Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 133367 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Anatha Chriscilia Selaindoong
"Gangguan pencernaan merupakan isu global dengan hasil  studi epidemiologi lebih dari 40% orang diseluruh dunia mengalami gangguan pencernaan. Salah satu faktor diet yang berhubungan dengan gangguan pencernaan yaitu jenis makanan yang dikonsumsi. Masyarakat Minahasa memiliki kebiasaan mengkonsumsi makanan berempah dan pedas. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi hubungan antara mengonsumsi makanan minahasa berempah dan pedas dengan gejala gangguan pencernaan. Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional yang melibatkan 212 sampel berusia 18-60 tahun yang sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi. Pengambilan sampel menggunakan teknik consecutive sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah dikontrol dengan variabel perancu, terdapat hubungan antara konsumsi makanan berempah dan pedas dengan gejala gangguan pencernaan (nilai p 0.015<0.05) OR 2.523 (95% CI: 1.197-5.319). Pasien yang mengonsumsi makanan berempah dan pedas berisiko 2.523 kali mengalami gejala gangguan pencernaan. Peneliti merekomendasikan perawat untuk melakukan asuhan keperawatan secara komperhensif sebagai educator dan fasilitator untuk mengoptimalkasn kesehatan masyarakat yang mengonsumsi makanan berempah dan pedas serta faktor lainnya yang berisiko  dengan gejala gangguan pencernaan. Bagi pelayanan kesehatan dan pemerintah daerah dapat menyusun rencana strategi dalam upaya pencegahan maupun penanganan gangguan pencernaan terkait konsumsi makanan berempah dan pedas dengan tetap melestarikan kekhasan budaya setempat.

Gastrointestinal disorders are a global issue with the epidemiology study results of more than 40% of people around the world experiencing digestive disorders. A dietary factor associated with indigestion is the type of food consumed. Minahasa people habitually consume spicy foods. The aim of this study was to identify the relationship between consuming spicy Minahasan food and symptoms of indigestion. This study was a cross-sectional study involving 212 samples aged 18-60 years who complied with the inclusion and exclusion criteria. Consecutive sampling technique was used. After control for confounding variables, there was an association between consuming spicy foods and gastrointestinal symptoms (p value 0.015<0.05) OR 2.523 (95% CI: 1.197-5.319). Patients who consume spicy foods are at risk of 2.523 times to experience gastrointestinal symptoms. Furthermore, Researchers recommend nurses to provide comprehensive nursing care as educators and facilitators to optimize the health of people who consume spicy foods and other risk factors associated with gastrointestinal symptoms. For health services and government can establish a strategic plan in preventing and treating gastrointestinal disorders related to the consumption of spicy food while preserving the characteristics of local culture."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rafli Fadlurahman
"Latar belakang: Cedera gastrointestinal akut kerap terjadi pada pasien dengan sakit kritis. Fungsi saluran menjadi salah satu pertimbangan dalam pemberian nutrisi pasien. Komplikasi pada saluran cerna dapat menghambat pemberian nutrisi enteral yang lebih direkomendasikan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan derajat cedera gastrointestinal akut dengan capaian nutrisi enteral pada pasien anak sakit kritis.
Metode: Penelitian ini memiliki desain studi potong lintang menggunakan data sekunder dari rekam medis pasien anak sakit kritis yang dirawat di PICU RSCM dari September 2019 sampai Agustus 2020. Cedera gastrointestinal akut dikelompokkan berdasarkan klasifikasi WGAP ESICM. Asupan nutrisi diambil dari data rekam medis pasien. Data dianalisis menggunakan Uji Saphiro-Wilk dilanjutkan Uji Kruskal-Wallis untuk mengetahui hubungan derajat cedera gastrointestinal akut dengan capian nutrisi enteral pasien. Data diolah menggunakan aplikasi IBM SPSS for windows versi 20.
Hasil: Sampel penelitian berjumlah 26 pasien. Median presentase capaian nutrisi enteral hari ketiga (% laju metabolik basal) setiap derajat yaitu derajat satu 40,08 (0-144,39); dua 0,00 (0-219); tiga 19,10 (0,00-38,20); dan empat 0,00 (0,00-130,30) dengan hasil uji Kruskal-Wallis (p=0,904). Tidak terdapat hubungan bermakna antara lama capaian 25% nutrisi enteral dengan derajat cedera gastrointestinal akut (Kruskal-Wallis, p=0,556). Pada penelitian, faktor lain seperti status gizi (p=0,952), penggunaan ventilator mekanik (p=0,408), dan riwayat pascaoperasi (p=0,423) tidak mempengaruhi presentase nutrisi enteral hari ketiga.
