Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 149224 dokumen yang sesuai dengan query
cover
R. Ahmad Anzali
"Latar Belakang: Perbaikan dalam sistem, teknologi, dan farmakoterapi telah mengubah prognosis secara signifikan pada pasien infark miokard dengan elevasi segmen ST (IMAEST) selama beberapa dekade terakhir. Sekitar sepertiga pasien yang menjalani intervensi koroner perkutan primer (IKPP) berisiko mengalami no-reflow (NR), suatu kondisi yang ditandai dengan perfusi miokard yang buruk meskipun aliran koroner epikardial berhasil dibuka. NR berdampak signifikan pada luaran klinis termasuk luas infark yang lebih besar, gagal jantung, dan kematian. Peningkatan D-Dimer dan Fibrinogen berkaitan dengan meningkatnya risiko NR. Beberapa publikasi telah menyimpulkan rasio D-Dimer dan Fibrinogen (DFR) memiliki spesifisitas yang lebih baik. Belum ada penelitian yang menilai hubungan DFR dengan NR pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara DFR dengan perfusi mikrovakular koroner yang dinilai dengan Quantitative Blush Evaluator (QuBE) pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP. Metode: Kami mengevaluasi 61 pasien IMA-EST yang menjalani IKPP dan memenuhi kriteria untuk dilakukan penilaian myocardial blush menggunakan QuBE. Sampel pemeriksaan D-Dimer dan Fibrinogen diambil saat admisi. DFR dinilai hubungannya dengan nilai QuBE yang dikategorikan menjadi dua kelompok (QuBE <9 dan ≥9 unit arbiter). Hasil: Pasien dengan DFR ≥0,149 berisiko untuk memiliki nilai QuBE <9 unit arbiter sebesar 18,32 kali lebih besar dibandingkan pasien dengan DFR <0,149 (IK 95% 2,49-134,68; p 0.004). Nilai batas DFR 0,149 memiliki sensitivitas 54,5% dan spesifisitas 82% untuk menggambarkan no-reflow pasca-IKPP (AUC= 0,665).

Background : Improvements in systems, technology, and pharmacotherapy have
significantly changed the prognosis of STEMI patient over the past few decades.
Approximately one third of patients undergoing primary percutaneous coronary intervention
(PPCI) are at risk for no-reflow (NR), a condition characterized by poor myocardial perfusion
despite successful opening of epicardial blood flow. NR has significant impact on clinical
outcomes including greater infarct size, heart failure, and death. Increased D-Dimer and
Fibrinogen are associated with an increased risk of NR events. Several publications have
concluded that the D-Dimer and Fibrinogen ratio (DFR) has better specificity. There are no
studies that have assessed the relationship between DFR and NR in STEMI patients
undergoing PPCI.
Objective: This study aims to determine the association between DFR and coronary
microvascular perfusion using the Quantitative Blush Evaluator (QuBE) in STEMI patients
undergoing PPCI.
Methods: We evaluated 61 STEMI patients who underwent PPCI and met the criteria for
myocardial blush assessment using the QuBE program. D-Dimer and Fibrinogen examination
samples were taken at admission. DFR was assessed for its association with the QuBE score
results which were divided into two groups (QuBE <9 arbitrary units and ≥9 arbitrary units).
Results: Patients with DFR ≥0.149 had a 11.26 times greater risk of having QuBE <9 arbitrary
units than patients with DFR <0.149 (CI 95% 2,49-134,68; p 0.004). The DFR cut point of
0.149 had a sensitivity of 54.5% and a specificity of 82% for predicting NR (AUC= 0.665; p
0.019).
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Bakhtiar Rahmat Jati
"Latar Belakang: Disfungsi mikrovaskular merupakan salah satu manifestasi cedera reperfusi letal. Ticagrelor diketahui memiliki efek kardioprotektif terhadap cedera reperfusi pada hewan coba. Efeknya pada manusia masih harus dibuktikan terutama terhadap perfusi mikrovaskular koroner.
Tujuan: Mengetahui efek ticagrelor terhadap perfusi mikrovaskular koroner pada pasien infark miokard akut dengan elevasi segmen ST IMA-EST yang menjalani intervensi koroner perkutan primer IKPP.
Metode: Penelitian ini merupakan studi eksperimental acak tersamar ganda yang dilakukan di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita pada bulan Agustus 2016 sampai November 2016. Pasien IMA-EST yang akan dilakukan IKPP dirandomisasi ke dalam dua kelompok yaitu kelompok yang mendapatkan ticagrelor dan yang mendapatkan clopidogrel sebelum IKPP. Dilakukan pemeriksaan myocardial blush kuantitatif dengan menggunakan program Quantitative Blush Evaluator QuBE.
Hasil Penelitian: Terdapat total 40 subyek, 20 subyek kelompok ticagrelor dan 20 subyek kelompok clopidogrel. Tidak ditemukan perbedaan bermakna antara kelompok ticagrelor dengan clopidogrel terhadap nilai myocardial blush kuantitatif dengan QuBE 18,8 6,6-33,6 vs 18,1 12,4-32,3 , nilai p 0,978.
Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan nilai myocardial blush kuantitatif pada pemberian ticagrelor sebelum IKPP pada pasien IMA-EST yang menjalani revaskularisasi bila dibandingkan dengan pemberian clopidogrel sebelum IKPP.

Background: Microvascular dysfunction become one of lethal reperfusion injury manifestation. Ticagrelor known having cardioprotective effect against reperfusion injury in animal trial. It effects in human need further investigation and evidence.
Objective: To determine the effect of ticagrelor on coronary microvascular perfusion in acute ST elevation myocardial infarction STEMI patients underwent primary percutaneous coronary intervention PPCI.
Method: This was a double blind randomized clinical trial conducted in National Cardiovascular Center Harapan Kita from August to November 2016. Acute ST elevation myocardial infarction patients underwent PPCI were randomized into two groups, ticagrelor or clopidogrel loading dose before PPCI. Quantitative myocardial blush score was assessed after PPCI using Quantitative Blush Evaluator QuBE program.
Result: There were 40 subjects included in this trial, 20 subjects in ticagrelor group and 20 subjects in clopidogrel group. There was no significant difference between two groups regarding the QuBE score 18,8 6,6 33,6 vs 18,1 12,4 32,3 , nilai p 0,978.
Conclusion: There is no difference on quantitative myocardial blush score in STEMI patient given ticagrelor before PPCI compare to clopidogrel.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T57642
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jusup Endang
"ABSTRAK
Latar Belakang : Pada era sebelum tindakan reperfusi, kadar fibrinogen merupakan faktor
independen terhadap mortalitas pada pasien-pasien dengan infark miokard akut dengan elevasi
segmen-ST (IMA-EST) dibandingkan dengan kadar fibrinogen yang normal. Dan kemudian era
reperfusi dikatakan obstruksi mikrovaskular merupakan salah satu faktor menyebabkan kejadian
mayor kardiovaskular. Dengan kemajuan teknologi dibidang kardiologi kejadian dan besaran
MVO dapat di ketahui secara akurat dan pada fase akut. Dari studi terbaru dikatakan bahwa
indeks resistensi mikrovaskular memiliki hubungan positif terhadap MVO dibandingkan dengan
magnetic resonance imaging. Dan diduga faktor hemostasis terutama kadar fibrinogen diduga
memiliki peran yang penting terhadap kejadian obstruksi mikrovaskuler melalui mekanisme
hiperkoagulasi dan embolisasi distal.
Metode: Sebanyak 55 subjek IMA–EST yang menjalani IKPP dipilih secara konsekutif yang
memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi sejak 15 Oktober 2013 – 31 Maret 2014. Fibrinogen
diambil saat masuk UGD, penilaian indeks resisten mikrosirkulasi (IMR) diambil segera pasca
IKPP. Perhitungan statistik menggunakan SPSS 17.
Hasil: Dari lima puluh lima pasien yang masuk dalam penelitian didapatkan proporsi laki-laki
87,3%, dengan rerata umur pasien adalah 53,1+8,9 tahun. Faktor risiko penyakit jantung koroner
yang paling besar adalah merokok yaitu 76,36. Semua pasien menjalani IKPP dengan waktu
perfusi 89.04+37.114 menit dan waktu Iskemia 458,69+170,709. Nilai rerata IMR 55,2 + 47,454
dengan nilai rerata fibrinogen 350,80+103,190. Melalui diagram scattered plot didapatkan kadar
fibrinogen memilliki kecenderungan yang terbalik terhadap IMR, dengan kekuatan hubungan
yang lemah dan secara statistik tidak bermakna. ( r = - 0,137 ; p = 0,319 ).
Kesimpulan: Kadar fibrinogen saat admisi tidak memiliki hubungan terhadap IMR pada pasien
pasien IMA-EST yang menjalani IKPP.

ABSTRAK
Background: In no coronary reperfusion era, fibrinogen is known as an indepndent risk factor
for cardiac mortality in acute myocard infract patient. And in revascularization era,
microvascular obstruction (MVO) is associated with adverse ventricular remodelling and patient
prognosis. With the advanced technology in cardiology, MVO can be detected accurately in the
acute phase. In recent study index microcirculatory resistance (IMR) show a positive correlation
with magnetic resonance imaging while detecting and counting severity of MVO. It is suspected
that hemostatic factor mainly fibrinogen play an important role in MVO due to hypercoagulable
state and distal embolization.
Methode: 55 STEMI patients undergoing primary PCI were consecutively recruited from
October 15th, 2013 to march 31th, 2014. The fibrinogen was withdraw at admission. We evaluate
the IMR immediately after PCI done. Statistical analysis was done by SPSS 17.
