Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 190938 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Vriona Ade Maenkar
"Penyakit Coronavirus 2019 (COVID-19), yang disebabkan oleh sindrom pernafasan akut parah coronavirus 2 (SARS-CoV-2), telah mengakibatkan pandemik global. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan faktor risiko Kejadian Ikutan Paska Imunisasi (KIPI) dan efektivitas vaksinasi SARS-CoV-2. Studi observasional ini, menggunakan desain studi cross-sectional dengan total sampel penelitian 261 orang dan pengumpulan data dilakukan menggunakan Google Form. Hasil dari penelitian ini menunjukkan gejala KIPI paling banyak ditemukan pada onset <24 jam. Gejala umum yang ditemukan adalah sakit di tempat suntikan, fatigue, nyeri otot dan nyeri sendi. Sebagian besar keparahan KIPI adalah tingkat mild dan hanya beberapa peserta yang mengkonsumsi pengobatan. Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa peserta dengan jenis kelamin perempuan, peserta dengan penyakit penyerta, usia remaja – dewasa, jenis vaksin mRNA (BNT162b2) memiliki risiko KIPI yang lebih tinggi dan berpengaruh secara signifikan secara statistik (p<0.005). Efektivitas vaksin COVID-19 dalam mencegah infeksi cukup tinggi dengan persentase ≥79% pada setiap jenis dan dosis vaksin. Kesimpulan penelitian ini menunjukkan bahwa vaksin COVID-19 aman untuk diberikan karena KIPI sebagian besar ringan dan otomatis hilang dan menurun setelah 1 hingga 3 hari dan persentase efektivitas vaksin dalam mencegah infeksi COVID-19 cukup baik.

The coronavirus that causes severe acute respiratory syndrome (COVID-19) is coronavirus 2 (SARS-CoV- 2). This virus has caused a global pandemic. This study aims to analyze relationship between risk factors for Adverse Events Following Immunization (AEFI) and the effectiveness of the SARS-CoV-2 vaccination. This observational study used a cross-sectional study design with a total sample of 261 people, data were collected using Google Forms. Results of this study showed the most AEFI symptoms are found at the onset of <24 hours. Common symptoms found are pain at injection site, fatigue, muscle aches and joint pain. Most of the AEFI severity was mild and only a few participants took medication. Results of this study stated that participants with female gender, comorbidities, adolescents - adults, type of mRNA (BNT162b2) vaccine had a higher risk of AEFI and statistically significant (p<0.005). Effectiveness of the COVID-19 vaccine is quite high with a percentage of ≥79% for each type and dose of vaccine. Conclusion of this study shows that the COVID-19 vaccines are safe to give because most of AEFIs are mild and automatically disappear and decrease after 1 to 3 days and percentage of effectiveness of the vaccine in preventing COVID-19 infection is good."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riezky Febiola
"Imunisasi merupakan salah satu upaya kesehatan masyarakat yang paling efektif namun dapat menimbulkan efek simpang dari reaksi vaksin. Tujuan dari penelitian ini adalah melihat gambaran KIPI dan korelasinya terhadap cakupan imunisasi di enam wilayah di propinsi Jawa Barat. Penelitian ini menggunakan desain studi ekologi dari data surveilans KIPI tahun 2012. Data dianalisis dengan uji korelasi Spearman. Hasil penelitian ini menunjukan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara KIPI dengan cakupan imunisasi BCG (p= 0,397), cakupan DPT/HB (p=0,704), cakupan polio (p=0,787), dan cakupan campak (p=957). Surveilans KIPI yang sudah ditingkatkan dan dikembangkan untuk memonitor kualitas vaksin dimasyarakat sangat dibutuhkan.

Immunization is one of public health efforts which is most effective but can cause adverse events from vaccine reactions. This purpose of this study is to description adverse events following immunization and its correlation to immunization coverage in six districts in West Java in 2012. The design of this study is ecology using AEFI Surveillance data in 2012. Data were analyzed with the spearman correlation test. The result of this study indicate that there is no significant relationship between AEFI with BCG immunization covarage (p=0,397), DPT/HB covarage (p=0,704), polio covarage (p=0,787), and measles coverage (p=0,957). Improved and well-developed AEFI seuveillance to monitor the quality of vaccines in the community is highly needed."
