Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 134249 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aulia Faradila
"Sebagaiman dipahami dalam teori pemidanaan, bahwa idelanya pembinaan
terhadap anak yang berhadapan dengan hukum memerlukan perlakuan khusus sesuai
dengan tingkat perkembangan anak serta tingkat pelanggaran hukum yang
dilakukannya sehingga dalam proses pembinaannya harus dipisahkan dengan orang
dewasa agar tidak terjadi “pencemaran” pembinaan yang membahayakan masa depan
anak. Di Indonesia karena adanya alasan klise yaitu negara masih belum amapu
membangun lembaga pemasyarakatan khusus anak, maka proses penggabungan
pembinaan tidak bisa dihindarkan. Pembinaan anak didik pemasyarakatan di lembaga
pemasyarakatan dewasa dapat dikategorikan merupakan pembinaan gabungan. Meski
anak-anak dipisahkan bloknya dengan narapidana dewasa, namun dalam
kenyataannya tidak ada program pembinaan khusus yang ditujukan kepada anak,
tidak ada pedoman yuridis yang menjadi rambu-raambu yantg harus dilakukan oleh
para kepala lembaga pemasyarakatan dan para petugas dalam proses pembinaan anak
didik pemasyarakatan. Anak didik pemasyarakatan acap kali bertemu dan disatukan
dengan narapidana dewasa dalam proses pembinaan, anak didik pemasyarakatan
kerap kali harus mendapatkan ancaman, intimidasi, dan contoh buruk dari narapidana
dewasa. Situasi-situasi ini menyebabkan pembinaan anak didik pemasyarakatan di
lembaga pemasyarakatan dewasa telah mencapai pada tahap kronis dan
membahayakan masa depan anak. Penelitian ini menggunakan metode normatif aitu
mengkaji sumber data sekunder yang terdiri dari peraturan-peraturan yang terkait
dengan anak yang berhadapan dengan hukum, tentang lembaga pemasyarakatan serta
penelitian-penelitian sebelumnya. Selain itu peneliti juga melakukan penelitian
hukum empiris dengan melakukan wawancara dengan staff Kanwil Hukum dan Hak
Asasi Manusia Provinsi DIY, Kepala Lembaga Pemasyarkatan kelas II B Sleman,
Yogyakarta seta Kasubsi Registrasi dan Bimkemas. Dari penelitian ini peneliti
merekomendasikan: sebelum dilakukan pemisahan pembinaan maka perlu disusun
kebijakan dari kementerian Hukum dan HAM tentang pola pembinaan anak didik
pemasyarakatan di lembaga pemasyarakatan dewasa dengan mempertimbangkan
adanya penataan ruang khusus bagi anak yang benar-benar terpisah dengan
narapidana dewasa, penataan bangunan blok yang memperhatikan estetika dan ramah
anak, adanya petugas dan psikolog / koselor anak, membuat program-program yang
khusus untuk anak yang terpisah dengan narapidana dewasa serta memastikan anak
tidak mendapatkan perlakuan negatif dari narapidana dewasa

This research describes about punishment the child prisoners in correction
institution class II B Sleman, Yogyakarta, which aims to determine child prisoners
development combined with adult prisoners coaching process, the obstacles
encountered when coaching is done and the implications of this development for
mental development and psychological child. As understood in the theory of
punishment, that ideally guidance to children in conflict with the law is different from child prisoners punishment process. Children in conflict with the law requiring special treatment in accordance with the child's developmental level and the level of violation of the law it does so in its development process should be separated from adults, to avoid "contamination " that jeopardize the future development of the child .
In Indonesia because of the cliche that the State has not been able to build
special prisons child, then the process of combining punishment unavoidable. Child
prisoners in adult correctional institutions can be categorized a combined punishment.
Although the blocks separated children with adult prisoners, but in reality there is no specific training programs aimed at children, there are no guidelines juridical be signs that must be made by the head of the penitentiary and officials in the correctional process of child prisoners. They often meet and together with adult prisoners in the process of punishment, child prisoners must obtain a correctional often all threats, intimidation, and bad examples from adult prisoners. These situations lead to punish child prisoners within prisons has reached the chronic stage and jeopardize the future of the child.
This research used a method that examines the normative law of secondary
data sources consisting of rules relating to children in conflict with the law, about the correctional institution as well as previous studies. In addition, researchers also conduct empirical legal research by conducting interviews with staff offices and human rights law Yogyakarta Province, Chief Correctional Institution Class II, Sleman, Yogyakarta and Kasubsi Registration and Bimkemas .
