Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 108024 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yulita
"Pemerintah Singapura telah membentuk peraturan bagi perusahaan start-up khusus di bidang pengumpulan dan pengelolaan dana untuk kegiatan skema investasi kolektif yang dikenal dengan istilah Variable Capital Company (VCC). Kehadiran VCC di Singapura mampu mendorong pertumbuhan perusahaan start-up khusus di bidang pengumpulan dan pengelolaan dana, bahkan meningkatkan perekonomian di Singapura. Di Indonesia masih belum ada perusahaan start-up yang bergerak di bidang pengumpulan dan pengelolaan dana, padahal perusahaan start-up di Indonesia sangat berkembang. Dengan demikian, penelitian ini membahas kemungkinan pendirian VCC di indonesia. secara khusus, penelitian membahas apa yang melatarbelakangi atau alasan-alasan pendirian VCC agar dapat digunakan sebagai bentuk hukum bagi perusahaan start-up. Penelitian yuridis normatif ini dilakukan melalui pendekatan perbandingan dengan singapura. hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat setidaknya tiga alasan pendirian VCC yaitu untuk memiliki posisi yang kuat sebagai pengelola dana, dan menarik investor luar negeri. kemudian, terdapat keterbatasan yang dimiliki oleh struktur dana lainnya (unit trust, limited partnership, dan company) dalam hal memberikan fleksibilitas, transparansi, dan hemat biaya. Selanjutnya, karena regulasi yang mengatur VCC diakui dan didukung di pasar internasional. Selain itu, penelitian juga menyimpulkan bahwa VCC dapat didirikan di Indonesia.

The Singapore government has established regulations for specialized start-up companies in the field of fund collection and management, known as Variable Capital Companies (VCCs). The presence of VCCs in Singapore has the potential to boost the growth of start-up companies focused on fund collection and management, thereby contributing to Singapore's economic development. In Indonesia, however, there are currently no start-up companies engaged in fund collection and management, despite the significant growth of the start-up sector in the country. Therefore, this research explores the possibility of establishing VCCs in Indonesia. Specifically, the study delves into the underlying reasons and justifications for establishing VCCs as a legal form for start-up companies. This normative juridical research adopts a comparative approach with Singapore. The research findings indicate at least three reasons for establishing VCCs in Indonesia: to attain a strong position as fund managers and attract foreign investors, to address limitations in other fund structures such as unit trusts, limited partnerships, and companies, in terms of flexibility, transparency, and cost-effectiveness, and finally, to benefit from the recognition and support of VCC regulations in the international market. Additionally, the research concludes that VCCs can indeed be established in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lalu Husni
Jakarta: Rajawali, 2010
344.01 LAL p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Arie Sukanti Sumantri
Jakarta: FISIP UI, 1979
346.04 ARI a
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Ali Darwin
"Perusahaan yang mengadopsi dan menjalankan konsep CSR dewasa ini teiah mendapat perhatian dari kaiangan kreditor (secara khusus perbankan) dan katangan investor (secara khusus dunio pasar modal). Daiam praktik perusahaan dapat metaporkan imptementasi CSR melalui iaporan keberianjutan. Datam tingkat internasional, teiah ada inisiatif (GRI) membuat panduan atau standar Iaporan berketanjutan ini. Indonesia teiah turut datam upaya ini dengan membentuk iembaga serupa GRI yang dikenai sebagai NCSR. Ke depan perusahaan di Indonesiayang menerapkan dan meiaporkan praktik CSR dengan baik perlu mendapatkan dukungan dan penghargaan, baik dari pemerintah ataupun katangan pasar modal."
