Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 104942 dokumen yang sesuai dengan query
cover
R.A. Gismadiningrat Sahid Wisnuhidayat
"Kerugian negara akibat korupsi di Indonesia pada tahun 2022 bernilai signifikan, namun KPK RI sebagai lembaga khusus pemberantasan korupsi dinilai belum maksimal dalam mengembalikan kerugian negara dibandingkan POLRI dan Kejaksaan RI. Artikel ini bertujuan untuk menganalisis pelaksanaan pengembalian aset khususnya pada penyidikan tindak pidana korupsi di Direktorat Penyidikan KPK. Melalui penerapan metode penelitian kualitatif dan studi kasus, hasil penelitian ini menemukan bahwa, pelaksanaan penyidikan tindak pidana korupsi masih berfokus pada upaya memenjarkan pelaku yang dipengaruhi oleh adanya celah hukum pada Undang-Undang Korupsi, polemik dalam perampasan aset, keterbatasan sumber daya manusia dan menurunnya nilai aset yang telah dirampas. Untuk meningkatkan pelaksanaan pengembalian aset, diperlukan strategi pendekatan perdata (in rem) melalui Kemungkinan (Balanced Probability Principle) dan Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan (Non Conviction-Based Asset Forfeiture) melalui pembaharuan regulasi dan peningkatan kualitas serta kuantitas sumber daya manusia Direktorat Penyidikan KPK RI.

State’s losses as the result of corruption in Indonesia, 2022, have a significant value, but KPK RI as a special institiution againts the corruption is considered not optimal in it’s efforts to returning the State losses rather than Indonesian National Police and The Office of the Attornety of The Republik of Indonesia. This articels aims to answer the problems regarding the implementation of asset recovery especially in the investigation of corruption at KPK RI Investigation Division. Through qualitative research methods and case studies, the result the results of this study found that the implementation of the investigation was still focused on efforts to imprison the perpetrators who were influenced by legal loopholes in the Corruption Law, polemics over asset confiscation, limited human resources and the decline in the value of assets that had been confiscated. To increase the amount of assets returned, a civil approach strategy is needed through the Balanced Probability Principle and Non-Conviction-Based Asset Forfeiture."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aghia Khumaesi Suud
"Pusat Pemulihan Aset (PPA) sebagai satuan kerja Kejaksaan Republik Indonesia, bertanggung jawab memastikan terlaksanakannya pemulihan aset di Indonesia dengan sistem pemulihan aset terpadu (Integrated Asset Recovery System) secara efektif, efisien, transparan dan akuntabel. Dengan melakukan penelusuran, pengamanan, pemeliharaan, perampasan, dan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi yang ditangani Kejaksaan. Namun, jumlah pemulihan aset (asset recovery) hasil tindak pidana korupsi yang dilakukan PPA masih sedikit dan pelaksanaannya sekarang ini hanya dilakukan setelah ada putusan pengadilan, padahal seharusnya dapat dilakukan penelusuran (asset tracking) sejak sebelum putusan. Selain itu, urgensi keberadaannya masih dipertanyakan mengingat ruang lingkupnya hampir sama dengan Labuksi KPK dan Rupbasan pada KemenkumHAM yang secara tidak langsung menimbulkan tarik menarik kewenangan antara unit aparat penegak hukum tersebut. Untuk itu, diperlukan optimalisasi PPA Kejaksaan agar aset hasil tindak pidana korupsi dapat dipulihkan secara cepat, efektif dan transparan.

