversial, because no single method is suitable for the removal of all lower calyceal stones. Minimally invasive procedures such as extracorporeal shock wave lithotripsy (ESWL), percutaneous nephrolithotomy (PCNL) and flexible ureteroscopy (fURS) are the therapeutic methods for lower calyceal stones. The aim of this study was to identify the optimal management of 10-20 mm lower pole stones.
Methods: a meta-analysis of cohort studies published before July 2016 was performed from Medline and Cochrane databases. Management of 10-20 mm lower pole stone treated by fURS, ESWL and PCNL with follow-up of residual stones in 1-3 months after procedure were include and urinary stone in other location and size were excluded. A fixed-effects model with Mantzel-Haenzel method was used to calculate the pooled Risk Ratio (RRs) and 95% Confidence Interval (CIs). We assessed the heterogeneity by calculating the I2statistic. All analyses were performed with Review manager 5.3. Results: we analized 8 cohort studies. The stone free rate from 958 patients (271 PCNL, 174 fURS and 513 ESWL), 3 months after operation, was 90.8% (246/271) after PCNL; 75.3% (131/174) after fURS; and 64.7% (332/513) after ESWL. Base on stone free rate in 10-20 mm lower pole stone following management, PCNL is better than fURS (overall RR was 1.32 (95% CI 1.13 – 1.55); p<0.001 and I2=57%) and ESWL (overall risk ratio 1.42 (95% CI 1.30 – 1.55); p=<0.001 and I2 = 85%). But, if we compare between fURS and ESWL, fURS is better than ESWL base on stone free rate in 10-20 mm lower pole stone management with overall RR 1.16 (95% CI 1.04 – 1.30; p=0.01 and I2=40%). Conclusion: percutaneus nephrolithotomy provided a higher stone free rate than fURS and ESWL. This meta-analysis may help urologist in making decision of intervention in 10-20 mm lower pole stone management.

Latar belakang: pengelolaan optimal batu kaliks inferior masih kontroversial, karena tidak ada suatu metode tunggal yang sesuai untuk menghilangkan semua batu kaliks inferior. Prosedur invasif (fURS) minimal seperti extracorporeal shock wave lithotripsy (ESWL), percutaneous nephrolithotomy (PCNL) dan flexible ureteroscopy adalah pilihan terapi untuk batu kaliks inferior. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui manajemen optimal batu kaliks inferior ukuran 10 - 20 mm.
Metode: studi meta-analisis dari penelitian kohort sebelum Juli 2016 dengan menggunakan database Medline dan Cochrane dilakukan. Batu kaliks inferior ukuran 10-20 mm ditatalaksana dengan fURS, ESWL dan PCNL dengan follow up 1-3 bulan setelah tindakan merupakan kriteria inklusi, sedangkan batu saluran kemih di lokasi lain dan dengan ukuran yang berbeda di eksklusi. Data dianalisis dengan fixed-effects model menggunakan metode Mantzel-Haenzel untuk menghitung pooled Risk Ratio (RR) dan 95% Confidence Interval (CI). Heterogenitas dinilai dengan menghitung statistik I2. Semua analisis dilakukan dengan Review manager 5.3.
Hasil: kami menganalisis 8 penelitian kohort. Angka bebas batu dari 958 pasien (271 PCNL, 174 fURS dan 513 ESWL), 3 bulan pasca operasi, adalah 90,8% (246/271) setelah PCNL, 75,3% (131/174) setelah fURS dan 64,7 % (332/513) setelah ESWL. Berdasarkan angka bebas batu, PCNL lebih baik dari fURS (overall RR 4,12 (95% CI 2,09 – 8,09); p<0,001 dan I2=0%) dan ESWL (overall RR 0,23 (95% CI 0,16 – 0,35); p = <0,001 dan I2 = 32,8%). Namun, bila dibandingkan antara fURS dan ESWL, fURS lebih baik dari pada ESWL dengan overall RR 0,66 (95% CI0,47 - 0,92; p = 0.015 dan I2 = 45,5%).
Kesimpulan: PCNL memberikan angka bebas batu yang lebih tinggi dibandingkan dengan fURS dan ESWL. Studi meta-analisis ini diharapkan dapat membantu ahli urologi sebelum melakukan tindakan intervensi pada batu kaliks inferior ukuran 10-20 mm.