From this study, the researcher recommends: prior to the separation of
punishment will need to establish a policy of the ministry of law and human rights on the pattern formation protege adult prisons within child prisoners to consider if a particular spatial arrangement for the child who is completely separate with adult prisoners, arrangement of room blocks attention to aesthetics and child, the presence of officers and psychologists /counselors child, making special programs for separated children with adult prisoners and make sure children do not get the negative treatment of adult prisoners.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Astri Dian Purnamasari
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk melihat peranan pengalaman buruk masa kecil terhadap sugestibilitas. Pengalaman buruk masa kecil dihitung menggunakan alat ukur Adverse Childhood Experience International Questionnaire (ACE-IQ). Terdiri dari 30 pertanyaan mengenai 13 kategori pengalaman buruk yang dialami pada 18 tahun awal kehidupan. Tingkat sugestibilitas diukur menggunakan alat ukur Gudjonsson Suggestibility Scale (GSS). Terdiri dari 20 pertanyaan terkait dengan narasi cerita yang dibacakan untuk melihat skor yield dan shift. Partisipan penelitian ini merupakan warga binaan dewasa lembaga permasyarakatan. Responden terdiri dari 100 orang yang terseleksi menjadi 87 orang. Pengukuran dilakukan menggunakan linear regression menunjukkan nilai R2 sebesar 0,22 dengan signifikansi sebesar 0,08 pada los ≥0,05 untuk peranan keseluruhan pengalaman buruk masa kecil terhadap tingkat sugestibilitas. Terdapat hubungan sebesar 0,34 dengan signifikansi sebesar 0,03 pada los ≥0,05 untuk peranan kategori kekerasan komunitas terhadap tingkat sugestibilitas. Dapat disimpulkan bahwa keseluruhan pengalaman buruk masa kecil tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap tingkat sugestibilitas, namun kategori kekerasan komunitas memiliki peran yang signifikan terhadap tingkat sugestibilitas

ABSTRACT
This study aim to see the roles of adverse childhood experience towards suggestibility. Adverse childhood experience measured by Adverse Childhood Experience Internationa Questionnaire (ACE-IQ). ACE-IQ consists of 30 questions about 13 categories of adverse experience that happened in 18 years of early life. Suggestibility is measured by Gudjonsson Suggestibility Scale (GSS).GSS of 20 questions about a narrative story that used to see yield and shift scores. Participants of this study are adult prisoner. There are 100 respondent, then it becomes 87 after selections. Measurement with linear regression shows R2 value of 0,22 with 0,08 at los ≥0,05 in roles of all adverse childhood experience towards suggestibility. There is a correlation worth of 0,34 with 0,03 at los ≥0,05 in roles of community violence towards suggestibility. It concludes that there is no significance roles of adverse childhood experience towards levels of suggestibility, but there is a significance roles from community violence category towards levels of suggestibility"
2016
S65662
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zhara Juliane
"Depresi adalah gangguan mental umum yang ditandai dengan kesedihan yang berlangsung lama, hilangnya minat pada aktivitas yang biasa dinikmati, dan disertai dengan ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari, setidaknya selama dua minggu. Narapidana wanita merupakan kelompok yang beresiko terhadap depresi dimana kejadian depresi pada narapidana lebih rentan dialami oleh narapidana wanita dibandingkan laki-laki. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat depresi pada narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas II A Jakarta. Desain penelitian yang digunakan yaitu cross-sectionaldengan analisis multivariat regresi logistik ganda. Penelitian ini melibatkan jumlah sampel sebesar 200 narapidana yang diambil menggunakan teknik random sampling.Hasil penelitian menunjukan bahwa prevalensi kejadian depresi pada narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas II A Jakarta sebesar 56,5%. Berdasarkan hasil analisis multivariat dapat diketahui faktor yang berhubungan signifikan dengan tingkat depresi adalah usia (p-value=0,012; POR=2,144; 95% CI=1,185 – 3,879) dan status residivis (p-value=0,043; POR=3,926; 95% CI=1,047 –14,729) dimana faktor yang berpengaruh paling besar terhadap kejadian depresi adalah status residivis. Perlu adanya perhatian dari pemerintah terhadap kesehatan jiwa narapidana dengan melakukan berbagai program dan pelayanan kesehatan jiwa seperti skrining regular dan program rehabilitasi.

