Ditemukan 129858 dokumen yang sesuai dengan query
Yuramanti
"Ditengah maraknya aset digital sebagai sosial media dan alat komoditi seperti cryptocurrency, bitcoin dan NFT (Non-Fungible Token) terdapat potensi aset digital sebagai objek jaminan utang. Kebendaan digital dapat berupa kebendaan atau kekayaan dalam media sosial, akun-akun terkait keuangan yang dilakukan secara daring, akun-akun terkait bisnis, alamat internet atau situs web, dan kebendaan virtual. Jenis penelitian yang dilakukan adalah yuridis normatif. Penelitian ini menganalisa permasalahan terkait keabsahan aset digital sebagai objek jaminan utang di Indonesia dengan mengetahui bagaimana sifat hukum aset digital dalam hukum kebendaan di Indonesia dan bagaimana penerapan aset digital dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2022 serta keabsahan aset digital secara keseluruhan sebagai objek jaminan utang di Indonesia. Teknik analisis menggunakan metode kualitatif. Wawancara kepada perbankan juga dilakukan dalam penelitian ini. Tidak semua aset digital dikategorikan aset HKI dan dapat dilakukan skema pendanaan berdasarkan PP Nomor 24 tahun 2022, hanya aset digital yang memiliki perlindungan hak cipta yang dapat menerimanya. Penerapan peraturan tersebut dalam perbankan memiliki kendala pada valuasi, nilai tambah, secondary market, dan appraisal aset digital dalam market. KUHPerdata memuat aturan yang mengatur tentang jaminan secara umum yaitu Pasal 1131 dan 1132 yang juga berlaku untuk aset digital secara keseluruhan. Jaminan khusus keabsahannya bergantung pada bentuk jaminan. Di indonesia yang paling tepat untuk jaminan aset digital adalah fidusia karena karekteristiknya dan waktu lahirnya perikatan sudah bisa dipastikan. Sejumlah perbandingan aset digital sebagai jaminan di negara lain juga dijadikan referensi, seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Jepang.
In the midst of digital assets rising as social media and commodity tools such as cryptocurrencies, bitcoin and NFT (Non-Fungible Tokens), there is some potential for digital assets to be used as collateral for debt. Digital assets can be goods or assets on social media, financial-related accounts conducted online, business-related accounts, internet addresses or websites, and virtual assets. This type of research is normative juridical. This study analyzes issues related to the legality of digital assets as objects of debt guarantees in Indonesia by knowing the legal nature of digital assets in material law in Indonesia and how digital assets are implemented in Government Regulation Number 24 of 2022 and the validity of digital assets as a whole as objects of debt guarantees in Indonesia. The analysis technique uses a qualitative method. Interviews to several banks were also conducted in this study. Not all of digital assets are categorized as Intellectual Property Right (IPR) assets can be carried out the funding scheme based on PP Number 24 of 2022, only digital assets that have copyright protection can receive them. The application of these regulations in banking has problems with valuation, added value, secondary market, and digital asset appraisal in the market. The Civil Code contains rules governing guarantees in general, namely Articles 1131 and 1132 which also apply to digital assets as a whole. The specific guarantee of validity depends on the form of the guarantee. In Indonesia, the most appropriate for digital asset collateral is a fiduciary because its characteristics and the time when the engagement was born can be ascertained. A number of comparisons of digital assets as collateral in other countries are also used as references, such as the United States, United Kingdom and Japan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Bari Rizqullah
"Penelitian membahas keberlakuan aset kripto sebagai objek jaminan. Sebagai sebuah objek yang memiliki nilai menimbulkan pertanyaan apakah aset kripto dapat dijaminkan. Untuk mengetahui hal tersebut, maka perlu diketahui kedudukan aset kripto sebagai benda menurut hukum kebendaan Indonesia serta pengaturan hukum jaminan Indonesia dan juga perbandingannya dengan Amerika Serikat, penelitian juga dilakukan untuk mengetahui lembaga jaminan yang ideal serta mekanismenya. Penelitian dilakukan menggunakan metode yuridis-normatif dengan pendekatan perundang-undangan. Diketahui bahwa menurut teori seperti teori virtual property dan hukum kebendaan Indonesia bahwa aset kripto merupakan benda. Diketahui bahwa aset kripto dapat dijadikan sebagai objek jaminan di Indonesia walaupun terdapat beberapa kekurangan dan kelemahan, begitupula dengan di Amerika Serikat. Melalui perbandingan, terdapat satu hal yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan demi kemajuan hukum jaminan di Indonesia, yakni pengaturan secara tegas bahwa terdapat benda tidak berwujud selain hak dan piutang yang dinamakan general intangibles layaknya di Amerika Serikat. Gadai dianggap sebagai lembaga jaminan paling ideal untuk aset kripto berdasarkan teori Subekti. Mekanisme dan eksekusi gadai aset kripto ini dapat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan gadai pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) dengan sedikit penambahan mekanisme merujuk pada praktik dan mekanisme yang ada seperti smart contract.