Kesimpulan: Pada pasien anak kritis, tidak terdapat hubungan yang bermakna antara derajat cedera gastrointestinal akut dengan capaian nutrisi enteral.

Background: Acute gastrointestinal injury (AGI) is usually found in critically ill patients. Gastrointestinal function can determine the route od nutritional therapy. Gastrointestinal abnormalities may delay enteral nutrition therapy in patients. Therefore, this study aims to determine the association between the association between acute gastrointestinal injury and enteral nutrition outcome in critically ill children.
Methods: This study had a cross-sectional study design using the medical records of critically ill children in PICU RSCM from September 2019 until August 2020. AGI patients was classified based on WGAP ESIM grading system. Nutritional outcomes were assessed using data from medical record. Data were analyzed the Kruskal-Wallis test to determine the association between acute gastrointestinal injury and enteral nutrition outcomes. The Data were analysed using SPSS for windows version 20.
Results: The study sample was 26 patients. The medians of day three enteral nutrition percentage were grade one 40,08 (0-144,39); grade two 0,00 (0-219); grade three 19,10 (0,00-38,20); dan grade four 0,00 (0,00-130,30) with Kruskall-walis test result (p=0,904). There was no significant association between AGI and the duration of 25% basal metabolic rate (Kruskal-Wallis, p=0,556). In this study, Other factors such as nutritional status (p=0,952), ventilator usage (p=0,408), and post-operative history (p=0,423) did not associate with day three enteral nutrition percentage.
Conclusion: In critically ill children, there was no significant association between the acute gastrointestinal injury and the outcome of enteral nutrition.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wardah Nafisah
"Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi gambaran kejadian masalah gastrointestinal pada mahasiswa asing di Universitas Indonesia. Desain penelitian deskriptif dengan pendekatan potong lintang, melibatkan 64 sampel yang dipilih dengan teknik convenient sampling. Instrumen yang digunakan ialah kuesioner yang dimodifikasi dari penelitian sebelumnya. Analisis data univariat distribusi frekuensi.
Hasil penelitian menunjukkan 82,8% mahasiswa asing di Universitas Indonesia pernah mengalami masalah gastrointestinal selama berada di Indonesia. 46,3% responden menyatakan sering mengalami keluhan sakit perut, yang merupakan manifestasi umum pada berbagai jenis gangguan gastrointestinal. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengeksplorasi berbagai faktor pola makan dan gaya hidup yang memengaruhi kejadian masalah gastrointestinal pada mahasiswa asing di Universitas Indonesia.

This study aimed to identify the description of gastrointestinal problems on foreign students in Universitas Indonesia. Descriptive study with a cross-sectional design, involving 64 samples whom were selected with convenient sampling method. A questionnaire which was modified from previous research was used.
The result showed that 82,8% foreign students of Universitas Indonesia had experienced gastrointestinal problems during in Indonesia, which indicates high prevalence. 46,3% respondents often experience abdominal discomfort which is the common manifestation of various gastrointestinal disorders. A further research is needed to explore and elaborate the related factors such as consumption pattern and lifestyle which significantly affect the gastrointestinal problems finding on foreign students in Universitas Indonesia.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2016
S63148
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lilis Hendrawati
"Penyakit diare merupakan salah satu masalah utama kesehatan masyarakat di Indonesia. Diare termasuk dalam kelompok tiga penyebab utama kunjungan berobat ke Puskesmas/Balai Pengobatan. Angka kesakitan diare dalam setiap tahunnya sekitar 200-400 kejadian dari 1000 penduduk. Sebagian besar (70-80%) penderita adalah anak di bawah usia lima tahun dan mengalami lebih dari satu kejadian diare setiap tahunnya.
Di Indonesia, angka kematian akibat diare selama 25 tahun terakhir telah menurun tajam, dari urutan pertama pada tahun 1972 menjadi urutan ke lima pada tahun 1996. Dibandingkan dengan penyebab kematian lainnya, kematian akibat diare pada tahun 1972, 1980, 1986, 1992 dan 1996 berturut-turut adalah 40%, 24,9%, 16%, 7,5% dan 7,4%. Menurut laporan Departemen Kesehatan, berdasarkan hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga tahun 1983 dan 1986, di Indonesia seliap anak mengalami diare 1,6-2 kali setahun. Sebagian penderita (1-2%) jatuh ke dalam dehidrasi dan jika tidak segera ditolong, 50-60% di antaranya dapat meninggal.
