Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 156610 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rosiana Waicang
"Inkontinensia urin setelah operasi BPH adalah hilangnya kontrol terhadap buang air kecil karena salah satu katup yang mengontrol urin diangkat bersamaan dengan prostat, apabila katub ini diangkat kemungkinan terjadi kerusakan sraf dan otot sehingga menyebabkan inkontinensia setelah operasi prostat. Inkontinensia urin dapat menyebabkan masalah fisik, psikologis, sosial dan ekonomi sehingga mempengaruhi kualitas hidup. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian inkontinensia urin setelah operasi prostat. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional, dengan pendekatan deskriptif korelatif, dan teknik consecutive sampling pada 90 responden. Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat hubungan signifikan antara Usia dengan kejadian inkontinensia urin (p-value 0,063, ! = 0,05), terdapat hubungan signifikan antara obesitas dengan kejadian inkontinensia urin (p-value 0,020, ! = 0,05), terdapat hubungan signifikan anatara jenis operasi dengan kejadian inkontinensia urin (p-value 0,038, ! = 0,05), terdapat hubungan signifikan antara volume prostat dengan kejadian inkontinensia urin (p-value 0,038, ! = 0,05), terdapat hubungan signifikan antara lama operasi dengan kejadian inkontinensia urin (p-value 0,036, ! = 0,05) dan tidak terdapat hubungan signifikan antara waktu operasi dengan kejadian inkontinensia urin (p-value 0,925, ! = 0,05). Pada hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa jenis operasi berhubungan paling dominan dengan kejadian inkontinensia urin nilai OR yang terbesar yaitu (2,39) (95% CI: 0,955-5,988). Diharapkan tenaga keperawatan dapat meningkatkan pemahaman melalui pemberian informasi atau pendidikan kesehatan terkait dengan pencegahan inkontinensia urin umumnya generasi muda khususnya pada generasi tua di Kota Jayapura.

The increase in the life expectancy of the Indonesian population reaching the age of 66.2 years has contributed to an increase in the number of elderly people ( Aging Structured Population ). The aging process causes health problems in the elderly, one of which is urinary incontinence. Urinary incontinence is a bladder sphincter defect or neurological dysfunction that causes loss of control over urination. Urinary incontinence can cause physical, psychological, social and economic problems that affect the quality of life of the elderly. This study aims to identify factors associated with urinary incontinence in patients after prostate surgery at the Urology Polyclinic, Jayapura Hospital in 2023. This study used a cross-sectional design, correlative descriptive approach, and consecutive sampling technique in 90 post-prostate post-operative patients at the polyclinic. Jayapura Hospital Urology. The results showed that there was no significant relationship between age and the incidence of urinary incontinence ( p-value 0.063,! = 0,05) , there is a significant relationship between obesity and urinary incontinence ( p-value 0.020,! = 0,05) , there is a significant relationship between the type of operation and the incidence of urinary incontinence ( p-value 0.038,! = 0,05), there is a significant relationship between Prostate Volume and the incidence of Urinary Incontinence ( p-value 0.038,! = 0,05) , there is a significant relationship between the length of operation and the incidence of urinary incontinence ( p-value 0.036,! =0,05) and there was no significant relationship between operating time and urinary incontinence ( p-value 0.925,! = 0,05). The results of the multivariate analysis showed that the type of surgery was most dominantly related to the incidence of Urinary Incontinence with the largest OR value (2.39) (95% CI: 0.955-5.988). It is hoped that nursing staff can improve understanding through providing information or health education related to the prevention of Urinary Incontinence in general for the younger generation, especially the older generation in Jayapura City. "
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ihya Ridlo Nizomy
"Latar Belakang: Inkontinensia urin (IU) menurut ICS didefinisikan sebagai keluarnya urin yang tidak dapat dikendalikan atau dikontrol, yang secara obyektif dapat diperlihatkan dan merupakan suatu masalah sosial dan higienis. Pada perempuan, gangguan fungsi berkemih ini sering kali didapatkan pasca-operasi koreksi kelainan Prolaps Organ Panggul (POP). Inkontinensia Urin Tekanan de novo (IUT de novo) adalah IU yang terjadi pada pasien POP pasca-operasi pervaginam yang tidak didapatkan sebelum operasi.
Tujuan: Untuk mengetahui kejadian IUT de novo dan faktor risiko yang berhubungan pada pasien POP pasca-operasi pervaginam di Divisi Uroginekologi dan Rekonstruksi Departemen Obstetri dan Ginekologi RSCM Jakarta.