2014
S54329
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Virly Nanda Muzellina
"Latar Belakang: Reseptor ACE2 tidak hanya terdapat pada paru-paru, tetapi juga pada saluran pencernaan yang memungkinkan terjadinya infeksi SARS-COV-2 pada enterosit, menimbulkan manifestasi klinis gastrointestinal, dan terdeteksinya RNA virus pada pemeriksaan swab anal. Studi lain di seluruh dunia menunjukkan hasil yang berbeda-beda serta belum didapatkan penelitian serupa di Indonesia. 
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui luaran klinis infeksi COVID- 19 pada pasien yang dilakukan swab anal, mendapatkan hubungan hasil pemeriksaan PCR SARS-CoV-2 swab anal dengan manifestasi klinis gastrointestinal dan derajat keparahan pada pasien COVID-19 di Indonesia. 
Metode: Merupakan cabang penelitian dari penelitian utama yang berjudul “Nilai RT-PCR Swab Anal untuk Diagnosis COVID-19 pada Orang Dewasa di Indonesia”. Penelitian ini merupakan studi analitik dengan desain potong lintang. Sampel penelitian merupakan pasien COVID-19 yang menjalani rawat inap di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM), RS Mitra Keluarga Depok, RS Mitra Keluarga Kelapa Gading, dan RS Ciputra selama periode April 2020 sampai dengan Januari 2021. Dikumpulkan data demografi, manifestasi klinis, derajat keparahan, dan hasil swab anal PCR SARS-CoV-2.
Hasil: 136 subjek penelitian dengan swab nasofaring positif dianalisis. 52 pasien (38,2%) dengan swab anal PCR SARS-CoV-2 positif dan 84 pasien (61,8%) dengan swab anal negatif. Manifestasi klinis saluran cerna tersering, yaitu: mual-muntah 69 pasien (50,7%), nafsu makan menurun sebanyak 62 pasien (45,6%), dan nyeri perut sebanyak 31 pasien (22,8). Terdapat 114 pasien (83,8%) tergolong dalam derajat ringan-sedang dan 22 pasien (16,2%) tergolong dalam berat-kritis. Terdapat hubungan yang bermakna secara proporsi statistik antara variabel hasil pemeriksaan PCR SARS-CoV-2 swab anal dengan manifestasi klinis gastrointestinal berupa keluhan diare atau mual-muntah (nilai p 0,031). Tidak terdapat hubungan yang bermakna secara proporsi statistik antara variabel hasil pemeriksaan PCR SARS-CoV-2 swab anal dengan derajat keparahan (nilai p 0,844).
Simpulan: Terdapat hubungan antara hasil pemeriksaan PCR SARS-CoV-2 swab anal dengan manifestasi klinis gastrointestinal berupa keluhan diare atau mual- muntah dan tidak terdapat hubungan antara variabel hasil pemeriksaan PCR SARS- CoV-2 swab anal dengan derajat keparahan infeksi COVID-19.

Background: ACE2 receptor is not only found in the lungs, but also in the digestive tract, which allows the occurrence of enterocyte infection, gastrointestinal clinical manifestations, and detection of viral RNA on anal swab PCR. Studies around the world show various results, yet there has been no similar study to be found in Indonesia.
Objective: This study aims to determine the clinical outcome of COVID-19 patients with gastrointestinal manifestations who were tested by anal swab, the relationship between anal swab PCR for SARS-CoV-2 test result with gastrointestinal clinical manifestations as well as the severity of COVID-19 patients in Indonesia.
Methods: This research is a branch of study titled. The Value of Anal Swab RT- PCR for COVID-19 Diagnosis in Adult Indonesian Patients. This is an analytical study with cross-sectional design. Samples were obtained from hospitalized COVID-19 patients at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM), Mitra Keluarga Hospital Depok, Mitra Keluarga Kelapa Gading Hospital, and Ciputra Hospital from April 2020 to January 2021. Demographic data, clinical manifestations, severity, and SARS-CoV-2 PCR anal swab were collected.
Results: 136 subjects with positive nasopharyngeal swab were analyzed. Result showed that 52 patients (38.2%) had positive anal swabs PCR SARS-CoV-2 and 84 patients (61.8%) had negative anal swabs. Common gastrointestinal clinical manifestations were: nausea and vomiting in 69 patients (50.7%), anorexia in 62 patients (45.6%), and abdominal pain in 31 patients (22.8). There were 114 patients (83,8%) classified as mild-moderate and 22 patients (16,2%) as severe-critical. There was a statistically significant relationship between anal swab PCR for SARS- CoV-2 test result with gastrointestinal clinical manifestations (diarrhea or nausea- vomiting) (p value 0.031). There was no statistically significant relationship found between anal swab PCR for SARS-CoV-2 test result with the severity of COVID- 19 infection (p value 0.844).