Analysis will analyze crypto assets as a collateral. As an asset with high value, it is questionable whether crypto asset can be collateralized. To answer this question, first we need to know whether crypto asset is a property or not according to the Indonesian property law, as well as Indonesian law about security and its comparison to the United States of America (USA), this analysis will also try to find the most ideal security and its mechanism. Analysis will use juridical-normative method with statute approach. Result shows that crypto asset is a property according to theories like virtual property and Indonesian property law. Crypto asset can also be collateralized according to Indonesian and USA law, although there are some weaknesses and inadequacies. From comparison, there is one point that can be useful for the improvement of Indonesian security law, that is a firm regulation about intangible property that is not a debt nor a right named as general intangibles like in the USA. Gadai is the most ideal security in Indonesia to be imposed upon crypto asset. Mechanism and execution can be carried out according to Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) with some additional mechanism according to practice such as smart contract."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Nicolas Mario Gunawan
"Perkembangan keberadaan digitalisasi di era globalisasi memunculkan adanya keperluan untuk mengadakan penyesuaian pada hukum yang berlaku di masyarakat dalam relasinya dengan permasalahan yang dapat muncul dari perkembangan tersebut. Perkembangan yang dapat dikatakan besar terjadi dapat terlihat dalam hukum kebendaan, yang harus menghadapi berbagai benda yang muncul oleh karena perkembangan tersebut. Dalam kebendaan tersebut, terdapat suatu benda yang dapat dikatakan unik, yakni akun. Keunikan tersebut muncul pada saat suatu akun tersebut ingin diwariskan, di mana muncul sebuah konflik kepentingan di antara ahli waris dan pihak penyelenggara jasa. Konflik tersebut terjadi oleh karena pihak ahli waris berkeinginan untuk mendapatkan haknya, sedangkan pihak penyedia jasa ingin menghormati perjanjian privasi yang sudah disetujui antara pihak penyedia jasa dengan pewaris. Penelitian ini telah membahas dua pertanyaan penelitian: Pertama, mengenai kedudukan dari kebendaan digital berbentuk akun tersebut di Indonesia dalam kaitannya dalam pewarisan. Kedua, mengenai mekanisme pewarisan pada akun yang dilaksanakan di negara lain dan penerapannya di Indonesia. Penelitian ini memperlihatkan bahwa dalam halnya pewarisan dari berbagai benda digital, terutama yang terkait dengan suatu akun, terdapat kurangnya kesadaran akan kebutuhan untuk menjalankan suatu tindakan agar suatu akun tersebut dapat diwariskan. Oleh karena itu, dalam rangka agar pewarisan akun digital dapat dilaksanakan, seyogyanya pemerintah mensosialisasikan agar masyarakat dapat menyadari pentingnya keberadaan persiapan untuk dapat dilaksanakan pewarisan dalam suatu akun.
