Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 216590 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Eka Agustia Rahma Putri
"Latar belakang: Kanker saat ini masih menjadi salah satu masalah kesehatan utama di dunia. Insidensi kanker ginekologi di Indonesia masih tinggi. Aspek nutrisi merupakan salah satu aspek yang paling sering mengalami kelainan pada pasien dengan kanker. Patient Generated-Subjective Global Assessment (PG-SGA) merupakan modalitas skrining nutrisi yang mengombinasikan data kualitatif dan semi-kuantitatif. Proses inflamasi sistemik yang terjadi pada pasien kanker dapat mengakibatkan penurunan kadar albumin dan prealbumin. Namun, belum banyak penelitian sebelumnya yang mencari bagaimana korelasi kadar albumin dan prealbumin terhadap skor PG-SGA.
Tujuan: Mengetahui parameter yang paling baik dalam mendeteksi malnutrisi untuk pasien dengan onkologi ginekologi di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode potong lintang (cross sectional). Subjek dari penelitian ini adalah pasien yang didiagnosis dengan kanker ginekologi yang berobat ke Poliklinik Onkologi Ginekologi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dan direncanakan atau telah menjalani terapi pada Oktober 2020 - September 2021. Pasien dengan riwayat keganasan primer selain keganasan ginekologi, menerima terapi kortikosteroid oral atau intravena, riwayat pembedahan saluran cerna yang memengaruhi absorpsi/asupan nutrisi, dan riwayat penyakit liver akut atau kronik dan alkoholisme dieksklusi dari penelitian.
Hasil: Didapatkan sebanyak 90 subjek yang diikutsertakan dalam penelitian. Secara keseluruhan, nilai rerata albumin yaitu 4,19 g/dL, rerata prealbumin yaitu 39,1 mg/dL, dan rerata skor PG-SGA yaitu 3 atau kategori A. Terdapat korelasi positif lemah antar kadar albumin dengan prealbumin (r=0,378, p=0,000), Terdapat korelasi negatif lemah antara kadar albumin terhadap skor PG-SGA (r=-0,313, p=0,003), sedangkan tidak terdapat korelasi kadar prealbumin terhadap skor PG-SGA (r=-0,145, p=0,173).
Kesimpulan: Didapatkan korelasi antara albumin terhadap skor PG-SGA, namun tidak didapatkan korelasi antara prealbumin terhadap skor PG-SGA.

Background: Cancer is still one of the major health problems in the world. The incidence of gynecological cancer in Indonesia is still high. Nutritional aspect is one of the most frequent aspects of abnormalities in patients with cancer. Patient Generated-Subjective Global Assessment (PG-SGA) is a nutritional screening modality that combines qualitative and semi-quantitative data. Systemic inflammatory process that occurs in cancer patients can result in a decrease in albumin and prealbumin levels. However, there have not been many previous studies looking at the correlation between albumin and prealbumin levels on the PG-SGA score.
Objective: Knowing the best parameters in detecting malnutrition for gynecological oncology patients at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.
Methods: This study used a cross-sectional method. The subjects of this study were diagnosed with gynecological cancer who went to the Gynecological Oncology Polyclinic of RSUPN Dr. Dr. Cipto Mangunkusumo and planned or already undergoing therapy during October 2020 - September 2021. Patients with a history of primary malignancy other than gynecological malignancy, receiving oral or intravenous corticosteroid therapy, history of gastrointestinal surgery affecting nutrient absorption/intake, and history of acute or chronic liver disease and alcoholism was excluded from the study.
Results: There were 90 subjects who were included in this study. Overall, the average level of albumin was 4.19 g/dL, the average level of prealbumin was 39.1 mg/dL, and the average of scored-PG-SGA was 3 or category A. There was a weak positive correlation between albumin and prealbumin levels (r=0.378, p=0.000). This study showed a weak negative correlation between albumin level and scored-PG-SGA (r=-0.313, p=0.003), whereas there was no correlation between prealbumin levels and scored-PG-SGA (r=-0.145, p=0.173).
Conclusion: A weak negative correlation was found between albumin and the scored-PG-SGA, but no correlation was found between prealbumin and the scored-PG-SGA.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Prinka Diaz Adyta
"Pendahuluan: Malnutrisi dan hipoksia merupakan faktor yang mempengaruhi kegagalan terapi pada KNF stadium lokal lanjut. Kadar albumin merupakan salah satu pemeriksaan status nutrisi. Hipoksia menyebabkan radioresistensi terhadap radiasi.Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui korelasi antara kadar albumin praradiasi, hipoksia terhadap respon radiasi.
Metode penelitian: Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif menggunakan data sekunder terhadap 40 pasien kanker nasofaring stadium lokal lanjut yang memenuhi kriteria inklusi di Departemen Radioterapi dan Departemen Patologi Anatomi RSUP Dr Cipto Mangunkusumo dari Desember 2012 sampai Agustus 2013. Dilakukan pencatatan kadar albumin praradiasi, berat badan serta CT scan sebelum dan sesudah radiasi. Kemudian dilakukan analisa HIF1α dengan pulasan imunohistokimia. Sel yang positif hipoksia dihitung per 10 lapang pandang besar. Setelah itu, dilakukan penilaian respon radiasi berdasarkan kriteria Recist.
Hasil: Rerata kadar albumin praradiasi sebesar 3,9 +/- 0,5 g/dL, dan median persentase hipoksia sel yaitu 24,7(1-100)%. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kadar albumin praradiasi terhadap respon radiasi (p≥0,05). Terdapat hubungan yang bermakna anatara hipoksia terhadap respon radiasi (p<0,05). Korelasi antara kadar albumin praradiasi dan hipoksia menunujukkan korelasi yang lemah dan tidak bermakna (r=-0,24, p=0,324).
Kesimpulan: Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa albumin praradiasi tidak berhubungan dengan respon radiasi pada KNF stadium lokal lanjut. Terbukti bahwa hipoksia meningkatkan radioresistensi dan menurunkan respon radiasi. Tidak terdapat korelasi antara albumin praradiasi dan hipoksia.