"
Jakarta: Interna Publishing, 2018
610 UI-IJIM 50:1 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Danny Darmawan
"Latar belakang: Asma merupakan penyakit ditandai peradangan saluran napas kronik. Satu dari tiga kasus tidak memberikan respon adekuat. Modalitas alternatif terapi  asma adalah magnesium inhalasi. Inhalasi magnesium memiliki efek samping sistemik minimal. Oleh karena itu, peran magnesium inhalasi perlu diteliti lebih lan
Tujuan: Penelitian bertujuan untuk mengetahui efektivitas dan keamanan pemberian magnesium inhalasi pada pasien dewasa mengalami  asma akut.
Metode: Penelusuran literatur dilakukan dua peneliti independen melalui: PubMed/ MEDLINE, Google Scholar, ProQuest, dan Cochrane dengan kata kunci “magnesium inhalasi” dan “serangan asma” dalam bahasa Inggris dan Indonesia. Pencarian manual dan snowballing dilakukan di portal data nasional. Studi yang dimasukkan adalah uji acak terkontrol mengenai perbandingan magnesium inhalasi dengan terapi standar pada serangan asma akut. Penilaian efektivitas berdasarkan parameter readmisi, tanda vital, perbaikan klinis, serta fungsi paru, sedangkan keamanan berdasarkan parameter efek samping. Protokol telaah sistematis didaftarkan pada PROSPERO.
Hasil: Lima artikel diikutsertakan dalam telaah sistematis. Dua artikel diikut-sertakan menilai aspek  readmisi. Tiga studi  menilai hubungan magnesium terhadap tanda vital pasien. Dua studi menilai tingkat keparahan penyakit dan perbaikan klinis. Studi menunjukkan tidak terdapat hubungan bermakna pemberian magnesium inhalasi pada aspek readmisi pasien (RR 1; IK 95% 0.92 - 1,08; p= 0,96), dan saturasi oksigen (MD  1,82; IK 95%: -0.89 - 4.53; p= 0.19). Ada penurunan bermakna laju napas pasien  (MD -1,72; IK 95% -3,1 -0.35; p= 0.01), dan perbaikan gejala pada pasien  (RR 0.29; IK95% 0.18 - 0.47; p <0.001). Ada peningkatan bermakna efek samping pasien magnesium inhalasi (HR 1.56; IK 95% 1.05 – 2.32; p= 0.32). Efek samping relatif ringan  berupa hipotensi dan rasa mual. 
Kesimpulan: Magnesium inhalasi memperbaiki  klinis pasien asma terutama gejala, laju napas, dan fungsi paru.  Magnesium inhalasi dikatakan aman jika diberikan pada pasien, namun hati-hati penggunaan pada pasien hipotensi.

Background:  Asthma is a disease characterized by chronic airway inflammation. Asthma occurs to many people worldwide. One third of asthmatic case did not respond adequately to standard therapy (Short Acting Beta Agonist, Anticholinergic, Corticosteroid). One of alternative treatment of asthma is inhaled magnesium.  Theoretically, inhaled magnesium is thought to have less systemic side effect and could act directly to respiratory tract. However, the role of inhaled magnesium therapy is not established yet.
Objective: This review is made to evaluate the effectiveness and safety of nebulized magnesium in adult with acute asthma attack.
Methods: Literature search was conducted by two independent investigators through online databases: PubMed/MEDLINE, Cochrane, ProQuest, and Google scholar using the keywords “inhaled magnesium” and “asthma” in English and Indonesian. Manual searches and snowballing were carried out through national data portals and medical faculty e-libraries. Journal articles included in this study are randomized controlled trials that observed inhaled magnesium in adult with acute asthma attack. All the protocol of this systematic review has been registered in PROSPERO.
Result: There are five articles included in this review. Two of them evaluate the effect of magnesium in term of readmission, three of the studies measures effect of magnesium in vital sign, and two of them evaluate the effect of magnesium in term of severity of asthma There is no significant difference in readmission rate and oxygen saturation in magnesium group compared to control (RR 1; 95% CI 0.92 to 1,08; p= 0,96 and MD 1,82; 95% CI -0.89 to 4.53; p= 0.19, respectively). There is significant reduction of respiratory rate and clinical severity in magnesium (MD -1,72; 95% CI   -3,1 to 0.35; p= 0.01, RR 0.29; 95% CI 0.18 to 0.47; p <0.001, respectively). There was a higher risk of side effect in magnesium group (HR 1.56; 95%CI 1.05 to 2.32; p= 0.03). However, the side effect is relatively mild such as hypotension and nausea.