Di Medan, Metrizal dkk melaporkan jumlah kasus diare yang memerlukan perawatan di rumah sakit adalah sebanyak 45,4% dari seluruh kasus di bangsal perawatan dengan 51,3% di antaranya berusia kurang dart 2 tahun Ariyani melaporkan penelitian yang dilakukan di Departemen IKA FKUI/RSCM tahun 19964997, didapat kasus diare sebanyak 85 anak, 60% di antaranya laki-laki. Rentang umur pasien adalah 2-24 bulan dengan puncaknya pada usia 6-11 bulan (42,4%).
Pada anak dengan diare berat, lebih dari 25% anak mengalami sindrom malabsorpsi. Beberapa penelitian yang dilakukan tentang kejadian intoleransi laktosa pada diare mendapatkan hasil sebagai berikut : Suharyono dkk mendapatkan angka sebesar 52,5% pada 838 penderita diare akut, Mustajab dkk di Manado mendapatkan angka intoleransi laktosa sebesar 63,2% pada anak dengan diare, Hegar dkk di Jakarta mendapatkan angka 23,1%, sedangkan Sunoto dkk mendapatkan angka intoleransi laktosa sebanyak 40% pada anak dengan diare melanjut. Dari beberapa penelitian pada bayi dan anak yang menderita diare yang dirawat di Bangsal Gastroenterologi Unit Anak RSCM/FKUI antara tahun 1971-1977 dan 1979-1980, Suharyono mendapatkan angka kejadian malabsorpsi lemak sebesar 57%, sedangkan Hegar dkk mendapatkan hasil 43,6%. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti kembali kejadian intoleransi laktosa dan malabsorpsi lemak dengan jumlah sampel yang lebih besar dan diambil dari sampel selama 2 tahun terakhir."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T21395
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Afifah
"Salah satu stresor mahasiswa berkaitan dengan akademik. Respon terhadap stres akademik tersebut dapat berupa psikologis dan fisiologis. Salah satu respon fisiologis stres yaitu gejala gastrointestinal. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi tingkat stres akademik dan prevalensi gejala gastrointestinal pada mahasiswa di FIK UI dan untuk mencari tahu hubungan keduanya menggunakan kuesioner Academic Stress Scale ASS dan Gastrointestinal Symptoms Rating Scale GSRS.
Desain penelitian adalah cross sectional, teknik sampel menggunakan propotionate stratified random sampling dengan melibatkan 227 mahasiswa. Analisis data menggunakan analisis univariat dan bivariat uji chi-square . Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat mahasiswa yang tingkat stresnya tinggi yaitu 44,9 dan mahasiswa yang mengalami gejala gastrointestinal berat sejumlah 33,5. Gejala yang banyak dilaporkan yaitu dismotilitas atas diikuti dengan gejala pada usus.
Hasil uji korelasi yaitu terdapat hubungan yang signifikan antara stres akademik dengan gejala gastrointestinal pada mahasiswa FIK UI p value = 0,018; ? = 0,05 . Hasil uji odd ratio OR yaitu 2,037. Hal tersebut berarti mahasiswa dengan stres akademik tingkat tinggi lebih berpeluang mengalami gejala gastrointestinal 2,037 kali dibandingkan dengan mahasiswa yang memilik tingkat stres rendah. Untuk mengurangi tingkat stres akademik seperti ujian, perlu dikembangkan kegiatan diskusi diluar waktu kuliah untuk meningkatkan persiapan.

One of the student stressors is related to academics. The response to academic stress can be psychological and physiological. One of the stressful physiological responses is gastrointestinal symptoms. This studi Aim to identify the level of academic stress and prevalence of gastrointestinal symptoms in students at FIK UI and to find out the relationship using the Academic Stress Scale ASS and Gastrointestinal Symptoms Rating Scale GSRS questionnaire.
A cross sectional study design was used, the sample technique using propotionate stratified random sampling involving 227 students. Data analysis used univariate and bivariate analysis chi square test . The results showed that there are students with high stress level that is 44.9 and students who experience symptoms of gastrointestinal weight of 33.5 . Most of the nursing student complained of upper dysmotility and bowel symptoms.