Introduction: Malnutrion and hypoxia had been shown to cause irradiation failure. Albumin is one of the nutritional status examination. Hypoxia caused radioresistance to irradiation. The purpose of this study was to evaluate the correlation of albumin, hypoxia towards radiation response in locally advanced nasopharyngeal carcinoma.
Methods: This is a retrospective cohort study using secondary data from Departement of Radiotheraphy and Departement of Pathology Cipto Mangunkusomo hospital of 40 patients locally advanced nasopharyngeal cancer who meet the inclusion criteria from December 2012 to August 2013. Albumin preirradiation, body weight and CT scan before and after radiation were recorded. We examined the expression of HIF1 α by immunohistochemistry staining. Hypoxia cell was asessed by cell counting. Radiation response was determined by Recist criteria.
Results: The mean of serum albumin is 3.9 + / - 0.5 g /dL, and the median percentage of hypoxia was 24,7(1-100)%. There was no statistically significant relationship between albumin and radiation response (p≥0.05). There was a statistically significant relationship between hypoxia and radiation response (p<0,05). There were no correlation between albumin and hypoxia (r=-0,24, p=0,324).
Conclusion: This study showed that there was no correlation between albumin preirradiation and response in locally advanced nasopharyngeal cancer. It was proven that hypoxia increased radioresistance in locally advanced nasopharyngeal cancer. There was no correlation between albumin preirradiation and hypoxia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T59152
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Astrianti Kusumawardani
"Transformasi Virus SARS-CoV-2 menghasilkan evolusi virus. Pemahaman mekanisme COVID-19 membantu stratifikasi risiko dan memperkuat manajemen COVID-19. Peningkatan 16 hingga 53% enzim hepar pada pasien dengan infeksi SARS-COV-2 diperlukan telaah terkait dengan SGOT, SGPT dan rasio De ritis. Rangkaian respon inflamasi pada infeksi COVID-19 melibatkan interleukin-6 (IL-6), C-reactive protein (CRP) dan albumin berkorelasi langsung dengan derajat peradangan. Rasio CRP terhadap albumin merupakan indikator baru status inflamasi yang lebih andal dibandingkan CRP atau albumin saja. Luaran buruk pada penelitian jika selama perawatan terdapat perawatan di ruang intensif, penggunaan ventilator mekanik dan atau kematian. Penelitian ini mencoba menganalisis parameter fungsi hepar dan inflamasi pada 48 jam awal perawatan dalam memprediksi luaran buruk pasien dengan COVID-19. Sejumlah 66 data pasien yang terdiri dari 16 data luaran buruk diikutsertakan pada penelitian. Median SGOT,IL-6, CRP, albumin, dan rasio CRP/albumin bermakna dibandingkan kelompok luaran tidak buruk. Titik potong optimal IL-6, CRP dan Rasio CRP/Albumin dalam menentukan luaran buruk sebesar 60,03 pg/ml, 32,5 mg/L dan 10,5. Model prediksi luaran buruk COVID-19 disusun dari parameter komorbid hipertensi, diabetes dan rasio CRP/Albumin

