Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 131484 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Albert Yahya
"Dengan dijatuhkan putusan pailit, maka Debitur Pailit kehilangan hak nya dalam menguasai harta bendanya yang termasuk dalam Boedel Pailit tersebut, dan secara hukum diberikan tugas pemberesan tersebut kepada Kurator. Akan tetapi melakukan tugas pemberesannya, seringkali Kurator menemukan hambatan seperti dengan diletakannya penyitaan pidana terhadap harta pailit tersebut yang berakibat akan terhambatnya upaya pemberesan yang dilakukan serta menimbulkan ketidakpastian bagi Kreditur Pailit dalam mendapatkan pelunasan piutangnya. Dalam skripsi ini akan dijelaskan terkait peran dan kewenangan Kurator dalam mengatasi penyelesaian sengketa harta pailit yang diletakan sita pidana tersebut serta pertimbangan hakim dalam memutus sengketa tersebut. Dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan bentuk penelitian yuridis normatif dengan metode kepustakaan. Dari hasil penelitian yang dilakukan, ditemukan bahwasannya penerapan sita umum kepailitan serta sita pidana memiliki esensi dan tujuannya masing-masing sehingga dalam memutus, hakim tidak dapat mencampur adukan terkait kedudukan penyitaan tersebut melainkan haruslah diputus secara satu per satu. Selain itu dalam mengatasi sengketa harta pailit yang diletakan sita pidana, Kurator berwenang untuk mengajukan Gugatan Lain-Lain kepada Pengadilan Niaga agar hakim memisahkan harta pailit yang benar-benar memiliki keterkaitan dengan tindak pidana untuk dikedepankan penyitaan pidananya dan selanjutnya, terhadap Putusan Pidana tersebut Kurator juga berwenang untuk mengajukan upaya keberatan bilamana Hakim Pengadilan Pidana melakukan perampasan terhadap Harta Pailit tersebut.

With the imposition of bankruptcy judgment, the Insolvent Debtor loses its right to control its property which is included in the Bankruptcy Boedel, and is legally given the task of settlement to the Curator. However, carrying out its settlement duties, often the Curator finds obstacles such as the placement of criminal confiscation of the bankrupt assets which results in hampering the settlement efforts made and creates uncertainty for the Insolvent Creditor in obtaining repayment of its receivables. In this thesis, it will be explained regarding the role and authority of the Curator in overcoming the settlement of bankruptcy property disputes placed by the criminal seizure and the judge's consideration in deciding the dispute. In conducting this research, the author used a form of normative juridical research with literature methods. From the results of the research conducted, it was found that the application of general bankruptcy and criminal confiscation has its own essence and purpose so that in deciding, judges cannot mix complaints related to the position of confiscation but must be decided one by one. In addition, in resolving disputes over bankruptcy assets placed under criminal confiscation, the Curator is authorized to file a Miscellaneous Claim to the Commercial Court so that the judge separates the bankruptcy assets that are truly related to the criminal act to put forward criminal confiscation and furthermore, against the Criminal Judgment the Curator is also authorized to file an objection if the Criminal Court Judge confiscates the Bankruptcy Property."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nastasya Zita Pradita
"Skripsi ini membahas mengenai kewenangan yang dimiliki oleh Kurator dalam mengambilalih harta dari pihak ketiga yang berada di atas tanah boedel pailit serta kewenangannya dalam mengakhiri perjanjian sewa-menyewa dan hak pengelolaan tanah secara sepihak. Tesis ini menggunakan penelitian yuridis normatif karena menitikberatkan pada penelitian kepustakaan yang intinya meneliti asas-asas hukum, sistematis hukum, dan sinkronisasi hukum dengan cara menganalisanya. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif. Pada akhirnya, Peneliti memperoleh kesimpulan bahwa putusan tidak sesuai dengan UUK-PKPU dan harta pihak ketiga tetap termasuk ke dalam boedel pailit sehingga kepengurusannya dapat diambilalih oleh Kurator.