Results: From fifty-five patients included in the study, there were 87,3% men, with mean age
53,1±8.9 years old, and smoker show the biggest proportion compare with risk factor for
coronary artery disease. All the patient undergo primary percutaneus coronary intervention with
mean door to ballon time 89.04+37.114 minute and ischemia time 458,69+170,709 minute.
Mean IMR was 55,2 + 47,454 and mean fibrinogen level was 350,8+103,19. From the scaterred
plot fibrinogen prone to had a weak negatif correlation with IMR and statistically non significant
(r = - 0,137 ; p = 0,319)
Conclusion: There is no correlation between fibrinogen level and IMR value in STEMI patients
that undergoing PPCI"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suci Indriani
"Latar Belakang: Statin (3-hydroxy-3-methylglutaryl coenzyme A reductase inhibitors) melalui efek pleiotrofiknya telah terbukti menurunkan angka kejadian kardiovaskular mayor (KKM) setelah intervensi perkutan pada pasien angina pektoris stabil maupun pasien sindroma koroner akut. Namun masih banyak perdebatan mengenai manfaat statin segera sebelum dilakukan intervensi perkutan primer (IKPP) pada pasien IMA-EST. Tujuan: Untuk mengetahui pengaruh pemberian terapi akut atorvastatin dosis tinggi (80 mg) dan plasebo sebelum IKPP terhadap perfusi mikrovaskular pada pasien IMA-EST yang dinilai dengan teknik IRM (indeks resistensi mikrovaskular). IRM merupakan pemeriksaan mikrovaskular yang spesifik dan bersifat kuantitatif, dapat memberikan nilai prognostik dan prediktor perbaikan fungsi ventrikel kiri setelah dilakukannya IKPP. Metode: Penelitian ini merupakan studi eksperimental acak yang tersamar ganda. Diberikan atorvastatin dosis 80 mg atau plasebo. Sampel diambil secara consecutive dari populasi terjangkau IMA-EST yang menjalani IKPP dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Reperfusi miokardium dinilai dengan parameter IRM dengan menggunakan kawat dengan sensor tekanan dan suhu setelah IKPP selesai dilakukan. Hasil Penelitian: Terdapat 66 sampel yang terbagi dalam 2 kelompok yakni 32 orang mendapatkan atorvastatin 80 mg dan 34 orang mendapatkan plasebo. Tidak didapatkan perbedaan yang signifikan pada kelompok yang mendapatkan atorvastatin 80 mg dan plasebo dalam hal parameter fractional flow reserve (FFR) (0.94 vs. 0.96, p = 0.39), coronary flow reserve (CFR) (1.1 vs. 1.2, p = 0.09) dan IRM (41.54 [12.8-198.2] vs. 41.60 [10.4 ? 200.3], p = 0.61). Kesimpulan: Pemberian terapi atorvastatin dosis tinggi 80 mg sebelum tindakan IKPP pada pasien IMA-EST tidak memberikan pengaruh terhadap perfusi mikrovaskular yang dinilai dengan parameter IMR.
Background: Statin (3-hydroxy-3-methylglutaryl coenzyme A reductase inhibitors), given before percutaneous coronary intervention (PCI) was proven to reduce Major Cardiovascular Events (MACE) in patient with stable angina as well as acute coronary syndromes through its pleiotropic effect. Nevertheless, the debate regarding statin administration before primary PCI (PPCI) in STEMI patients is still on the rise. Objective: To establish therapeutic effect of high dose atorvastatin (80 mg) and placebo before primary PCI on microvascular perfusion in STEMI patient using index of microcirculatory resistance (IMR). IMR are specific and quantitative assessment of coronary microvascular dysfunction, reliable on-site predictors of short-term myocardial viability and left ventricle functional recovery of patients undergoing primary PCI for STEMI. Methods: This study is a double blind randomized controlled trial. A high loading dose of atorvastatin (80 mg) or placebo was administered before PPCI. Samples were taken from the population of STEMI patients which underwent PPCI and meet the inclusion and exclusion criteria. The primary end point of this study is IMR. After successful primary percutaneous coronary intervention, IMR was measured using a pressure-temperature sensor-tipped coronary guidewire. Result: Total of 66 patients was divided into 2 groups, atorvastatin group (32 patients) and placebo group (34 patients). There were no significant differences between both groups in regard of fractional flow reserve (FFR) (0.94 vs. 0.96, p = 0.39), coronary flow reserve (CFR) (1.1 vs. 1.2, p = 0.09) and also IMR (41.54 [12.8-198.2] vs. 41.60 [10.4 ? 200.3], p = 0.61). Conclusion: Administration of high loading dose of atorvastatin (80 mg) before primary PCI in STEMI patients didn?t have effect on microvascular perfusion measured by index of microcirculatory resistance."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abhirama Nofandra Putra
"ABSTRAK

