Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 124652 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Anak Agung Prisha Anjani Mahatari
"Personal Guarantor atau Penjamin Perorangan seringkali ikut terseret sebagai Termohon dalam proses PKPU dikarenakan kebanyakan diantaranya memiliki keterkaitan erat terhadap debitur utama. Berdasarkan Pasal 254 UU No. 37 Tahun 2004, PKPU tidak berlaku bagi penjamin. Kendati demikian, masih banyak permohonan yang dikabulkan oleh Majelis Hakim dengan pertimbangan karena Personal Guarantor tersebut telah melepas hak istimewa mereka. Melalui studi kasus Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor 92/Pdt.Sus-PKPU/2023, akan dilakukan analisis terhadap penyertaan Personal Guarantor dalam mekanisme Permohonan PKPU yang menitikberatkan pada pertimbangan Majelis Hakim mengenai dikabulkannya permohonan PKPU yang menyertakan Personal Guarantor tersebut. Pokok permasalahan yang akan dibahas di dalam tulisan ini adalah mengenai kedudukan Personal Guarantor apabila dikaitkan dengan UU No. 37 tentang Kepailitan dan PKPU serta memerhatikan ketentuan mengenai jaminan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hasil penelitian ini adalah bahwa masih terdapat banyak Putusan Pengadilan Niaga yang berkontradiksi sehingga mengindikasikan ketidakpastian penerapan Pasal 254 UUK-PKPU. Selain itu, pertimbangan Majelis Hakim terkait pelepasan hak istimewa dapat mengarah pada kekeliruan penerapan asas kepailitan dalam prosedur PKPU.

In numerous cases, Personal Guarantors are often involved as counterclaimant in the applications of Suspension of Payment process due to their close ties with the main debtor. According to Article 254 of Bankruptcy and Suspension of Payment Law that applies in Indonesia, the Suspension of Payment does not apply to guarantors. However, many applications are still granted by the Judges on the grounds that these Personal Guarantors have relinquished their special rights given by the Civil Code. Through a case study of Court Decision No. 92/Pdt.Sus-PKPU/2023/PN.Niaga.Jkt.Pst., an analysis will be conducted on the involvement of Personal Guarantors in the Suspension of Payment application mechanism, with a focus on the considerations of the Judges regarding the approval of PKPU applications that include these Personal Guarantors. The main issue discussed in this paper pertains to the position of Personal Guarantors when associated with Bankruptcy and Suspension of Payment Law while also considering the provisions regarding guarantees in the Civil Code. The results of this research shows that there are still many contradictory in the Court Decisions, indicating uncertainty in the application of Article 254 of the Bankruptcy Law. Additionally, the considerations of the Judges regarding the waiver of special rights may lead to misapplication of bankruptcy principles in the Suspension of Payment procedure."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Matthew Sebastian
"PKPU merupakan upaya hukum untuk mencegah pengadilan menetapkan kepailitan dengan mengajukan rencana perdamaian dan restrukturisasi utang, yang dapat diajukan oleh debitor atau kreditor sebelum putusan pailit diumumkan. Selama proses PKPU, kekayaan debitor dibekukan, kewajiban membayar utang dihentikan, dan tindakan eksekusi ditunda, sementara debitor tidak boleh mengelola asetnya. Penerapan PKPU penting untuk kelangsungan usaha debitor dan kreditor, namun sering terjadi kerancuan dalam penerapan hukum tentang penarikan penjamin sebagai termohon PKPU, seperti yang terlihat dalam Putusan Nomor 29/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN Niaga Mdn. Penulis menggunakan metode yuridis-normatif dengan pendekatan kualitatif dalam penelitian analisis-deskriptif untuk menganalisis permasalahan yang ada berdasarkan ketentuan yang berlaku. Hasil dari penelitian ini didapatkan bahwa Pasal 254 UUK-PKPU mengatur bahwa penundaan kewajiban pembayaran utang tidak berlaku bagi keuntungan sesama debitor dan penanggung, namun ketentuan ini menimbulkan kerancuan dalam kasus PKPU yang melibatkan corporate guarantor. Dalam Putusan Nomor 29/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN Niaga Mdn, hakim memutuskan untuk mengikutsertakan corporate guarantor sebagai termohon PKPU yang mana telah mencampurkan konsep kepailitan di dalam perkara PKPU. Penulis menyarankan adanya pedoman tambahan, seperti Surat Edaran Mahkamah Agung, untuk memperjelas keikutsertaan personal, corporate, dan bank guarantee dalam proses PKPU demi menciptakan kepastian hukum.