This thesis discussed about Curator's authorities in taking over assets of third party which were built above the bankruptcy land owned by a bankrupt debtor and also the authority to make unilateral termination of rent agreement with land management rights in it. Furthermore, this thesis uses normative legal research because it focuses on the research literature that examines the core principles of law, the law systematically, and the synchronization of the law by analyzing them. The data obtained were analyzed using qualitative descriptive methods. Researcher came to conclusions that the decision of Supreme Court is not in accordance with Bankruptcy Act and the assets of third party are included in bankrupt assets, therefore they can be taken over by Curators."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S62545
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sondang, Esther Melinia
"Dalam praktik kepailitan, pelaksanaan pemberesan harta pailit seringkali terhambat oleh berbagai kendala, salah satunya ketika terjadi tumpang tindih antara sita umum pailit dengan sita pidana. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana proses pemberesan harta pailit dalam hal terjadi sita pidana terhadap harta pailit dengan mengkaji kedudukan sita umum pailit terhadap sita pidana, serta mengetahui pula kedudukan harta pailit terhadap putusan pengadilan dalam perkara pidana dengan menganalisis putusan pengadilan dalam perkara gugatan lain-lain. Penelitian ini menggunakan bentuk penelitian yuridis normatif dengan metode studi kepustakaan. Dari hasil penelitian ini, dapat diketahui bahwa kedudukan sita pidana lebih didahulukan daripada sita umum pailit, sehingga proses pemberesan harta pailit harus ditunda untuk sementara waktu. Berdasarkan analisis terhadap Putusan Pengadilan Niaga Pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 11/Pdt.Sus-Gugatan Lain-Lain/2018/PN.Jkt.Pst dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 3 K/Pdt.Sus-Pailit/2019, kedudukan harta pailit didahulukan dibanding putusan pengadilan dalam perkara pidana, sehingga amar putusan yang menetapkan perampasan harta pailit untuk negara bersifat non-executable.

In the practice of bankruptcy, the implementation of bankruptcy assets settlement is often hampered by various obstacles, one of which is when there is an overlap between the general bankruptcy confiscation and the criminal confiscation. This research was conducted to determine how the process of bankruptcy assets settlement in the event of criminal confiscation towards the bankruptcy assets by examining the position of general bankruptcy confiscation against criminal confiscations, also to determine the position of bankruptcy assets against court decisions in criminal cases by analyzing court decisions. This type of research is normative legal research with a literature study method. The result of the research shows that the position of criminal confiscation takes precedence over general bankruptcy confiscation, therefore the settlement of bankruptcy assets must be temporarily postponed. Based on the analysis of the Court Decision Number 11/Pdt.Sus-Gugatan Lain-lain/2018/PN.Jkt.Pst and Court Decision Number 3 K/Pdt.Sus-Pailit/2019, the position of bankruptcy assets takes precedence towards court decisions in criminal cases. Thus, the verdict in criminal cases that stipulates the forfeiture of bankruptcy assets for the government is non-executable
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Roka Hanan Firmansyah
"Skripsi ini dirancang guna menganalisis penerapan actio pauliana berkaitan dengan perkara pada Putusan No. 01/Pdt.Sus/Actio.Pauliana/2014/PN.Niaga.Mks jo. Putusan No. 118K/Pdt.Sus-Pailit/2015 jo. Putusan No. 74PK/Pdt.Sus-Pailit/2016. Herry yang telah dinyatakan pailit, dianggap telah mengalihkan aset sebanyak 16 tanah dan bangunan dengan Sertifikat Hak Milik. Permasalahan yang akan diteliti adalah penerapan hukum formil dan materiil terhadap gugatan actio pauliana utamanya menekankan pada kapasitas mengajukan suatu gugatan oleh Kurator dan juga akibat hukumnya. Kurator dalam perkara a quo mengajukan gugatan dengan berdasarkan Surat Permohonan Kurator kepada Hakim Pengawas No. 398/Kurator-LFSZP/VIII/2013 tertanggal 03 September 2013. Dengan menganalisis pertimbangan hakim dan juga bukti dan keberatan yang diajukan dengan merujuk pada ketentuan perundang-undangan melalui Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Kurator dalam perkara ini sepatutnya mendapatkan izin dari Hakim Pengawas terlebih dahulu sebelum mengajukan gugatan yang pada umumnya berbentuk surat penetapan. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dengan tipologi penelitian deskriptif. Penulis memperoleh kesimpulan bahwa dalam putusan a quo ditemukan fakta bahwa Majelis Hakim luput terhadap jangka waktu pengalihan aset dimana terdapat pengalihan aset yang dilakukan dalam jangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun, yakni antara Herry dengan Tergugat III melalui AJB No. 192/2011 dan No.193/2011, dimana hal ini tidak sejalan dengan Pasal 42 UUK PKPU. Majelis Hakim juga akan lebih tepat apabila dapat menguraikan mengenai kapasitas Kurator dalam mengajukan gugatan sebagaimana Pasal 69 ayat (5) UUK PKPU.