Metode: Studi klinis potong lintang yang dilakukan pada 75 orang pasien POP pasca-operasi pervaginam di Divisi Uroginekologi dan Rekonstruksi Departemen Obstetri dan Ginekologi RSCM Jakarta pada bulan Januari 2016 sampai Juli 2017. Penilaian kejadian IUT de novo dan faktor risiko yang berperan dilakukan berdasarkan data Rekam Medik, lembar penilaian Kuesioner QUID (Questionnaire for Urinary Incontinence Diagnosis) versi Indonesia dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan Cough Stress Test secara kualitatif dan tes pembalut pad test secara kuantitatif.
Hasil: Dari 75 subyek penelitian didapatkan angka kejadian IUT de novo sebesar 8% (6/75). Uji analisis statistik menunjukkan hanya 2 faktor risiko yang berperan secara bermakna (p < 0,05) terhadap kejadian IUT de novo pada pasien POP pasca-operasi pervaginam di RSCM Jakarta, yaitu derajat POP yang berat dan penyakit Diabetes Mellitus dengan nilai OR 0,13 (95% CI 0,02-1,63) dan 23,75 (95%CI 2,29-590,2).
Kesimpulan: Pada penelitian ini, angka kejadian IUT de novo pada pasien POP pasca-operasi pervagnam adalah 8% dengan faktor risiko yang berperan adalah derajat POP preoperatif yang berat dan penyakit Diabetes Mellitus.

Background: Stress Urinary Incontinence remains a main women's health problem due to its devastating impacts to the quality of life. Some patients with pelvic organ prolapse (POP) may suffer from stress urinary incontinence (SUI) named de novo SUI after pelvic floor reconstruction2. The epidemiology study of de novo SUI in Indonesia is not known yet. In the world, a few studies have reported a wide range (2-43%) in incidence of de novo SUI following surgical repair of POP in previously continent patients. This study aimed to investigate the occurrence of de novo SUI and determined related risk factors after vaginal surgery on POP patients in Ciptomangunkusumo Hospital Jakarta. Methods: This is a cross-sectional study of 108 patients who underwent pelvic floor vaginal surgery due to pelvic organ prolapse (POP) at the Department of Obstetry and Gynecology, Urogynecology and Recontruction Division in Indonesian University-Ciptomangunkusumo Hospital from January 2016 to December 2017. According to the inclusion and exclusion criteria, 75 patients were enrolled in the study with consecutive sampling technique. The occurrence of de novo SUI was determined 6-12 months postoperatively by using Indonesian version of Questionnaire for Urinary Incontinence Diagnosis (QUID), and objectively by positive Cough Stress Test (CST) during gynecological examination after negative Preoperative Prolapse Reduction Stress Test (PPRST). The clinical characteristic of positively de novo SUI patients identified were age, parity, Body Mass Index, menopause periode before surgery, degree of Pelvic Organ Prolapse based on POP-Q system, type of vaginal surgery and clinical result of Diabetes Mellitus. Thes significant risk factors that contribute for the occurrence of de novo SUI determined by multivariate statistical analysis (95% CI and 𝛼 0.05).
Results: The occurrence of de novo SUI was 8% or 6 from 75 patiens 6-7 month postoperative for pelvic floor reconstruction due to POP. Average of age, parity, BMI, menopause periode before surgery, respectively were 56.17 ± 4.67, 3.17 ± 1.07, 28.58 ± 5.18, and 12,8 ± 7,0. There were 50,0% (3/6) patients with severe degree of POP and 50% (3/6) with mild degree of POP with most of them 66,7% (4/6) had underwent non colpocleisis procedure for POP reconstruction. All of the patient but one were positively Diabetes Mellitus according to clinical hystory and laboratory finding, and most of them about 83,3% (5/6) were in menopause state. There were two significant risk facors that contribute to the occurrence of de novo SUI which are severe degree of preoperative POP (p 0.038; OR 0.13 95% CI 0,02-0,63) and Diabetes Mellitus (p 0.02; OR 23.75 95% CI 2.29-590.2).