Depression is a common mental disorder, characterized by persistent sadness and a loss of interest in activities that you normally enjoy, accompanied by an inability to carry out daily activities, for at least two weeks. Female prisoners represent groups at risk of depression where depression in prisoners is more vulnerable to female prisoners than men. This study aims to determine the factors associated with depression among prisoners in Women’s Class II A Prison Jakarta. The study design used was cross-sectional with multivariate analysis, multiple logistic regression. The number of research samples is 200 prisoners taken using random sampling techniques. The results showed that the prevalence of depression among prisoners in Women’s Class II A Prison Jakarta is 56,5%. Based on the results of the multivariate analysis, it can be seen that factors related significantly to depression are age (p-value = 0.012; POR = 2.144; 95% CI = 1.185 - 3.879) and recidivism status (p-value = 0.043; POR = 3.926; 95% CI = 1,047 –14,729) which the most influential factor on the incidence of depression is recidivism status. Government attention needs to be given to the mental health of prisoners by conducting various mental health programs and services such as regular screening and rehabilitation programs."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhtar
"Fokus penelitian ini adalah bagaimana implementasi kebijakan pembebasan bersyarat bagi narapidana sebagai upaya mengurangi dampak negatif kepadatan atau kelebihan penghuni di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Cipinang. Kebijakan ini merupakan kebijakan pembinaan narapidana dalam konsep re-integrasi sosial yang paling baik dalam membebaskan narapidana. Namun pada kenyataannya beberapa orang berpendapat bahwa pembebasan bersyarat dipandang sebagai pemberian maaf atau rasa simpati pemerintah, bertujuan memperpendek hukuman dengan mempercepat waktu pembebasan, bahkan pembebasan bersyarat dianggap sebagai upaya untuk menyenangkan atau memberi kenyamanan pelaku kejahatan.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam (in-dept interview). Analisis terhadap proses dan faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan dilakukan dengan cara mengadopsi teori implementasi kebijakan dari George Edward III, Marilee S. Grindle dan Van Meter serta Carl Van Horn (teori yang digunakan disesuaikan dengan kondisi lapangan).
Lapas Kelas I Cipinang berusaha merubah pendapat keliru beberapa orang mengenai kebijakan pemberian pembebasan bersyarat bagi narapidana dengan cara seoptimal mungkin mengimplementasikan kebijakan tersebut, bahwa tujuan pembebasan bersyarat pada narapidana bukan untuk memperkecil hukuman, mempermudah atau memberi kenyamanan pelaku kejahatan, juga bukan merupakan toleransi atau pemaaf. Sebaliknya kebijakan pemberian pembebasan bersyarat pada narapidana sebagai program pembinaan bertujuan untuk mengembalikan narapidana agar dapat hidup kembali di masyarakat dan tidak melakukan kejahatan lagi, dan hal ini harus direkomendasikan sebagai alternatif yang paling banyak mendatangkan manfaat terutama dalam menanggulangi dampak kepadatan atau kelebihan penghuni di dalam Lapas.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa proses implementasi kebijakan Pembebasan Bersyarat bagi narapidana dalam upaya menanggulangi dampak negatif kepadatan atau kelebihan penghuni di Lapas Kelas I Cipinang secara umum dapat dikatakan berjalan cukup baik namun kurang begitu optimal. Proses implementasi kebijakan berjalan cukup baik terbukti dari telah dipahaminya perubahan strategis yang diinginkan dan implikasinya; adanya peraturan pelaksanaan atau peraturan penjelas; dan telah dilaksanakan sosialisasi kebijakan pemberian pembebasan bersyarat tersebut. Namun yang menyebabkan kurang optimalnya implementasi kebijakan tersebut atau dapat dikatakan terjadi implementation gap (kesenjangan/perbedaan antara apa yang dirumuskan dengan apa yang dilaksanakan) yaitu adanya faktor-faktor menjadi hambatan dalam pelaksanaanya. Beberapa faktor yang menjadi hambatan tersebut adalah komunikasi dan koordinasi, sumber daya, dan struktur birokrasi.

The focus of this research is how the Implementation of parole policy for inmates in effort to overcome negative impact of overcapacity at Correctional Institution of Class I Cipinang. This policy is a policy to treatment the inmates in the concept of social re-integration, and it is the best concept to release them. But in fact some people argue that parole is viewed as forgiveness or sympathy from government, aimed to shortening the sentence with speed up their release, parole even considered as an attempt to please or give comfort to criminals.
The research used qualitative research method. Data was collected through in-depth interviews. Analysis of the processes and factors that influence the policy implementation is done by adopting the theory of policy implementation from George Edward III, Marilee S. Grindle, Van Meter and Carl Van Horn (the use of theory adapted with field conditions).
Correctional Institution of Class I Cipinang try to change the wrong opinion of some people about this parole policy by optimize the implementation, that the purpose of parole for inmates is not to minimize the penalties, facilitate or give comfort to criminals, also not as a tolerant or forgiving. Instead the policy of parole for inmates as a treatment program aims to restore inmates so can live back in the community and did not commit a crime again, and it should be recommended as an alternative can bring the most benefits, especially in reducing the impact of overcapacity in the correctional institution.