Transformation SARS-CoV-2 virus resulted in the evolution of the virus. Understanding mechanisms of COVID-19 contributed for risk stratification and strengthening the management COVID-19. Elevated liver enzymes 16 to 53% in patients with SARS-COV-2 infection requires more concern especially SGOT, SGPT and De ritis ratio. The series of inflammatory responses in COVID-19 infection involving interleukin-6 (IL-6), C-reactive protein (CRP) and albumin directly correlates with the degree of inflammation. CRP to albumin ratio is a new indicator of inflammatory status that more reliable than CRP or albumin alone. Poor outcome stated if during treatment there was intensive care unit treatment, use of a mechanical ventilator and/or death. This study tries to analyze whether liver function and inflammation parameters in the initial 48 hours of treatment can be used to predict poor outcomes in patients with COVID-19. A total of 66 patient data consisting of 16 poor outcome data were included in the study. Median SGOT, IL-6, CRP, albumin, and CRP/albumin ratio were significant compared to the non-poor outcome group. The optimal cut points for IL-6, CRP and CRP/Albumin ratio in determining poor outcomes are 60.03 pg/ml, 32.5 mg/L and 10.5. The prediction model for poor outcomes for COVID-19 is compiled from the comorbid parameters of hypertension, diabetes and CRP/Albumin ratio"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ignatia Sinta Murti
"ABSTRAK
Latar Belakang : Kekuatan genggam tangan (KGT) merupakan metode pemeriksaan yang mudah, murah, cepat dan dapat digunakan secara bedside pada pasien yang dirawat. Data mengenai hubungan KGT dengan parameter status nutrisi lain selama perawatan di rumah sakit di Indonesia belum tersedia
Tujuan : Mengetahui hubungan KGT dengan nilai subjective global assessment (SGA), antropometri, analisis bioimpedans dan biokimia pada awal dan akhir perawatan. Metode : Ini merupakan penelitian potong lintang pada pasien yang dirawat inap di ruang perawatan penyakit dalam RS. Cipto Mangunkusumo. Status nutrisi dinilai berdasar SGA. Indeks masa tubuh (IMT), corected arm muscle area (cAMA), arm fat area (AFA) dihitung secara antropometri. Masa otot dan masa lemak tubuh didapat dari analisis bioimpedans. Analisis statistik menggunakan uji anova, pearson dan uji T.
Hasil : Terdapat 131 pasien terdiri dari 102 laki-laki dan 29 perempuan dengan rerata umur 45,6 ± 14.2 tahun. Pada awal dan akhir perawatan didapatkan perbedaan KGT yang bermakna antara status nutrisi baik dan malnutrisi sedang maupun malnutrisi berat tetapi tidak ada perbedaan KGT antara malnutrisi sedang dan malnutrisi berat (p<0.001). Kekuatan genggam tangan berkorelasi dengan cAMA (r=0,47 dan 0,49), masa otot tubuh (r=0,67 dan 0,55) dan albumin (r=0,23 dan 0,28). Tidak ada hubungan antara KGT dengan AFA, masa lemak tubuh dan IMT. Tidak ada perbedaan KGT antara pasien yang mencapai target nutrisi berdasar SGA dan yang tidak (p=0,81).
Kesimpulan : Terdapat perbedaan KGT yang bermakna antara status nutrisi baik dan malnutrisi sedang dan antara nutrisi baik dan malnutrisi berat. Tidak ada perbedaan KGT antara malnutrisi sedang dan malnutrisi berat. Nilai KGT berkorelasi dengan cAMA, masa otot tubuh dan albumin tetapi tidak berkorelasi dengan AFA, masa lemak tubuh dan IMT. Tidak ada hubungan antara pencapaian target nutrisi berdasar SGA dengan nilai KGT