2006
EBAR-III-SeptDesl2006-83
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Napitupulu, Tarlitha Gracia
"ABSTRACT
Pada masa modern ini, penderitaan berat yang dirasakan pasien sebagai akibat dari penyakit yang sulit atau bahkan sudah tidak dapat disembuhkan masih menjadi suatu permasalahan dalam dunia kedokteran. Penderitaan yang berat tersebut mungkin akan lepas apabila kematian datang. Hal ini berkaitan dengan euthanasia yang bertentangan dengan Sumpah Dokter, Etika, maupun Hukum. Walaupun pada praktiknya, euthanasia sudah kerap dilakukan di Indonesia dengan melakukan penghentian terapi bantuan hidup terhadap pasien terminal yang merupakan bentuk euthanasia pasif. Untuk menghadapi permasalahan tersebut, muncul sebuah studi untuk menangani kontroversi etik yang disebut bioetika kedokteran dan diatur di dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI). Hukum di Indonesia menyatakan bahwa euthanasia merupakan suatu yang dilarang dan dapat dipidanakan, namun terjadi ketidaksesuaian regulasi antara satu dengan lainnya karena pada nyatanya penghentian terapi bantuan hidup terhadap pasien terminal diatur di dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 37 tahun 2014 tentang Penghentian Kematian dan Pemanfaatan Organ Donor. Dalam menganalisis permasalahan tersebut, skripsi ini diteliti dengan metode yuridis-normatif serta menggunakan tipologi penelitian deskriptif. Adapun hasil analisa yang disimpulkan oleh penulis yakni penghentian terapi bantuan hidup terhadap pasien terminal diperbolehkan berdasarkan bioetika kedokteran dan hukum di Indonesia. Selanjutnya, saran yang penulis berikan, yakni: kepada Ikatan Dokter Indonesia agar menjelaskan bentuk euthanasia apakah yang sebenarnya dilarang, kepada Pemerintah khususnya tim revisi KUHP agar mengubah definisi euthanasia karena sudah tidak relevan dengan keadaan sekarang, dan kepada Media Massa agar lebih bijak dalam memberikan informasi dengan melakukan riset terlebih dahulu mengenai topik artikel yang akan diberitakan supaya tidak terjadi kesalahan dalam memberikan informasi.

ABSTRACT
In modern era, the severe suffering felt by patients as a result of difficult or even incurable diseases is still a problem in the medical world. Severe suffering may be released when death comes. This is related to euthanasia which is contrary to the Doctors Oath, Ethics, and Law. Although in practice, euthanasia has often been carried out in Indonesia by stopping life assistance therapy for terminal patients which is a form of passive euthanasia. To deal with these problems, a study emerged to address the ethical controversy called medical bioethics and regulated in the Indonesian Medical Ethics Code (KODEKI). Indonesian Law states that euthanasia is prohibited and can be criminalized, but there is a discrepancy between one another regulations because in reality the termination of life assistance therapy for terminal patients is regulated in the Minister of Health Regulation No. 37 of 2014 concerning the Cessation of Death and Use of Donor Organs. In analyzing these problems, this thesis was examined by juridical-normative method and used descriptive research typology. The results of the analysis concluded by the authors is the termination of life assistance therapy for terminal patients is permissible based on medical bioethics and law in Indonesia. Furthermore, the suggestion that the author gives are: to the Indonesian Doctors Association to explain the form of euthanasia is actually prohibited, to the Government especially the Criminal Code revision team to change the definition of euthanasia because it is not relevant to the present situation, and to Mass Media to be more informed by doing research first on the topic of the article that will be reported so that there is no error in providing information."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syafa Sakina Noer
"Dengan berlakunya Undang-Undang No. 20 Tahun 2016, hukum merek Indonesia memperluas perlindungan merek, mencakup komponen baru yaitu bentuk tiga-dimensi. Namun peraturan perundang-undangan merek yang berlaku setelah itu, tidak mengatur lebih dalam mengenai konsep merek tersebut, menyebabkan perlindungan terhadap konsep ini masih terkesan abu-abu. Di lain sisi, perlindungan merek tiga-dimensi di Amerika telah berlangsung lebih lama dibandingkan Indonesia, dan pengaturannya pun terletak pada sebuah konsep khusus bernamakan trade dress. Penelitian ini menganalisa, pertama, indikator merek tiga-dimensi di Indonesia yang tidak dielaborasi dalam hukum merek yang berlaku di Indonesia, serta peraturan pelaksananya. Kedua, penelitian ini membandingkan bagaimana perlindungan merek tiga-dimensi di Indonesia dan di Amerika, dari segi peraturan maupun praktiknya. Dengan harapan, akan terlihat sudah sejauh mana perlindungan merek tiga-dimensi di Indonesia jika dilihat dari sudut pandang trade dress Amerika. Ketiga, adakah hal-hal yang dapat Indonesia pelajari dari konsep trade dress di Amerika yang sudah jauh berkembang pesat, demi kepentingan publik di masa yang akan datang. Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif atas norma hukum tertulis. Wawancara dengan pegawai pemeriksa merek Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual dilakukan untuk memberikan gambaran perbedaan praktik dan peraturan tertulis tentang merek tiga-dimensi. Kesimpulan penelitian ini adalah perlindungan merek tiga-dimensi di Indonesia jika dilihat dari peraturan tertulis yang berlaku, sudah tertinggal jauh dari praktik yang sebenarnya dilakukan. Dalam praktiknya, perlindungan merek tersebut telah berkembang sangat pesat, dimana implementasinya banyak terinspirasi dari praktik di luar negeri, khususnya Amerika Serikat. Sehingga, bisa dikatakan bahwa konsep tiga-dimensi di Indonesia sudah sejajar dengan konsep trade dress. Namun dari praktik tersebut, kebanyakan dijalankan tanpa adanya peraturan tertulisnya; masih sebatas kewenangan petugas bersangkutan ataupun dari kebiasaan yang selama ini dilaksanakan.