The rise of digital growth in this era of globalization has shown the need for adjustments in existing law in society, in relations to problems that may arise from said digital growth. One growth that can be said to have happened rampantly can be seen in the law of property, which has to face a lot of new additions that came due to digital growth. Within said property, there is an item that are of interests due to the uniqueness of it, which is an account. Such uniqueness comes from the conflict that arises when said property is about to be inherited, in which there is a conflict of interests between the need to be inherited by the inheritor and the need for privacy by the agreement done by the deceased and the service provider. This research discussed two questions, which is on the legality of property status of an account in case of an inheritance, and on the technicality on inheriting aforementioned account that is applied on other countries and the usage of said technicality in Indonesia. This research shows that in inheritance of digital property, especially on account, there is a lack of awareness on the need of preparation to setup an account to be inherited easily. For the reasons stated below, the governing bodies is expected to socialize about digital inheritance so that the people can understand and prepare their account better to be inherited."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Dewi Analis Indriyani
"Pengembangan kekayaan intelektual di Indonesia tidak akan maju jika tidak didukung dengan regulasi, pasar transaksi, serta pembiayaan/pendanaan bagi perusahaan-perusahaan yang memiliki aset kekayaan intelektual yang produktif. Penelitian ini berusaha melihat pengaturan kekayaan intelektual sebagai objek jaminan fidusia pada lembaga perbankan dan prinsip-prinsip valuasi yang diterapkan dalam menilai kekayaan intelektual. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif-empiris yang dianalisis secara kualitatif, dengan pengumpulan data melalui metode wawancara mendalam serta dokumen-dokumen resmi yang relevan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lembaga keuangan perbankan telah melaksanakan praktik transaksi jaminan fidusia dengan objek jaminan kekayaan intelektual sejak tahun 2017 dan update total transaksi tersebut pada mei tahun 2022 sebanyak 148 jaminan fidusia dengan objek kekayaan intelektual, sekalipun belum terdapat regulasi khusus/aturan pelaksana yang mengatur terkait aset kekayaan intelektual sebagai objek jaminan fidusia. Kemudian terkait dengan prinsip-prinsip valuasi dalam menilai aset kekayaan intelektual, setidak-tidaknya mempunyai empat prinsip, pertama, premis nilai; kedua, definisi properti; ketiga, nilai pasar, dan yang keempat metode valuasi.
Intellectual property development in Indonesia will not advance if it is not supported by regulations, transaction markets, and financing/funding for companies that have productive intellectual property assets. This study seeks to see intellectual property regulation as an object of fiduciary guarantees in banking institutions and the valuation principles applied in assessing intellectual property. This research is normative-empirical legal research that is analyzed qualitatively, with data collection through in-depth interview methods and relevant official documents. The results showed that banking financial institutions have carried out the practice of fiduciary guarantee transactions with intellectual property guarantee objects since 2017 and the total update of these transactions in May 2022 was 148 fiduciary guarantees with intellectual property objects, although there were no special regulations / implementing rules governing intellectual property assets as objects of fiduciary guarantees. Then related to the principles of valuationĀ in assessing intellectual property assets, at least it has four principles, first, the premise of value; second, the definition of property; third, the market value, and the fourth is the valuation method."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Sylfani Lauren
"This thesis analyzes the comparative law on the inheritance of digital assets between Indonesia and Singapore, specifically focusing on bitcoin as an object of inheritance. Inheritance is a legal aspect that governs the transfer of property from a deceased person to their heirs. In the context of bitcoin and other digital assets, there are no specific regulations regarding the actions to be taken concerning digital assets in inheritance law. Using doctrinal research methods, the issues addressed in this thesis focus on the inheritance regulations in Indonesia and Singapore, and the legal regulations regarding bitcoin as an object of inheritance in both countries. This thesis finds that the inheritance of bitcoin can be carried out through the necessary documentation and a will to transfer its ownership. In practice, if the testator consciously intends to inherit the asset, they will provide access to the username and password to access their bitcoin through a will. Nevertheless, if the heirs do not know the access details for the testator's bitcoin storage, serious issues will arise concerning the inheritance of access to these assets. Additionally, the fluctuating value of bitcoin can change rapidly, adding uncertainty to the actual value of the bitcoin. To date, there are no adequate legal regulations governing the status of bitcoin and other digital assets as objects of inheritance. Therefore, specific regulations regarding the inheritance of digital assets, particularly bitcoin, are needed in Indonesia to provide legal protection for heirs.