The research concludes that the process of Implementation of parole policy for inmates in effort to overcome negative impact of overcapacity at Correctional Institution of Class I Cipinang, generally speaking, quite well, but less so optimal. Policy implementation process can be said quite well proven that the strategic change desired and its implications have been understood; available regulatory implementation or regulation explanatory; and socialization of this parole policies have been implemented. But the causes of less than optimal implementation of the policy or it can be said to occur the implementation gap (the difference between what are formulated with what has been done), this is due to several factor which become obstacles in its implementation. Some of these factors are communication and coordination, resources, and bureaucratic structures.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sianipar, Kartika Belina
"

Lembaga pemasyarakatan berfungsi sebagai tempat melaksanakan pembinaan narapidana namun faktanya masih banyak permasalahan umum yang kerap terjadi seperti overcapacity, homoseksualitas, lesbian, pertengkaran antar sesama narapidana dan kerusuhan. Sehingga dibentuklah UU No.12 Th.1995 tentang Pemasyarakatan dan dalam Pasal 12 terdapat pengkategorian lapas berdasar usia, gender, masa pidana, kemudian kejahatan yang dilakukan serta kriteria lain yang bertujuan mengurangi masalah yang kerap terjadi di lapas. Maka itu Kementerian Hukum dan HAM telah membentuk Lapas Wanita dan Lapas Anak di Tangerang serta Lapas khusus Lansia di Serang.

Berdasar data Ditjenpas saat ini total napi lansia berjumlah 4.500 orang dan akan terus bertambah sampai dengan tahun 2025 menurut data Menteri Kesehatan. Namun sampai saat ini belum terbentuk pedoman khusus pembinaan untuk narapidana lansia dan masih dalam tahap perbincangan “The Jakarta Rules” dalam Seminar on Treatment Eldery Prisoners beberapa waktu lalu di Jakarta sehingga masih mengacu pada Permenkumham No.32 Th 2018 tentang Perlakuan bagi Tahanan Lanjut Usia. Narapidana lansia lebih rentan dengan berbagai jenis penyakit dan lebih sensitif sehingga membutuhkan perlakuan yang khusus. Maka dari itu penulis bermaksud meneliti sejauh mana pembinaan yang telah dilakukan kepada narapidana dengan kategori usia lanjut di Lapas Serang.

Metode penelitian yang digunakan studi kasus menggunakan kualitatif deskriptif. Selanjutnya guna mengumpulkan data pihak-pihak terkait seperti Kepala Lapas Serang, petugas Lapas Serang,beberapa narapidana lansia,forum pemerhati pemasyarakatan,observasi dan dokumentasi diwawancarai secara mendalam.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa mengacu pada Pasal 3 Permenkumham No 32 Th.2018 perlakuan khusus terhadap napi lansia dilakukan dengan memberikan bantuan akses keadilan, pemulihan dan pengembangan fungsi sosial, pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan dengan menyediakan dokter spesialis, perlindungan keamanan dan keselamatan juga telah dipenuhi bagi narapidana lanjut usia dengan memenuhi hak-hak mereka berdasarkan UU No.13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia kemudian blok lansia juga direnovasi serta dilengkapi dengan peralatan seperti televisi.


Criminal cases that are rampant in Indonesia, especially Jakarta from year to year have caused an increase in the number of prisoners living in prisons (prisons) resulting in overcapacity in most Indonesian prisons. This triggers problems that commonly occur in prisons such as homosexuality or lesbians, fights between fellow inmates, riots and less than optimal coaching. In addition, The Department of Ministry and Law Human Rights saw vulnerability of female also child prisoners to form prisons specifically for women and children, such as the Tangerang Class IIA Women's Lapas and Tangerang Children's Special Guidance Center with guidance systems based on Law No.12 of 1995 and Bangkok Rules but in fact residents prison is also mostly inhabited by elderly prisoners (elderly) which currently number 4,500 people. Elderly prisoners are actually more susceptible to various types of diseases as well as their psychological state is more sensitive as parents with prisoners over 60 years old but until now there have not been established prisons and specific guidance for guidance for elderly prisoners.

Therefore in addition to the UU No 12 Th 1995 and Permenkumham No.32 th 2018 which existed some time ago the Directorate General of Corrections of the Departments Human Rights also held seminar discussing about formation of Jakarta Rules which was attended by the Department Law and Human Right as well as representatives of other delegations the formation of international agreements as specific guidelines regarding the general standard of treatment of elderly prisoners whose purpose is to increase protection regulations based on the principles of upholding human rights for elderly prisoners. Therefore, by looking at it is still quite rare to discuss the efforts to provide guidance for prisoners with advanced age, the author intends to examine the extent to which guidance has been carried out to elderly prisoners in Serang Prison as a prison appointed to pilot the treatment of elderly participants at Seminar on Treatment. of Eldery Prisoners.