ABSTRACT
Background : Hand grip strength (HGS) is an easy, cheap and quick method and can be used bedside in hospitalized patient. Data about HGS correlation with other nutrition status parameters in hospital are not yet provided in Indonesia Objective : To find relation among HGS with the value of subjective global assessment (SGA), anthropometry, bioimpedance analysis and albumin at the beginning and end of hospitalization.
Methods : This is a cross-sectional study from hospitalized patients at medical ward Cipto Mangunkusumo Hospital. Nutritional status assessed by SGA. Body mass index (BMI), corected arm muscle area (cAMA), arm fat area (AFA) were calculated by anthropometry. Muscle mass and a body fat obtained from the bioimpedance analysis. Data were analyzed using ANOVA, Pearson and T test. Results : There were 131 patients consisted of 102 men and 29 women with mean age of 45.6 ± 14.2 years. At the beginning and end of the hospitalization there is significant HGS differences between good nutritional status with moderately malnourished and severely malnourished, but no HGS differences between moderately malnourished and severely malnourished (p <0.001). Hand grip strength was correlated with CAMA (r=0.47 and 0.49), muscle mass (r=0.67 and 0.55) and albumin (r=0.23 and 0.28) and was not correlate with AFA, body fat and BMI. There was no HGS difference between patients who achieved nutrition targets based on SGA and who did not (p=0.81).
Conclusion : There are significant HGS differences between good nutritional status and moderate malnutrition and good nutritional status and severe malnutrition. There is no HGS differences between moderately malnourished and severely malnourished. Hand grip strength was correlated with cAMA, muscle mass and albumin but did not correlate with the AFA, body fat and BMI. There was no corelation between nutritional achievement based on SGA with HGS value"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Darel Domu Abadi
"ABSTRAK
Perkembangan teknologi dalam bidang biomedik merupakan kemajuan
penting bagi umat manusia. Salah satu dari teknologi tersebut adalah biomaterial
mampu luruh untuk stem tulang, yang saat ini sedang dikembangkan dengan
berbasis logam Fe. Penelitian ini membahas pengaruh albumin terhadap material
Fe-Mn-C, yang difabrikasi melalui metode metalurgi serbuk, dengan
memvariasikan kadar unsur Mn dan albumin terlarut. Kemudian dilakukan
karakterisasi material Fe-Mn-C serta pengujian korosi material Fe-Mn-C dan
larutan hasil perendamannya. Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa
kehadiran protein albumin dan penambahan kadar albumin pada larutan ringer
menurunkan laju korosi. Hasil produk korosi pada larutan hasil pencelupan
material Fe-Mn-C didapatkan masih pada batas aman konsumsi harian tubuh
manusia, yang menandakan material Fe-Mn-C biokompatibel untuk diterapkan
secara biomedik.

ABSTRACT
Biomaterial technology has been a very important progress of human race.
One of the most helpful biomaterial technology is biodegradable material for
human bone-stem, which currently being developed with iron-based. This thesis
discusses the effects of albumin towards Fe-Mn-C material, which has been
fabricated with metallurgy powder method, through varying levels of dissolved
Mn and albumin elements. Afterwards, Fe-Mn-C material is characterized and
examined for its corrosion, along with the marinating solutions. This research
shows result that the existence of albumin protein by adding the level of albumin
in ringer solution has decreased the corrosion rate. The corrosion result product in
the solution for marinating Fe-Mn-C material is still in a safe zone for daily
consumption of human body, which indicates Fe-Mn-C material biocompatible to
be applied in biomedical."
2016
S63467
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mutiara Riani
"

Latar Belakang : Malnutrisi sering ditemukan pada pasien kanker ovarium dengan prevalensi 67% dan dapat memperburuk luaran pasien. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui prevalensi malnutrisi dan hubungan antara malnutrisi dengan lama rawat inap dan faktor pembedahan pada pasien kanker ovarium yang menjalani prosedur tersebut di RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta.

Metode : Penelitian analitik observational dengan desain potong lintang pada 59 pasien yang menjalani pembedahan selama bulan Juli 2018-Maret 2019. Status malnutrisi dinilai dengan metode Patient-Generated Subjective Global Assessment dan faktor pembedahan yang dinilai mencakup durasi pembedahan, besar tumor, dan perdarahan selama pembedahan.