Conclusion: Inhaled magnesium improves clinical outcome for patient with asthma attack especially lung function, improvement of clinical outcome, and lung function. Moreover, Inhaled magnesium is considered safe to be given to asthmatic patient. However, the inhaled magnesium is given with caution in patient with hypotension.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
M Iqbal Tafwid
"Latar Belakang Disfungsi saluran kemih bawah (LUTD) adalah istilah yang merujuk pada gangguan penyimpanan dan pengosongan urin, atau disfungsi kandung kemih, termasuk gejala saluran kemih bawah (LUTS). Arus interferensial digunakan untuk memberikan arus frekuensi rendah yang diperlukan untuk stimulasi transkutan struktur internal tanpa menyebabkan ketidaknyamanan. Elektroterapi interferensial (IET) telah banyak digunakan untuk mengobati LUTD. Namun, IET belum banyak diteliti dalam hal evaluasi klinisnya, terutama pada anak-anak dengan LUTD. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji efektivitas dan efek IET terhadap kualitas hidup pasien disfungsi kandung kemih dibandingkan dengan terapi konservatif konvensional.
Metode Basis data PubMed, Cochrane Library, Scopus, EBSCOhost EMBASE, dan CINAHL dicari secara sistematis termasuk semua studi dengan data primer yang membandingkan kualitas hidup dan hasil urodinamik terapi listrik interferensial dan terapi konservatif konvensional. Risiko bias untuk studi yang termasuk dievaluasi. Meta-analisis dilakukan dengan menggunakan Review Manager (Revman 5.4).
Hasil Delapan studi yang memenuhi kriteria inklusi, dengan sebagian besar menunjukkan risiko bias rendah, telah dimasukkan dalam tinjauan ini. Dari delapan studi yang termasuk, lima studi dapat dianalisis lebih lanjut menggunakan meta-analisis. Hasil meta-analisis menunjukkan bahwa IET secara signifikan mengurangi kejadian inkontinensia siang hari (RR: 0,27, 95% CI: 0,14-0,50), dan pola pengosongan abnormal (RR: 0,44, 95% CI: 0,22-0,91) dibandingkan dengan CCT. Namun, tidak ada perbedaan signifikan yang diamati dalam kejadian inkontinensia malam hari, waktu pengosongan, volume pengosongan, PVR, Qmax, atau Qave dengan IET dibandingkan dengan CCT.
Kesimpulan Studi ini mengkonfirmasi IET sebagai modalitas yang efektif dalam pengobatan disfungsi kandung kemih dengan beberapa LUTS pada anak-anak.

Background Lower urinary tract dysfunction (LUTD) is an exclusive term that refers to impairments in urine storage and voiding, or bladder dysfunction, including lower urinary tract symptoms (LUTS). During recent decades, inferential electrotherapy (IET) has been expanded and extensively used to treat LUTD in both adults and children. Despite some prior studies, to our knowledge IET has not been studied much in terms of its clinical evaluation, especially in children with LUTD. This systematic review and meta-analysis aims to address the efficacy and effect of IET on the quality of life for bladder dysfunction patients compared to conventional conservative therapy (CCT).
Methods PubMed, Cochrane Library, Scopus, EBSCOhost EMBASE and CINAHL databases were systematically searched including all studies with primary data that compared the quality of life and urodynamic outcomes of interferential electric and conventional conservative therapy. The risk of bias for included studies was assessed. Meta-analysis was performed in Review Manager (Revman 5.4).
Results Eight Studies were included that meet the eligibility criteria, with the majority exhibiting a low risk of bias. Of the eight studies included, five studies were able to be further analyzed using meta-analysis. The meta-analysis results show that IET significantly reduced the incidence of daytime incontinence (RR: 0.27, 95% CI: 0.14-0.50), and abnormal voiding patterns (RR: 0.44, 95% CI: 0.22–0.91) compared to CCT. However, no significant difference was observed in the incidence of nighttime incontinence, voiding time, voiding volume, PVR, Qmax or Qave with IET compared to CCT.