PCSK9 telah diketahui sebagai molekul yang berperan dalam regulasi kadar kolesterol LDL darah. Belakangan ini, PCSK9 diketahui memiliki mekanisme kerja lain yang melibatkan proses inflamasi, peningkatan Lp(a), aktivasi jaras protrombotik dan platelet, metabolisme triglyceride-rich lipoprotein, serta modifikasi plak yang juga dapat berperan dalam patogenesis berbagai spektrum penyakit aterosklerotik, termasuk IMA-EST. Kemajuan dalam strategi penatalaksanaan IMA-EST telah berhasil meningkatkan kesintasan, akan tetapi sekelompok pasien masih mengalami luaran klinis buruk meski telah mendapatkan tatalaksana optimal. PCSK9 dipikirkan dapat memiliki peranan dalam risiko residual pasien-pasien tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari hubungan antara konsentrasi PCSK9 saat admisi pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP dengan luaran kardioserebrovaskular mayor. Sebanyak 239 pasien dengan IMA-EST yang menjalani IKPP diperiksakan konsentrasi PCSK9 pada saat admisi. Data luaran kardioserebrovaskular mayor dan data penunjang lain didapatkan dari rekam medik dan follow-up telepon. Terdapat 28 (11,7%) subjek penelitian yang mengalami luaran kardioserebrovaskular mayor dalam 30 hari. Akan tetapi, analisis kesintasan tidak menunjukkan adanya hubungan yang bermakna secara statistik antara konsentrasi plasma PCSK9 dengan luaran kardioserebrovaskular mayor dalam 30 hari. Saat dibandingkan antara tertil 3 dengan tertil 2 konsentrasi PCSK9 didapatkan hazard ratio 1,466 (95%IK 0,579-3,714) serta antara tertil 1 dengan tertil 2 didapatkan hazard ratio 1,257 (0,496-3,185). Dari penelitian ini tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara konsentrasi plasma PCSK9 saat admisi dengan luaran kardioserebrovaskular mayor dalam 30 hari pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP.

PCSK9 telah diketahui sebagai molekul yang berperan dalam regulasi kadar kolesterol LDL darah. Belakangan ini, PCSK9 diketahui memiliki mekanisme kerja lain yang melibatkan proses inflamasi, peningkatan Lp(a), aktivasi jaras protrombotik dan platelet, metabolisme triglyceride-rich lipoprotein, serta modifikasi plak yang juga dapat berperan dalam patogenesis berbagai spektrum penyakit aterosklerotik, termasuk IMA-EST. Kemajuan dalam strategi penatalaksanaan IMA-EST telah berhasil meningkatkan kesintasan, akan tetapi sekelompok pasien masih mengalami luaran klinis buruk meski telah mendapatkan tatalaksana optimal. PCSK9 dipikirkan dapat memiliki peranan dalam risiko residual pasien-pasien tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari hubungan antara konsentrasi PCSK9 saat admisi pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP dengan luaran kardioserebrovaskular mayor. Sebanyak 239 pasien dengan IMA-EST yang menjalani IKPP diperiksakan konsentrasi PCSK9 pada saat admisi. Data luaran kardioserebrovaskular mayor dan data penunjang lain didapatkan dari rekam medik dan follow-up telepon. Terdapat 28 (11,7%) subjek penelitian yang mengalami luaran kardioserebrovaskular mayor dalam 30 hari. Akan tetapi, analisis kesintasan tidak menunjukkan adanya hubungan yang bermakna secara statistik antara konsentrasi plasma PCSK9 dengan luaran kardioserebrovaskular mayor dalam 30 hari. Saat dibandingkan antara tertil 3 dengan tertil 2 konsentrasi PCSK9 didapatkan hazard ratio 1,466 (95%IK 0,579-3,714) serta antara tertil 1 dengan tertil 2 didapatkan hazard ratio 1,257 (0,496-3,185). Dari penelitian ini tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara konsentrasi plasma PCSK9 saat admisi dengan luaran kardioserebrovaskular mayor dalam 30 hari pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP.


ABSTRACT
PCSK9 is a molecule that regulates blood LDL cholesterol level. Recent evidences suggest that PCSK9 may also have other independent mechanisms, such as inflammation, increased Lp(a), triglyceride-rich lipoprotein metabolism, activation of prothrombotic pathways and platelets, and modification of atherosclerotic plaque, which all may play a role in the pathogenesis of atherosclerotic diseases, including STEMI. Previous advances in the management of STEMI had succeed in increasing survival. However, some STEMI patients still experienced adverse outcomes eventhough they already received optimal management in accordance with the guidelines. PCSK9 may have a role in the residual risk that those patients have. However, our knowledge regarding this association between plasma PCSK9 level and MACCE in STEMI is still limited. The aim of this study is to evaluate the association between plasma PCSK9 level during admission with MACCE in STEMI patients who underwent primary PCI. In total, 239 patients with STEMI who were treated with primary PCI had their plasma sample drawn during admission and evaluated for PCSK9 level. PCSK9 level was measured with ELISA.  MACCE and other supportive data were taken from the medical records and telephone follow-up. There were 28 study participants who experienced MACCE in 30 days. However, survival analysis did not show a significant association between plasma PCSK9 level and MACCE in 30 days. The hazard ratio for MACCE between the third tertile and the second tertile of plasma PCSK9 level was 1.466 (95%CI 0.579-3.714) and between the first tertile and the second tertile was 1.257 (95%CI 0.496-3.185). There was no significant association between plasma PCSK9 level during admission and 30 days MACCE in STEMI patients treated with primary PCI.