The Asset Recovery Center (PPA) as the Republic of Indonesia General Attorney's unit is responsible for ensuring asset recovery is carried out in Indonesia with an integrated asset recovery system (Integrated Asset Recovery System) in an effective, efficient, transparent and accountable manner. By conducting searches, safeguards, maintenance, seizures, and returning assets resulting from criminal acts of corruption handled by the General Attorney. However, the amount of asset recovery resulting from the criminal acts of corruption carried out by PPA is still small and its implementation is currently only carried out after a court decision, even though asset tracking should have been carried out before the verdict. In addition, the urgency of its existence is still questionable considering its scope is almost the same as the KPK and Rupbasan production at the Ministry of Law and Human Rights which indirectly raises the pull of authority among the law enforcement unit units. For this reason, it is necessary to optimize the PPA of the General Attorney so that the assets resulting from corruption can be recovered quickly, effectively and transparently."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T53714
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rumi Danang Sufianto
"Penulisan Skripsi ini dilatarbelakangi oleh adanya permasalahan mengenai pemulihan aset hasil tindak pidana korupsi, yang kerap kali dinilai masih tidak
maksimal dalam pelaksanaannya, terlebih apabila terhadap harta benda tersebut dilakukan pencucian uang ke luar negeri sehingga menimbulkan permasalahan
antar jurisdiksi. Pemulihan aset tidak hanya dapat dilakukan melalui mekanisme hukum pidana saja, namun juga hukum perdata, termasuk pula kepailitan, hal mana telah diterapkan dalam beberapa kasus yang pernah terjadi di beberapa yurisdiksi,
namun belum pernah diterapkan di Indonesia. Metode penelitian pada skripsi ini adalah penelitian hukum dalam bentuk yuridis normative. Berdasarkan analisis penulis, forum kepailitan, termasuk pula kepailitan lintas batas (cross-border insolvency) dapat menjadi salah satu pilihan untuk memaksimalkan permasalahan pemulihan aset, disamping melalui penuntutan secara pidana dan gugatan perdata. Namun untuk memaksimalkan hal tersebut, Pemerintah perlu mengatur lebih lanjut mengenai kepailitan lintas batas (cross-border insolvency) serta joint bankruptcy dalam Undang-Undang Kepailitan Indonesia.

The writings of this thesis is motivated by issues regarding the recovery of
assets resulting from and related to corruptions, which are often considered to be not optimal in its implementation, especially when the particular assets are being
laundered overseas, and therefore arising an extra-jurisdiction problems. Asset Recovery is not only be done by criminal forfeiture, but also civil forfeiture,
including bankruptcy or insolvency proceedings as well, in which insolvency
proceedings has been applied in several cases in several jurisdictions, but have never been applied in Indonesia. The research method in this thesis is normative judicial legal research. Based on the writer’s analysis, bankruptcy and/or
insolvency proceedings, including the legal instrument of cross-border insolvency,
can be an option to aid and maximize to succeeds asset recovery. However, in order
to maximize its success, the Government should regulate about cross border
insolvency and joint bankruptcy and/or insolvency further , in the Indonesian
Bankruptcy Law.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fauzan Akbar
"Pengembalian aset negara hasil tindak pidana korupsi merupakan hal yang baru dalam penegakkan hukum Indonesia. Salah satu contoh kasus pengembalian aset yang diduga mengarah pada tindak pidana korupsi adalah pekerjaan kegiatan pembangunan jalan sisi selatan kali mookervart oleh Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota Tangerang Tahun Anggaran 2016 yang mengakibatkan kerugian negara. Penelitian ini bertujuan menganalisis upaya pengembalian aset negara dalam penyelidikan tindak pidana korupsi. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan desain studi kasus. Pengumpulan data dilakukan melalui proses wawancara, triangulasi dan studi dokumen. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa Pertama, pengaturan mekanisme pengembalian aset di Indonesia sekarang ini masih menggunakan Kitab UndangUndang Hukum Pidana, Kitab Hukum Acara Pidana, dan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi proses pengembalian aset negara hasil tindak pidana korupsi belum diatur. Kedua, proses penyelidikan Polda Metro Jaya kaitannya dengan proyek pembangunan jalan yang dilakukan dinas pekerjaan umum dan tata ruang kota tangerang pada tahun 2019 dengan melakukan pengumpulan bahan keterangan dan penyelidikan awal berupa klarifikasi. Kemudian setelah melakukan pengumpulan bahan keterangan dilanjutkan dengan pengambilan keterangan kepada pejabat pengadaan dan penyedia termasuk melakukan pengecekan ulang fisik di lokasi pekerjaan. Ketiga, kendala terkait upaya pengembalian aset negara secara umum,. 1.Dalam proses pengembalian aset, yaitu: para penegak hukum memiliki kesulitan lain yaitu dalam pemilihan aset yang diduga hasil dari tindak pidana korupsi. Kadangkala, penyidik kebingungan dalam melakukan pemilihan aset yang dimaksud sehingga untuk beberapa penyidik memilih untuk merampas semua aset yang berada di bawah pengelolaan pelaku kemudian dilakukan identifikasi terkait aset tersebut., 2. Aset-aset yang berasal dari tindak pidana korupsi seringkali tidak hanya berada dalam satu tangan pelaku tindak pidana,Kendala lain bahwa aset tersebut biasanya disimpan di luar negeri