Skripsi ini menganalisis perbandingan hukum mengenai pewarisan aset digital antara Indonesia dan Singapura, khususnya terhadap bitcoin sebagai objek harta waris. Pewarisan merupakan aspek hukum yang mengatur pemindahan harta benda dari seseorang yang telah meninggal kepada ahli warisnya. Dalam konteks bitcoin dan aset digital lainnya, belum ada aturan khusus mengenai tindakan yang harus dilalukan terhadap aset digital dalam hukum waris. Dengan metode penelitian doktrinal, rumusan masalah dalam penelitian ini berfokus pada pengaturan pewarisan di Indonesia dan Singapura, dan peraturan hukum aset digital bitcoin sebagai objek harta waris di Indonesia dan Singapura. Penelitian ini menemukan bahwa pewarisan bitcoin dapat dilakukan melalui dokumen persyaratan dan surat wasiat untuk mengalihkan kepemilikannya. Dalam praktiknya, jika pewaris memberikan warisan secara sadar, pewaris akan memberikan akses terhadap username dan password untuk mengakses bitcoin yang dimilikinya melalui surat wasiat. Namun, jika ahli waris tidak mengetahui akses penyimpanan bitcoin milik pewaris, maka akan timbul masalah serius terkait pewarisan akses untuk membuka aset tersebut. Selain itu, nilai bitcoin yang fluktuatif dapat berubah dengan cepat, menambah ketidakpastian mengenai nilai sesungguhnya dari bitcoin. Hingga saat ini belum ada peraturan hukum yang memadai yang mengatur keberadaan bitcoin serta aset digital lainnya sebagai objek harta waris. Oleh karena itu dibutuhkan pengaturan khusus mengenai pewarisan aset digital, khususnya bitcoin di Indonesia, untuk memberikan perlindungan hukum terhadap ahli waris."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Hutabarat, Nathania Earlene Rosaria BR.
"Notaris sebagai pejabat publik berwenang membuat akta autentik yang menjadi alat bukti hukum. Notaris memiliki peran dan tanggungjawab yang besar untuk memberi nasihat hukum yang dilakukan sebelum pembuatan akta, terutama dalam konteks pemindahan hak atas tanah yang menggunakan akta kuasa menjual yang harus memenuhi unsur sebab yang halal. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum doktrinal berdasarkan data sekunder yang diperoleh dari hasil penelitian kepustakaan dan bahan hukum primer. Kasus dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 680 K/Pdt/2020 mengenai peralihan hak yang dilakukan melalui Surat Kuasa Menjual. Dalam putusan, cenderung melindungi pembeli yang telah memenuhi prosedur yang sah meskipun ditemukan cacat hukum dalam objek jual beli yang diakibatkan perbuatan hukum para pihak. Dalam hal ini pembeli sebagai korban karena membeli tanah yang sebelumnya terjadi peralihan tanpa dasar hukum yang sah dengan Kuasa Menjual Mutlak. Asas itikad baik sebagai penilai suatu perbuatan hukum para pihak dalam jual beli tanah berantai melalui kuasa jual sebagai jaminan utang dan ketidakpatuhan terhadap itikad baik dapat mengakibatkan perjanjian batal atau dapat dibatalkan. PPAT dalam melindungi pembeli, perlu diperkuat. Keabsahan dan tanggung jawab para pihak dalam jual beli tanah berantai melalui kuasa jual berdasarkan asas itikad baik dibebankan kepada: AY, yang melakukan penipuan dan penyalahgunaan surat kuasa. Notaris IK, yang pertama kali mengesahkan surat kuasa jual yang cacat.Notaris IS, yang tidak cermat dalam tugasnya. Pembeli terakhir, MD dan ER, dianggap beritikad baik karena tidak mengetahui cacat hukum dalam transaksi tersebut. Akta jual beli tetap sah menurut Permen ATR/KaBPN No. 21 Tahun 2020, dan keputusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap tidak dapat dibatalkan.