"
2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Kurnia Eka Rusmiarti
"Pada sepsis terjadi inflamasi sistemik yang menyebabkan ketidakseimbangan mekanisme hemostasis, yaitu, peningkatan aktivasi koagulasi, penurunan antikoagulan alamiah, dan penurunan aktivitas fibrinolisis. Ketidakseimbangan ini bermanifestasi pada pembentukan trombus mikrovaskular yang menyebabkan perfusi jaringan menurun, terjadi disfungsi organ dan kematian. Tujuan penelitian ini mengetahui peranan kadar D-dimer, kadar FDP dan rasio FDP/D-dimer dalam memprediksi mortalitas 14 hari pada pasien sepsis. Penilaian skor Acute physiology and Chronic Health Evaluation II (APACHE II) digunakan untuk memprediksi morbiditas dan mortalitas. Desain penelitian potong lintang, penyajian data secara deskriptif. Subjek penelitian berjumlah 55 orang yang terdiri dari 32 laki-laki dan 23 perempuan dengan rerata usia 51,62 tahun. Pada subjek penelitian, dinilai korelasi kadar FDP, kadar D-dimer, dan rasio FDP/D-dimer dengan skor APACHE II. Pada hasil penelitian, didapatkan 20 pasien hidup dan 35 pasien meninggal. Median kadar FDP (12,9μg/mL) dan kadar D-dimer (7μg/mL) subjek meninggal lebih tinggi dibandingkan median kadar FDP (10,9μg/mL) dan kadar D-dimer (5,2 μg/mL) subjek hidup. Median rasio FDP/D-dimer subjek meninggal (1,9) lebih rendah dibandingkan subjek hidup (2,1). Koefisien korelasi Spearman antara kadar FDP, kadar D-dimer, dan rasio FDP/D-dimer dengan skor APACHE II berturut-turut 0,176, 0,187, dan -0,182. Ketiga korelasi itu secara statistik tidak bermakna (p ≥ 0,05). Pada penelitian ini disimpulkan bahwa kadar FDP, kadar D-dimer, dan rasio FDP/D-dimer tidak dapat digunakan sebagai prognosis keluaran sepsis pada mortalitas 14 hari.

Systemic inflamation in sepsis could leads to an imbalance homeostatic mechanisms including elevated coagulation activity, decreasing level of natural anticoagulant, and decreased fibrinolysis activity. This could leads to formation of microvascular thrombus which eventually will cause tissue hypoperfusion, organ dysfunction and death. The aim of this research is to understand the role of d-dimer and fibrin degradation products (FDP) and FDP/d-dimer ratio in predicting 14-days mortality rate on sepsis patient. The morbidity and mortality rate on this research were based on APACHE II scoring system. This is a cross sectional research and all data are presented in a descriptive report. Participant of this research was 55 people (32 male and 23 female), average age was 51,62 years old. This research evaluate the correlation between FDP level, d-dimer level and FDP/d-dimer ratio with APACHE II scoring system. From all the participant we had 20 subject alive and 35 died during this research. The median level of FDP (12,9μg/mL) and d-dimer (7μg/mL) in those who die were higher than those who live (10,9μg/mL and 5,2 μg/mL). The median FDP/d-dimer ratio in those who die (1,9) was lower comparing to those who live (2,1). Spearman coefficient of correlation between FDP level, d-dimer level and FDP/d-dimer ratio with APACHE II scoring system were 0.176; 0.187; and – 0.182 repectively. This was not significant statistically (p ≥ 0,05). This research has come to a conclusion that FDP and d-dimer level, and FDP/d-dimer ratio cant be used as a prognostic outcome in sepsis on 14 days mortality."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Kurnia Eka Rusmiarti
"Pada sepsis terjadi inflamasi sistemik yang menyebabkan ketidakseimbangan mekanisme hemostasis, yaitu, peningkatan aktivasi koagulasi, penurunan antikoagulan alamiah, dan penurunan aktivitas fibrinolisis. Ketidakseimbangan ini bermanifestasi pada pembentukan trombus mikrovaskular yang menyebabkan perfusi jaringan menurun, terjadi disfungsi organ dan kematian. Tujuan penelitian ini mengetahui peranan kadar D-dimer, kadar FDP dan rasio FDP/D-dimer dalam memprediksi mortalitas 14 hari pada pasien sepsis. Penilaian skor Acute physiology and Chronic Health Evaluation II (APACHE II) digunakan untuk memprediksi morbiditas dan mortalitas. Desain penelitian potong lintang, penyajian data secara deskriptif. Subjek penelitian berjumlah 55 orang yang terdiri dari 32 laki-laki dan 23 perempuan dengan rerata usia 51,62 tahun. Pada subjek penelitian, dinilai korelasi kadar FDP, kadar D-dimer, dan rasio FDP/D-dimer dengan skor APACHE II. Pada hasil penelitian, didapatkan 20 pasien hidup dan 35 pasien meninggal. Median kadar FDP (12,9μg/mL) dan kadar D-dimer (7μg/mL) subjek meninggal lebih tinggi dibandingkan median kadar FDP (10,9μg/mL) dan kadar D-dimer (5,2 μg/mL) subjek hidup. Median rasio FDP/D-dimer subjek meninggal (1,9) lebih rendah dibandingkan subjek hidup (2,1). Koefisien korelasi Spearman antara kadar FDP, kadar D-dimer, dan rasio FDP/D-dimer dengan skor APACHE II berturut-turut 0,176, 0,187, dan -0,182. Ketiga korelasi itu secara statistik tidak bermakna (p ≥ 0,05). Pada penelitian ini disimpulkan bahwa kadar FDP, kadar D-dimer, dan rasio FDP/D-dimer tidak dapat digunakan sebagai prognosis keluaran sepsis pada mortalitas 14 hari.