Conclusion Overall, studies confirm IET as an effective modality in the treatment of bladder dysfunction with several LUTS in children. IET is safe, with no significant adverse events reported promising results in bowel and urinary disorders in children.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irham Arif Rahman
"Latar Belakang: Disfungsi ereksi (DE) adalah salah satu penyakit sering ditemukan pada mereka yang menderita penyakit ginjal stadium akhir (ESRD). Meskipun transplantasi ginjal memperbaiki masalah ini pada beberapa pasien, sebanyak 20 hingga 50% penerimanya terus menderita DE. Sampai saat ini, literatur mengenai efek transplantasi ginjal terhadap DE masih kontroversial. Mayoritas penelitian menunjukkan bahwa pasien mendapatkan kembali fungsi ereksi setelah transplantasi ginjal, sedangkan penelitian lain menunjukkan efek minimal transplantasi terhadap status DE. Kami melakukan tinjauan sistematis untuk merangkum efek transplantasi ginjal terhadap status DE.
Metode: Pencarian literatur sistematis di PubMed, Cochrane, dan Scopus, dilakukan pada bulan April 2020 dengan menggunakan kata bebas dan istilah MeSH. Kami memasukkan semua penelitian prospektif yang menyelidiki skor IIEF sebelum dan sesudah transplantasi pada penerima transplantasi ginjal dengan DE.
Hasil: Pencarian database awal di PubMed dan Google Scholar menghasilkan 4.052 makalah. 42 makalah dipertimbangkan untuk analisis teks lengkap. Dari 42 teks lengkap yang dicari, empat diantaranya dimasukkan dalam tinjauan sistematis. Sebanyak 152 dari 230 subjek menunjukkan peningkatan fungsi ereksi melalui skor IIEF-5 setelah transplantasi ginjal. Meta-analisis yang dilakukan terhadap skor IIEF dan kadar Testosteron menunjukkan perbedaan yang signifikan sebelum dan sesudah transplantasi.
Kesimpulan: Temuan kami telah mengkonfirmasi bahwa transplantasi ginjal meningkatkan fungsi ereksi. Dengan demikian, peningkatan signifikan dalam skor testosteron dan IIEF pasca transplantasi terbukti secara statistik dalam penelitian ini. Namun, karena jumlah penelitian yang ada terbatas, bukti yang ada pun terbatas. Penelitian lebih lanjut dengan metodologi yang lebih baik dan ukuran sampel yang lebih besar diperlukan untuk menyelidiki pengaruh transplantasi ginjal pada fungsi ereksi.

Introduction: Erectile dysfunction (ED) is a major health burden worldwide frequently found in those with end-stage renal disease (ESRD) Although renal transplant improves the problem in some patients, as many as 20 to 50% of recipients continue to suffer ED. To this date, literature regarding the effect of kidney transplantation on ED has been contradictory. Majority of studies have shown that patients regain erectile function following renal transplant, whereas other studies showed minimal effect of transplantation on the status of ED.1,2 We did a systematic review to summarize the effects of kidney transplantation on the status of ED.
Methods: A systematic literature search on PubMed, Cochrane, and Scopus, were carried out in April 2020 by using both free words and MeSH terms. We included all prospective studies investigating the pre- and post-transplant IIEF scores of renal transplant recipients with ED.
Results: The initial database search on PubMed and Google Scholar produced 4,052 papers. 42 papers were considered for full-text analysis. Out of 42 full texts sought, four were included in the systematic review. A total of 152 out of 230 subjects showed improvement of erectile function by means of IIEF-5 score after renal transplantation. Meta-analysis performed on IIEF score and Testosterone level show significant differences pre and post-transplantation.