This thesis is created to analyze the implementation of actio pauliana related to case in Decision No.01/Pdt.Sus/Actio.Pauliana/2014/PN.Niaga.Mks jo. Decision No.118K/Pdt.Sus-Pailit/2015 o.DecisionNo.74PK/Pdt.Sus-Pailit/2016. Herry, who has been declared bankrupt, is deemed to have transferred assets, namely 16 lands and buildings with Freehold Titles. The issue to be examined is the application of formal and material law to actio pauliana lawsuit, mainly focusing on the capacity to file a lawsuit by the Bankruptcy Receiver and the legal consequence. The Bankrupty Receiver in this case filed a lawsuit based on the Bankruptcy Receiver’s Request Letter to the Supervisory Judge No. 398/Kurator-LFSZP/VIII/2013 dated September 3, 2013. By analyzing the judge's considerations and also the evidence and objections submitted by referring to the provisions of the legislation through Law Number 40 of 2007 concerning Bankruptcy and Postponement of Debt Payment Obligations, the Bankrupty Receiver in this case should obtain permission from the Supervisory Judge before filing a lawsuit, which generally takes the form of a determination letter. The research method used in this study is normative juridical with a descriptive research typology. The author concludes that in this decision, it was found that the Panel of Judges overlooked the timeframe for asset transfer, where there was a transfer of assets made within a period of more than 1 (one) year, between Herry and Defendant III through AJB No. 192/2011 and No.193/2011, which is not in line with Article 42 of the Law on Bankruptcy and Postponement of Debt Payment Obligations. The Panel of Judges would also be more appropriate if they could elaborate on the capacity of the Bankrupty Receiver in filing a lawsuit as stipulated in Article 69 paragraph (5) of the Law on Bankruptcy and Postponement of Debt Payment Obligations.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Roka Hanan Firmansyah
"Skripsi ini dirancang guna menganalisis penerapan actio pauliana berkaitan dengan perkara pada Putusan No. 01/Pdt.Sus/Actio.Pauliana/2014/PN.Niaga.Mks jo. Putusan No. 118K/Pdt.Sus-Pailit/2015 jo. Putusan No. 74PK/Pdt.Sus-Pailit/2016. Herry yang telah dinyatakan pailit, dianggap telah mengalihkan aset sebanyak 16 tanah dan bangunan dengan Sertifikat Hak Milik. Permasalahan yang akan diteliti adalah penerapan hukum formil dan materiil terhadap gugatan actio pauliana utamanya menekankan pada kapasitas mengajukan suatu gugatan oleh Kurator dan juga akibat hukumnya. Kurator dalam perkara a quo mengajukan gugatan dengan berdasarkan Surat Permohonan Kurator kepada Hakim Pengawas No. 398/Kurator-LFSZP/VIII/2013 tertanggal 03 September 2013. Dengan menganalisis pertimbangan hakim dan juga bukti dan keberatan yang diajukan dengan merujuk pada ketentuan perundang-undangan melalui Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Kurator dalam perkara ini sepatutnya mendapatkan izin dari Hakim Pengawas terlebih dahulu sebelum mengajukan gugatan yang pada umumnya berbentuk surat penetapan. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dengan tipologi penelitian deskriptif. Penulis memperoleh kesimpulan bahwa dalam putusan a quo ditemukan fakta bahwa Majelis Hakim luput terhadap jangka waktu pengalihan aset dimana terdapat pengalihan aset yang dilakukan dalam jangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun, yakni antara Herry dengan Tergugat III melalui AJB No. 192/2011 dan No.193/2011, dimana hal ini tidak sejalan dengan Pasal 42 UUK PKPU. Majelis Hakim juga akan lebih tepat apabila dapat menguraikan mengenai kapasitas Kurator dalam mengajukan gugatan sebagaimana Pasal 69 ayat (5) UUK PKPU.