"
2019
T52714
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akhmad Hendroyono
"Tujuan pembangunan nasional sebagairnana dirumuskan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) Ketetapan MPH-RI No.11/MPR/1988 adalah untuk mewujudkan suatu masyarakat adil makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu dan berkedaulatan rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman, tenteram, tertib dan dinamis serta dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat, tertib, dan damai.
Selanjutnya, diuraikan dalam landasan pembangunan nasional, bahwa hakikat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia, maka landasan pelaksanaan pembangunan nasional adalah Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
Dari kedua rumusan tersebut di atas memperlihatkan bahwa pelaksanaan pembangunan nasional Indonesia tidak hanya berorientasi kepada pembangunan fisik (materiil) semata, melainkan diarahkan pula pada pembangunan yang bersifat non fisik (spiritual) dengan hakikat pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia.
Konsep GBHN mengenai pembangunan manusia Indonesia seutuhnya itu merupakan cerminan dari kenyataan empiris yang terjadi pada negara-negara lain, bahwa pelaksanaan pembangunan yang semata-mata ditujukan untuk kepentingan materiil belum tentu dapat mensejahterakan masyarakatnya dan dalam pelaksanaannya pembangunan materiil tidak akan dapat berjalan lancar tanpa adanya dukungan pembangunan di bidang-bidang lainnya. Bahkan dapat terjadi, hasil-hasil dari pembangunan materiil tersebut tidak dapat dinikmati oleh masyarakatnya, karena kebudayaan masyarakat bersangkutan belum sesuai dengan hasil-hasil pembangunan tersebut.
Pelaksanaan pembangunan bidang-bidang lainnya, mencakup ruang lingkup yang sangat luas, seperti sosial, budaya, hukum, pendidikan, ideologi, politik, pertahanan keamanan dan sebagainya. Pembangunan hukum sebagai salah satu bidang pembangunan, dirumuskan dalam GBHN sebagai berikut :
Pembangunan dan pembinaan hukum diarahkan agar dapat
1. Memantapkan hasil-hasil pembangunan yang teiah dicapai.
2. Menciptakan kondisi yang lebih rnantap, sehingga setiap anggota masyarakat dapat menikmati suasana serta iklirn ketertiban dan kepastian hukum yang berintikan keadilan.
3. Lebih memberi dukungan dan pengamanan kepada upaya pembangunan untuk mencapai kemakmuran."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Moch. Kund Bedraningrat
"Narapidana terdiri dari orang-orang dengan beragam suku bangsa, asal daerah, adat istiadat, kebiasaan dan cara pandang yang berbeda berbaur menjadi satu membentuk kehidupan yang terpisah dengan masyarakat luar dan mempunyai peraturan dan tata kehidupan sendiri, tiap-tiap suku bangsa ataupun asal daerah mempunyai seorang Ketua atau kokolot (dituakan) yang mempunyai peran dalam mengendalikan anggota kelompok. Permasalahan yang diangkat Bagaimana upaya dari "Ketua Suku" dalam menjaga ketertiban antar kelompok etnis narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Sukamiskin Bandung ?. Teori yang digunakan adalah Teori Smelser mengenai proses terbentuknya tingkah laku kolektif dan teori Sub kebudayaan. Metode penelitian adalah dengan pendekatan kualitatif, teknik pengumpulan data dengan wawancara mendalam dan pengamatan langsung. Data-data tersebut diperoleh melalui informan yang dipiih secara khusus berdasarkan tujuan penelitian.
Berdasarkan hasil penelitian kelompok narapidana terbentuk dari gabungan beberapa daerah asal yang dipimpin dari salah seorang dari mereka yang disebut "Ketua Suku", Mereka bergabung dalam satu kelompok didasarkan atas kesamaan latar belakang. Dalam kelompok tersebut terdapat sistem nilai yang berbentuk aturan-aturan main yang digunakan sebagai acuan tingkah laku dan pelanggaran aturan-aturan tersebut berakibat pada sanksi, mulai dari tindakan pengucilan sampai dengan bentuk hukuman fisik.
Bekerjanya pengendalian sosial adalah suatu tahapan yang penting dapat dimanfaatkan untuk mencegah pecahnya suatu Konflik terbuka yang menjurus pada kerusuhan sosial, "Ketua-ketua Suku" telah bersepakat dengan petugas pengamanan dalam menangani perselisihan yang terjadi dengan penerapan sanksi sebagai acuan tingkah laku dan pelanggaran aturan-aturan tersebut. Didalam penjara subkebudayaan merupakan salah sate pilihan dalam menghadapi kehidupan di penjara. Dengan norma dan nilai yang berlawanan, subkebudayaan ini beraviliasi dengan "geng" didalam penjara yang memberikan dukungan dan perlindungan bagi anggotanya.