Conclusions: There is a relationship between anal swab PCR SARS-CoV-2 test result with gastrointestinal clinical manifestations (diarrhea or nausea-vomiting) and there is no relationship between anal swab PCR SARS-CoV-2 test result with severity of COVID-19 infection.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Halimah
"Imunisasi dapat menimbulkan reaksi simpang yang dikenal dengan istilah kejadian ikutan pasca imunisas ( KIPI). KIPI dapat berupa demam, nyeri,bengkak dan kemerahan dilokasi penyuntikan. Reaksi ini tidak banyak terjadi pada bayi pasca imunisasi, namun kurangnya pengetahuan dan keterampilan ibu dalam menangani KIPI dapat menimbulkan dampak yang lebih berat. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui gambaran tingkat pengetahuan ibu dan keterampilan ibu dalam menangani reaksi kejadian ikutan pasca imunisasi. Metode penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif dengan pendekatan survei pada 55 sampel di puskesmas Citeureup. Hasil penelitian menunjukkan tingkat pengetahuan ibu tentang KIPI baik (65,5%) dan tingkat keterampilan ibu dalam menangani reaksi KIPI cukup baik ( 61,8%). Disarankan agar perawat puskesmas melakukan kunjungan keluarga pada kasus KIPI.

Immunization can cause intersection reaction which known as adverse events following immunization (AEFI). AEFI can cause fever reaction, pain, swelling,and redness in the baby. Mother lack of knowledge about the incidence of it and how to handle the reaction of adverse events following immunization can make heavier affect. The aim of this study is to know a description about the level of mother’s knowledge and skills is occurring adverse events following immunization reaction. This research method using description with survey approach of 55 sample in puskesmas Citeureup. The result from this research about mother’s knowledge of adverse events following immunization is good (65,5%) and the level of mother’s skill is quite well (61,8%).
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2013
S45794
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chaula Putri Rizkia
"Respons antibodi spesifik SARS-CoV-2 dapat diperoleh dari paparan virus ketika infeksi ataupun dari vaksinasi. Studi mengenai rasio CD4+/CD8+ sebagai penanda status imunitas masih belum banyak dilakukan pada dewasa sehat. Vitamin D yang memiliki efek imunomodulatori pada sistem imun adaptif dan alamiah, mampu memodulasi pembentukan antibodi dan regulasi dari sel T. Penelitian ini bertujuan melihat hubungan kadar 25(OH)D serum terhadap titer antibodi SARS-CoV-2 dan rasio CD4+/CD8+ sebagai penanda status imunitas individu. Studi potong lintang ini dilakukan terhadap tenaga kesehatan di tiga rumah sakit rujukan COVID-19 di Jakarta dan Depok pada periode Juli–Desember 2021. Pengambilan data yang dilakukan berupa wawancara kuesioner data sosiodemografik, pemeriksaan tanda-tanda vital, pengukuran antropometri, dietary assessment menggunakan 24-h food recall dan SQ-FFQ. Pengambilan sampel darah dilakukan untuk menilai kadar 25(OH)D serum, rasio CD4+/CD8+, dan titer antibodi SARS-CoV-2. Didapatkan 154 tenaga kesehatan usia 22-53 tahun dalam kondisi sehat dan tanpa riwayat penyakit kronis. Median asupan vitamin D subjek penelitian sebesar 2,42 mcg/hari (1,23–4,00) dengan 94,7% subjek memiliki asupan vitamin D yang kurang. Median kadar serum 25(OH)D pada subjek sebesar 14,4 ng/mL (9,50–18,62) dengan 81,8% subjek mengalami defisiensi dan 14,9% subjek mengalami insufisiensi vitamin D. Median rasio CD4+/CD8+ 1,14 (0,88–1,34), 85,7% subjek memiliki titer antibodi SARS-CoV-2 >250 U/mL dan 14,3% subjek memiliki titer antibodi ≤250. Tidak ditemukan adanya hubungan yang siginifikan antara kadar 25(OH)D dengan titer antibodi SARS-CoV-2 (p 0,209 OR 4,101 95% CI 0,45–37,04) dan Rasio CD4/CD8 (p 0,385 𝛃 -0,005 95% CI -0,0015–0,006). Asupan dan kadar vitamin D pada subjek penelitian masih tergolong rendah. Penelitian ini tidak berhasil membuktikan adanya hubungan antara kadar serum 25(OH)D dengan rasio CD4+/CD8+ dan titer antibodi SARS-CoV-2.