Conclusion: The occurrence of de novo SUI after vaginal surgery of Pelvic Organ Prolapse patients in Ciptomangunkusumo Hospital Jakarta was 8%. Most of them were average of age < 60 years old, parity < 4, non- obese women, in menopausal periode, and diabetic patient. The determinant significant risk factors contribute to the occurrenceof de novo SUI were evere degree of preoperative POP and Diabetes Mellitus."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Imam Ahmadi Farid
"ABSTRAK
Nama : Imam Ahmadi FaridNPM : 1406667463Program Studi/Divisi : Obstetri ndash; Ginekologi / Uroginekologi Rekonstruksi Judul: Prevalensi, karakteristik dan Faktor Risiko Terkait Pada Pasien Inkontinensia Urin Dalam Poliklinik Ginekologi Menggunakan Kuesioner Untuk Diagnosis Inkontinensia Urin QUID Versi Bahasa Indonesia Latar belakang: Inkontinensia urin tetap menjadi masalah kesehatan utama wanita karena dampaknya yang menghancurkan terhadap kualitas hidup. Namun, studi epidemiologi tentang inkontinensia urin UI di Indonesia sangat terbatas. Bisa jadi karena keluhan pasien yang kurang dilaporkan. Kami bertujuan untuk menentukan prevalensi, karakteristik dan faktor risiko UI di antara pasien ginekologi. Metode: Pasien mengunjungi klinik rawat jalan ginekologi di Cipto Mangunkusumo, Rumah Sakit Umum, Jakarta, Indonesia yang ditawarkan untuk berpartisipasi dalam penelitian ini. Subyek yang memenuhi syarat melakukan wawancara untuk mengisi kuesioner QUID versi Bahasa Indonesia. Faktor terkait untuk stres inkontinensia urin SUI , mendesak inkontinensia urin UUI , dan kontinum urin campuran MUI diidentifikasi setelah analisis bivariat dan multivariat. Hasil: Prevalensi SUI, UUI, dan MUI masing-masing 4,3 , 3,0 , dan 2,7 di antara 400 subjek yang memenuhi syarat. Usia di atas 61 tahun, usia antara 51 hingga 60 tahun, tingkat pendidikan rendah, kelebihan berat badan, multiparitas, persalinan pervaginam dan keadaan menopause meningkatkan risiko untuk semua jenis UI. Pada analisis multivariat, usia yang lebih tua adalah faktor risiko paling signifikan untuk memiliki UI p = 0,000, OR 5,4 95 CI: 2,13-13,87 . Kesimpulan: Usia di atas 61 tahun, usia antara 51 hingga 60 tahun, tingkat pendidikan rendah, kelebihan berat badan, multiparitas, persalinan pervaginam dan menopause adalah faktor risiko untuk SUI, UUI, dan MUI. Umur adalah faktor terkait yang paling signifikan. Kata kunci: QUID Questionnaire, faktor risiko, inkontinensia urin.

ABSTRACT

Abstract Nama Imam Ahmadi FaridNPM 1406667463Program Studi Divisi Obstetri ndash Ginekologi Uroginekologi Rekonstruksi Title Prevalence, characteristics and Related Risk Factors In Urinary Incontinence Patients In Gynecology Polyclinics Using Questionnaire For Urinary Incontinence Diagnosis QUID Indonesian Version Background Urinary Incontinence remains a main women rsquo s health problem due to its devastating impacts to the quality of life. However, the epidemiology study of urinary incontinence UI in Indonesia is very limited. It could be due to the under reported complaints of the patients. We aim to determine the prevalence, characteristics and risk factors of UI among gynecological patients. Methods Patients visited gynecological outpatient clinic at Cipto Mangunkusumo, General Hospital, Jakarta, Indonesia were offered to be participated in this study. Eligible subjects underwent interview to fulfill Indonesian version of QUID questionnaires. The associated factors for stress urinary incontinence SUI , urge urinary incontinence UUI , and mixed urinary continence MUI were identified after bivariate and multivariate analysis. Results The prevalence of SUI, UUI, and MUI were respectively 4.3 , 3.0 , and 2.7 among 400 eligible subjects. Age over 61 years old, age between 51 to 60 years old, low education level, overweight, multiparity, vaginal delivery and menopausal state were increased the risk for any types of UI. On multivariate analysis, older age was the most significant risk factor for having UI p 0.000, OR 5.4 95 CI 2,13 13,87 . Conclusion Age over 61 years old, age between 51 to 60 years old, low education level, overweight, multiparity, vaginal delivery and menopausal state were the risk factor for SUI, UUI, and MUI. Age was the most significant associated factor. Keywords QUID Questionnaire, risk factors, urinary incontinence "
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chairul Rijal
"ABSTRAK
Tujuan: untuk mengetahui prevalensi inkontinensia urin, sebaran tipe inkontinensia urin dan faktor-faktor risiko yang berhubungan pada wanita yang berusia diatas 50 tahun.
Metode: penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan desain potong lintang. Sebanyak 278 wanita berusia diatas 50 tahun yang tinggal di panti werdha, telah dilakukan wawancara secara terpimpin menggunakan kuesioner Questionnaire for Urinary Incontinence Diagnosis (QUID) yang telah diterjemahkan dan divalidasi. Hasil prevalensi inkontinensia urin disajikan dalam bentuk proporsi/persentase, sedangkan hubungan antara faktor risiko dengan kejadian inkontinensia urin dianalisa dengan uji chi square atau uji Fisher bila syarat uji chi square tidak terpenuhi, dan juga dilakukan uji multivariat.