This thesis is created to analyze the implementation of actio pauliana related to case in Decision No.01/Pdt.Sus/Actio.Pauliana/2014/PN.Niaga.Mks jo. Decision No.118K/Pdt.Sus-Pailit/2015 o.DecisionNo.74PK/Pdt.Sus-Pailit/2016. Herry, who has been declared bankrupt, is deemed to have transferred assets, namely 16 lands and buildings with Freehold Titles. The issue to be examined is the application of formal and material law to actio pauliana lawsuit, mainly focusing on the capacity to file a lawsuit by the Bankruptcy Receiver and the legal consequence. The Bankrupty Receiver in this case filed a lawsuit based on the Bankruptcy Receiver’s Request Letter to the Supervisory Judge No. 398/Kurator-LFSZP/VIII/2013 dated September 3, 2013. By analyzing the judge's considerations and also the evidence and objections submitted by referring to the provisions of the legislation through Law Number 40 of 2007 concerning Bankruptcy and Postponement of Debt Payment Obligations, the Bankrupty Receiver in this case should obtain permission from the Supervisory Judge before filing a lawsuit, which generally takes the form of a determination letter. The research method used in this study is normative juridical with a descriptive research typology. The author concludes that in this decision, it was found that the Panel of Judges overlooked the timeframe for asset transfer, where there was a transfer of assets made within a period of more than 1 (one) year, between Herry and Defendant III through AJB No. 192/2011 and No.193/2011, which is not in line with Article 42 of the Law on Bankruptcy and Postponement of Debt Payment Obligations. The Panel of Judges would also be more appropriate if they could elaborate on the capacity of the Bankrupty Receiver in filing a lawsuit as stipulated in Article 69 paragraph (5) of the Law on Bankruptcy and Postponement of Debt Payment Obligations.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mochammad Ridwan
"ABSTRAK
Tujuan hukum kepailitan adalah melakukan pemenuhan atas tagihan yang belum dibayarkan oleh debitur pailit. Demi mencapai tujuan tersebut, UUKPKPU memberikan kewenangan dan tugas kepada kurator, tugas kurator meliputi pengurusan dan pemberesan harta pailit. Namun, tugas serta kewenangan kurator tersebut tidak akan berjalan apabila berbenturan dengan kewenangan penyidik yang melakukan penyitaan atas barang milik debitur pailit yang menjadi harta pailit. Permasalahannya ialah ketika kurator akan melakukan pengurusan dan pemberesan terhadap harta pailit milik debitur, tetapi ternyata harta tersebut masuk dalam status sita oleh pihak kepolisian, apakah kurator memiliki kewenangan untuk melakukan tugasnya tersebut dan bagaimana keabsahan tindakan pemberesan harta pailit oleh kurator apabila dikemudian hari harta pailit terbukti berasal dari tindak pidana. Dalam menganalisis kedua masalah ini, penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Pada akhirnya penulis menyimpulkan, terkait dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 202 PK/Pdt.Sus/2012, kurator memiliki kewenangan secara menyeluruh untuk melakukan tugas pengurusan dan pemberesan harta pailit sedangkan pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 156K/Pdt.Sus, tugas dan kewenangan kurator menjadi terhambat, bukan pada tugas pengurusannya tetapi pada tugas pemberesan karena harta pailit berada didalam sitaan pihak kepolisian. Mengenai keabsahan tindakan pemberesan kurator apabila dikemudian hari harta pailit terbukti berasal dari tindak pidana, tindakan pemberesan tersebut tetaplah sah sepanjang dilakukan berdasarkan UUKPKPU dan peraturan terkait lainnya.