Correlation test result that there is a significant correlation between academic stress with gastrointestinal symptoms in FIK UI student p value 0,018 0,05 . Result of odd ratio test OR that is 2,037. This means that students with high level academic stress are more likely to complain of gastrointestinal symptoms 2,037 times compared to nursing students with lowest academic stress level. To reduce the level of academic stress such as exams, it is necessary to develop discussion activities outside of college time to improve preparation for exams.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2017
S68258
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andito Mohammad Wibisono
"Pendahuluan: COVID-19 telah dilaporkan menyebabkan berbagai gejala, termasuk gejala pernapasan dan gejala gastrointestinal seperti mual, muntah, dan diare. Standar emas untuk pengujian COVID-19 adalah RT-PCR menggunakan koleksi swab nasofaring. Namun, beberapa penelitian menunjukkan bahwa pengambilan swab nasofaring memiliki beberapa keterbatasan, terutama untuk mendeteksi gejala gastrointestinal. Salah satu variabel dalam pengujian RT-PCR adalah Nilai CT yang diketahui dapat meningkatkan spesifisitas pengujian. Namun, belum ada penelitian yang menghubungkan Nilai CT pasien dengan pengambilan sampel swab anal dengan gejala gastrointestinal terkait COVID-19. Metode: Penelitian ini menggunakan desain penelitian analitik, khususnya penelitian potong lintang. Data sekunder diperoleh dan diolah yang berisi data pribadi, pekerjaan, dan hasil CT Value. Analisis lebih lanjut dilakukan pada hubungan antara gejala gastrointestinal dan tingkat Nilai CT pada swab anal. Hasil: Distribusi tingkat Nilai CT responden berdasarkan cut off >25 untuk tinggi, dan <25 untuk rendah dan sedang. Dari 37 subjek, 1 orang (2,7%) memiliki Nilai CT rendah dan 36 pasien memiliki Nilai CT tinggi. Distribusi gejala subjek didapatkan 15 pasien (40,5%) tidak mengalami gejala gastrointestinal dan sebanyak 22 pasien (59,5%) mengalami gejala gastrointestinal. Gejala gastrointestinal umum yang dilaporkan pada pasien meliputi: mual (54,1%), muntah (18,9%), sakit perut (16,2%) dan diare (13,5%). Namun, tidak ada hubungan yang signifikan (p>0,05) antara Nilai CT pada pengambilan anal swab dengan gejala gastrointestinal pada pasien COVID-19. Kesimpulan: Hubungan antara Nilai CT pada pengambilan anal swab dengan gejala gastrointestinal pada pasien COVID-19 tidak menunjukkan hubungan yang signifikan. Penelitian lebih lanjut tentang faktor risiko yang mempengaruhi hasil nilai CT direkomendasikan.

Introduction: COVID-19 has been reported to cause a range of symptoms, including respiratory symptoms and gastrointestinal symptoms such as nausea, vomiting, and diarrhea. The gold standard for COVID-19 testing is RT-PCR using nasopharyngeal swab collection. However, several studies have shown that taking nasopharyngeal swabs have some limitation, particularly to detect gastrointestinal symptoms. One of the variables in RT-PCR testing is CT Value, which known can increase specifity of the test. However, there has been no study linking the CT Value of patients with anal swab sampling with COVID-19 related gastrointestinal symptoms. Methods: This study used an analytical research design, particularly a cross-sectional study. Secondary data were obtained and processed which contained personal data, work, and CT Value results. Further analysis was conducted on the relationship between gastrointestinal symptoms and the level of CT Value on anal swabs. Result: The distribution of respondents' CT Value levels were based on a cut off of >25 for high, and <25 for low and moderate. From 37 subjects, 1 person (2.7%) had a low CT Value and 36 patients had a high CT Value. The distribution of the subject's symptoms found 15 patients (40.5%) had no gastrointestinal symptoms and as many as 22 patients (59.5%) had gastrointestinal symptoms. Common gastrointestinal symptoms reported in patients include: nausea (54.1%), vomiting (18.9%), abdominal pain (16.2%) and diarrhea (13.5%). However, there was no significant relationship (p>0.05) between CT Value in anal swab taking and gastrointestinal symptoms in COVID-19 patients. Conclusion: The association between CT Value in anal swab taking and gastrointestinal symptoms in COVID-19 patients did not show a significant relationship. Further research on risk factors affecting the CT value results are recommended"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meutia Gebrina
"Latar Belakang. Pada lupus eritematosus sistemik (LES) ditemukan prevalensi ansietas dan depresi yang cukup besar. Beberapa aspek menjadi kaitan antara lupus eritematosus sistemik dengan ansietas dan depresi, di antaranya disbiosis usus. Rasio Firmicutes/Bacteroidetes rendah menunjukkan disbiosis dan nilainya rendah pada LES.