With the enactment of Law no. 20 of 2016, Indonesia's trademark law expands its protection of trademarks, including a new mark component, namely three-dimensional shapes. However, the trademark laws and regulations that were implemented after that, did not regulate further on the new recognized component, causing the protection of this concept still vague. On the other hand, three-dimensional marks protection in the U.S. has existed long before Indonesia and the component lies under a special concept called trade dress. This research analyzes, firstly, three-dimensional mark indicators in Indonesia which are not elaborated in the prevailing trademark laws and regulations in Indonesia. Second, this study compares the three-dimensional marks protection in Indonesia and U.S., from the aspect of regulatory frameworks and practices, with hope that the extent of three-dimensional marks protection in Indonesia will be discovered from the point of view of U.S. trade dress. Third, the values that Indonesia can learn from the U.S. trade dress concept for the benefit of the public in the future. This research uses normative legal research on written legal norms. An interview with trademark examiner of the Directorate General of Intellectual Property was conducted to provide an overview of the discrepancy between the practice and written regulations regarding three-dimensional marks. The conclusion of this research is that the prevailing written regulations of three-dimensional marks in Indonesia is far from the actual practice. In practice, the protection of the mark has developed greatly, and its implementation is mostly inspired by the practices abroad, especially the U.S. Thus, it can be asserted that the Indonesian three-dimensional mark is equivalent with the trade dress concept. However, mostly the practice is carried out without any written regulations; it is solely based on the authority of the authorized officials or from the tendency that have been implemented so far."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gijssels, Jan
Bandung: Lab Hukum. FH UKP (Katolik Parahyangan), 2000
340.1 GIJ a
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Chrispinus Boro Tokan
"ABSTRAK
Dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 1 Tahun
1951, maka timbul anggapan seolah-olah hukum adat< idelik tidak
mempunyai tempat lagi dalam dinamika hukum pidana positif
di Indonesia. Namun kalau diteliti pasal 5 ayat (b)
UU tersebut, maka sebenarnya hanya dihapus hukum formil
(beracara) adat. Dalam arti hukum adat delik materiil masih
tetap berlaku.
Asas legalitas yang dianut dalam hukum pidana positif
di Indonesia, secara serta merta menumbuhkan sikap
apriori para penegak hukum, bahwa dengan demikian hukum
delik adat tidak diterapkan lagi. Tentunya hal ini bertentangan
dengan dinamika beberapa peraturan perundang-undang
an yang menunjukkan esensi dan eksistensi hukum delik adat
di Indonesia.
Esensi dan eksistensi hukum delik adat di Indonesia,
paling tidak mematahkan kekakuan dinamika hukum pidana positif
yang menganut asas legalitas. Walaupun dalam imple -
mentasinya, hukum pidana positif di Indonesia masih menampakkan
kekakuannya.
Menggembirakan bahwa dalam kandungan konsep Kitab Undang-
undang Hukum Pidana Nasional 1982/1983 tetap memberikan
peluang keberadaan hukum delik adat di Indonesia ,
seperti dalam pasal 1 ayat (4), pasal 57 ayat (3) butir 5.
Dalam menyonsong peluang keberadaan hukum delik adat
yang tetap dijamin dalam era implementasi hukum pidana nasional
di masa mendatang, maka pada tempatnya dikemukakan
pertanyaan : apakah setiap reaksi masyarakat terhadap delik
adat dapat dijadikan pelengkap dalam penghukuman?
Tentunya tidak secara serta-merta setiap reaksi masyarakat
terhadap delik adat diterima untuk melengkapisuatu
penghukuman. Melainkan harus melalui filter penyaring,
yakni Pancasila dan UUD 1945. Selain itu dalam batang tubuh
konsep KUHP nasional masih dapat diangkat Tujuan Pemidanaan
(pasal 43) sebagai alat ukur untuk mempertanyakan
apakah reaksi masyarakat terhadap delik adat dapat
dijadikan pelengkap penghukuman.