Conclusion: Our findings have confirmed that renal transplantation improves erectile function. Thus, significant improvement in testosterone and IIEF score post- transplantation were proven statistically in this study. However, as there were only a limited number of studies, the evidence is limited. Further studies with better methodology and larger sample size are needed to investigate the effect of renal transplantation on erectile function.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Aurum Wahyu Putri
"Latar Belakang: Kerusakan yang parah pada korban bencana alam kerap ditemukan pada bencana alam yang masif, sehingga mempersulit proses identifikasi. Determinasi jenis kelamin merupakan prioritas utama dalam proses identifikasi karena dapat menunjang estimasi usia dan ras. Salah satu metode determinasi jenis kelamin adalah dengan pengukuran dimensi dan volume sinus frontalis dan sinus maksilaris. Sinus merupakan kavitas udara yang berada di dalam tulang tengkorak. Sinus frontalis berada di dalam tulang frontalis, sedangkan sinus maksilaris berada di dalam tulang maksilaris. Kedua sinus ini bersifat unik antar jenis kelamin, sehingga umum digunakan untuk determinasi jenis kelamin. Tujuan: Mengetahui perbedaan akurasi sinus frontalis dan sinus maksilaris untuk determinasi jenis kelamin. Metode: Pencarian dilakukan melalui electronic database seperti PubMed, EBSCO, Scopus, Science direct, dan ProQuest. Pencarian menggunakan panduan Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-Analysis (PRISMA). Hasil: Pencarian menghasilkan 1318 studi dimana 32 studi memenuhi kriteria untuk diinklusikan. Dari hasil systematic review dan meta-analisis didapatkan sinus maksilaris lebih akurat daripada sinus frontalis untuk menentukan jenis kelamin. Selain itu, ukuran dimensi dan volume pada sinus frontalis maupun sinus maksilaris lebih besar pada laki-laki dibandingkan perempuan. Kesimpulan: Sinus frontalis dan sinus maksilaris dapat digunakan untuk determinasi jenis kelamin dengan akurasi yang lebih tinggi pada sinus maksilaris.

Background: Severe damage to victims of natural disasters is often found in massive natural disasters, which complicates the aid process. Gender determination is a top priority in the assistance process because it can support age and race determination. One method of determining sex is by measuring the dimensions and volume of the frontal and maxillary sinuses. Sinuses are air cavities within the skull. The frontal sinus is inside the frontal bone while the maxillary sinus is inside the maxillary bone. These two sinuses are unique between gender and are therefore commonly used for sex determination. Objective: To know the differences in the accuracy of the frontal and maxillary sinuses for determining gender. Methods: Searches were conducted through electronic databases such as PubMed, EBSCO, Scopus, Science direct, and ProQuest. The search used the Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-Analyses (PRISMA) guide. Results: The search returned 1318 studies of which 32 were eligible to be included in the studies. From the results of a systematic review and meta-analysis, it was found that the maxillary sinus is more accurate to determine sex. Dimensions and volume are found larger in males. Conclusion: The maxillary sinus can determine sex more accurately than the frontal sinus.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Faisal Rahman
"Latar Belakang: Soft tissue sarcoma menjadi salah satu penyebab kematian karena angka kelangsungan hidup yang rendah. Tatalaksana utamanya merupakan pembedahan, dengan margin reseksi yang seringkali ditentukan sesuai opini atau pengalaman ahli bedah yang bersangkutan. Belum ada pedoman yang jelas dalam penggunaan surgical margin. Oleh karena itu, disusun telaah sistematis untuk menguraikan perbedaan luaran terhadap margin reseksi sehingga dapat diketahui manakah yang memberikan hasil terbaik untuk dijadikan pedoman tatalaksana di Indonesia. Metode: Penelitian merupakaan telaah sistematis yang menelaah studi tentang pengaruh dari surgical margin terhadap rekurensi lokal dan kesintasan pasien dengan soft tissue sarcoma. Hasil: Hasil yang didapatkan adalah pada analisis univariat, didapatkan pembedahan dengan margin reseksi R0 memberikan angka rekurensi lokal yang lebih rendah dan kesintasan yang lebih tinggi daripada R1 secara independen. Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa kemungkinan kelompok pasien dengan margin reseksi R1 mengalami rekurensi lokal dan kematian lebih besar daripada R0. Kesimpulan: Margin reseksi R0 dari klasifikasi R+1 UICC memberikan luaran yang lebih baik dari R1.