SARS-CoV-2 specific antibody response can be generated from exposure to the virus during infection or from vaccination. There is limited data on CD4+/CD8+ ratio in healthy individuals as a marker of immunity status. Vitamin D, which has an immunomodulatory effect on both  innate and adaptive immune systems, is able to modulate antibody formation and regulation of T cells. This study aimed to examine the association between serum 25(OH)D levels and SARS-CoV-2 antibody titers along with CD4+/CD8+ ratio as a marker of immunity status. This cross-sectional study was conducted on healthcare workers at three COVID-19 referral hospitals in Jakarta and Depok in the period of July–December 2021. Data collection was carried out using questionnaire, examination of vital signs, anthropometric measurements, dietary assessment using 24-h food recall, and SQ-FFQ. Blood samples were taken to assess serum 25(OH)D levels, CD4+/CD8+ ratio, and SARS-CoV-2 antibody titers. 154 healthcare workers aged 22-53 years who were in good health and had no history of chronic disease were examined in this study. The median intake of vitamin D was 2.42 mcg/day (1.23-4.00), with 94.7% of participants having insufficient intake of vitamin D. The median serum 25(OH)D level was 14.4 ng/mL (9.50-18.62), with 81.8% participants are vitamin D deficiency and 14.9% are insufficient. Median CD4+/CD8+ ratio was 1.14 (0.88 to 1.34). 85.7% participants had SARS-CoV-2 antibody titers >250 U/mL, while 14.3% were below 250 U/mL. There was no significant relationship of serum 25(OH)D levels to SARS-CoV-2 antibody titers (p 0.209 OR 4.101 95% CI 0.45–37.04) and CD4+/CD8+ ratio (p 0.385 o-0.005 95% CI -0.0015–0.006). Vitamin D intake and serum 25(OH)D levels are relatively low. This study disproves relationship between serum 25(OH)D levels with CD4+/CD8+ ratio and SARS-CoV-2 antibody."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sherli Karolina
"Di Indonesia, kanker serviks adalah kanker kedua paling sering yang ditemukan pada perempuan. Sebagai upaya pencegahan primer, Kementerian Kesehatan telah mengintroduksi imunisasi HPV dalam Program Demonstrasi imunisasi HPV bagi siswi perempuan kelas 5 dan 6 SD di Provinsi DKI Jakarta sejak tahun 2016. Studi ini adalah kohort retrospektif dengan pendekatan kuantitatif yang bertujuan untuk mengetahui gambaran KIPI vaksin HPV kuadrivalen beserta pengaruh faktor-faktor independen terhadap timbulnya KIPI dan model prediksi dengan menggunakan metode analisis survival. Total 500 laporan surveilans aktif KIPI yang didapat pada tahun 2017 dan dianalisis dengan SPSS. KIPI vaksin HPV kuadrivalen yang terjadi dalam program BIAS HPV di provinsi DKI Jakarta tahun 2017 adalah reaksi nyeri lokal di tempat suntikan (59,6%), bengkak (17,2%), kemerahan (40,8%) dan demam (1,6%). Tidak ditemukan KIPI serius. Variabel independen yang signifikan adalah nomor batch vaksin dan riwayat imunisasi lain dalam waktu 4 minggu sebelum imunisasi HPV. Semua KIPI bersifat ringan dan sembuh sendiri tanpa intervensi. Dapat disimpulkan bahwa vaksin HPV kuadrivalen memiliki gambaran keamanan yang baik. Keputusan untuk melanjutkan dan memasukkan vaksin HPV ke dalam program imunisasi nasional harus didukung oleh analisis lebih lanjut seperti aspek biaya, cost-effective analysis, ketersediaan vaksin, tingkat penerimaan vaksin serta aspek kapasitas dan manajemen cold chain.