PKPU is a legal measure to prevent the court from declaring bankruptcy by proposing a peace plan and debt restructuring, which can be submitted by the debtor or creditor before the bankruptcy decision is announced. During the PKPU process, the debtor's assets are frozen, debt payment obligations are halted, and execution actions are suspended, while the debtor is not allowed to manage their assets. The implementation of PKPU is crucial for the continuity of the debtor's and creditor's businesses, but legal errors often occur especially in Article 254 UUK-PKPU that explains about involving guarantors as PKPU respondents, as seen in Decision Number 29/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN Niaga Mdn. The author uses a juridical-normative method with a qualitative approach in descriptive-analytical research to analyze existing issues based on applicable regulations. The study found that Article 254 of the UUK-PKPU states that the postponement of debt payment obligations does not apply for the benefit of co-debtors and guarantors, but this provision creates confusion in PKPU cases involving corporate guarantors. In Decision Number 29/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN Niaga Mdn, the judge decided to include the corporate guarantor as a PKPU respondent, thereby mixing the concept of bankruptcy in the PKPU case. The author suggests additional guidelines, such as a Supreme Court Circular, to clarify the participation of personal, corporate, and bank guarantees in the PKPU process to create legal certainty."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anastasia Evelyn Soetanto
"Skripsi ini membahas mengenai permohonan PKPU yang diajukan oleh PT. Bank Rakyat Indonesia Agroniaga, Tbk. kepada PT. Kagum Karya Husada dan Henry Husada. PT. Kagum Karya Husada merupakan debitor dari PT. Bank Rakyat Indonesia Agroniaga, Tbk. Sedangkan Henry Husada adalah penjamin perorangan yang mengikatkan dirinya untuk menjamin pelunasan utang-utang PT. Kagum Karya Husada. Majelis Hakim menerima permohonan PKPU dengan pertimbangan bahwa Henry Husada telah menyatakan melepaskan hak-hak istimewa yang dimilikinya sebagai penjamin dalam Akta Perjanjian Penanggungan. Penelitian ini adalah penelitian yuridis-normatif dengan tipologi penelitian deskriptif. Dalam penelitian ini, penulis akan menganalisa mengenai pengaturan pelepasan hak istimewa penjamin, pengaturan khusus permohonan PKPU terhadap penjamin perorangan, serta menganalisa mengenai akibat hukum putusan hakim terhadap penjamin perorangan dalam Putusan Nomor 141/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN.Niaga.Jkt.Pst.