Returning state assets resulting from criminal acts of corruption is something new in Indonesian law enforcement. One example of a case of returning assets that is suspected of leading to a criminal act of corruption is the construction of the road on the south side of the Mookervart River by the Department of Public Works and Spatial Planning for the City of Tangerang for the 2016 Fiscal Year which resulted in state losses. This study aims to analyze efforts to recover state assets in the investigation of corruption. This study uses a qualitative approach with a case study design. Data collection was carried out through interviews, triangulation and document studies. The results of this study explain that First, the regulation of the mechanism for returning assets in Indonesia is currently still using the Criminal Code, the Criminal Procedure Code, and the Law on the Eradication of Criminal Acts of Corruption, the process for returning state assets resulting from criminal acts of corruption has not yet been regulated. Second, the investigation process by Polda Metro Jaya in relation to a road construction project carried out by the public works and spatial planning services for the city of Tangerang in 2019 by collecting information and initial investigations in the form of clarifications. Then after collecting information material, it is followed by taking information from procurement officials and providers, including carrying out physical re-checks at the work location. Third, constraints related to efforts to recover state assets in general. 1. the investigation process by Polda Metro Jaya in relation to the road construction project carried out by the public works and spatial planning services for the city of Tangerang in 2019 by collecting information and initial investigations in the form of clarifications. Then after collecting information material, it is followed by taking information from procurement officials and providers, including carrying out physical re-checks at the work location. Third, constraints related to efforts to recover state assets in general. 1. the investigation process by Polda Metro Jaya in relation to the road construction project carried out by the public works and spatial planning services for the city of Tangerang in 2019 by collecting information and initial investigations in the form of clarifications. Then after collecting information material, it is followed by taking information from procurement officials and providers, including carrying out physical re-checks at the work location."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lubis, Riani Atika Nanda
"Skripsi ini membahas mengenai keterkaitan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dengan konsep keadilan restoratif. Untuk itu, dalam pembahasan skripsi ini akan dijelaskan mengenai dasar pemikiran dan dasar hukum dari pengembalian aset hasil tindak pidana di Indonesia, Britania Raya dan Thailand. Usaha Indonesia dalam upaya pengembalian aset ini pun tidak hanya dengan instrumen nasional seperti Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, tetapi juga menggunakan instrumen- instrumen internasional seperti United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 yang diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 dan Bantuan Hukum Timbal Balik.
Pendekatan keadilan restoratif sebagai salah satu tujuan dari pemidanaan merupakan pemikiran yang tepat diterapkan dalam proses pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi karena dasar pemikiran dalam konsep ini sejalan dan tujuan dari keadilan restoratif dan pengembalian aset pun sejalan dan harmonis. Indonesia sebagai negara berkembang yang masih pelik dengan masalah penindakan hukum atas tindak pidana korupsi memerlukan gagasan dan pemikiran mengenai upaya pengembalian kerugian akibat tindak pidana korupsi.