Hasil : Prevalensi malnutrisi pasien kanker ovarium 78% dengan malnutrisi sedang 42,4% dan malnutrisi berat 35,6%. Rerata lama rawat inap 8 hari dan setelah dilakukan analisis didapatkan hubungan yang bermakna antara status malnutrisi dengan lama rawat inap, besar tumor, dan perdarahan selama pembedahan.

Kesimpulan : Prevalensi malnutrisi pada pasien kanker ovarium cukup tinggi dan dapat memperpanjang lama rawat inap dan meningkatkan jumlah perdarahan saat pembedahan.

Kata kunci:

Kanker ovarium, malnutrisi, lama rawat inap, faktor pembedahan.


Introduction : Malnutrition could be easily found in ovarian cancer with prevalence 67% and responsible for patient’s outcome worsening. The objective of this study was to identify malnutrition prevalence and correlation between malnutrition status and length of stay and surgical factors in ovarian cancer patients undergo surgery at National Hospital Cipto Mangunkusumo, Jakarta.

Method: A cross sectional study conducted with 59 patients undergo surgery during July 2018-March 2019. The nutritional status was classified as well-nourished and moderate/severe malnutrition, according to the Patient-Generated Subjective Global Assessment and surgery factors including length of surgery, size of tumor, and blood loss during surgery.

Results: The prevalence of malnutrition was 78%, being classified as moderate in 42,4% and severe in 35,6%. Median of length of stay was 8 days. After statistical analysis, malnutrition was associated with length of stay , size of tumor, and blood loss during surgery.

Conclusion: There was observed a high prevalence of malnutrition in ovarian cancer and could lengthen length of stay and increase blood loss during surgery.

Keywords:

Ovarian cancer, malnutrition, length of stay, surgical factor.

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Miptah Farid Thariqulhaq
"Penyakit TB MDR merupakan salah satu penyakit infeksi yang prevalensinya semakin meningkat dari tahun ke tahun di Indonesia dengan angka keberhasilan pengobatan 45%. Konversi kultur sputum merupakan suatu prediktor kuat dari awal keberhasilan terapi. Waktu konversi yang lambat akan memperpanjang periode penularan dan memprediksi tingkat kegagalan pengobatan yang tinggi. Terdapat beberapa faktor risiko yang berhubungan dengan konversi kultur sputum pasien TB MDR. Penelitian terkait faktor risiko kadar albumin dengan waktu konversi kultur sputum masih sangat terbatas. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan kadar albumin dengan waktu konversi kultur sputum di poli MDR terpadu RS Paru Dr M Goenawan Partowidigdo tahun 2022. Penelitian ini menggunakan studi cohort retrospektif dengan sampel yang diambil dari catatan rekam medis dan SITB pasien poli MDR. Variabel yang diteliti adalah kadar albumin < 3,5 gram/dl dan ≥ 3,5 gram/dl dengan variabel covariat usia, jenis kelamin, pendidikan, index masa tubuh, status merokok, gradasi sputum bta, komorbid, regimen pengobatan, dan kepatuhan minum obat . Hasil penelitian berdasarkan analisis multivariat menunjukkan kadar albumin < 3,5 mg/dl memiliki kecepatan waktu konversi 41,8% lebih lambat dengan (HR=0,582, 95% CI 0.344-0.984) untuk mengalami konversi dibanding dengan pasien TB MDR dengan kadar albumin ≥ 3,5 mg/dl setelah memperhitungkan status merokok dan kepatuhan minum obat. Perlunya memperbaiki kadar albumin yang rendah pada pasien TB MDR di rumah sakit dan memberikan penyuluhan kepada keluarga pasien agar turut berpartisipasi memantau asupan makan pasien yaitu makanan yang mengandung tinggi protein seperti ikan gabus serta ekstra putih telur untuk membantu meningkatkan kadar albumin pasien yang dapat berguna untuk terjadinya konversi kultur sputum.