This academic thesis discusses the submission of Suspension of Payment application by PT. Bank Rakyat Indonesia, Tbk. to PT. Kagum Karya Husada and Henry Husada. PT. Kagum Karya Husada is a debtor of PT. Bank Rakyat Indonesia Agroniaga, Tbk. Meanwhile, Henry Husada is a personal guarantor who binds himself to guarantee the repay ent of PT. Kagum Karya Husada's debts. The Judges accepted the Suspension of Payment application with the consideration that Henry Husada had stated that he had relinquished his rights as guarantor in the Contract of Guarantee. This research is a normative-juridical-research with descriptive research typology. In this study, the author will analyse the regulation for the release of guarantor's rights, regulation for Suspenson of payment application against personal guarantors, and analyse the legal consequences of the judge's decision on personal guarantors in Court Decision No. 141/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN.Niaga.Jkt.Pst.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Deni Welfin
"Tesis ini membahas mengenai tanggung jawab penjamin atau Guarantor yang telah melepaskan hak istimewa apabila ditarik sebagai Termohon PKPU dan pandangan hakim terhadap penjamin atau Guarantor akibat melepaskan hak istimewa apabila ditarik sebagai Termohon perkara PKPU ditinjau dari asas pembuktian sederhana dan aturan hukum dalam Undang – Undang Kepailitan dan PKPU. Dari hasil kajian masih terdapat perbedaan pandangan hakim mengenai dapat atau tidaknya penjamin atau Guarantor yang melepaskan hak istimewa ditarik sebagai pihak Termohon perkara PKPU. Terdapat berbagai putusan yang memiliki sudut pandang berbeda dalam menjadikan Penjamin atau Guarantor dapat ditarik atau tidak dapat ditarik sebagai Pihak Termohon dalam perkara Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Berdasarkan hasil kajian, kedudukan Penjamin atau Guarantor tidaklah tepat ditarik sebagai Termohon dalam PKPU walaupun telah melepaskan hak istimewanya dikarenakan telah melanggar Pasal 254 Undang – Undang Kepailitan dan PKPU dan pembuktian adanya utang piutang antara kreditur dan pihak penjamin atau Guarantor tidak dapat dibuktikan secara sederhana sebagaimana ketentuan Pasal 8 ayat (4) Undang – Undang Kepailitan dan PKPU.

This thesis examines the liability of a guarantor who has waived their privilege when being designated as a respondent in a Suspension of Debt Payment Obligation (PKPU) case and analyzes judicial perspectives on such guarantors. The study evaluates the matter from the standpoint of the principle of simple proof and the legal provisions in the Bankruptcy and PKPU Law. The findings reveal differing judicial opinions regarding whether a guarantor who has waived their privilege can be designated as a respondent in a PKPU case. Various court decisions demonstrate divergent viewpoints on whether a guarantor can or cannot be included as a respondent in PKPU proceedings. Based on the analysis, it is concluded that the guarantor's designation as a respondent in PKPU proceedings is inappropriate, even if the guarantor has waived their privilege. This designation contravenes Article 254 of the Bankruptcy and PKPU Law, and the existence of a debt relationship between the creditor and the guarantor cannot be proven simply as required under Article 8 paragraph (4) of the Bankruptcy and PKPU Law."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Deni Welfin
"Tesis ini membahas mengenai tanggung jawab penjamin atau Guarantor yang telah melepaskan hak istimewa apabila ditarik sebagai Termohon PKPU dan pandangan hakim terhadap penjamin atau Guarantor akibat melepaskan hak istimewa apabila ditarik sebagai Termohon perkara PKPU ditinjau dari asas pembuktian sederhana dan aturan hukum dalam Undang – Undang Kepailitan dan PKPU. Dari hasil kajian masih terdapat perbedaan pandangan hakim mengenai dapat atau tidaknya penjamin atau Guarantor yang melepaskan hak istimewa ditarik sebagai pihak Termohon perkara PKPU. Terdapat berbagai putusan yang memiliki sudut pandang berbeda dalam menjadikan Penjamin atau Guarantor dapat ditarik atau tidak dapat ditarik sebagai Pihak Termohon dalam perkara Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Berdasarkan hasil kajian, kedudukan Penjamin atau Guarantor tidaklah tepat ditarik sebagai Termohon dalam PKPU walaupun telah melepaskan hak istimewanya dikarenakan telah melanggar Pasal 254 Undang – Undang Kepailitan dan PKPU dan pembuktian adanya utang piutang antara kreditur dan pihak penjamin atau Guarantor tidak dapat dibuktikan secara sederhana sebagaimana ketentuan Pasal 8 ayat (4) Undang – Undang Kepailitan dan PKPU.