Tujuan. Mengetahui profil mikrobiota usus pada ansietas dan depresi pada LES serta secara khusus mengetahui korelasi rasio Firmicutes/Bacteroidetes dengan skor gejala ansietas dan depresi pada LES.
Metode. Penelitian ini mengambil data studi Pengaruh sinbiotik terhadap aktivitas penyakit, respons imun, serta permeabilitas dan mikrobiota usus pada pasien lupus eritematosus sistemik. Dari studi besar tersebut, diambil data dasar (baseline) berupa data demografik, Hospital Anxiety and Depression Scale (HADS), Systemic Lupus Erythematosus Disease Activity Index 2000 (SLEDAI-2k), obat-obatan yang dikonsumsi, pola diet, serta proporsi mikrobiota usus tingkat filum. Keseluruhan data dijabarkan secara deskriptif. Dilakukan analisis korelasi antara rasio Firmicutes/Bacteroidetes dengan HADS-Ansietas dan HADS-Depresi.
Hasil. Dari 41 subjek, didapatkan proporsi ansietas 53,66% dan depresi 14,63%. Kelompok ansietas memiliki proporsi Bacteroidetes lebih tinggi dan indeks diversitas lebih rendah daripada kelompok tidak ansietas. Kelompok depresi memiliki proporsi Bacteroidetes lebih tinggi, Firmicutes lebih rendah, dan rasio Firmicutes/Bacteroidetes lebih rendah dibandingkan kelompok tidak depresi. Diagram sebar menunjukkan tidak adanya hubungan yang linear antara rasio Firmicutes/Bacteroidetes dengan skor gejala ansietas dan depresi sehingga tidak dapat dilakukan analisis korelasi.
Simpulan. Secara deskriptif didapatkan kecenderungan disbiosis pada kelompok yang mengalami ansietas dan depresi daripada kelompok yang tidak mengalami gangguan psikis.

Background. There was a high prevalence anxiety and depression in systemic lupus erythematosus (SLE). Some aspects interconnecting them, such as intestinal dysbiosis. Firmicutes/Bacteroidetes ratio, one of dysbiosis parameter, found low in SLE patients and also depressed patients.
Objectives. This research aim to study intestinal microbiota profile among anxious and depressed SLE patients, and also to know the correlation between Firmicutes/Bacteroidetes ratio with anxiety and depression score in SLE patients.
Methods. We used secondary data from research entitled Effects of synbiotic supplementation on disease activity, immune response, gut permeability, and microbiota of systemic lupus erythematosus patients. We used baseline data of demographic data, Hospital Anxiety and Depression Scale, Systemic Lupus Erythematosus Disease Activity Index 2000, drugs used, nutrients intake, and intestinal microbiota profile at phylum level. All those data were described descriptively and also analysed for the correlation between Firmicutes/Bacteroidetes ratio with anxiety score and depression score.
Results. From all 41 subjects, the proportion of anxiety was 53,66% and depression 14,63%. Anxiety group had more Bacteroidetes than not anxiety group. Depressed group had more Bacteroidetes, less Firmicutes, and lower Firmicutes/Bacteroidetes ratio than not depressed group. The scatterplot shows that there is no linear relationship between the Firmicutes/Bacteroidetes ratio with anxiety and depression symptom scores so that correlation analysis cannot be done.
Conclusion. Descriptively there was a tendency for dysbiosis in the group that experienced anxiety and depression than the group that did not experience psychological disorders."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Philadelphia: Saunders/Elsevier, 2016
616.33 SLE I
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Lestari
"Gangguan gastrointestinal merupakan sebagain besar penyakit yang menyebabkan penderitanya mencari pertolonganmedis. Salah satu contohnya adalah mual dan muntah. Mual merupakan sensasi tidak menyenangkan dari keinginanuntuk muntah atau perasaan di tenggorokan atau daerah epigastrum yang memperingatkan seseorang bahwa muntah akansegera terjadi. Sedangkan muntah merupakan ekspulsi paksa isi lambung melalui mulut sebagai refleks proteksi dari tubuh untuk mengeluarkan zat berbahaya dari GIT sebelum dapat diserap.