Systemic inflamation in sepsis could leads to an imbalance homeostatic mechanisms including elevated coagulation activity, decreasing level of natural anticoagulant, and decreased fibrinolysis activity. This could leads to formation of microvascular thrombus which eventually will cause tissue hypoperfusion, organ dysfunction and death. The aim of this research is to understand the role of d-dimer and fibrin degradation products (FDP) and FDP/d-dimer ratio in predicting 14-days mortality rate on sepsis patient. The morbidity and mortality rate on this research were based on APACHE II scoring system. This is a cross sectional research and all data are presented in a descriptive report. Participant of this research was 55 people (32 male and 23 female), average age was 51,62 years old. This research evaluate the correlation between FDP level, d-dimer level and FDP/d-dimer ratio with APACHE II scoring system. From all the participant we had 20 subject alive and 35 died during this research. The median level of FDP (12,9μg/mL) and d-dimer (7μg/mL) in those who die were higher than those who live (10,9μg/mL and 5,2 μg/mL). The median FDP/d-dimer ratio in those who die (1,9) was lower comparing to those who live (2,1). Spearman coefficient of correlation between FDP level, d-dimer level and FDP/d-dimer ratio with APACHE II scoring system were 0.176; 0.187; and -0.182 repectively. This was not significant statistically (p ≥ 0,05). This research has come to a conclusion that FDP and d-dimer level, and FDP/d-dimer ratio cant be used as a prognostic outcome in sepsis on 14 days mortality."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Yusuf
"Latar Belakang: Deep Vein Thrombosis (DVT) merupakan salah satu masalah dengan angka mortalitas jangka pendek dan morbiditas jangka panjang. Sebanyak 60% kasus DVT tidak memiliki gejala. Seiring bertambahnya usia, insiden DVT akan terus meningkat. Sekitar 1 dari 100.000 orang tiap tahunnya akan menderita DVT dibawah usia 50 tahun dan meningkat menjadi 1000 dari 100.000 per tahun di usia 85 tahun. Pada satu pertiga kasus bermanifestasi sebagai emboli paru, sedangkan dua pertiga lainnya hanya sebatas DVT. Terdapat kenaikan kadar fibrinogen maupun d-dimer pada pasien dengan keganasan.Penelitian ini bertujuan menganalisa dan membandingkan kadar fibrinogen, d-dimer dan dosis heparin terapeutik pada pasien DVT dengan keganasan dan non keganasan.
Metode: Penelitian ini merupakan kohort retrospektif menggunakan rekam medis di RS Cipto Mangunkusumo. Variabel bebas adalah terapi pada pasien DVT sedangan variabel terikatnya adalah kadar D-dimer, fibrinogen dan aPTT terapeutik. Analisa statistic menggunakan SPSS versi 20, nilai p<0.05 menunjukkan terdapat hubungan bermakna secara statistik.
Hasil: 63 pasien masuk dalam penelitian, didapatkan pasien DVT dengan keganasan sebanyak 33 pasien (52,4%) dan pasien DVT non keganasan sebanyak 30 pasien (47,6%). Kadar fibrinogen, D-dimer awal dan akhir pada pasien DVT dengan keganasan memiliki kadar yang lebih tinggi secara bermakna dibandingkan dengan DVT non keganasan (p<0,001). Terdapat perbedaan signifikan pada penurunan D-dimer pasien DVT dengan keganasan dibandingakan dengan pasien DVT non kegananasan. Dosis heparin awal pasien DVT dengan keganasan memiliki nilai tidak bermakna dibandingkan dengan DVT non keganasan (p>0,001). Dosis heparin terapeutik pada pasien DVT dengan keganasan bermakna signifikan lebih tinggi dibandingkan DVT non keganasan (p<0,001).