This thesis discussed about the relation of stolen asset recovery on proceeds of corruption offense with the concept of restorative justice. So that, the discussion chapters of this thesis explained about the premises and legal basis of stolen asset recovery on the proceeds of corruption offense in Indonesia, the United Kingdom and Thailand. Indonesia?s effort in an endeavor to return these stolen assets was not only mandated by national law instruments such as Law Number 31 Year 1999 jo. Law Number 20 Year 2001 regarding Corruption Eradication, Law Number 15 Year 2002 regarding The Crime of Money Laundering, but also used of international law instruments such as United Nations Convention Against Corruption 2003 which ratified by Law Number 7 Year 2006 and Mutual Legal Assistance on Criminal Matters (MLA).
Restorative justice as one of the objectives of punishment is an appropriate intellection to be applied as the underlying principle of stolen asset recovery is reciprocally along with the concept of restorative justice as the intellection of this concept. Indonesia as a developing country which still complicatedly deal with the eradication of corruption offense matters, seriously needs an idea and reasoning on endeavor of restoring state's loss caused by corruption offense.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S550
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Alexander Samuel Paruhum
"

Skripsi ini menyajikan hasil penelitian atau kajian mengenai  Pengembalian Aset (Asset Recovery) dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi (Studi Kasus Perkara Tindak Pidana Korupsi dalam Putusan Mahkamah Agung No. 1318 K/PID.SUS/2018 dan No. 2486 K/PID.SUS/2017). Masalah yang dijadikan obyek penelitian dalam skripsi ini berkaitan dengan dua masalah pokok, yakni: pertama, bagaimana prinsip-prinsip terkait dengan pengembalian aset yang ada di dalam peraturan perundang-undangan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia; dan kedua, bagaimana penerapan  peraturan terkait dengan pengembalian aset yang ada di dalam peraturan perundang-undangan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dalam perkara tindak pidana korupsi pada Putusan Mahkamah Agung No. 1318 K/Pid.Sus/2018 dan No. 2486 K/Pid.Sus/2017. Penelitian ini berbentuk yuridis-normatif, dengan tipe deskriptif-analitis. Simpulan yang didapat dari penelitian ini adalah bahwa ketentuan pengembalian aset yang diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi hanya sebatas penyitaan, perampasan, pidana uang pengganti, dan gugatan perdata, dan belum dapat menjangkau aset-aset hasil tindak tindak pidana korupsi yang ditempatkan di luar negeri. Pengaturan di dalam Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi lebih menaruh fokus perhatian pada upaya memenjarakan pelaku daripada upaya pengembalian aset. Selain itu, Upaya pengembalian aset dalam perkara tindak pidana korupsi pada Putusan Mahkamah Agung No. 1318 K/Pid.Sus/2018 dan No. 2486 K/Pid.Sus/2017 dinilai belum berhasil, yang ditandai dengan minimnya aset hasil tindak pidana korupsi yang berhasil dikembalikan kepada negara untuk pemulihan kerugian keuangan negara. Berdasarkan penelitian ini, perlu dilakukan pembaharuan terhadap Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sehingga mengedepankan upaya pengembalian aset dan mengadopsi prinsip-prinsip pengembalian aset sebagaimana diatur dalam UNCAC 2003. Selain itu, diperlukan adanya unifikasi terhadap ketentuan mengenai pengembalian aset yang tersebar dalam beberapa peraturan perundang-undangan sehingga mempermudah upaya pengembalian aset.

 