In Indonesia, cervical cancer is the second most common cancer found in women. As a primary prevention effort, the Ministry of Health has introduced HPV immunization in the HPV immunization demonstration program for female students of 5th and 6th grade in the DKI Jakarta Province since 2016. This is a cohort retrospective study with quantitative approach which aims to describe the safety profile of the quadrivalent HPV vaccine along with the influence of independent factors and make a prediction model using the survival analysis method. A total of 500 active AEFI surveillance reports were obtained in 2017 and analyzed retrospectively. The AEFI of HPV vaccine that occurs in the school-based HPV immunization program in DKI Jakarta province in 2017 are local pain reaction at the injection site (59.6%), swelling (17.2%), redness (40.8%) and fever (1.6 %). There is no serious AEFI found in this study. All AEFI are mild and self limited without any intervention. Significant independent variables are vaccine batch numbers and other immunization histories within 4 weeks before HPV immunizations. In conclusion, HPV immunization has a good safety profile. However, the decision to continue and incorporate the HPV vaccine into national immunization programs must be supported by further comprehensive analysis such as cost, cost-effective analysis, vaccine availability, vaccine acceptance rates, cold chain capacity and management."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
T54342
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasibuan, Anshari Saifuddin
"Latar Belakang: Pandemi COVID-19 menyebabkan mortalitas dan morbiditas yang tinggi khususnya pada tenaga kesehatan di Indonesia, Studi mengenai manfaat dari vaksin booster mRNA-1273 yang diawali vaksinasi primer Coronavac masih minim sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut.
Tujuan: Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan insiden COVID-19 pasca vaksinasi booster mRNA-1273 yang diberikan vaksinasi primer Coronavac sebelumnya serta profil antibodi pada tenaga kesehatan di Indonesia.
Metode: Penelitian ini menggunakan gabungan desain kohort retrospektif dan potong lintang pada 300 tenaga kesehatan yang dipilih secara acak dari data penerima vaksin booster mRNA-1273 di salah satu RS tersier (RSCM). Subjek yang terpilih kemudian dilakukan wawancara mendalam mengenai riwayat vaksinasi COVID-19, riwayat terinfeksi COVID-19, komorbiditas dan dilakukan pengambilan sampel darah untuk menilai kadar antibodi IgG sRBD. Dari hasil wawancara kemudian dinilai faktor-faktor yang berhubungan terhadap kejadian COVID-19 pasca vaksinasi booster mRNA-1273 serta profil antibodi subjek.
Hasil: 56 orang (18,6%) mengalami COVID-19 setelah divaksinasi booster dalam 5 bulan. Incidence rate per person per month sebesar 3,2%. Median antibodi IgG sRBD dalam 8 bulan 6627 AU/ml (min-max, 729-20374 AU/ml) dan tidak berhubungan dengan variabel usia, jenis kelamin, komorbiditas, KIPI pasca booster ataupun riwayat infeksi pasca booster. Usia, jenis kelamin, diabetes melitus tipe 2, hipertensi, obesitas dan KIPI pasca booster tidak berhubungan terhadap insiden COVID-19 pasca booster. Riwayat COVID-19 sebelum vaksinasi booster berhubungan signifikan terhadap penurunan kejadian COVID-19 pasca vaksinasi booster dengan RR 0,20 (95 % CI: 0,09-0,45).
Simpulan: Insiden COVID-19 mencapai 18,6% dalam 5 bulan pasca vaksinasi booster dengan riwayat COVID-19 sebelum vaksinasi booster berperan dalam menurunkan risiko kejadian COVID-19 pasca vaksinasi booster.

Background: COVID-19 pandemic has caused high mortality and morbidity especially among healthcare workers in Indonesia. Studies on the benefits of the mRNA-1273 booster vaccine preceded with Coronavac primary vaccine are still minimal so further studies are needed.
Purpose: Knowing the factors associated with the incidence rate of SARS-CoV-2 infection after mRNA-1273 booster vaccination starting with the Coronavac primary vaccination and the antibody profile of healthcare workers in Indonesia.
Method: This study used combined design of retrospective cohort and cross sectional study. Three hundreds healthcare workers at one of tertiary hospital in Indonesia that obtain mRNA-1273 booster vaccine minimal after 5 months were randomly selected. Subjects were then interviewed regarding their history of COVID-19 vaccination, history of SARS-CoV-2 infection, comorbidities and blood samples were taken to assess IgG sRBD antibody levels. Factors related to antibody profile and incidence of SARS-CoV-2 infection after the mRNA-1273 booster vaccination were then analyzed.
Results: 56 subjects (18.6%) experienced SARS-CoV-2 infection after mRNA-1273 booster vaccination. Median antibody IgG sRBD in 8 months was 6627 AU/ml (min-max, 729-20374 AU/ml) and not related to age, gender, comorbidities, AEFI after booster and infection after booster. Age, gender, diabetes type 2, hypertension, obesity, AEFI after booster were not related to COVID-19 incidence after booster. History of SARS-CoV-2 infection before booster vaccination was significantly associated with reduced risk of SARS-CoV-2 infection after booster vaccination with RR 0,20 (95 % CI: 0,09-0,45).