Gastrointestinal disorder are the majority of disease that cause sufferes to seek medical help. One examples is nausea and vomiting. Nausea is the unpleasant sensation of wanting to vomit or a feeling in the throat or epigastrum area that warns a person that vomiting is imminent. Meanwhile, vomiting is the forced expulsion of stomach contents through the mouth as a protective reflex from the body to remove harmful substances from the GIT before they can be absorbed."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hario Tri Hendroko
"Latar belakang: Laparotomi merupakan teknik operasi untuk membuka akses kavitas peritoneum dengan membentuk sayatan terbuka di area abdomen. Cedera mukosa akibat trauma pembedahan mengganggu homeostasis epitel, merusak ekosistem mikrobiom, meningkatkan produksi sitokin proinflamasi dan berkaitan dengan kejadian komplikasi pascaoperatif. Probiotik Lactobacillus acidophillus memperkuat sawar usus, mempertahankan ekosistem mikrobiom dan berpotensi memodulasi respon imun. Namun, belum terdapat penelitian mengenai dampak pemberian Lactobacillus acidophilus terhadap kadar c-reactive protein (CRP) pascalaparotomi gastrointestinal sebagai penanda inflamasi
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak pemberian Lactobacillus acidophilus terhadap kadar CRP pascalaparotomi gastrointestinal
Metode: Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar ganda. Sebanyak 56 subjek yang akan menjalani operasi laparotomi gastrointestinal dimasukkan ke dalam penelitian. Subjek penelitian diberikan kapsul probiotik Lactobacillus acidophilus 109 (kelompok probiotik) atau diberikan kapsul laktosa (kelompok plasebo) selama 3 hari sebelum operasi. Kadar CRP diukur 3 hari sebelum prosedur dan 3 hari sesudah prosedur.
Hasil: Lima puluh enam subjek dengan 28 subjek pada tiap kelompok, mengikuti penelitian hingga selesai. Pada hari ketiga pascaoperatif, probiotik secara efektif menurunkan peningkatan respon inflamasi dengan nilai akhir CRP pada kelompok probiotik lebih rendah dibandingkan kelompok plasebo (median probiotik 89,65 mg/L vs. plasebo 204 mg/L, p < 0,001). Perubahan peningkatan nilai CRP lebih rendah pada kelompok probiotik dibandingkan kelompok plasebo (median probiotik 84,8 mg/L vs. plasebo 187,6 mg/L, p < 0,001). Terdapat efek samping yang signifikan (mual, diare, muntah dan rasa kembung di perut) pada kelompok probiotik selama penelitian (p = 0,04).
Simpulan: Pemberian probiotik preoperatif menurunkan secara signifikan peningkatan CRP pada pasien pascalaparotomi gastrointestinal

Background: Laparotomy is a surgical technique to open access to the peritoneal cavity by forming an open incision in the abdominal area. Mucosal injury due to surgical trauma can disrupt epithelial homeostasis, impair the microbiome ecosystem, increase the production of proinflammatory cytokines and relating to the incidence of postoperative complications. Lactobacillus acidophillus probiotic administration improve the intestinal barrier function, maintains the microbiome ecosystem and potentially modulate immune responses. However, there has been no research on the impact of Lactobacillus acidophilus administration on C-Reactive Protein (CRP) levels after gastrointestinal laparotomy as a marker of inflammation.
Objective: This study aimed to determine the impact of Lactobacillus acidophilus on CRP levels after gastrointestinal laparotomy
Methods: This study is a randomized controlled trial. Fifty six subjects scheduled gastrointestinal laparotomy surgery were enrolled. Subjects received Lactobacillus acidophilus 109 probiotic capsules (probiotic group) or lactose capsules (placebo group) for 3 days before surgery. CRP levels were measured 3 days before the procedure and 3 days after the procedure.
Results: Fifty-six subjects with 28 subjects in each group completed the study. On the third postoperative day, probiotics effectively suppressed the elevating inflammatory response with the final CRP value in the probiotic group lower than the placebo group (median probiotic 89.65 mg/L vs. placebo 204 mg/L, p < 0.001). Elevated CRP values ​​were lower in the probiotic group than in the placebo group (median probiotic 84.8 mg/L vs. placebo 187.6 mg/L, p < 0.001). There was a significant side effects (nausea, diarrhea, vomiting, and bloating) in the probiotic group during study (p = 0.04).
Conclusions: Preoperative probiotic administration significantly reduced elevated CRP in patients After Undergoing Gastrointestinal Laporotomy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>