ABSTRACT
The objective of the bankruptcy law is to fulfill the credit that has not been paid by the bankrupt debtor. In order to achieve these objectives, Bankruptcy Act provides authority and duties to the Receiver, the task of the Receiver includes the management and disposition of bankrupt properties. However, the duty and authority of the Receiver will not work if it collides with the authority of the investigator who seizes the property of a bankrupt Debtor who becomes a bankrupt property. The question is when the execution of the authority for the property Receiver of the bankrupt Debtor, which turns out that the goods entered in the confiscation status by the Police, whether the Receiver has the authority to make arrangements and liquidation of the bankrupt property of the Debtor and how the legitimacy of the act of securing bankruptcy by the Receiver if in the future a bankrupt property is proven to be derived from a crime. In analyzing both of these problems, the author used normative juridical research methods. In the end, the author concludes that in relation to Supreme Court Decision Number 202 PK Pdt.Sus 2012, the Receiver still has the authority to perform the task of handling and ordering of bankrupt property while in Supreme Court Decision Number 156 K Pdt.Sus, the Receiver 39 s authority and duty becomes impeded, not on the task of handling it but rather to the duties of liquidation because the bankruptcy is in the confiscation of the police. Regarding the validity of the Receiver 39 s remedial action if in the future the bankrupt property is proven from a criminal act, such remedy is still valid as long as it is done based on Bankruptcy Act and prevailing regulations."
2018
T50682
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cakra Tirta Perkasa
"ABSTRAK
Kurator memiliki peranan yang penting dalam suatu kepailitan untuk
melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit. Pasal 1 butir 5 Undangundang
nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Kurator adalah
Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh pengadilan
untuk mengurus dan membereskan harta Debitor pailit di bawah pengawasan
Hakim Pengawas. Sebagai seorang profesional dalam menjalankan tugasnya,
Kurator wajib menggunakan keahlian profesionalnya dengan cermat dan seksama.
Kurator harus secara kritis mencermati bahwa setiap langkah yang diambil dalam
rangka pelaksanaan penugasannya, memiliki dasar yang kuat sesuai dengan
Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan
peraturan pelaksanaannya serta menempuh prosedur Standar Profesi. Kurator
bertanggung jawab terhadap kesalahan atau kelalainnya dalam melaksanakan
tugas pengurusan dan atau pemberesan yang menyebabkan kerugian terhadap
harta pailit. Dengan demikian Kurator bukan saja bertanggung jawab karena
perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, tetapi juga karena kelalaian. Mengingat
peran Kurator yang sangat penting, maka Kreditor dalam melakukan pengusulan
Kurator haruslah dilakukan dengan cermat dan seksama agar Kurator yang
diusulkan memiliki kompetensi serta profesional dalam menjalankan tugasnya
dalam melakukan pengurusan dan pemberesan boedel pailit.

ABSTRACT
This thesis discusses about the abuse of Notary incumbency as public
official in making of authentic Deed. This thesis uses a juridical normative
analysis method. The results of this research are the Notary as a public official is
given the authority and the trust of the Nation in making the authentic deed, The
notary should hold the mandate so that all acts committed not to harm people or
interested parties, related to offenders the Office undertaken by the notary, so that
in the exercise of his duties and must comply with its obligations as a corridor
authority and what has been stated in the Act of Notary and ethical code. As a
notary public Violations occurred because the Notary does not act carefully and
meticulously authentic certificate creation. Where otensitas a Deed must be
fulfilled in order for the deed by the notary is not degraded or be annulled by law,
making it Notarized had violated provisions of the Act of notary and ethical code,
things like this will be detrimental to the parties concerned in making the Deed
and Notarial institutions so that it can lower the quality and services of a notary
public and therefore cannot defend the dignity and the dignity of the profession of
notary public."
Universitas Indonesia, 2013
T36789
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Juriyah
"Cara-cara yang baik daiam penegakan hukum adalah bagian dari pemahaman yang benar mengenai due process of law yang salah satu unsurnya adalah setiap tersangka dan terdakwa harus diberikan jaminan-jaminan untuk dapat membela diri sepenuh-penuhnya dalam rangka menegakan asas praduga tidak bersalah.