Background: Soft tissue sarcoma is one of the common causes of death due to the relatively low survival rate, especially among adults. Surgery is the main treatment, whereas the surgical margin is often decided based on the opinions or experience of the surgeons. Therefore, we reviewed studies to learn more about the outcome of surgical margin to know of which giving the best and can be adopted as the guideline for management in Indonesia. Methods: This is a systematic review which reviewed studies about the influence of surgical margin towards local reccurence and survival in STS patients. Results: Based on univariate analysis, surgical margin R0 shows lower local reccurence rate and higher survival rate rather than R1. Based on multivariate analysis, patients R1 group is more likely to experience local recurrence and death. Conclusion: Surgical margin R0 based on R+1 classification UICC shows better outcomes than R1"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Jamtani
"Pendahuluan: Efikasi neoadjuvan kemoembolisasi transarterial (N-TACE) pada karsinoma hepatoseluler (KSH) yang dapat direseksi masih diperdebatkan. Meskipun N-TACE dapat mengurangi ukuran tumor, dampaknya terhadap luaran jangka panjang masih belum dapat disimpulkan.
Metode: Meta-analisis ini meninjau studi terkait N-TACE vs. Reseksi Hati (RH) pada karsinoma sel hati soliter besar (KSHSB) hingga Maret 2023 dari empat database online.
Hasil: 5 penelitian dengan total sampel 1556 pasien (N-TACE = 474; LR = 1082) dilakukan analisis. Dari hasil analisis, tidak ada perbedaan signifikan antara kelompok N-TACE dan RH yang diamati pada KS dan KBT 1, 3, atau 5 tahun. Odds Ratio yang didapatkan adalah 0,91 (95% CI 0,54 – 1,54), 0,80 (95% CI 0,56 – 1,15), dan 0,88 (95%CI 0,47 – 1,65) untuk KS 1, 3, dan 5 tahun dan 0,66 ( 95% CI 0,32 – 1,34), 0,70 (95% CI 0,37 – 1,33), dan 0,75 (95% CI 0,28 – 1,98) masing- masing untuk KBT 1, 3, dan 5 tahun. Tidak ada perbedaan signifikan yang diamati pada kehilangan darah intraoperatif antar kelompok. Analisis subgroup menunjukkan KS 1, 3, dan 5 tahun yang mengarah ke N-TACE pada kombinasi kemoterapi dan KS 1 tahun yang lebih baik pada kelompok RH di kemoterapi agen tunggal. Selain itu, KBT 5 tahun lebih mengarah pada RH di kelompok agen kemoterapi tunggal (OR 2,82 95% CI 1,18 – 6,72) dan N-TACE pada kelompok kombinasi (OR 0,75 95%CI 0,28 – 1,98).
Kesimpulan: Pengelolaan KSHSB memerlukan pertimbangan yang rumit dan diperlukan peningkatan strategi pengobatan untuk subkelompok HCC yang ini. Pengaruh N-TACE terhadap kelangsungan hidup jangka panjang dan kehilangan darah intraoperatif pada KSHSB memiliki hasil tidak signifikan. Namun, kombinasi kemoterapi pada N-TACE memberikan hasil yang lebih baik terhadap kesintasan pasien KSHSB.

Introduction: The efficacy of neoadjuvant transarterial chemoembolization (N- TACE) in resectable hepatocellular carcinoma (HCC) remains debated. While N- TACE may reduce tumor size, its impact on long-term outcomes is inconclusive. Methods: This meta-analysis reviewed studies on N-TACE before surgical resection vs. LR SLHCC up to March 2023 from four online databases.
Results: 5 studies with 1556 patients (N-TACE = 474; LR = 1082) were analyzed. No significant differences between N-TACE and LR groups were observed in 1-, 3-, or 5-year OS and DFS. The pooled HRs were 0.91 (95% CI 0.54 – 1.54), 0.80 (95% CI 0.56 – 1.15), and 0.88 (95%CI 0.47 – 1.65) for the 1-, 3-, and 5-year OS and 0.66 (95% CI 0.32 – 1.34), 0.70 (95% CI 0.37 – 1.33), and 0.75 (95% CI 0.28 – 1.98) for 1-, 3-, and 5-year DFS respectively. No significant differences were observed in intraoperative blood loss between groups as well. Subgroup analysis showed favorable 1-, 3-, and 5-year OS with combination chemotherapy N-TACE (combination group) and better 1-year OS in the LR group with single-agent chemotherapy N-TACE (single-agent group). In addition, 5-year DFS favored LR in the single-agent group (OR 2.82 95% CI 1.18 – 6.72) and N-TACE in the combination group (OR 0.75 95%CI 0.28 – 1.98).