MDR TB disease is an infectious disease whose prevalence is increasing from year to year in Indonesia with a treatment success rate of 45%. Sputum culture conversion is a strong predictor of initial therapeutic success. Slow conversion time will prolong the period of transmission and predict a high rate of treatment failure. There are several risk factors associated with sputum culture conversion in MDR TB patients. Research related to risk factors for albumin levels and sputum culture conversion time is still very limited. The aim of this study was to determine the relationship between albumin levels and sputum culture conversion time at the integrated MDR polyclinic at Dr M Goenawan Partowidigdo Pulmonary Hospital in 2022. This study used a retrospective cohort study with samples taken from medical records and SITB patients at poly MDR. The variables studied were albumin levels < 3.5 mg/dl and ≥ 3.5 mg/dl with the covariate variables age, sex, education, body mass index, smoking status, sputum gradation, co-morbidities, medication regimens, and drinking adherence drug . The results of the study based on multivariate analysis showed that albumin levels < 3.5 mg/dl had a 41.8% slower conversion time (HR=0.582, 95% CI 0.344-0.984) to experience conversion compared to MDR TB patients with albumin levels ≥ 3.5 mg/dl after taking into account smoking status and medication adherence. It is necessary to improve low albumin levels in MDR TB patients at the hospital and provide counseling to the patient's family to participate in monitoring the patient's food intake, namely foods that contain high protein such as snakehead fish and extra egg whites to help increase the patient's albumin levels which can be useful for the occurrence of sputum culture conversion."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Roza Mulyana
"ABSTRAK
Latar Belakang.Ophiocephalus striatus berpotensi meningkatkan kadar IGF-1 dan albumin karena mengandung asam amino, asam lemak, vitamin, dan mineral. Belum ada penelitian menggunakan ekstrak Ophiocephalus striatus khusus pada pasien usia lanjut dengan malnutrisi.Tujuan. Mengetahui pengaruh pemberian ekstrak Ophiocephalus striatus terhadap kadar IGF-1 dan albumin pasien usia lanjut dengan malnutrisiMetode. Uji klinis acak tersamar ganda dilakukan pada pasien rawat inap yang telah melewati kondisi akut dan dibolehkan pulang, berusia ge; 60 tahun dengan skor Mini Nutritional Assessment le; 23,5 dan kadar albumin < 3,5 g/dL. Dilakukan randomisasi untuk mendapatkan ekstrak Ophiocephalus striatus 10 gram sehari atau plasebo selama 14 hari. Kadar IGF-1 dan albumin diperiksa sebelum dan sesudah perlakuan. Pengaruh pemberian ekstrak OS dianalisis menggunakan uji t tidak berpasangan atau uji Mann-Whitney. Hasil. Randomisasi dilakukan terhadap 109 subjek, sebanyak 90 subjek menyelesaikan penelitian hingga 14 hari masing-masing kelompok45 orang . Median usia 69 64;75 tahun dengan perbandingan laki-laki dan perempuan 2 : 3. Didapatkan perubahan kadar IGF-1 dan albumin sesudah perlakuan pada kelompok ekstrak OS vs plaseboberturut-turut 14,70 0,30;31,50 ng/mL vs 1,00 -6;13,15 ng/mL p = 0,002 dan 0,50 0,15;0,70 g/dL vs 0,10 0,0;0,50 g/dL p = 0,003 . Simpulan. Ekstrak Ophiocephalus striatus dapat meningkatkan kadar IGF-1 dan albumin pasien usia lanjut dengan malnutrisi