Dalam KUHAP memang diatur mengenai sistern control yang diiakukan terhadap proses penyidikan ini yang kita kenal dengan istilah Praperadilan. Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka, sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan, permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
Beberapa hal yang selalu menjadi topik utama sehubungan dengan proses penegakan hukum tersebut adalah masalah tidak memuaskan atau bahkan bisa dikatakan buruknya kinerja sistem dan pelayanan peradilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, yang disebabkan oleh karena kurangnya pengetahuan dan kemampuan, atau bahkan kurangnya katulusan dari mereka yang terlibat daiam sistem peradilan, baik hakim, pengacara maupuan masyarakat pencari keadilan, selain tentunya disebabkan karena korupsi, kolusi dan nepotisme dalam proses beracara di lembaga peradilan. Semua hal tersebut akhirnya melahirkan pesimisme masyarakat untuk tetap menyelesaikan sengketa rnelalui lembaga peradilan.
Menghadapi hal tersebut di atas instrumen hukum tidak memberikan jalan keluarnya. Masyarakat sebagai pihak yang dirugikan oleh perbuatan korupsi tersebut tidak memberikan hak secara tegas dan jelas oleh undang-undang mengenai langkah hukum yang dapat diiakukan bila perasaan keadilannya dilukai oleh karena dihentikannya penyidikan kasus korupsi yang jelas jelas sangat merugikannya.
Selain itu juga sering terjadi ketidak pastian (hukum) dalam kaitan dengan upaya hukum terhadap putusan praperadilan. Mengapa demikian? Apakah karena penetapan atau putusan yang dijatuhkan praperadilan bersifat final sebagai putusan tingkat pertama dan tingkat terakhir atau karena undang-undang sudah mengaturnya untuk tidak mernperbolehkan permintaan pemeriksaan banding atau kasasi terhadap putusan praperadilan? Karena bentuk putusan praperadilan tidak dinyatakan secara tegas dalam KUHAP kecuali mengenai putusan ganti kerugian.
Kedudukan hakim praperadilan dalam KUHAP pada hakekatnya adalah sama dengan kedudukan hakim dalam mengadili perkara pidana biasa, dalam arti kedua-duanya harus tunduk dan menerapkan ketentuan KUHAP dalam memeriksa dan memutus perkara di dalam sidang praperadilan, karena hakim praperadilan adalah hakim dalam lingkungan peradilan umum, maka sudah barang tentu berlaku juga baginya tentang Undang-undang Tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman atau UU. No. 14 Tahun 1970 yang sekarang sudah diadakan perubahan melalui Undang-undang No. 4 Tahun 2004.
Untuk itu, tesis ini meneliti dan menganalisis tentang Bagaimana penerapan lembaga praperadilan yang menjadi tujuan Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khususnya mengenai 1) Siapa yang dimaksud dengan pihak ketiga yang berkepentingan yang dapat mengajukan praperadilan, 2) apakah upaya hukum dapat dilakukan dalam praperadilan, 3) sejauhmana peran hakim yang memeriksa gugatan praperadilan.
Di akhir pembahasan tesis ini, dianalisa mengenai lembaga yang mengatur tentang upaya paksa dalam pemeriksaan pendahuluan yaitu konsep apa yang dapat dan hendak digunakan dalam pembaharauan hukum acara pidana ke depan. Hal ini disebabkan, adanya keinginan untuk perlindungan hak asasi manusia yang tercermin dalam KUHAP maka peranan hakim terutama dalam pemeriksaan pendahuluan, hakim mempunyai kewenangan tidak saja sebagai examinating judge, tetapi mencakup kewenangan investigating judge.
(Juriyah, Penerapan Lembaga Pra Peradilan dan Relevansinya Bagi Usaha Pembaharauan hukum Acara Pidana).