A notary, as a public official, is authorized to create authentic deeds that serve as legal evidence. Notaries have a significant role and responsibility to provide legal advice prior to the creation of a deed, particularly in the context of land rights transfers using a power of attorney for sale, which must meet the requirement of a lawful cause. This research employs a doctrinal legal research method based on secondary data obtained from literature review and primary legal sources. The case in the Supreme Court Decision Number 680 K/Pdt/2020 concerns a transfer of rights carried out through a Power of Attorney for Sale. The decision tends to protect the buyer who has followed the correct procedures, even though there were legal defects in the object of the sale caused by the actions of the parties involved. In this case, the buyer is considered a victim because they purchased land that had previously undergone a transfer without a valid legal basis, using an Irrevocable Power of Attorney for Sale. The principle of good faith is used to evaluate the legal actions of the parties in the sale and purchase of land through a power of attorney as collateral for debt, and non-compliance with good faith can result in the contract being void or cancellable. The role of the Land Deed Official (PPAT) in protecting the buyer needs to be strengthened. The validity and responsibility of the parties in the sale and purchase of land through a power of attorney based on the principle of good faith are assigned to: AY, who committed fraud and misused the power of attorney; Notary IK, who first notarized the defective power of attorney; and Notary IS, who was negligent in performing their duties. The last buyer, MD and ER, are considered to have acted in good faith since they were unaware of the legal defect in the transaction. The sale and purchase deed remains valid according to the ATR/KaBPN Regulation No. 21 of 2020, and a final and binding court decision cannot be annulled."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Tazkya Putri Amelia
"Kapal laut dapat dijadikan sebagai objek jaminan guna menjamin pelunasan suatu utang. Lembaga jaminan atas kapal laut adalah hipotik. Namun hanya kapal yang terdaftar dalam suatu register umum sajalah yang dapat dijadikan jaminan utang. Hipotik kapal laut juga dikenal di negara yang menganut sistem hukum common law, salah satu diantaranya adalah Singapura. Tesis ini membahas mengenai proses penjaminan kapal laut menurut hukum Indonesia dan Singapura serta persamaan dan perbedaan ketentuan kapal laut sebagai objek jaminan utang di Indonesia dan di Singapura. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis-normatif dengan tipologi penelitian komparatif serta deskriptif. Selain itu dalam penelitian ini, Penulis menggunakan metode analisis kualitatif.
Hasil penelitian ini membahas mengenai proses penjaminan kapal laut di Indonesia dan di Singapura yang samasama terdiri dari 3 tahap yaitu tahap perjanjian kredit, tahap perjanjian pembebanan hipotik kapal laut dan tahap pendaftaran hipotik kapal laut. Selain itu terdapat persamaan dan perbedaan ketentuan hipotik kapal laut di Indonesia dan Singapura. Persamaan ketentuan hipotik kapal laut di Indonesia dan Singapura antara lain baik di Indonesia maupun di Singapura belum Undang-Undang Hipotik Kapal, hipotik kapal laut di Indonesia dan Singapura hanya dapat dibebankan atas kapal yang terdaftar, hipotik kapal laut harus didaftarkan dalam suatu register umum, kapal laut dapat dibebani lebih dari satu hipotik dan lain-lain. Sedangkan perbedaannya antara lain di singapura vessel mortgage terdiri dari 2 bentuk yaitu securing principle sum and interest dan securing current account, syarat pembebanan vessel mortgage di Singapura adalah kapal tersebut harus berusia kurang dari 17 tahun dan kapal tersebut harus berukuran minimal 1,600 Gross Tonnage dan Singapura memiliki pengadilan khusus di bidang admiral yaitu High Court (Admiral Jurisdiction).