Correctional institution inmates consist of various ethnicities, regions, cultures, customs and worldviews, merging into a community separated from the society in general, and having their own rules and regulations. Each ethnic group of inmates in a correctional institution has an elder or "kokolot" in charge of group members. This study attempts to find out the role of such ethnic leaders in preserving peace among ethnic groups in Sukamiskin Class I Correctional Institution in Bandung. The theory used in Smelser's theory of collective behavior and the theory of subcultures. The study used the qualitative approach, using in-depth interview and direct observation methods. Data are obtained from informants purposively selected according to the goals of the study.
Based on the results of the study, groups of inmates are created from a combination of inmates coming from several regions, led by a leader called "ethnic elder". The group is based on similarities of background among the members. In such groups, there is a value system in the form of rules used as basis of behavior. Violation of such rules would result in sanctions, in various forms starting from ostracizing to physical sanctions.
Social control is important in preventing open conflict between groups, which might lead to social disturbances. "Ethnic elders" have tacit agreements with institutional staff to handle quarrels, giving sanctions to violators of rules and agreements. In the correctional institution, subcultures become an option in facing prison life. With a separate set of norms and values, the subcultures are affiliated with "prison gangs" supporting and protecting their members.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T21504
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Helmina
"Penelitian ini berjudul "PEMBINAAN ANAK DIDIK PEMASYARAKATAN KASUS NARKOBA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN ANAK PRIA TANGERANG". Latar belakang pemilihan judul ini didasarkan pada kajian empiris dan teoritis, bahwa pembinaan yang diberikan bagi Anak Didik Kasus Narkoba sudah selayaknya harus dibedakan dengan Anak Didik kasus pidana umum lainnya.
Lokasi penelitian dilakukan pada Lembaga Pemasyarakatan Anak Pria Tangerang dengan metode penelitian kualitatif. Beranjak dari latar belakang di atas, rumusan masalah yang mengemuka adalah : (1) Mengapa metode Therapeutic Community tidak dilaksanakan dalam pembinaan Anak Didik Pemasyarakatan kasus narkoba di Lapas Anak Pria Tangerang; (2) Metode Iain apa saja yang dilaksanakan sebagai pengganti metode Therapeutic Community dalam pembinaan Anak Didik Pemasyarakatan kasus narkoba di Lapas Anak Pria Tangerang. Untuk mencari jawaban atas pertanyaan penelitian tersebut, metoda pengolahan data yang dilakukan mengarah pada metode deskriptif eksplanatory.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama menjalani pidananya Anak Didik Pemasyarakatan Kasus Narkoba tidak mendapatkan pembinaan yang selayaknya harus diberikan pada narapidana penyalahguna narkoba sebagai terapi untuk memutuskan ketergantungannya terhadap narkoba. Sebagai alternatif pengganti maka program psikososial diberikan sebagai treatment bagi Anak Didik kasus narkoba.
Memperhatikan hasil penelitian tentang kondisi Lapas Anak maka perlu adanya peningkatan dan penyediaan saranalprasarana serta peningkatan management sumber daya manusia petugas Lapas Anak dengan mengikut sertakan dalam pelatihannpelatihan yang dapat mendukung kinerja petugas di lapangan.

The title of this research is "THE BUILDING OF JUVENILE WITH DRUGS CASE IN TANGERANG-MALE JUVENILE CORRECTIONAL INSTITUTION". The background in choosing the title is based on the empiric and theoretic research, in which the building for the juvenile with drugs case has been something, must be differentiated with the juvenile with non drugs case.
The location of this research is in Tangerang-Male Juvenile Correctional Institution. The method of the research is qualitative research. Base on the background above, the propose problem in this research are (1) Why Therapeutic Community method is not implemented in building the juvenile with drugs case in Tangerang-male juvenile correctional institution; (2) What methods are implemented instead of Therapeutic Community. In figuring out the answers of the research, the writer uses explanatory descriptive method in processing the data.
The result of this research shows that during the sentence runs, the juveniles with drugs case do not get the adequate building as what the prisoner with drugs case should get, where it is as kind of therapy to stop the addiction of drugs. The alternative program is used for juvenile treatment for instead is psychosocial program.