"
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T19185
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Windy Virgonio Yolanda
"ABSTRAK
Hukum Kepailitan Indonesia memperkenankan Kurator untuk diusulkan oleh debitor maupun kreditor dalam suatu perkara kepailitan. Ketentuan seperti ini dapat menimbulkan dugaan Kurator yang diusulkan akan cenderung bersikap tidak independen dan bersikap cenderung menguntungkan pihak yang mengusulkannya. Penelitian ini dilakukan untuk meneliti secara mendalam tentang independensi Kurator yang diusulkan oleh salah satu pihak dalam perkara pailit dan upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap Kurator yang diduga tidak independen. Metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah berbentuk studi kepustakaan library research dengan pendekatan peraturan perundang-undangan statute approach . Simpulan dalam penelitian ini adalah bahwa terlepas dari siapa yang mengusulkannya, seorang Kurator wajib untuk bersikap independen dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Peraturan perundang-undangan memberikan berbagai upaya hukum baik dalam ranah pidana, perdata maupun administratif yang dapat dilakukan terhadap Kurator yang diduga tidak independen. Walaupun demikian, akan lebih baik apabila ketentuan mengenai independensi seorang Kurator diatur secara lebih terperinci agar dapat mempersempit celah hukum yang dapat dipersalahgunakan.

ABSTRACT
Indonesia Bankruptcy Law allows a curator to be proposed by a debtor or creditor on a bankruptcy case. This condition could raise suspicion towards curator who is proposed by debtor or creditor will tend to be not independent and a suspicion towards a one sided benefit of the proposing party. The purpose of this research is to investigate the independence of a curator that is proposed by one party on a bankruptcy case and a plausible legal effort that can be done against the curator who allegedly not independent. The method of research used will be in the form of library research with a statute approach. The conclusion of this research is that regardless of the proposing party, a curator has the responsibility and is obligated to be independent in enforcing his her authority. The statutory law provides several legal efforts in a form of criminal, civil as well as administrative legal effort that could be enforced towards curators who allegedly not independent. It is advisable to have a more detailed regulation towards the independence of a curator as it will narrow down any possible loophole that could be misused."
2017
T48354
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Inaya Safa Nadira
"Skripsi ini membahas tentang kedudukan sita umum pailit terhadap sita pidana dan jalan keluar atas objek sita umum pailit yang telah dieksekusi lelang yang di kemudian hari diketahui sebagai hasil tindak pidana serta akibat hukum bagi pembeli dalam lelang harta pailit. Dalam praktiknya, terdapat tumpang tindih antara sita umum pailit dengan sita pidana. Apabila harta yang berada di dalam proses pailit dan dilakukan sita umum disita oleh penyidik, maka harta tersebut tidak dapat dilakukan pemberesan dan dibagikan kepada para krediturnya sehingga mengakibatkan kerugian bagi kreditur. Namun, apabila tidak dilakukan penyitaan oleh penyidik, maka penyidik akan mengalami kesulitan dalam melakukan penyidikan, penuntutan, dan pengajuan perkara ke pengadilan karena harta tersebut merupakan barang bukti. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan tipologi deskriptif. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa pelaksanaan sita pidana dalam rangka kepentingan publik harus didahulukan dan dalam hal objek sita umum pailit telah dilelang namun di kemudian hari diketahui sebagai hasil dari tindak pidana, maka pembeli lelang yang beriktikad baik harus dilindungi kedudukannya.

This thesis discusses the legal standing of general bankruptcy confiscation against criminal confiscation and the settlement of the object of general bankruptcy confiscation that has been auctioned which in the future time is known as the proceeds of crime and the legal effects for buyers in the auction of bankrupt treasures. In practice, there is an overlap between general bankruptcy confiscation against criminal confiscation. If the property in the process of bankruptcy and general bankruptcy confiscation is re confiscated by the criminal investigator, then the property can not be settled and distributed to the creditors. But if there is no criminal confiscation, the investigator will have difficulty in conducting an investigation, prosecution, and court proceedings as the property is evidence. This research is a qualitative research with descriptive typology. The result of this research is that the execution of criminal confiscation in the framework of the public interest must take precedence and if the object of general bankruptcy confiscation has been auctioned but later known as the proceeds of crime, then the buyer with good faith must be protected.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>