This thesis presents the results of research or studies on Asset Recovery in Corruption Cases (Case Study of Corruption Case in Supreme Court Decision No. 1318 K/PID.SUS/2018 and No. 2486 K/PID.SUS/2017). The problem which is the object of research in this thesis is related to two main problems, namely: first, how the principles are related to asset recovery in the legislation concerning the eradication of corruption in Indonesia; and second, how the application of regulations related to asset recovery contained in the legislation concerning the eradication of corruption in corruption cases in the Supreme Court Decisions No. 1318 K/Pid.Sus/2018 and No. 2486 K/Pid.Sus/2017. This research is in the form of juridical-normative, with descriptive-analytical type. The conclusions obtained from this study are that the provisions for returning assets regulated in the legislation concerning eradicating criminal acts of corruption are limited to confiscation, forfeiture, criminal replacement money, and civil lawsuits, and have not been able to reach assets resulting from criminal acts of corruption stationed abroad. Regulations in the Law on Combating Corruption have focused more attention on efforts to imprison perpetrators rather than efforts to recover assets. In addition, efforts to recover assets in corruption cases in the Supreme Court Decree No. 1318 K/Pid.Sus/2018 and No. 2486 K/Pid.Sus/2017 is considered unsuccessful, which is marked by the lack of assets recovered resulting from criminal acts of corruption that were successfully returned to the state for recovery of state financial losses. Based on this research, it is necessary to update the Law on the Eradication of Corruption so it puts forward efforts to recover assets and adopt the principles of asset recovery as regulated in UNCAC 2003. In addition, there is a need for unification of the provisions regarding asset recovery scattered in several regulations legislation to facilitate efforts to recover assets.

 

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chitraning Widhianindya
"ABSTRAK
Pengembalian aset hasil korupsi di luar negeri adalah prioritas utama untuk
dikejar oleh Pemerintah RI, KPK, PPATK dan lembaga penegak hukum lainnya
dalam rangka mengembalikan kerugian negara karena para pejabat korup
menyamarkan aset-aset hasil tindak pidana korupsi di luar negeri melalui mekanisme
pencucian uang, sehingga sulit untuk ditelusuri, dibekukan, dan disita. Untuk
memaksimalkan upaya pengembalian aset hasil korupsi di luar negeri, maka
pemerintah RI dan KPK menjalin kerjasama internasional melalui Mutual Legal
Assistance (MLA) sebagaimana mengacu pada Pasal 46 UNCAC. Indonesia
mempunyai Undang-Undang No. 1 Tahun 2006 Tentang Bantuan Timbal Balik
dalam Masalah Pidana, tetapi kelemahannya adalah tidak mengatur secara rinci
mengenai sharing fee forfeiture dan asset management, sehingga kedua hal iu
menjadi kendala tersendiri bagi pemerintah RI dalam menjalin MLA dengan negara
lain. Kemudian, mekanisme pengembalian aset hasil korupsi sebagaimana diatur
dalam Pasal 51 sampai dengan Pasal 57 UNCAC, terutama perampasan aset tanpa
pemidanaan (NCB) atau perampasan aset in rem, yang merupakan paling efektif
untuk mengembalikan aset-aset tersebut. Tetapi, hambatan-hambatan dalam
pengembalian aset hasil korupsi di luar negeri sering dihadapi pemerintah RI dan
KPK, seperti kinerja penegak hukum tidak maksimal, MLA ditolak karena alasan
penerapan hukuman mati di negara yang dimintakan MLA, perbedaan sistem hukum
dan legal proceedings, beberapa negara yang tidak menegakkan anti money
laundering, dan lain-lain. Dikarenakan Undang-Undang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi dan Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang tidak mampu mendukung pengembalian aset hasil korupsi di luar
negeri, oleh karena itu, seharusnya pemerintah RI segera mengesahkan RUU
Perampasan Aset untuk memaksimalkan upaya pengembalian aset hasil tindak pidana
di luar negeri, khususnya tahap-tahap pengembalian aset, kerjasama internasional,
badan pengelola aset, dan lain-lain.