Hasil: dari 278 subyek penelitian, didapatkan sebanyak 95 orang (34,2%) menderita inkontinensia urin. Dengan sebaran tipenya adalah sebagai berikut: inkontinensia urin tipe campuran 67 orang (70,5%), inkontinensia urin tipe tekanan 17 orang (17,9%) dan inkontinensia urin tipe desakan 11 orang (11,6%). Indeks massa tubuh (IMT) berlebih dan obesitas tidak memiliki hubungan dengan kejadian inkontinensia urin (p> 0,05), mungkin pada penelitian ini jumlah subyek dengan IMT berlebih dan obesitas jumlahnya terlalu kecil. Sedangkan faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan inkontinensia urin adalah: usia diatas 60 tahun (OR 7,79, p= 0,021), menopause >10 tahun (OR 5,08, p=0,004), dan multipara (OR 1,82, p=0,019). Pada saat dilakukan uji multivariat, faktor risiko usia diatas 60 tahun didapatkan menjadi tidak berhubungan dengan kejadian inkontinensia urin (p> 0,05). Hal ini disimpulkan bahwa faktor usia diatas 60 tahun bukan merupakan faktor tunggal akan terjadinya inkontinensia urin melainkan multifaktor.
Kesimpulan: penelitian ini mendapatkan angka prevalensi inkontinensia urin pada wanita yang tinggal di panti werdha adalah sebesar 34,2%. Sedangkan sebaran tipe inkontinensia urin adalah: inkontinensia urin tipe campuran 67 orang (70,5%), inkontinensia urin tipe tekanan 17 orang (17,9%) dan inkontinensia urin tipe desakan 11 orang (11,6%). Faktor-faktor risiko inkontinensia urin adalah: menopause >10 tahun dan multipara.

ABSTRACT
Aim: to identify the prevalence of urinary incontinence, the distribution of the type of urinary incontinence and and related risk factors in women older than 50 years.
Method: this is a descriptive study with cross sectional design. Two hundred and seventy eight women older than 50 years old living in nursing house were interviewed using the Questionnaire for Urinary Incontinence Diagnosis (QUID) that has been translated and validated previously. The prevalence result will be presented in the form of percentage; while the relationship between risk factors and the incidence or urinary incontinence will be analyzed using chi square test or Fisher’s exact test if the requirement for chi square test is not met, and multivariate analysis.
Result: Of 278 research subjects, we obtain 95 subjects (34,2%) suffering from urinary incontinence. And the distribution of the type is as follow: 67 subjects (70,5%) with mixed urinary incontinence, 17 (17,9%) with stress urinary incontinence and 11 subjects (11,6%) with urge incontinence. Overweight and obesity body mass index (BMI) are not related with the prevalence of urinary incontinence (p> 0,05), probably in this research the number of subjects with overweight and obesity is too small. While factors related to urinary incontinence are age older than 60 years (OR 7,79, p = 0,021), menopause ≥10 years (OR 5,08, p=0,004) and multiparity (OR 1,82, p = 0,019). When multivariate analysis was done, the risk factor age older than 60 years becomes not related to urinary incontinence (p>0,05). Thus it can be inferred that age older than 60 years is not a singular factor of urinary incontinence but rather a multifactor.
Conclusion: This study shows that the prevalence of urinary incontinence in women living in nursing home is 34,2%; while the distribution of the urinary incontinence is: 67 subjects (70,5%) with mixed urinary incontinence, 17 subjects with stress urinary incontinence (17,9%) and 11 subjects (11,6%) with urge urinary incontinence. Risk factors for urinary incontinence are: menopause ≥10 years and multiparity."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Fahron
"Latar Belakang: Meningkatnva populasi usia laniut. masalah kesehatan pada kelompok usia tersebut juga meningkat. Salah satu masalah kesehatan vane sering dijumpai adalah inkontinensia urin tine sires (IUS). Beberapa nenelitian telah dilakukan untuk melihat faktor- faktor risiko terjadinva IUS, tetapi hasilnva tidak konsisten.
Tuiuan: Mengetahui hubungan antara usia, riwayat cara persalinan, jumlah persalinan lama menopause dan IMT dengan IUS pada perempuan usia laniut di RSCM Jakarta.