This thesis examines the liability of a guarantor who has waived their privilege when being designated as a respondent in a Suspension of Debt Payment Obligation (PKPU) case and analyzes judicial perspectives on such guarantors. The study evaluates the matter from the standpoint of the principle of simple proof and the legal provisions in the Bankruptcy and PKPU Law. The findings reveal differing judicial opinions regarding whether a guarantor who has waived their privilege can be designated as a respondent in a PKPU case. Various court decisions demonstrate divergent viewpoints on whether a guarantor can or cannot be included as a respondent in PKPU proceedings. Based on the analysis, it is concluded that the guarantor's designation as a respondent in PKPU proceedings is inappropriate, even if the guarantor has waived their privilege. This designation contravenes Article 254 of the Bankruptcy and PKPU Law, and the existence of a debt relationship between the creditor and the guarantor cannot be proven simply as required under Article 8 paragraph (4) of the Bankruptcy and PKPU Law."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizki Utami Kurnia Pratiwi
"Perjanjian utang pada dasarnya dilakukan berdasarkan kepercayaan bahwa Debitor akan mengembalikan pinjaman tepat pada waktunya kepada Kreditor. Namun, dewasa ini perjanjian utang membutuhkan jaminan untuk melindungi Kreditor, sehingga dapat memberikan kepastian pelunasan utang oleh Debitor. Salah satu jaminan yang sering digunakan dalam perjanjian kredit adalah perjanjian jaminan perorangan atau biasa dikenal dengan penanggungan (borgtocht), dimana terdapat pihak ketiga untuk kepentingan Kreditor, mengikatkan diri untuk membayar utang apabila Debitor tidak memenuhinya. Pada praktiknya, dalam kasus kepailitan sering ditemukan Penanggung yang langsung dimohonkan pailit tanpa terlebih dahulu memohon Debitor untuk pailit, hal ini tentu menimbulkan pertanyaan tentang kedudukan hukum dan tanggung jawab Penanggung dalam kepailitan. Hal inilah yang menjadi pokok bahasan dalam penelitian ini.
Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian yuridis normatif, yang menghasilkan penelitian berbentuk deskriptif analitis. Kedudukan hukum Penanggung beralih menjadi Debitor setelah ia memiliki kewajiban untuk membayar utang Debitor kepada Kreditor dan tanggung jawabnya dalam kepailitan tidak boleh lebih dari kewajiban Debitor. Seorang Penanggung dapat langsung dimohonkan pailit tanpa terlebih dahulu memohon Debitor untuk pailit apabila Penanggung telah melepaskan hak-hak istimewanya yang diberikan oleh undang-undang dan harus dinyatakan secara eksplisit dalam perjanjian penanggungan. Saat ini masih ada ketidaksesuaian pengaturan mengenai kepailitan Penanggung dalam KUH Perdata dengan syarat kepailitan dalam UUKPKPU, hal ini sangat merugikan Penanggung. Pemerintah sebaiknya melakukan revisi terhadap undang-undang kepailitan Indonesia khususnya tentang syaratsyarat kepailitan, agar terdapat kepastian hukum yang mengatur terkait kedudukan hukum dan tanggung jawab Penanggung dalam kepailitan.

Debt agreement basically done based on the belief that the Debtor will repay the loans on time to the Creditor. However, currently the debt agreement requires a guarantee to protect Creditors, so as can giving the certainty of repayment the debt by the Debtor. One of the guarantee that are often used in the debt agreement is personal guarantee agreement or commonly known as "penanggungan" (borgtocht), where there is a third party for the benefit of Creditors, undertaking to pay the debt if the Debtor does not comply. In practice, in bankruptcy case, Guarantor are often found immediately petitioned for bankruptcy without first appeal the Debtor for bankruptcy, it certainly raises questions about the legal position and responsibility of the Guarantor in bankruptcy. This is the problems of this research.