Simpulan: Terdapat perbedaan yang bermakna pada kadar fibrinogen, d-dimer awal dan akhir yang bermakna antara pasien DVT keganasan dengan pasien DVT non keganasan. Terdapat perbedaan yang bermakna pada penurunan D-dimer pasien DVT dengan keganasan dan DVT non keganasan. Ditemukan perbedaan bermakna pada dosis heparin terapeutik pasien DVT dengan keganasan dan DVT non keganasan.

Background: Deep Vein Thrombosis (DVT) is a problem with short-term mortality and long-term morbidity. As many as 60% of DVT cases have no symptoms. With age, the incidence of DVT will continue to increase. About 1 in 100,000 people each year will suffer from DVT under the age of 50 years and this increases to 1000 from 100,000 per year at the age of 85 years. In one third of cases it manifests as a pulmonary embolism, while in the other two thirds only a DVT is present. There is an increase in the levels of fibrinogen and d-dimer in patients with malignancy. This study aims to analyze and compare the levels of fibrinogen, d-dimer and therapeutic doses of heparin in malignant and non-malignant DVT patients.
Method: This study is a retrospective cohort using medical records at Cipto Mangunkusumo Hospital. The independent variable is therapy in DVT patients while the dependent variable is the level of D-dimer, fibrinogen and therapeutic aPTT. Statistical analysis using SPSS version 20, p value <0.05 indicates that there is a statistically significant relationship.
Results: 63 patients were included in the study, 33 patients with malignant DVT were found (52.4%) and 30 patients with non-malignant DVT (47.6%). The initial levels of fibrinogen in patient with malignant DVT were significantly higher than those of non malignant DVT (p<0.05). The final levels of fibrinogen in patient with malignant DVT were significant higher than those of non malignant DVT (p<0,05).There was significant higher of D-dimer initial levels beetween patient with malignant DVT and patient with non malignant DVT (p<0,05). There was significant higher of D-dimer final levels beetween patient with malignant DVT and patient with non malignant DVT (p<0,05). There was a significant difference in the decrease of d-dimer levels between DVT patients with malignancy compared to non-malignant DVT patients who were given heparin therapy. The initial heparin dose in patients with malignant DVT had no significant value compared to non malignant DVT (p>0.001). The therapeutic dose of heparin in patients with malignant DVT was significantly higher than that of non malignant DVT (p<0.001).
Conclusion: There was a significant difference in the levels of fibrinogen and D- dimer initial and final which was significant between malignant DVT patients and non-malignant DVT patients. There is a significant difference in the decrease in D-dimer in patients with malignant DVT and non-malignant DVT. A significant difference was found in the therapeutic dose of heparin in patients with malignant DVT and non-malignant DVT.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Barri Fahmi
"Latar belakang. Nekrosis miokardium menginduksi reaksi inflamasi yang hebat dan penempelan netrofil melalui Intercellular Adhesion Molecule (ICAM). Hasil studi ARMYDA-CAMS menunjukkan bahwa pemberian Atorvastatin secara kontinyu pra-Intervensi Koroner Perkutan (IKP) dapat menurunkan kadar ICAM pasca-tindakan pada pasien dengan Angina Pektoris Stabil (APS). Hingga saat ini belum ada penelitian yang melihat efek akut pemberian Atorvastatin 80 mg pada pasien Infark Miokardum Akut dengan Elevasi Segmen ST (IMA-ST) yang menjalani Intervensi Koroner Perkutan Primer (IKPP).
Metode. Penelitian ini merupakan suatu uji klinis acak tersamar ganda. Evaluasi dilakukan pada 76 pasien IMA-ST yang menjalani IKPP di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita dari bulan Februari hingga bulan Agustus 2014. Pasien dibagi secara acak tersamar ganda menjadi dua kelompok (Atorvastatin 80 mg dan Plasebo). Pemeriksaan ICAM diambil dua kali (0 dan 24 jam pasca-IKPP). Dilakukan analisis statistik untuk menilai efek pemberian Atorvastatin yang dinilai dengan delta ICAM.
Hasil. Tidak terdapat perbedaan bermakna pada data dasar kedua kelompok dalam hal klinis, pemeriksaan penunjang, dan angiografik. Nilai delta ICAM menunjukkan perbedaan yang signifikan, yaitu pada kelompok Atorvastatin 80 mg (-13,0±38,5 ng/mL) dan Plasebo (26,1±67,0 ng/mL, p 0,003). Analisa regresi linear (adjusted analysis; sesuai usia, jenis kelamin, diabetes, dan insufisiensi renal) menunjukkan koefisiensi -31,17 ng/mL dengan p 0,037.
Kesimpulan. Pemberian Atorvastatin 80 mg secara akut pada pasien IMA-ST menurunkan respon inflamasi endotelium yang dinilai dengan kadar ICAM.