Metodologi: Disain penelitian potong-lintang. Subyek pada perempuan >60 tahun yang memenuhi kriteria inklusi. Inkontinensia Urin tine Sires dinilai dari anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan kontraksi vagina dengan nerineometri.
Hasil: Didapatkan hasil 35 kasus dan 47 kontrol. Subyek penelitian dengan usia >75 tahun didapatkan 8 (53.3%) IUS riwayat cara persalinan mengalami tindakan didapatkan 18 150.0%) IUS. jumlah persalinan lebih dari 2 kali didapatkan 30 (43,5%) IUS lama menopause lebih dari 7 tahun didapatkan 35 (45,5%) IUS, IMT ~ 26 didapatkan 14 (58.3%) IUS. Dilakukan analisis bivariat didapatkan hasil antara usia dan IUS dengan OR 1.69 (IK 95% 0.55 - 5.22).. antara riwavat cara persalinan dan IUS dengan OR 1,71 (TTY 95% 0.70 ? 4.14) antara iumlah persalinan dan MS dengan OR 1.23 (IK 95% 0.37 - 4.15). antara IMT > 26 dan IUS dengan OR 2.47 (IK 95% 0,93 - 6.52). Lama menopause tidak dapat dianalisis karena tidak didapatkan lama menopause < 7 tahun harus mengalami IUS. Seluruh variabel hasil analisis bivariat vane memiliki p mendekati 0.25 diikutsertakan dalam analisis multivariat. Setelah dilakukan analisis multivariat dengan regresi logistik didapatkan hanva IMT vane tampaknva berhubunsan denaan IUS (OR 2.9911K 95% 1.07-8.361)
Simpulan: Indeks massa tubuh merunakan faktor risiko teriadinva IUS.

Background: The increase of elderly nonulation leads to the increase of health problems among those who belongs to this population. Stress urinary incontinence (SUI) is one of many problems which is frequently found. Several studies have been carried out to detect risk factors for SUI. but the results were still inconsistent.
Objective: To assess the relationship between age. types of delivery. Parity, menopausal period, and BM1 with SU1 in elderly women at Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta.
Method: A cross-sectional study of elderly women > 60 years who met the inclusion criteria. SUI was evaluated from interviews. physical examinations and vaginal contractions measured with a perineometer.
Results: This study comprised 35 cases and 47 controls. SUI were detected in 8 (53.3%) of subjects who were > 75 years, in 18 (50.0%) of those who had intervention during delivery. in 30 (43,5%) of those who had parity > 2. in 35 (45.5%) of those who had had menopause > 7 years. and in 14 (58.3%) of those with BMI > 26. Bivariate analyses were performed and the results are OR 1,69 (95% CI 0.55-5.22) between age and SUL _ OR 1.71 (95% CI 0.70 - 4.14) between tunes of delivery and SUL OR L23 (95% CI 0,37 - 4.15) between parity > 2 and SU1. OR 2.47 (95% CI 0,93 - 6.521 between BM1 > 26 and Slll, Menopausal period could not be analyzed because no subjects who had less than 7 year - period of menopause was found to have SUI. Variables which had p close to 0.25 in bivariate analyses were measured in multivariate analyses with logistic regression. Those variables were types of delivery and BMI. As a result BMI was the only variable which was related to SUI (OR 2.99[95% CI 1,07-8,36 ).