This research was conducted with normative juridical research method, which produces a descriptive analytical research. Guarantor are turning to the legal position of the Debtor after he has an obligation to pay the Debtor's debt to Creditors and responsibilities in bankruptcy should not be more than the Debtor obligation. A Guarantor can be directly applied for bankruptcy without first appeal the Debtor for bankruptcy, if the Guarantor have waived its privileges granted by law and must be explicitly stated in the personal guarantee agreement. Currently there is mismatch arrangements regarding bankruptcy Guarantors in the Civil Code with the terms of bankruptcy in UUK-PKPU, it is extremely detrimental to the Guarantor. The government should revise the bankruptcy laws of Indonesia especially about the terms of bankruptcy, so that there is certainty of law that regulates the legal position and responsibility of the Guarantor in bankruptcy.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S65864
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Luki Putradita Ramadhan
"Skripsi ini membahas kedudukan hukum Personal Guarantor dalam proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) di Indonesia. Dewasa ini belum terdapat pengaturan yang mengatur secara spesifik terhadap kedudukan hukum guarantor dalam PKPU, terutama guarantor yang telah melepaskan hak-hak istimewanya sebagai Penanggung. Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum, tercermin dalam perbedaan pendapat ahli hukum serta perbedaan penafsiran Hakim terkait kedudukan hukum guarantor. Pengaturan yang berlaku saat ini juga memungkinkan bagi guarantor untuk dimohonkan di dalam PKPU. Sebagai studi kasus, dalam skripsi ini diteliti perkara permohonan PKPU Richard Setiawan yang dimohonkan PKPU dalam kedudukan hukumnya sebagai guarantor.

This Thesis mainly discusses the legal standing of a Personal Guarantor in the Suspension process of Debts Payments (PKPU) in Indonesia. Until today, there are sill no specific regulations governing the legal standing of Personal Guarantor in the stated event, especially Guarantor who has forfeited its privileges as the Insurer. This caused a legal uncertainty which can be reflected in variance and different opinion also dissimilarity of Judges interpretation and legal experts regarding the legal standing of the Personal Guarantor in PKPU. However, the current stipulations and regulations, allows the Guarantor to be filed under the PKPU. As the Case Study, research that has been done in the making of this thesis is a case regarding PKPU petition towards Richard Setiawan in his legal standing as a Guarantor."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
S62556
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Markhamah Isnaini
"Tujuan dari PKPU adalah tercapainya perdamaian antara debitor dengan kreditor melalui rencana perdamaian yang diusulkan oleh debitor. Perdamaian dinyatakan tercapai ketika rencana perdamaian yang diusulkan oleh debitor disetujui oleh mayoritas kreditor dan disahkan oleh pengadilan niaga melalui homologasi. Namun terhadap rencana perdamaian yang ditolak oleh mayoritas kreditor, maka debitor dinyatakan pailit melalui putusan pengadilan niaga. Terhadap putusan pernyataan pailit tersebut tidak dapat diajukan upaya hukum apapun. Berdasarkan hal tersebut terdapat Judicial Review dengan nomor perkara 23/PUU-XIX/2021, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi saat ini, terhadap putusan PKPU diberlakukan upaya hukum kasasi dengan syarat yang terbatas. Oleh karena itu, tesis ini bertujuan untuk menganalisis syarat-syarat terbatas dalam permohonan kasasi terhadap putusan PKPU dan dan menganalisis konsep PKPU yang ideal yang dapat diterapkan di Indonesia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian syarat yang terbatas dalam permohonan kasasi terhadap putusan PKPU adalah kurang tepat karena dapat menimbulkan ketidakadilan. Hal ini berbeda dengan Singapura yang tidak memberikan persyaratan terbatas dalam permohonan upaya hukum terhadap putusan Scheme of Arrangement dan Judicial Management.