Background. Myocardial necrosis triggers complement activation and neutrophyl adhesion which is mediated by Intercellular Adhesion Molecule (ICAM). Results from ARMYDA-CAMS, showed that Atorvastatin continuous treatment reduced ICAM value in patients with stable angina pectoris. To date, there are no study yet which investigates the effect of acute Atorvastatin 80 mg treatment in patients with ST Segment Elevation Myocardial Infarction (STEMI) post Primary Percutaneous Coronary Intervention (PPCI).
Methods. This is a randomized, double-blinded, controlled trial. Evaluations were performed on 76 STEMI patients who underwent PPCI at National Cardiac Center Harapan Kita (NCCHK) from February 2014 to August 2014. Patients were randomly classified into two groups (Atorvastatin 80 mg and Placebo). Laboratory data on ICAM were taken twice (0-hour and 24-hour post PPCI) and examined at Prodia?s Laboratorium. Statistical analyses using SPSS were performed to evaluate the effect of Atorvastatin treatment, which was measured by delta ICAM.
Results. There were no difference between two groups (Atorvastatin vs. Placebo) in terms of clinical, supporting data, and angiographic findings. Delta ICAM values showed significant difference between two groups, which are Atorvastatin 80 mg (-13,0±38,5 ng/mL) and Plasebo (26,1±67,0 ng/mL, p 0,003). Linear regression analysis (adjusted analysis; according to age, sex, diabetes, and renal insufficiency) showed coefficient of -31,17 ng/mL with p 0,037.
Conclusion. This study showed that acute Atorvastatin 80 mg treatment pre-PPCI reduces endothelial inflammatory response which was measured by ICAM.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Athikah Khairunnisa
"Latar belakang: COVID-19 menyebabkan respon inflamasi sistemik yang dapat disertai dengan pembentukan trombus koroner dan berhubungan dengan morbiditas serta mortalitas yang tinggi. Pasien IMA-EST yang menjalani IKPP dengan beban trombus intrakorener yang tinggi berhubungan dengan luaran klinis yang lebih buruk. Tujuan: Mengetahui hubungan antara COVID-19 dengan beban trombus intrakoroner pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP. Metode: Terdapat 181 pasien IMA-EST yang menjalani intervensi koroner perkutan primer (IKPP) pada periode April 2020 hingga November 2021 dianalisis secara retrospektif. Beban trombus intrakoroner menurut TIMI saat IKPP dibagi menjadi beban trombus tinggi (BTT) dan beban trombus rendah (BTR). COVID-19 dibagi menjadi positif dan negatif berdasarkan pemeriksaan laboratorium, kemudian dinilai hubungannya dengan BTT. Hasil: Beban trombus intrakoroner tinggi berdasarkan TIMI didapatkan pada 70,2% pasien. Subjek COVID-19 positif cenderung mempunyai resiko 3,03 kali (95% IK: 1,11 – 8,31; p=0,025) untuk mengalami BTT. Namun, dari analisis multivariat tidak didapatkan hubungan antara status positif COVID-19 dengan BTT. Pada model akhir analisis multivariat, faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian beban trombus tinggi adalah nilai CRP > 5 mg/L dengan odds ratio 3,29 (95% IK: 1,09 – 9,88; p=0,034) dan merokok (OR 2,92; 95% IK: 1,12 – 7,58; p=0,027). Kesimpulan: Status COVID-19 positif tidak berhubungan dengan kondisi beban trombus intrakoroner tinggi pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP. Kata Kunci: IKP primer; IMA-EST; COVID-19; C-reactive protein; trombus; beban trombus

Introduction: COVID-19 infection causes a systemic inflammatory response that increases the activation of coagulation system prone to hypercoagulable conditions that can trigger thrombus formation. Erosion of susceptible atherosclerotic plaques can lead to intracoronary thrombus which is the main cause of ST segment elevation acute myocardial infarction (STEMI). STEMI patients undergoing primary percutaneous coronary intervention (PPCI) with a high intracoronary thrombus burden were associated with a worse clinical outcome. Objective: Aimed to determine association between COVID-19 positivity and other factors related to intracoronary thrombus burden in STEMI. Methode: A total of 181 patients with STEMI who underwent PPCI between April 2020 and November 2021 were retrospectively analized. Intracoronary thrombus burden based on TIMI criteria was reclassified into high thrombus burden (HTB) and low thrombus burden (LTB). HTB was analyzed with COVID-19 which divided into positive and negative based on laboratory results. Results: HTB was found in 70,2% patients. Positive COVID-19 patients tend to showed HTB during PPCI (OR 3,03; 95% IK: 1,11–8,31; p=0,025). From multivariate analysis, there is no association between COVID-19 positivity and HTB. In the last model of multivariate analysis, CRP > 5 mg/L (OR 3,29; 95% IK: 1,09 – 9,88; p=0,034) and smoking status (OR 2,92; 95% IK: 1,12 – 7,58; p=0,027) were associated with HTB. Conclusion: There is no association between COVID-19 positivity and HTB in STEMI patients underwent PPCI. Keywords: Primary PCI; STEMI; COVID-19; intracoronary thrombus; thrombus burden."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>