ABSTRACT
Backgound.Supplementation with Ophiocephalus striatus is potential to increase IGF 1 and albumin levels in elderly malnourished patients beacause of the contents of amino acids, fatty acids, vitamins, and minerals.Objective.This study was conducted to confirm the effect of Ophiocephalus striatusextract on levels of IGF 1 and albumin in elderly malnourished patients. Method.The study design is a double blind randomized controlledtrial involving hospitalizedmalnourished ge 60 years old patientsin acute ward before discharged, with Mini Nutritional Assessment score le 23.5 and albumin level 3.5 g dL.A total of 109 subjects were randomly divided into two groups including one group received Ophiocephalus striatus extract 10 g per day and another group received plasebo for 14 days. Albumin and IGF 1 levelswere obtained before and after intervention. Results.Ninety subjects completed the study extract group 45 subjects plasebo goup 45 subjects for 14 days. Median of age was 69 64 75 years, with male to female ratio were 2 3. The delta differences of IGF 1 and albumin levels between extract group and placebo group were 14.7 0.30 31.5 ng mL vs 1.00 6 13.15 ng mL p 0.002 and 0.50 0.15 0.70 g dL vs 0.10 0,0 0.50 g dL p 0.003 , respectively. There were significant differences between extract and placebo group. Conclusions. Supplementation with Ophiocephalus striatus extract was associated with a significant increase in IGF 1 and albumin levels."
2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Zatira Novyanti Tasya Elfizri
"Pendahuluan: Penduduk pemukiman kumuh dan nonkumuh memiliki pola pajanan pathogen yang berbeda sehingga diduga menyebabkan perbedaan profil imun. Rasio albumin globulin dan komplemen C3, fraksi β-globulin yang berfungsi sebagai pusatkonvergensi sistem komplemen yang merupakan sistem imun bawaan, diduga memiliki profil yang berbeda berdasarkan tipe pemukiman dan pola pajanannya.
Metode: Studi potong lintang ini melibatkan masing-masing 20 orang dari penduduk sekitar TPU Bantar Gebang yang mewakili populasi kumuh dan civitas Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi, Jakarta yang mewakili populasi nonkumuh. Nilai rasio albumin globulin diukur dengan cara membandingkan nilai albumin dengan selisih antara protein total dengan albumin. Komplemen C3 diukur menggunakan metode radial immunodiffusion.
Hasil: Populasi kumuh memiliki nilai rasio albumin globulin lebih rendah signifikan dibanding populasi nonkumuh (p =0,004). 65% populasi kumuh memiliki ekspresi komplemen C3 tinggi (>1275,0) sedangkan 70% populasi nonkumuh memiliki ekspresi komplemen C3 rendah (≤1275,0) (p = 0,027). Rasio albumin globulin dan komplemen C3 memiliki tren korelasi negatif (R= −0,251, p = 0,062). Lima puluh persen populasi kumuh memiliki rasio albumin globulin rendah (≤1,38) dan ekspresi komplemen C3 tinggi (>1275,0) (p = 0,018).
Kesimpulan: Terdapat perbedaan rerata rasio albumin globulin dan perbedaan proporsi ekspresi komplemen C3 yang signifikan pada populasi kumuh dan nonkumuh. Terdapat tren hubungan terbalik antara rasio albumin globulin dan ekspresi komplemen C3. Proporsi rasio albumin globulin rendah dan ekspresi komplemen C3 tinggi lebih banyak.

Introduction: Slum and non-slum dwellers have different pathogenic exposure patterns that are thought to cause differences in immune profile. The ratio of albumin globulin and C3 complement, the β-globulin fraction that functions as a center convergence of the complement system which is the innate immune system, is thought to have a different profile based on the type of settlement and its exposure patterns.
Method: This cross-sectional study involved 20 people from each population around the Bantar Gebang TPU which represents the slum population and the Yarsi University Faculty of Medicine community, Jakarta representing the non-slum population. The value of albumin globulin ratio is measured by comparing the value of albumin with the difference between total protein with albumin. C3 supplements are measured using the radial immunodiffusion method.
Results: Slum populations have significantly lower albumin globulin ratios compared to non-slum populations (p = 0.004). 65% of the slum population has high C3 complement expression (> 1275.0) while 70% of the non-slum population has low C3 complement expression (≤1275.0) (p = 0.027). The ratio of albumin globulin and complement C3 has a negative correlation trend (R = −0.251, p = 0.062). Fifty percent of the slum population had a low albumin globulin ratio (≤1.38) and high C3 complement expression (> 1275.0) (p = 0.018).
Conclusion: There is a significant difference in the ratio of albumin globulin and a significant difference in the proportion of C3 complement expression in slum and non-slum populations. There is a trend of an inverse relationship between albumin globulin ratio and C3 complement expression. The proportion of albumin globulin ratio is low and the expression of high C3 complement is higher.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Beta Novianti Kusuma Ningrum
"Latar Belakang: Disfungsi saluran cerna berhubungan dengan luaran klinis yang lebih buruk pada pasien sakit kritis. Kadar albumin serum yang rendah merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan risiko disfungsi saluran cerna. Hubungan kadar albumin dengan disfungsi saluran cerna masih inkonklusif karena pendekatan diagnostik disfungsi saluran cerna yang belum terstandarisasi dengan baik. Gastrointestinal dysfunction score (GIDS) instrumen dengan subjektivitas minimal dan reproduktifitas maksimal, diharapkan dapat menegakkan diagnosis disfungsi saluran cerna dengan objektivitas yang lebih baik. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara kadar albumin saat admisi dengan terjadinya disfungsi saluran cerna yang dinilai menggunakan GIDS. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kohort prospektif pada subjek berusia ≥18 tahun yang dirawat di ruang rawat intensif Rumah Sakit Umum Pusat Nasional (RSUPN) dr. Cipto Mangunkusumo dan Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI). Karakteristik subjek penelitian berupa usia, jenis kelamin, status gizi, penyakit komorbid, diagnosis admisi intensive care unit (ICU), waktu inisiasi pemberian nutrisi oral atau enteral, kebiasaan mengonsumsi alkohol, dan skor sequential organ failure assessment (SOFA). Dilakukan analisis bivariat untuk menilai hubungan kadar albumin saat admisi dengan disfungsi saluran cerna. Hasil: Diperoleh 64 subjek, kelompok kadar albumin rendah 32 subjek dan kelompok kadar albumin normal 32 subjek. Rerata usia subjek 50,2±15,7, laki-laki 64,1%, 26,6% subjek dengan status gizi berat badan normal berdasarkan indeks massa tubuh (IMT), 50% subjek dengan malnutrisi secara klinis,  21,9% subjek dengan diagnosis komorbid diabetes melitus dan 3,1% subjek dengan parkinson, 34,4 % subjek dengan diagnosis admisi bedah, 95,3% subjek mendapatkan nutrisi oral atau enteral ≤ 48 jam, median skor SOFA 3 (0-12). Rerata kadar albumin  subjek dengan disfungsi saluran cerna 2,7±0,6 g/dL, rerata kadar albumin  subjek tidak disfungsi saluran cerna 3,7±0,7 g/dL. 31,3% subjek mengalami disfungsi saluran cerna. Terdapat hubungan signifikan secara statistik antara kadar albumin saat admisi dengan disfungsi saluran cerna RR 9 (95%CI 2,3-35,6; p <0,001) dan skor GIDS, p<0,001. Kesimpulan: Terdapat hubungan bermakna antara kadar albumin saat admisi dengan disfungsi saluran cerna. Pemeriksaan kadar albumin saat admisi ICU idealnya dilakukan secara rutin dan diikuti dengan koreksi kadar albumin apabila ditemukan kondisi hipoalbuminemia.