Conclusion: Cumulative incidence of SARS-CoV-2 infection in 5 months was 18,6% with history of COVID-19 before booster correlated with reduced risk of COVID-19 after booster.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Najma Fakhira Nuril Haq
"COVID-19 merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh SARS-CoV-2 dan ditetapkan sebagai pandemi global pada 11 Maret 2020 oleh WHO. Pemerintah Republik Indonesia mulai melaksanakan program vaksinasi booster untuk meningkatkan durabilitas sistem imun, khususnya pada tenaga kesehatan untuk memicu reaksi imunogenitas pada tubuh melalui produksi antibodi netralisasi (NAb). Namun, NAb memiliki durabilitas tertentu dan mungkin akan mengalami penurunan yang turut dipengaruhi oleh adanya SARS-CoV-2 varian baru yang muncul seperti varian Delta dan Omicron. Tujuan dari penelitian ini adalah mengevaluasi antibodi netralisasi yang dihasilkan oleh tenaga kesehatan di Jakarta sebelum dan setelah 12 bulan vaksinasi booster COVID-19, mengevaluasi antibodi netralisasi setelah 12 bulan vaksinasi booster COVID-19 terhadap 4 varian SARS-CoV-2 berupa varian wild type, Delta, Omicron (B.1.1.529), dan Omicron (BA.2), dan mengevaluasi antibodi netralisasi pada partisipan yang mengalami breakthrough infection dengan partisipan yang tidak mengalami breakthrough setelah 12 bulan vaksinasi booster COVID-19. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji Surrogate Virus Neutralization Test (sVNT) yang sesuai untuk digunakan dalam mendeteksi antibodi netralisasi karena memiliki hasil yang baik dengan waktu deteksi singkat. Hasil penelitian yang diperoleh adalah terdapat kenaikan antibodi netralisasi yang signifikan pada saat 12 bulan pascavaksinasi booster dibandingkan dengan saat pravaksinasi booster. Selain itu, terdapat perbedaan kadar antibodi netralisasi antara keempat varian dengan penurunan antibodi netralisasi yang cukup signifikan sekitar 10—20% pada varian Omicron (B.1.1.529 dan BA.2). Tidak terdapat perbedaan antibodi netralisasi yang signifikan pada partisipan yang mengalami breakthrough infection dengan partisipan yang tidak mengalami breakthrough infection, namun, seluruh partisipan breakthrough infection memiliki tingkat keparahan COVID-19 kategori ringan. Kesimpulan penelitian ini adalah vaksinasi booster pertama pada partisipan menunjukkan durabilitas imun pada bulan ke-12 pascavaksinasi booster pertama yang masih tergolong baik dan kemungkinan berpengaruh terhadap rendahnya tingkat keparahan gejala COVID-19 pada partisipan yang mengalami breakthrough infection. Varian baru SARS-CoV-2 seperti Omicron (B.1.1.529 dan BA.2) menyebabkan penurunan respons kekebalan tubuh sehingga perlu dilaksanakan vaksinasi booster lanjutan.

COVID-19 is an infectious disease caused by SARS-CoV-2 and was declared as global pandemic on 11 March 2020 by WHO. The Government of the Republic of Indonesia has started implementing a booster vaccination program to increase the durability of the immune system, especially for healthcare workers to trigger an immunogenic reaction in the body through the production of neutralizing antibodies (NAb). However, NAb has a certain durability and may experience a decrease which is also influenced by the emergence of new SARS-CoV-2 variants such as the Delta and Omicron variants. The purpose of this study was to evaluate the neutralization antibodies produced by healthcare workers in Jakarta before and after 12 months of the COVID-19 booster vaccination, to evaluate the neutralization antibodies after 12 months of the COVID-19 booster vaccination against 4 variants of SARS-CoV-2 in the form of wild type variants, Delta, Omicron (B.1.1.529), and Omicron (BA.2), and evaluated neutralizing antibodies in participants who experienced a breakthrough infection with participants who did not experience a breakthrough after 12 months of the COVID-19 booster vaccination. The method used in this study is the Surrogate Virus Neutralization Test (sVNT) which is