The purpose of PKPU is to achieve peace between debtors and creditors through a peace plan submitted by the debtor. Peace is declared achieved if the peace plan submitted by the debtor is approved by the majority of creditors and ratified by the commercial court through homologation. However, for peace plans that are rejected by the majority of creditors, the debtor is declared bankrupt through a commercial court decision. No legal action can be taken against the bankruptcy statement decision. Based on this, a Judicial Review was carried out with case number 23/PUU-XIX/2021. In the Constitutional Court Decision, currently a cassation can be filed against a PKPU decision with limited requirements. Therefore, this thesis aims to analyze the limited requirements in the cassation application against the Decision of PKPU and to analyze the ideal concept of the PKPU that can be applied in Indonesia. The results of this study indicate that providing limited requirements in the cassation application against the Decision of PKPU is inappropriate because it can cause injustice. This is different from Singapore which does not impose any limited requirements in filing legal action against the Decisions of Judicial Management and Scheme of Arrangement."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Azri Athirah Puteri Gathmir
"Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) merupakan prosedur hukum yang memberikan hak untuk mengajukan rencana perdamaian kepada debitor yang tidak dapat memperkirakan kelanjutan pembayaran utangnya yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, sehingga debitor dapat merestrukturisasi utang-utangnya. Dalam praktiknya, debitor yang awalnya dimohonkan PKPU oleh kreditornya dapat juga dipailitkan. Kepailitan yang dialami debitor ini tidak sesuai dengan tujuan awal PKPU, yakni untuk memberikan kesempatan kepada debitor dalam melanjutkan usahanya. Awalnya, menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU (UUK & PKPU), debitor yang dipailitkan atas putusan PKPU tidak dapat mengajukan upaya hukum apapun. Hal ini menyebabkan adanya perlindungan hukum yang tidak seimbang untuk debitor karena tujuan kreditor mengajukan permohonan PKPU terhadap debitornya dianggap bukan untuk melanjutkan usaha debitor, melainkan untuk mendapatkan pembayaran utang yang lebih cepat. Dengan demikian, akhirnya dikeluarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 23/PUU-XIX/2021, yang mana pada amar putusannya menyatakan bahwa Pasal 235 ayat (1) UUK & PKPU bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai diperbolehkannya upaya hukum kasasi terhadap putusan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang diajukan oleh kreditor dan ditolaknya tawaran perdamaian dari debitor. Pada dasarnya, dengan dikeluarkannya putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi memperbolehkan adanya upaya hukum kasasi terbatas terhadap putusan PKPU. Namun, akibat dikeluarkannya putusan tersebut malah akan menyebabkan siklus utang yang tidak sehat baik untuk debitor maupun untuk kreditor.

Suspension of Debt Payment Obligations (PKPU) is a legal procedure that gives the right to submit a settlement plan to debtors who cannot predict the continuation of payment of their debts that are past due and collectible, so that debtors can restructure their debts. In practice, the debtor whose PKPU was originally requested by the creditor can also be bankrupt. The bankruptcy experienced by the debtor is not in accordance with PKPU's original purpose, namely to provide opportunities for debtors to continue their business. Initially, according to Statute Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and PKPU (UUK & PKPU), debtors who are bankrupt by PKPU decision cannot submit any legal remedies. This causes an unequal legal protection for debtors because the purpose of creditors submitting PKPU requests to their debtors is considered not to continue the debtor's business, but to obtain faster debt payments. Thus, finally the Constitutional Court Decision Number 23/PUU-XIX/2021 was issued, which in its ruling stated that Article 235 paragraph (1) UUK & PKPU contradicted the 1945 Constitution and did not have binding legal force, as long as it was not interpreted as the permissibility of cassation against the decision on Suspension of Debt Payment Obligations (PKPU) submitted by the creditor and the rejection of the debtor's offer of composition plan. Basically, with the issuance of this decision, the Constitutional Court allowed limited cassation efforts against the PKPU decision. However, the result of the issuance of this decision will actually lead to unhealthy debt cycles for both debtors and creditors."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Matelesi, Nico
"Jaminan merupakan suatu tanggungan yang diberikan oleh debitur atau pihak ketiga kepada kreditur untuk menjamin pelunasan utang debitur. Lembaga jaminan ini diberikan khusus untuk kepentingan kreditur guna menjamin piutangnya melalui perikatan khusus. Jaminan terbagi menjadi dua, yaitu jaminan kebendaan dan jaminan perorangan yang masing-masing memiliki ciri dan sifat tersendiri. Jaminan perorangan (Penanggungan) diatur di dalam Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850 KUHPerdata.