A vessel may be made as a collateral security for loan and the instrument creating the security over the vessel is a mortgage. Only registered vessel that can be made as an object of a mortgage. Vessel mortgage also known in common law legal system countries, such as Singapore. This research is discuss about the procedural of vessel mortgage in Indonesia and Singapore and also find out the similarities and differences among two of them. This research is using a juridicalnormative method as the research method with comparative and also descriptive research typology. The method of data analysis in this research is using qualitative approach. The result of this research showed that both in Indonesia and Singapore, the process of vessel mortgage are consist of 3 steps which are the loan agreement, the collateral agreement and the registration of the vessel mortgage. Moreover, there are similarities between the provision regarding vessel mortgage in Indonesia and Singapore which are both in Indonesia and Singapore, there is no regulation that specifically regulates vessel mortgage, only registered vessel that can be made as an object of a mortgage under Indonesia and Singapore regulation, vessel mortgage shall be recorded by the Registrar in the register and the rest will be discussed in this reseach. Whereas the differences between the provision regarding vessel mortgage in Indonesia and Singapore among others are as follow, in Singapore vessel mortgage is divided by 2 forms which are Securing Principle Sum and Interest form and Securing Current Account form, in Singapore there are requirements regarding the vessel that can be made as an object of the mortgage, such as, the vessels should be less than 17 years old and the vessel must be a minimum size of 1,600 Gross Tonnage, furthermore, Singapore has a special court in the admiral field which is High Court (Admiral Jurisdiction)."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T49255
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Azia Rania
"Kapal merupakan salah satu objek dari benda yang dapat dijaminkan untuk kepentingan hak Kreditur. Konsep jaminan kebendaan atas kapal laut di setiap negara dapat berbeda, karena pada dasarnya mekanisme pembebanan hingga eksekusi tergantung dari klasifikasi benda tersebut. Di Indonesia, kapal laut dibebankan dengan hipotek sebagai benda tidak bergerak, sedangkan di Amerika Serikat kapal laut diklasifikasikan sebagai personal property yang dibebankan dengan security interest. Kapal laut yang dibebankan tentunya harus terdaftar sebagai kapal laut berkebangsaan negara tersebut dan memiliki kriteria tertentu yang harus dipenuhi. Skripsi ini membahas mengenai kapal laut yang merupakan objek dari jaminan utang-piutang di Indonesia dan Amerika Serikat yang tentunya memiliki proses penjaminan yang berbeda. Bentuk penelitian ini ialah doktrinal dengan mengkaji norma hukum positif diantaranya perundang-undangan, peraturan pelaksana, dan yurisprudensi dan tipologi penelitian komparatif serta deskriptif. Hasil dari penelitian ini akan membandingkan proses penjaminan dari tahap pembebanan dengan membentuk perjanjian utang-piutang, pendaftaran jaminan, penyerahan objek jaminan, hingga mekanisme eksekusi yang diatur dalam masing-masing negara.
Ship is one of the objects that can be pledged for the benefit of Creditor rights. The concept of property security over ships in each country can be different, because basically the mechanism of encumbrance to execution depends on the classification of the object. In Indonesia, ships are charged with mortgages as immovable objects, while in the United States ships are classified as personal property charged with security interest. An encumbered vessel must be registered as a vessel of that country's nationality and have certain criteria that must be met. This thesis discusses marine vessels which are the object of debt collateral in Indonesia and the United States which of course have different guarantee processes. The form of this research is doctrinal by examining positive legal norms including legislation, implementing regulations, and jurisprudence and comparative and descriptive research typology. The results of this study will compare the guarantee process from the encumbrance stage by forming a debt agreement, guarantee registration, delivery of the guarantee object, to the execution mechanism regulated in each country."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Shafa Andien Hanifa
"Penetapan PP No. 24 Tahun 2022 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 24 Tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif memuat ketentuan mengenai skema pembiayaan berbasis kekayaan intelektual yang memberikan sarana baru bagi pelaku ekonomi kreatif untuk menjaminkan kekayaan intelektual serta mendapatkan pembiayaan. Akan tetapi, dalam UU No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis tidak diatur mengenai bentuk penjaminan merek. Namun, penetapan PP No. 20 Tahun 2022 masih sangat baru maka penulis mengkritisi dan menganalisis pengaturan terkait penjaminan merek sebagai objek jaminan utang untuk memperoleh pembiayaan dengan membandingkan pengaturan dan penerapannya di Amerika Serikat. Metode penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah yuridis-normatif, dan menggunakan bahan-bahan kepustakaan seperti bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yaitu PP No. 24 Tahun 2022, UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, dan Article 9 Uniform Commercial code kemudian menganalisis kelebihan dan kekurangan serta memberikan rekomendasi terkait implementasi pengaturannya. Hasil dari penelitian oleh penulis adalah merek sebagai jaminan utang dapat dibebankan atas jaminan fidusia dan implementasi harus memerhatikan penilaian kekayaan intelektual sebagai jaminan.