Conclusion: BM1 is a risk factor for SUI"
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T21444
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Astrid Yunita
"Inkontinensia urin tekanan sering ditemukan padakehamilan dengan prevalensi tertinggi pada empat minggu terakhir kehamilan. Diketahui bahwa kelemahan otot dasar panggul merupakan salah satu penyebab inkontinensia urin tekanan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kekuatan otot dasar panggul dengan inkontinensia urin tekanan pada perempuan hamil trimester ketiga akhir, dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan melibatkan perempuan hamil 36-40 minggu di poli Obstetri dan Ginekologi RSUK TebetJakarta. Data yang diperoleh berupa hasil anamnesis, Questionnaire for Urinary Incontinence Diagnosis QUID , pemeriksaan fisik, perineometer, dan tes batuk. Sampel berjumlah 142 orang dengan 54,2 diantaranya mengalami inkontinensia urin tekanan. Diketahui bahwa kekuatan otot dasar panggul dan taksiran berat janin memiliki perbedaan bermakna dengan inkontinensia urin tekanan p = 0,002, < 0,001, secara berurutan . Uji multivariat menunjukkan bahwa kekuatan otot dasar le; 25,5 cmH2O panggul dan TBJ ge; 3.100 gram paling mempengaruhi kejadian inkontinensia urin tekanan OR = 2,52, p= 0,021 dan OR = 3,34, p= 0,001, secara berurutan . Uji probabilitas menunjukkan bahwa apabila TBJ >3.100 gram dan kekuatan otot dasar panggul
Stess urinary incontinence is the most frequent found during pregnancy with the highest prevalence in the last four weeks of pregnancy. It is known that weaken pelvic floor muscle is one of the causes of stress urinary incontinence. This study aims to know the relationship between the strength of pelvic floor muscle and stress urinary incontinence in late third trimester of pregnancy and its associated factors.A cross sectional study was conducted involving women with 36 until 40 weeks of pregnancy at Obstetric and Gynecology clinic of Tebet Subdistrict Hospital, Jakarta. Collected data included medical interview, Questionnaire for Urinary Incontinence Diagnosis QUID , physical examination, perineometer, and cough test. Among 142 samples, 54.2 had stress urinary incontinence. Discovered that pelvic floor muscle, and estimated fetal weight had significant differences with SUI p 0.002, 0.001, respectively . Multivariate analysis showed the strength of pelvic floor muscle le 25.5 cmH2O , and EFW ge 3,100 gram were the most influenced factors for SUI OR 2.52, p 0.021 dan OR 3.34, p 0.001, respectively . The likelihood of SUI was 75.39 if the strength of PFM was le 25.5 cmH2O,and EFW ge 3,100 gram. Weaken pelvic floor muscle, and EFW were the factors influencing SUI. "
2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Astrid Yunita
"ABSTRAK
Inkontinensia urin tekanan sering ditemukan padakehamilan dengan prevalensi tertinggi pada empat minggu terakhir kehamilan. Diketahui bahwa kelemahan otot dasar panggul merupakan salah satu penyebab inkontinensia urin tekanan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kekuatan otot dasar panggul dengan inkontinensia urin tekanan pada perempuan hamil trimester ketiga akhir, dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan melibatkan perempuan hamil 36-40 minggu di poli Obstetri dan Ginekologi RSUK TebetJakarta. Data yang diperoleh berupa hasil anamnesis, Questionnaire for Urinary Incontinence Diagnosis QUID , pemeriksaan fisik, perineometer, dan tes batuk. Sampel berjumlah 142 orang dengan 54,2 diantaranya mengalami inkontinensia urin tekanan. Diketahui bahwa kekuatan otot dasar panggul dan taksiran berat janin memiliki perbedaan bermakna dengan inkontinensia urin tekanan p = 0,002, < 0,001, secara berurutan . Uji multivariat menunjukkan bahwa kekuatan otot dasar le; 25,5 cmH2O panggul dan TBJ ge; 3.100 gram paling mempengaruhi kejadian inkontinensia urin tekanan OR = 2,52, p= 0,021 dan OR = 3,34, p= 0,001, secara berurutan . Uji probabilitas menunjukkan bahwa apabila TBJ >3.100 gram dan kekuatan otot dasar panggul ABSTRACT
Stess urinary incontinence is the most frequent found during pregnancy with the highest prevalence in the last four weeks of pregnancy. It is known that weaken pelvic floor muscle is one of the causes of stress urinary incontinence. This study aims to know the relationship between the strength of pelvic floor muscle and stress urinary incontinence in late third trimester of pregnancy and its associated factors.A cross-sectional study was conducted involving women with 36 until 40 weeks of pregnancy at Obstetric and Gynecology clinic of Tebet Subdistrict Hospital, Jakarta. Collected data included medical interview, Questionnaire for Urinary Incontinence Diagnosis QUID , physical examination, perineometer, and cough test. Among 142 samples, 54.2 had stress urinary incontinence. Discovered that pelvic floor muscle, and estimated fetal weight had significant differences with SUI p = 0.002, < 0.001, respectively . Multivariate analysis showed the strength of pelvic floor muscle le; 25.5 cmH2O , and EFW ge; 3,100 gram were the most influenced factors for SUI OR = 2.52, p = 0.021 dan OR = 3.34, p = 0.001, respectively . The likelihood of SUI was 75.39 if the strength of PFM was le; 25.5 cmH2O,and EFW ge; 3,100 gram. Weaken pelvic floor muscle, and EFW were the factors influencing SUI."