Dengan demikian tidak semua reaksi adat dapat diterima
sebagai pelengkap penghukuman, namun harus dikaji dan
disaring terlebih dahulu. Di sini dituntut kepekaan para
penegak hukum dalam menjiwai hukum delik adat suatu masyarakat.
oleh karena itu tidak terelakkan tuntutan akan
suatu pengetahuan hukum adat yang memadai serta penjiwaan
yang mendalam dari para penegak hukum mengenai hukum adat,
tidaklah dapat ditawar-tawar di era implementasi KUHP nasional
kelak. Dalam konteks di atas, maka penegak hukum jangan hanya
jadi corong atau mulut undang-undang belaka. Sebab kalau
penegak hukum memposisikan diri hanya sebagai trompet
dari UU, maka akibat hasil kerjanya tidak luput dari kekecewaan
pencari keadilan. Pencari keadilan merasakan bahwa
keadilan yang sedang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat,
tidak mendapatkan sahutan dari para penegak hukum
dalam setiap tahapan proses kerjanya.
Proses kerja para penegak hukum ini, berangkat dari
suatu sistem kerja yang dikenal dengan Sistem Peradilan
Pidana (SPP); SPP memperkenalkan dua model kerja, yakni
'crime control model' dan 1due process model' ( CCM dan
DPM) .
CCM, antara lain menghindari adanya 'second opinion'
(pendapat kedua), sehingga penegak hukum yang memposisikan
diri sebagai mulut undang-undang belaka, secara apriori
menutup diri terhadap dinamika hukum sosiologis yang
tidak atau secara kabur-kabur diatur dalam perundang - undangan.
Sedangkan DPM antar lain mengandalkan chek and
re-chek, sehingga menjadi suatu keharusan hadirnya 'second
opinion'. Hadirnya second opinion memberikan peluang pemerhatian
akan rasa keadilan yang sedang tumbuh dan berkembang
dalam nurani masyarakat. Dalam arti peluang hukum
delik adat sebagai hukum tidak tertulis tetap ada dalam
proses kerja SPP yang menggunakan model DPM.
Dalam konsep KUHP nasional mengenai ‘penghukuman'dikenal
'double track system' (sistem dua jalur); yaitu 'straf'
(pidana) dan 'maatregel' (tindakan).
Benang merah yang membedakan straf dan maatregel, ada
lah pada orientasi penghukumannya. Straf bermaksud menderitakan
setiap pelaku kejahatan karena berangkat dari
1backwardlooking', yakni hanya melihat perbuatan pelaku
itu saja (berorientasi ke belakang), sehingga pelaku kejahatan
dihukum setimpal dengan besarnya kesalahan. Sedangkan
maatregel tidak bermaksud menderitakan pelaku melainkan
mendidik (edukatif), yakni bertolak dari 'forwardlooking',
yang mempertimbangkan manfaat dan kegunaan sanksi
itu bagi masa depan setiap pelaku kejahatan.
Menjadi pertanyaan sekarang, reaksi adat dimasukkan
ke dalam straf atau maatregel? Hemat penulis reaksi adat
digolongkan ke dalam maatregel, karena reaksi adat itu sebenarnya
tidak bermaksud menderitakan pelaku tetapi merupakan
suatu upaya pemulihan kembali hubungan masing - masing
pihak, pengharmonisan kembali suasana masyarakat yang
tegang (kacau) karena adanya pelanggaran adat.
Dengan demikian reaksi masyarakat itu dapat dijadikan
pelengkap dalam penghukuman, apabila reaksi masyarakat adat itu bersikap mendidik, bukan menderitakan. Dengan
perkataan lain reaksi masyarakat adat itu harus merupakan
konkritisasi sahutan pl.aham 'utilitarian model',
yang menekankan adanya kegunaan yang maksimal dari penghukuman
bagi masa depan si pelanggar. Oleh karena itu
reaksi masyarakat adat yang bermaksud menderitakan, menyalahi
norma sosial, bersifat pemborosan, tidak diandalkan
sebagai suatu bentuk penghukuman.***"
1990
T36489
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lili Rasjidi
Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991
340.1 LIL f
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Lili Rasjidi
Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993
340.1 LIL f
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>