suitable for detecting neutralizing antibodies because it has good results with a short detection time. The results of the study were that there was a significant increase in neutralizing antibodies 12 months after the booster vaccination compared to the prevaccination booster. In addition, there were differences in neutralizing antibody levels between the four variants with a significant decrease in neutralizing antibodies of around 10—20% in the Omicron variants (B.1.1.529 and BA.2). There was no significant difference in neutralizing antibodies in participants who experienced a breakthrough infection and participants who did not experience a breakthrough infection. However, all breakthrough infection participants had a mild level of COVID-19 severity. The conclusion of this study is that the first booster vaccination in participants shows immune durability at the 12th month after the first booster vaccination which is still relatively good and may have an effect on the lower severity of COVID-19 symptoms in participants who experience a breakthrough infection. New variants of SARS-CoV-2 such as Omicron (B.1.1.529 and BA.2) cause a decrease in the body's immune response so that further booster vaccinations are necessary."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ronaa Fadhila Emelda
"COVID-19 merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus SARS-CoV-2 yang mengakibatkan pandemi global. Jakarta adalah salah satu kota di Indonesia dengan angka kasus dan kematian tertinggi akibat COVID-19. Salah satu cara paling efektif untuk mengurangi keparahan dan resiko penularan COVID-19 adalah dengan vaksinasi. Vaksin dapat merangsang respons imunitas humoral tubuh yang menghasilkan antibodi netralisasi. Selain vaksin, antibodi netralisasi dapat diinduksi secara natural oleh imunitas tubuh. Hybrid immunity merupakan gabungan antara antibodi netralisasi yang diinduksi secara natural dan yang diinduksi oleh vaksin. SARS-CoV-2 terus bermutasi memunculkan berbagai varian yang menyebabkan peningkatan jumlah kasus dan munculnya gelombang COVID-19 baru di Indonesia, yaitu gelombang Delta pada Juni 2021 dan gelombang Omicron pada Januari 2022. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi perubahan antibodi netralisasi 3 bulan setelah vaksinasi dosis lengkap dari beberapa jenis vaksin, yaitu vaksin virus inaktivasi (CoronaVac), vaksin viral vektor (ChAdOx1 nCoV-19), dan vaksin mRNA (BNT162b2) serta pengaruh riwayat infeksi SARS-CoV-2 pada penerima vaksin terhadap berbagai varian SARS-CoV-2 (Wuhan, Delta, Omicron B.1.1.529 dan BA.2). Penelitian dilakukan dengan menggunakan uji Surrogate Virus Neutralization Test (sVNT) yang memiliki prinsip kerja seperti enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dan meniru interaksi antara receptor binding domain (RBD) dan angiotensin-converting enzyme 2 (ACE2) dalam pelat ELISA dengan RBD dan ACE2 yang telah mengalami pemurnian dengan sampel serum partisipan populasi umum (n = 76). Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan signifikan antara antibodi netralisasi sebelum dan 3 bulan setelah vaksinasi dosis lengkap, tetapi tidak terdapat perbedaan signifikan pada antibodi netralisasi yang dihasilkan dari masing-masing jenis vaksin. Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh waktu pengambilan sampel setelah terjadi gelombang Omicron COVID-19 sehingga terjadi hybrid immunity yang menyebabkan tingginya kadar antibodi netralisasi yang merata pada setiap jenis vaksin. Partisipan dengan riwayat infeksi SARS-CoV-2 memiliki kadar antibodi netralisasi yang lebih tinggi. Terdapat perbedaan antibodi netralisasi yang signifikan terhadap berbagai varian SARS-CoV-2 dengan penurunan kadar antibodi netralisasi yang signifikan terhadap varian Omicron B.1.1.529 dan BA.2. Kesimpulan dari penelitian ini adalah vaksinasi dosis lengkap berhasil meningkatkan kadar antibodi netralisasi hingga 3 bulan pascavaksinasi yang dipengaruhi oleh riwayat infeksi SARS-CoV-2.