2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Caroline Gladys Puspita
"ABSTRAK
Kejadian inkontinensia alvi pasca salin di Asia lebih rendah dibandingkan di Afrika
maupun Eropa. Primipara diketahui lebih sulit menghadapi gangguan ini sehingga
ikatan Ibu dengan bayi berkurang, kesejahteraan bayi baru lahir menurun hingga terjadi
pembatasan interaksi sosial dan depresi. Faktor-faktor yang mempengaruhi
inkontinensia alvi pasca salin multifaktorial dan bersifat kontroversial, antara lain;
indeks massa tubuh, cara persalinan, durasi kala dua, berat lahir bayi, episiotomi, dan
cedera sfingter ani. Akan tetapi, data maupun faktor-faktor yang mempengaruhi
inkontinensia alvi pasca salin belum terekam dengan baik di Indonesia. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui insidens inkontinensia alvi pada primipara dan
faktor-faktor yang mempengaruhi saat persalinan serta menentukan kemungkinan
terjadinya inkontinensia alvi pasca salin. Penelitian kohort prospektif ini dilakukan di
rumah sakit dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta pada primipara yang bersalin sejak
Januari hingga Desember 2017. Sebanyak 279 perempuan dengan kehamilan tunggal
dan cukup bulan diikuti dan dinilai kejadian inkontinensia alvi menggunakan kuesioner
Wexner pada enam minggu dan tiga bulan pasca salin. Insidens inkontinensia alvi
sebesar 4.3 persen pada enam minggu dan menurun menjadi 2.5 persen pada tiga bulan pasca
salin. Berat lahir ≥ 3.097,5 gram (p=0,033; RR=6,5, IK95 persen 1,19-19,76), persalinan
dengan alat (p= 0,01; RR=6,5; IK95 persen 1,96-24,99), dan cedera sfingter ani (p kurang dari 0,001;
RR=58,50; IK95 persen 10,6-322,48) memiliki peran terhadap inkontinensia alvi pasca salin.
Sebaliknya, indeks massa tubuh, episiotomi dandurasi kala dua tidak mempengaruhi.
Kemungkinan terjadinya inkotinensia alvi pasca salin dibagi menjadi rendah (0,67 persen-4,44 persen), sedang (20,15 persen-26,12 persen) dan tinggi (65,77 persen-92,97 persen) bergantung dari tiga
variabel yang berperan tersebut. Inkontinensia alvi pasca salin pada primipara sebesar
4.3 persen akan menurun pada tiga bulan pasca salin. Cedera sfingter ani, persalinan
pervagina, dengan alat dan berat lahir lebih dari 3097,5 gram merupakan faktor yang
dapat digunakan untuk menentukan kemungkinan terjadinya inkontinensia alvi."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S70368
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Rafika
"Latar Belakang: Inkontinensia urin (IU) merupakan salah satu masalah kesehatan dengan prevalensi dan beban yang cukup tinggi di dunia. Inkotinensia urin tekanan (SIU) merupakan salah satu bentuk inkontinensia urin dengan prevalensi di Indonesia berkisar antara 14,57-52%. Latihan otot dasar panggul merupakan salah satu pencegahan dan tatalaksana yang direkomendasikan untuk inkontinensia urin. Namun, perbandingan antara efektivitas latihan yang dilakukan selama masa kehamilan dan pasca persalinan belum pernah dilakukan sebelumnya.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas latihan otot dasar panggul pada masa kehamilan dan setelah persalinan sebagai pencegahan dan pengobatan terhadap terjadinya inkontinensia urin tekanan yang menetap pasca persalinan.
Metode: Dilakukan penelitian dengan desain uji klinis acak terkontrol dan kerangka konsep etiologik. Populasi penelitian yaitu semua ibu hamil dengan gejala inkontinensia urin tekanan. Dalam kurun waktu penelitian didapatkan sampel sebanyak 70 ibu hamil dengan gejala inkontinensia urin tekanan pasca persalinan yang dibagi dalam kelompok tanpa intervensi, kelompok latihan otot dasar panggul sejak masa kehamilan, dan kelompok latihan otot dasar panggul pasca persalinan. Data dianalisis dengan metode analisis bivariat kategorik tidak berpasangan dua kelompok.
Hasil: Dari hasil penelitian ini, didapatkan adanya hubungan yang bermakna pada ibu hamil yang diberikan latihan otot dasar panggul baik sejak masa kehamilan (p-value = 0.002) maupun pasca persalinan (p-value = 0.006) dengan penurunan proporsi kejadian inkontinensia urin tekanan menetap pasca persalinan. Namun, tidak didapatkan adanya perbedaan hasil yang bermakna secara statistik antara kelompok ibu hamil yang diberikan latihan otot dasar panggul sejak masa kehamilan dengan yang diberikan latihan pasca persalinan (p-value = 1.000).