ABSTRACT
Recovering assets from corruption in aboard is a top priority to being chased
by the Government of Indonesia, KPK, and PPATK to recover state losses because
of corrupt officials disguising assets proceeds of corruption in aboard through money
laundering mechanisms, making it difficult to trace, frozen and seized. To maximize
the efforts in recovering assets from corruption in aboard, the government of
Indonesia and KPK to establish international cooperation through the Mutual Legal
Assistance (MLA) as referred to in Article 46 of UNCAC. Indonesia has Law No.
1/2006 on Mutual Legal Assistance in Criminal Matters, but the weakness is not set
in detail regarding the sharing fee forfeiture and asset management, so that both are
became an obstacle for the government of Indonesia in establishing MLA with other
countries. Then, a mechanism to recover assets from corruption cases under Article
51 through Article 57 of UNCAC, especially confiscation of assets without a criminal
conviction (NCB) or confiscation of assets in rem, which is the most effective way to
restore these assets. However, the obstacles in recovering assets from overseas
corruption in government, and often facing KPK, such as the performance of law
enforcement is not maximal, MLA rejected the application of the death penalty for
reasons for which a MLA in the state, the legal system and legal differences
proceedings, some states not enforce anti-money laundering, and others. Due to the
Law on Corruption Eradication and Prevention Act and Anti-Money Laundering
unable to support the return of proceeds of corruption assets abroad, therefore, the
Indonesian government should immediately pass Draft Law of Asset Confiscation
asset recovery efforts to maximize the the proceeds of crime abroad, particularly the
stages of asset recovery, international cooperation, asset management agencies, and
others."
Universitas Indonesia, 2013
T35414
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heri Herdiansah
"Dalam Penelitian ini membahas mengenai Mekanisme Pengembalian dan Tata Kelola Aset Negara Hasil Tindak Pidana Korupsi yang berlaku di Indonesia. Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah sejauhmana pengaturan aset negara yang berasal dari Tindak Pidana Korupsi dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, bagaimana mekanisme yang ideal dalam pengembalian aset negara sebagai akibat perbuatan melawan hukum dalam tindak pidana korupsi, dan Bagaimanakah tata kelola dan pertanggungjawaban atas pengelolaan terhadap aset negara hasil tindak pidana korupsi. Sedangkan tujuan dalam peneltian ini adalah mengetahui sejauhmana suatu aset dapat dikatagorikan sebagai obyek tindak pidana korupsi, mengetahui sejauhmana pengaturan mengenai pengembalian aset negara hasil tindak pidana korupsi, menemukan cara tepat dalam pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, dan mengetahui tata kelola atas pengelolaan pengembalian aset berdasarkan perturan perundang-undangan. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan melakukan penelitian lapangan dan studi kepustakaan. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa yang termasuk aset negara yang dapat menjadi objek dari sebuah tindak pidana korupsi yaitu uang, surat berharga, piutang, barang berharga, dan hak-hak yang lain yang dapat dinilai dengan uang. Mekanisme yang ideal dalam pengembalian aset negara hasil tindak pidana korupsi adalah gabungan antara instrumen hukum yang terdapat dalam UNCAC PBB 2003 dan instrumen hukum civil forfeiture. Mekanisme ini didasarkan atas keberhasilan negara-negara maju seperti Amerika dan Inggris dalam pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi. Adapun mekanisme ideal pengelolaan Aset dilakukan oleh Lembaga Pengelola Aset di bawah Kementerian Keuangan.