The stipulation of PP No. 24 of 2022 concerning the Implementation Regulations of Law No. 24 of 2019 concerning the Creative Economy contains provisions regarding intellectual property-based financing schemes that provide new means for creative economy actors to pledge intellectual property and obtain financing. However, Law No. 20/2016 on Trademarks and Geographical Indications does not regulate the form of brand collateral. Nevertheless, the stipulation of Government Regulation No. 20 of 2022 is still very new, hence the author criticizes and analyzes the regulation related to brand collateral as an object of debt collateral to obtain financing by comparing the regulation and its application in the United States. The research method in writing this thesis is juridical-normative, and uses library materials such as primary, secondary, and tertiary legal materials, namely PP No. 24 of 2022, Law No. 42 of 1999 concerning Fiduciary Guarantees, and Article 9 of the Uniform Commercial code then analyzes the advantages and disadvantages and provides recommendations regarding the implementation of its arrangements. The result of the research by the author is that the trademark as debt collateral can be imposed on fiduciary guarantees and the implementation must pay attention to the valuation of intellectual property as collateral."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Annisa Lintang Jantera
"Dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2022 tentang peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif, Hak Kekayaan Intelektual sebagai suatu kekayaan yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia dapat digunakan sebagai objek jaminan pembayaran utang dalam skema pembiayaan berbasis kekayaan intelektual di Indonesia. Berbeda dengan Hak Cipta, Merek sebagai salah satu hak kekayaan intelektual yang dapat dijadikan suatu jaminan belum diatur dalam peraturan perundang-undangan mana pun, khususnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Hal yang menjadi pokok pembahasan dalam penelitian ini adalah praktiknya penjaminan suatu Merek dalam skema pembiayaan berbasis kekayaan intelektual pada lembaga keuangan nonbank. Dalam Penelitian ini, Metode penelitian yang digunakan untuk mengkaji isu tersebut adalah yuridis normatif dengan menelaah dan dan menganalisis bahan pustaka, dokumen dan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan substansi penelitian dan empiris dengan melakukan penelitian lapangan melalui wawancara dengan beberapa lembaga keuangan nonbank. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini digunakan sebagai pengetahuan konsep dan acuan referensi atas penjaminan suatu Merek sebagai objek jaminan pembayaran utang dalam skema pembiayaan berbasis kekayaan intelektual pada lembaga keuangan nonbank di Indonesia. Dalam implementasinya Merek sebagai benda bergerak tidak berwujud secara teori telah dapat dijadikan objek jaminan dalam skema pembiayaan berbasis kekayaan intelektual pada lembaga keuangan nonbank dengan Jaminan Fidusia. Namun pada praktiknya, skema pembiayaan tersebut masih belum dapat diterapkan dikarenakan belum adanya acuan untuk menilai suatu Merek yang akan dijaminkan serta pula karena belum adanya peraturan pelaksanaan yang mengatur secara terperinci terkait objek jaminan kekayaan intelektual. Sehingga jika diterapkan, dapat berpotensi menimbulkan resiko kerugian kepada lembaga keuangan nonbank terkait.
With the issuance of Government Regulation Number 24 of 2022 concerning implementing regulations of Law Number 24 of 2019 concerning the Creative Economy, Intellectual Property Rights as a property arising or born due to human intellectual abilities can be used as collateral for debt repayment in intellectual property-based financing schemes in Indonesia. In contrast to Copyrights, Marks as one of the intellectual property rights that can be used as collateral have not been regulated in any laws and regulations, particularly Law Number 20 of 2016 concerning Marks and Geographical Indications. The subject matter of the discussion in this study is how the practice of guaranteeing a Mark in an intellectual property-based financing scheme at a non-bank financial institution. In this study, the research method used to examine these issues is normative juridical by examining and analyzing literature, documents and laws and regulations related to the substance of the research and empirical by conducting field research through interviews with several non-bank financial institutions. The results obtained from this study are used as conceptual knowledge and references for guaranteeing a Mark as an object of collateral for debt repayment in intellectual property-based financing schemes at non-bank financial institutions in Indonesia. The conclusion of this research is that in its implementation, marks as intangible movable objects can theoretically be used as collateral objects in intellectual property-based financing schemes in non-bank financial institutions with Fiduciary Guarantees. However, in practice, this financing scheme cannot yet be implemented due to the absence of a reference for assessing a Mark to be pledged as collateral and also because there are no implementing regulations that regulate in detail regarding the object of intellectual property guarantees. So that if implemented, it could potentially pose a risk of loss to the related non-bank financial institution."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library