Background: Gastrointestinal dysfunction is associated with worse clinical outcomes in critically ill patients. Low serum albumin levels are one factor that can increase the risk of gastrointestinal dysfunction. The relationship between albumin levels and gastrointestinal dysfunction is still inconclusive because the diagnostic approach to gastrointestinal dysfunction is not yet well standardized. Gastrointestinal dysfunction score (GIDS) is an instrument with minimal subjectivity and maximum reproducibility, which is expected to provide a diagnosis of gastrointestinal dysfunction with better objectivity. This research was conducted to determine the relationship between albumin levels at admission and the occurrence of gastrointestinal dysfunction as assessed using GIDS. Methods: This study is a prospective cohort study of subjects aged ≥18 years who were treated in the intensive care unit at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo and RSUI. Characteristics of research subjects included age, gender, nutritional status, comorbid diseases, ICU admission diagnosis, time of initiation of oral or enteral nutrition, alcohol consumption habits, and SOFA score. Bivariate analysis was carried out to assess the relationship between albumin levels at admission and gastrointestinal dysfunction. Results: There were 64 subjects, 32 subjects in the low albumin level group and 32 subjects in the normal albumin level group. Mean age of subjects 50.2 ± 15.7, 64.1% male, 26.6% subjects with normal weight nutritional status based on BMI, 50% subjects with clinical malnutrition, 21.9% subjects with comorbid diagnosis of diabetes mellitus and 3.1%  subjects with Parkinson's, 34.4%  subjects with surgical admission diagnosis, 95.3% subjects received oral or enteral nutrition ≤ 48 hours, median SOFA score 3 ( 0-12). The mean albumin level of subjects with gastrointestinal dysfunction was 2.7 ± 0.6 g/dL, the mean albumin level of subjects without gastrointestinal dysfunction was 3.7 ± 0.7 g/dL. 31.3% of subjects experienced gastrointestinal dysfunction. There was a statistically significant relationship between albumin levels at admission and gastrointestinal dysfunction RR 9 (95%CI 2.3-35.6; p <0.001) and GIDS score, p<0.001. Conclusion: There is a significant relationship between albumin levels at admission and gastrointestinal dysfunction. Albumin levels examination during ICU admission should ideally be carried out routinely and followed by correction of albumin levels if hypoalbuminemia is found."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>