Seeing the result of this research, especially about the condition of the juvenile correctional institution, it has to improve and supply infrastructures then also improve human resources management especially the staffs in charge by training to support their work.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007
T20498
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adam Ridwansah
"Beragamnya latar belakang kehidupan narapidana, baik itu latar belakang kasus, suku/etnis, agama dan lainnya merupakan faktor nyata dari keberadaan Lembaga Pemasyarakatan sebagai minatur masyarakat. Disana juga terdapat berbagai kebutuhan dan kepentingan narapidana dalam rangka mempertahankan hidupnya selama dalam lapas. Dalam rangka hal tersebut narapidana akan menjaga hubungannya dengan petugas dan aturan yang berlaku dalam lapas sehingga baik petugas maupun aturan mampu mengakomodir ataz dilemahkan oleh kepentingan narapidana, termasuk kepentingan menambah fasilitas kamar hunian sesuai keinginan narapidana. Akibat adanya penambahan fasilitas-fasilitas pada kamar hunian pada narapidana tertentu akan berakibat adanya kecemburuan sosial di kalangan narapidana, pemborosan anggaran karena umumnya penambahan fasilitas berupa alat-alat elektronik yang menggunakan listrik, dan yang terpenting adalah narapidana tersebut umumnya tidak tersentuhk program pembinaan.
Dalam penelitian ini ada dua pertanyaan penelitian yang hendak dijawab yaitu bagaimana kebijakan pemenuhan fasilitas kamar hunian bagi narapidana di Rumah Tahanan negara dan Lembaga Pemasyarakatan di Jakarta seria kendala-kendala yang dihadapi dalam kebijakan pemenuhan fasilitas kamar hunian tersebut. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif, teknik pengumpulan data dilakukan..dengan wawancara terhadap informan penelitian dengan menggunakan pedoman wawancara. Wiforiiai penelitian terdiri dari informan petugas dan informan. Lokasi penelitian adalah lima Unit Pelaksana Teknis (UPT) di DKI Jakarta, yaitu Lapas Klas I Cipinang, Lapas Klas IIA Narkotika Jakarta, Lapas Klas IIA Salemba, Rutan Klas I Jakarta Pusat dan Rutan Klas IIA Pondok Bambu Jakarta Timur.
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa kebijakan pemenuhan fasilitas kamar hunian bagi narapidana pada lima (5) lokasi penelitian belum terlaksana dengan baik. Hal ini disebabkan perbedaan persepsi dan cara pandang terhadap aturan yang ada yang berbeda-beda sehingga penerapannya pada masing-masing lapas/rutanpun berbeda. Kebijakan pemenuhan fasilitas kamar hunian bagi narapidana di lapas/rutan masih mementingkan unsur keamanan dan keiertiban. Penyimpangan terhadap pemenuhan fasilitas kamar hunian narapidana adalah adanya fasilitas-fasilitas tambahan yang tidak sesuai aturan seperti TV, AC, Kompor Listrik hingga pencurian listrik untuk kepentingan fasilitas lainnya. sementara dalam rangka mensiasati kondisi kelebihan daya tampung (over kapasitas) pada masing-masing l!okasi penelitian dilakukan alih fungsi atau pemanfataan ruang yang bukan kamar hunian menjadi kamar hunian bagi narapidana. Sementara faktor kendala dalam kebijakan pemenuhan fasilitas kamar hunian bagi narapidana terdiri dari empat faktor utama yaitu kendala komunikasi, kendala sumber daya, kendala sikap implementator dan kendala struktur birokrasi

Diverse backgrounds inmate's life, whether it is the case background, tribe / ethnicity, religion and the other is a real factor of the exisience of correctional institulions as minatur community.There alsa have various needs and interests of prisoners in order to survive as long in prison. In order to convict it will maintain relationships with officers and rules that apply in the prison so that both workers and able io accommodate the rulés or attenuated by the interests of prisoners, including facilities to add interest as you wish inmate occupancy rooms. Due to the exiztence of additional facilities in room occupancy on a particular inmate will result in the social jealously among the inmates, waste budget because generally in the form of additional facilities for electrical appliances that use electricity, and most importantly the inmates were mostly uniouched by development programs.
In this research, there are two research questions to be answered is how the Juifiliment of the policy room occupancy facility for inmates at the Detention Center and state correctional institutions in Jakarta and the constraints faced in julfilling the policy facilities such occupancy rooms, The method used is qualitative method of data collection techniques againts the informant interview conducted with the study using the interview guide Informants consisted of officers and informants informants. Location of the study are five Technical Executive Unit (UPT) in Jakarta, namely Class I Cipinang Prison, Jakarta Narcotic Prison Class HA, Class 14 Salemba prison, Central Jakarta Rutan Class I and Class ITA Rutan Pondok Bambu, East Jakarta.