Dari ketentuan pasal 1820 KUHPerdata, dapat diketahui bahwa dalam suatu skema penanggungan terdapattiga pihak, yaitu debitur sebagai pihak yang berutang, kreditur sebagai pihak yang berpiutang, dan terkahir adalah penanggung sebagai pihak yang menjamin terpenuhinya prestasi debitur berupa utang-utang debitur kepada kreditur.
Pengajuan permohonan pailit terhadap penanggung merupakan hal yang cukup lumrah terjadi, khususnya apabila penanggung merupakan penanggung perusahaan (Corporate Guarantee). Namun tidak demikian halnya dengan permohonan pailit terhadap penanggung pribadi (Personal Guarantee). Hanya sedikit sekali permohonan pailit yang diajukan kepada penanggung pribadi, karena secara umum ada kecendrungan bahwa kreditur enggan berurusan dengan debitur untuk alasan praktis.
Dalam suatu skema penanggungan utang, terdapat dua perjanjian yang berbeda, yaitu perjanjian pokok antara debitur dan kreditur dan perjanjian penanggungan antara kreditur dan penanggung. Perjanjian penanggungan itu sendiri bersifat Accesoir , jadi pada asasnya jika perjanjian pokoknya hapus maka perjanjian penanggungannya turut hapus. Perjanjian penanggungan sifatnya mengikuti perjanjian pokok sehingga suatu perjanjian penanggungan tidak dapat melebihi perjanjian pokoknya.
Seorang penanggung memiliki hak istimewa, salah satunya hak untuk menuntut supaya harta benda debitur terlebih dahulu disita dan dijual untuk melunasi utangnya. Hak ini dapat dilepaskan oleh penanggung dalam perjanjian penanggungan, yang membuat kreditur dapat memilih harta mana yang harus disita dan dijual terlebih dahulu.

Collateral was a guarantee given by a debitor or third party for a creditor to guarantee of paying debt. Collateral institution was specially given for the significance of the creditor in order to guarantee the debt through a special bond. It was divided into two, they were property collateral and personal collateral in which each one had its own features and characteristics. Personal collateral was regulated in the Article 1820 to Article 1850 Civil Code.
In the regulation of Article 1820 KUHP Perdata, it could be understood that in the scheme of there were three parties, they were a debitor as the party who was in debt, a creditor as the party who gave debt, and the last, a guarantor as the party who guaranteed fulfillment of achievement that was debts of debitor to creditor.
Submission of Act of Bankruptcy toward the guarantor was a common thing, especially if he was a corporate guarantor. However, it would not happen to Act of Bankruptcy for personal collateral. It was only few of Act of Bankruptcy proposed by personal collateral since generally there was tendency that creditor was reluctant to have a deal with debitor for practical reasons.
In scheme of debt collateral, it was included two different agreements, they were main agreement between debitor and creditor and collateral agreement between creditor and guarantor. Collateral agreement itself was accesoir so that basically, if main agreement was removed, it was also the collateral agreement. It was based on main agreement so that it could not exceed its main agreement.
The person who guaranteed owned special rights, one of them was to insist so that properties of debitor, firstly, was confiscated and sold to pay the debt. The right could be undone by him in collateral agreement in order to make the creditor can choose which property had to be consficated and sold first.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>