Kesimpulan: Pada penelitian ini tidak didapatkan adanya perbedaan yang bermakna antara latihan otot dasar panggul pada masa kehamilan dan setelah persalinan. Namun, latihan otot dasar panggul pada masa kehamilan dan setelah persalinan terbukti efektif dalam pencegahan dan pengobatan terhadap terjadinya inkontinensia urin tekanan yang menetap pasca persalinan dibandingkan dengan yang tidak melakukan.

Background: Urinary incontinence (UI) is one of the problematic health problems with high prevalence and monetary burden in the world. Stress urinary incontinence is one form of UI with a prevalence of 14.57 -52% in Indonesia. Pelvic floor muscle training (PFMT) is one of its recommended preventive and curative measures. Nevertheless, comparison between PFMT initiated during pregnancy period and postpartum period has never been studied before.
Objective: This study aims to determine the effectiveness of pelvic floor muscle exercises during pregnancy and after childbirth as prevention and treatment of the occurrence of persistent postpartum urinary incontinence.
Method: A randomized controlled trials with an etiological conceptual framework was done in this study. The study population were all pregnant women with symptoms of urinary incontinence. In the study period, a sample of 70 pregnant women with symptoms of postpartum urinary incontinence consisting of no-intervention group, pregnancy PFMT group, and postpartum PFMT group. The data were analyzed by two groups of unpaired categorical bivariate analysis methods.
Results: It was found that there was a significant association between pregnant women given pelvic floor muscle training (PFMT) both during pregnancy (p-value = 0.002) and postpartum (p-value = 0.006) with decline of persistent postpartum urinary incontinence proportion. However, there was no statistically significant difference of outcome found in the group of pregnant women given PFMT since pregnancy with those who were given after childbirth, p-value = 1,000.
Conclusion: In this study there was no significant difference of outcome between PFMT during pregnancy and after delivery. However, PFMT during pregnancy and after childbirth have been proven effective in the prevention and treatment of the occurrence of postpartum urinary incontinence compared with those who did not.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58707
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asih Anggraeni
"ABSTRAK
Inkontinensia urin sering ditemukan pada 50% wanita yang berusia dibawah 60. Yang terbanyak adalah inkontinensia urin jenis tekanan (IUT) sebesar 49%. Diketahui bahwa kelemahan otot dasar panggul merupakan salah satu penyebab inkontinensia urin jenis tekanan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji hubungan antara kekuatan otot dan ketebalan otot levator ani dengan keluhan IU-T pada perempuan. Penelitian ini menggunakan desain Comparative Cross Sectional dengan melibatkan wanita yang berkunjung di poliklinik Obstetri dan Ginekologi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dengan kelompok studi adalah subyek dengan tes batuk positif sedangkan kelompok kontrol adalah subyek dengan tes batuk negative. Data yang diperoleh berupa hasil anamnesis, Questionnaire for Urinary Incontinence Diagnosis (QUID), pemeriksaan fisik (POPQ), tes batuk. perineometer, dan USG. Sampel berjumlah 82 orang. Hasil penelitian ini didapatkan tidak ada perbedaan bermakna antara ketebalan otot levator ani terhadap kejadian IUT dengan median ketebalan otot levator ani 0,63 cm (range 0,31-1,02 dan p=0,897). Sedangkan kekuatan otot levator ani terhadap IUT memiliki median 19,5 (range 4,6-88,6 dan p=0,001). Pada analisis multivariat didapatkan bukti bahwa secara murni IUT, prolap dan usia tidak mempunyai pengaruh bermakna terhadap kekuatan otot levator ani dengan nilai p masing-masing 0,243; 0,844; 0,903.

ABSTRACT
Urinary incontinence is often found in 50% of women under the age of 60. The most common is pressure type urinary incontinence (IUT) of 49%. It is known that pelvic floor muscle weakness is one of the causes of pressure type urinary incontinence. This study aims to examine the relationship between muscle strength and levator ani muscle thickness with IU-T complaints in women. This study uses a Comparative Cross Sectional design by involving women visiting the Obstetrics and Gynecology clinic of RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo with the study group were subjects with positive cough tests while the control group were subjects with negative cough tests. The data obtained in the form of history taking, Questionnaire for Urinary Incontinence Diagnosis (QUID), physical examination (POPQ), cough test. perineometer, and ultrasound. A sample of 82 people. The results of this study found no significant difference between the levator ani muscle thickness to the incidence of IUT with the median levator ani muscle thickness 0.63 cm (range 0.31-1.02 and p = 0.897). While levator ani muscle strength against IUT has a median of 19.5 (range 4.6-88.6 and p = 0.001). In multivariate analysis it was found that purely IUT, prolapse and age had no significant effect on the strength of levator ani muscles with a p value of 0.243 each; 0.844; .903."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>