Based on this research found that the policy of fulfiliment of room occupancy facility for inmates at five (3) the location of the research has not been performing well. This is due to differences in perception and outlook of the existing rules are different so that its application in each prison / rutanpun different. Compliance policies occupancy room facilities for inmates in the prison / detention center is still concerned with the elements of security and order. Deviation toward the Julfiilment facility inmate occupancy room is the presence of additional facilities that are not in accordance with regulations such as TV, air conditioning, Electric Stove to theft of electricity for the benefit of other facilities, while in order to anticipate the conditions of excess capacity fover capaciiy) at each study site conducted over the function or utilization of space that is not a room occupancy room occupancy for the inmates. While the constraint factor in fulfilling the policy for inmate occupancy room facilities consist of four main factors namely the communication constraints, resource constraints, barriers and constraints implementer attitudes bureaucratic structure.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2010
T33545
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Pahrudin Saputra
"ABSTRAK
Penelitian ini berjudul "PEMENUIIAN HAK ATAS RASA AMAN DAN BEBAS DART KETAKUTAN DALAM PELAKSANAAN ADMISI DAN ORIENTASI NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN NARKOTIKA KLAS IIA JAKARTA". Latar belakang pemilihan judul ini didasarkan pada kajian empiris dan teoritis, bahwa tahap admisi dan orientasi narapidana merupakan fase kritis yang menentukan keberhasilan pembinaan narapidana sehingga diperlukan pemenuhan hak-hak asasi narapidana.
Lokasi penelitian dilakukan pada Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas HA Jakarta dengan metode penelitian kualitatif. Beranjak dari latar belakang di alas, rumusan masalah yang mengemuka adalah : (1) Apakah narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Narkotika Jakarta merasa terpenuhi hak atas rasa aman dan bebas dari ketakutan selama masa admisi dan orientasi; (2) Faktor apakah yang menjadi hambatan dalam pelaksanaan pemenuhan hak alas rasa aman dan bebas dari ketakutan selama masa admisi dan orientasi narapidana. Untuk mencari jawaban atas pertanyaan penelitian tersebut, metoda pengolahan data yang dilakukan mengarah pada metode deskriptif eksplanatory.
Hasil penelitian menunjukan bahwa selama dalam pelaksanaan admisi dan orientasi, hak narapidana atas rasa aman dan bebas dari ketakutan belum terpenuhi. Adapun faktor yang menghambat pemenuhan hak atas rasa aman itu adalah kondisi over crowded, emosi narapidana yang labil, tidak memadainya kualitas pengetahuan dan pemahaman petugas terhadap hak asasi manusia, punish and reward yang kurang ditegakan, dan prosedur pengaduan yang panjang.
Memperhatikan hasil penelitian tentang kondisi aktual pemenuhan hak atas rasa aman dan bebas dari ketakutan dalam pelaksanaan admisi dan orientasi narapidana maka perlu dilakukan pengurangan isi lembaga pemasyarakatan, pendidikan dan pelatihan tentang hak asasi manusia terhadap petugas lembaga pemasyarakatan, penerapan sanksi yang tegas dan terukur, menyederhanakan prosedur penyampaian keluhan

ABSTRACT
The title of this research is THE FULFILLMENT OF SECURE AND FREE FROM FEAR RIGHTS OF INMATES ON THE ADMISSION AND ORIENTATION STAGE IN CLASS IIA NARCOTICS CORRECTION INSTITUTION - JAKARTA". The background reason why author decide to choose this title is based on empirical and theoretical studies, that the stage of admission and orientation of inmates is a critical phase in which decides the success of inmates' treatments. In this stage, the fulfillment of human rights for inmates is a necessity.
The locus of research is taken in Class HA Narcotics Correction Institution by using qualitative research method. Based on the background above, the construction of problems which developed are: (1) Do the inmates in Class IIA Narcotics Correction Institution feel that the rights of secure and free from fear has been fulfilled in the admission and orientation stage?. (2) Define the factors that become obstacles in order to fulfill the rights of secure and free from fear on the admission and orientation stage. In case of finding the answer of those research questions, the data processing method directed to explanatory descriptive method.
The result of research shows that during the admission and orientation stage the rights of secure and free from fear of inmates have not fulfilled yet. However, some factors which become obstacles in fulfillment of the rights of secure are: over crowding condition, instability of inmates emotions, the limitation of human rights knowledge and understanding of officers, punishment and reward norms are not promoted in every aspect of admission and orientation stage, and a long complain procedure.
Focusing on the research result about the actual situation in rights secure and free from fear fulfillment of inmates on the admission and orientation stage, several methods shall be taken such as: decreasing the amount of inmates in correction institution, training and education of human rights for officers, implementation of strict and reliable punishment, and simplify the complain procedure.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007
T20700
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>