Abstract
This research is mainly discussed about The Mechanism and Management System of Asset Recovery from Corruptions Act in Indonesia. The problem that this research is trying to resolves is how Indonesian Law regulate the state asset that comes from Corruption Act, what kind of mechanism that is ideal to recover the state asset as a consequence of tort in corruption act and how to manage and take responsibility of asset recovery from Corruption Act. The purpose of this research is to explain about the clasification of state assets especially if the assets come from corruption act, to find the right method regarding asset recovery from corruption act, to know the management of asset recovery based on the rule of law. The researcher is using the normative law research method combined with field research and literature study. Output from this research shows that state assets that is sourced from corruption act are money, obligation, credit, valuable thing, and the other rights that can be valued with money. The ideal mechanism regarding asset recovery from corruption act is the unification between law instrument contained in UNCAC PBB 2003 and forfeiture in civil law instrument. This mechanism is based on the succeed of developed country such as United State of America and United Kingdom regarding asset recovery from corruption act. Furthermore, the ideal mechanism to management of asset recovery by doing management asset institution underneath ministry of finance."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S310
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Asrul Tenriaji Ahmad
"Korupsi adalah salah satu dari sekian banyak tantangan besar yang kita hadapi di zaman ini. Sebuah tantangan yang mau tidak mau harus dan dapat kita hadapi. Sejumlah peristiwa yang terjadi guna mencapai sebuah kodifikasi ketentuan hukum internasional yang mengikat anggotanya dalam perlawanan terhadap tindak pidana korupsi adalah perjuangan sangat berarti bagi negara-negara yang membutuhkan kodifikasi atas ketentuan tersebut. Ketentuan yang aplikatif tentu saja adalah sesuatu hal yang diharapkan. UNCAC adalah sebuah paradigma baru dalam kehidupan masyarakat dunia. UNCAC mengandung sejumlah ketentuan yang bertujuan untuk mencegah dan menanggulangi tindak pidana korupsi dengan pendekatan-pendekatan yang aktual dan implementatif. Penanganan kasus tindak pidana korupsi di Nigeria yang dilakukan oleh Jenderal Sani Abacha dan kaki tangannya merupakan sebuah leading case terkait penanggulangan tindak pidana korupsi secara transboundary.

Corruption is one of the many challenges in today's world we have to face. One that we have to face nevertheless. A number of occurrences that resulted to the codification of international law that binds its members towards the efforts of corruption eradication is a significant outcome for countries in need of the aforementioned stipulations. The goal is without doubt an applicable stipulation. UNCAC is a new paradigm in world society. UNCAC is instilled with regulations that are meant to prevent the crime of corruption with actual and contemplative approaches. The processing of General Sani Abacha's crime of corruption and his cronies in Nigeria is a leading case relating to trans-boundary judicial process of corruption."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T39394
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmat Sori S
"Penyelesaian perkara tindak pidana korupsi yang terdakwanya melarikan diri dan tidak diketahui keberadaanya sejak proses penyidikan, berdasarkan fakta empiris dapat dipastikan akan dilakukan dengan persidangan in absentia. Ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur tentang diperbolehkannya melakukan pemeriksaan persidangan serta memutus perkara tanpa kehadiran diri terdakwa. Namun, ketentuan ini dipahami oleh penyidik dan penuntut umum sebagai ketentuan yang juga memperbolehkan dilakukannya penyidikan dan penuntutan tanpa harus menemukan tersangka yang telah melarikan diri serta memeriksanya. Ketentuan ini pun dipandang berbeda oleh hakim yang memeriksa perkara, di mana ada hakim yang setuju untuk memeriksa dan memutus perkara yang tersangkanya tidak diperiksa selama tahap penyidikan, dan ada juga hakim yang menolak untuk memeriksa perkara tersebut. Dari hasil penelitian yang dilakukan dengan metode normatif yang menggunakan sumber data sekunder dan didukung oleh data primer berupa wawancara dapat disimpulkan bahwa perkara tindak pidana korupsi yang tersangkanya tidak pernah diperiksa selama penyidikan tidak dapat dilanjutkan ke tahap penuntutan dan tahap pemeriksaan di pengadilan.

Based on empirical fact, the settlement of corruption act, in which the defendant has fled and his existence has been unknown since the investigation process is conducted, can certainly be done in the trial in absentia. Provision of Law No. 31 of 1999 replaced by law No. 20 of 2001 on Eradication of Corruption Act regulates the permissibility in conducting hearings and decides the case in absentia. However, the provision is also understood by the investigators and prosecutors as the provision that allows an investigation and prosecution without having to find a suspect who has fled, and investigate him. This provision is viewed differently by judges who examine cases in which there are judges who agree to examine and decide the case where the suspects are not checked during the investigation stage, and there are also the judges who refuse to examine the case. The result of research conducted by the normative method that used secondary data sources and supported by primary data in the form of interviews could be concluded that corruption crimes in which the suspect was never examined during the investigation could not be proceeded to the prosecution stage and the stage of investigation in court."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28575
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>