Conclusion: Managing SLHCC requires intricate considerations and enhancement of treatment strategies for this challenging subgroup of HCC is needed. The influence of N-TACE on long-term survival and intraoperative blood loss in SLHCC appears limited. However, combination chemotherapy in N-TACE results in better outcomes.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Chris Tanto
"Latar Belakang. Prediksi mortalitas pada kelompok lanjut usia yang semakin meningkat jumlahnya akan memberikan banyak manfaat bagi kesehatan. Cystatin C ditunjukkan memiliki kemampuan sebagai prediktor mortalitas pada beberapa studi. Studi-studi mengenai kemampuan prediksi cystatin c masih sangatlah beragam dan belum ada telaah sistematis untuk menilai kemampuannya dalam memprediksi mortalitas jangka panjang pada kelompok lansia.
Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk menilai kemampuan cystatin c sebagai prediktor mortalitas semua sebab dan mortalitas kardiovaskular jangka panjang pada kelompok lanjut usia.
Metode. Studi ini merupakan telaah sistematis dan meta-analisis dari studi kohort prospektif observasional. Pencarian studi dilakukan di PubMed, Cochrane, Scopus, EBSCOHost, dan Proquest serta pencarian menual. Kriteria inklusi berupa lansia minimal berusia 65 tahun dengan data cystatin c serum tercantum, kematian semua sebab sebagai luaran. Waktu follow up minimal 5 tahun. Seleksi studi dilakukan berdasarkan alur dari PRISMA. Penilaian kualitas studi dan risiko bias dinilai menggunakan Newcastle Ottawa Scale untuk studi kohort. Hasil studi ditampilkan dalam bentuk deskriptif serta Forest plot.
Hasil. Dari 609 studi hasil pencarian, didapatkan 12 studi yang memenuhi kriteria: 5 studi menilai kematian semua sebab, 3 studi menilai kematian kardiovaskular saja, dan 4 studi menilai keduanya. Sebanyak 6 studi dengan kualitas baik dan 6 studi kualitas sedang setelah dilakukan penilaian. Hasil meta-analisis menunjukkan kadar Cystatin C yang tinggi meningkatkan risiko mortalitas jangka panjang akibat semua sebab [HR: 1,74 (95% CI: 1,48 – 2,04); p < 0,00001)] dan mortalitas jangka panjang kardiovaskular [(HR: 2,01 (95% CI: 1,63 – 2,47); p < 0,00001)] pada lansia. Kemampuan prognostik cystatin c tergolong moderat [AUC 0,70 (95% CI: 0,68-0,72); p = 0,02)].

Background. Prediction of mortality in growing aged-population will offer several benefits for health sector. Cystatin C, which has long been known as biomarker to more accurately evaluate glomerular filtration rate in elderly, has also been shown to predict mortality from several studies. Studies regarding its predictive ability were vastly varied and there has not been systematic review to examine its ability in predicting long-term mortality in elderly population.
Objectives. This study aimed to evaluate Cystatin C performance as predictor for all-cause and cardiovascular mortality among elderly population.
Methods. A systematic review of prospective cohort studies was performed. Literature searching was done in major databases such as PubMed, Cochrane, Scopus, EBSCOhost, and Proquest. Manual searching was also performed. Inclusion criteria were studies involving elderly age 65 or older, cystatin c serum levels available, all-cause mortality as outcome, and 5-years minimum of follow-up. Study selection was performed according to PRISMA algorithm. Newcastle Ottawa Scale for cohort study was used to assess primary studies’ quality and risk of bias. Study results were presented in descriptive tables and Forest plot.
Results. Initial searching revealed 609 hits with 12 studies eligible for the review: five studies evaluated all-cause mortality, three studies evaluated cardiovascular mortality, and four studies evaluated both. Meta-analysis showed that high cystatin c levels increasing risk of long-term all-cause mortality [(HR: 1.74 (95% CI: 1.48 – 2.04); p < 0.0001)] and cardiovascular mortality [HR: 2.01 (95% CI: 1,63 – 2,47); p < 0,0001)]. The prognostic ability of cystatin c was considerably moderate [AUC 0.70 (95% CI: 0.68-0,72); p = 0.02].
Conclusion. Cystatin C was able to predict long-term mortality in elderly population.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>