COVID-19 is a disease caused by the SARS-CoV-2 virus which has resulted in a global pandemic. Jakarta is one of the cities in Indonesia with the highest number of COVID-19 cases and deaths. One of the most effective ways to reduce the severity and transmission risk of COVID-19 is by getting vaccinated. Vaccines can stimulate the body's humoral immune response to produce neutralizing antibodies. Apart from vaccines, neutralizing antibodies can be induced naturally by the body's immunity. Hybrid immunity is a combination of naturally induced neutralizing antibodies and those induced by vaccines. The continuously mutating SARS-CoV-2 has led to the emergence of various variants which have resulted in an increase in the number of cases and the emergence of new COVID-19 waves in Indonesia, namely the Delta variant which appeared in June 2021 and the Omicron variant in January 2022. This study aims to evaluate changes in neutralizing antibodies 3 months after complete doses of several types of vaccines, namely inactivated virus vaccine (CoronaVac), viral vector vaccine (ChAdOx1 nCoV-19), and mRNA vaccine (BNT162b2) and the effect of a history of SARS-CoV-2 infection in vaccine recipients against various variants SARS-CoV-2 (Wuhan, Delta, Omicron B.1.1.529 and BA.2). The study was conducted using the Surrogate Virus Neutralization Test (sVNT) test which has a working principle like the enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) and mimics the interaction between the receptor binding domain (RBD) and angiotensin-converting enzyme 2 (ACE2) in ELISA plates using RBD and ACE2 that had undergone purification with sera samples of general population participants (n = 76). The results showed that there were significant differences between the neutralizing antibodies before and 3 months after the full dose of vaccination, but there were no significant differences in the neutralizing antibodies produced from each type of vaccine. This was probably caused by the sampling time after the Omicron COVID-19 wave occurred, resulting in hybrid immunity which resulted in high levels of neutralizing antibodies that were evenly distributed in each type of vaccine. Participants with a history of SARS-CoV-2 infection had higher levels of neutralizing antibodies. There were significant differences in neutralizing antibodies against various variants of SARS-CoV-2 with a significant decrease in levels of neutralizing antibodies against Omicron B.1.1.529 and BA.2 variants. The conclusion of this study is that full dose vaccination has succeeded in increasing neutralizing antibody levels for up to 3 months after vaccination which are affected by a history of SARS-CoV-2 infection."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Utari Prasetya Ningrum
"Vaksinasi dan penggunaan antivirus remdesivir dan favipiravir merupakan strategi yang dapat digunakan untuk menekan pertumbuhan COVID-19. Namun penelitian tentang pengaruh vaksinasi terhadap efektivitas terapi antivirus pada pasien COVID-19 secara klinis masih terbatas. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh vaksinasi terhadap efektivitas terapi remdesivir dan favipiravir pada pasien terkonfirmasi COVID-19. Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan desain kohort retrospektif dilakukan di rumah sakit Universitas Indonesia, Depok. Data diambil dari rekam medis RS periode Januari 2021 hingga Agustus 2022. Efektivitas terapi ditentukan dengan menilai kelompok sudah vaksin dan belum vaksin berdasarkan perbaikan kondisi klinis pasien, lama rawat inap, dan kematian pada pasien COVID-19. Hasil analisis menunjukkan bahwa vaksinasi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perbaikan kondisi klinis, lama rawat inap, dan kematian (p < 0,05) pada pasien yang diberi terapi remdesivir dan telah divaksin dibandingkan dengan pasien yang belum divaksin. Pada pasien yang diberi terapi favipiravir vaksinasi tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap perbaikan kondisi klinis, lama rawat inap, dan kematian pada pasien yang telah divaksin dibandingkan dengan pasien yang belum vaksin. Vaksinasi memiliki pengaruh yang baik terhadap efektivitas terapi remdesivir pada pasien COVID-19, yaitu dapat meningkatkan perbaikan kondisi klinis pasien kearah yang lebih baik, mengurangi lama rawat inap dan kematian. Namun tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap efektivitas terapi favipiravir.

Vaccination and the use of the antivirals remdesivir and favipiravir are strategies that can be used to suppress the growth of COVID-19. However, clinical research on the effect of vaccination on the effectiveness of antiviral therapy in COVID-19 patients is still limited. This study aims to analyze the effect of vaccination on the effectiveness of remdesivir and favipiravir therapy in patients with confirmed COVID-19. This study was an observational study with a retrospective cohort design conducted at Universitas Indonesia Hospital, Depok. Data were taken from medical records for the period from January 2021 to August 2022. The effectiveness of therapy was determined by assessing the vaccine and non-vaccine groups based on improvement in the patient's clinical condition, length of stay, and mortality in COVID-19 patients. The results of the analysis showed that vaccination had a significant effect on improving clinical condition, length of stay, and mortality (p <0.05) in patients who were given remdesivir therapy and vaccinated compared to patients who not vaccinated. In patients who were given favipiravir, the vaccination did not show a significant effect on improving clinical conditions, length of stay, and death in patients who had been vaccinated compared to patients who not vaccinated. Vaccination has a positive effect on the effectiveness of remdesivir therapy in COVID-19 patients, which can improve the patient's clinical condition, reducing length of stay and mortality. However, it does not have a significant effect on the effectiveness of favipiravir therapy."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>