Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 152440 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hendrick Ho
"Hibah adalah pemberian seseorang semasa hidupnya kepada orang lain secara sukarela tanpa mengharapkan imbalan apapun. Pemberian hibah berupa tanah dan/atau bangunan harus melalui Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Hibah pada umumnya tidak dapat dibatalkan, namun terdapat suatu situasi di mana hibah dapat dibatalkan yaitu berkaitan dengan Pasal 1688 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif. Dalam tesis ini Penulis membahas mengenai perlindungan hukum pembeli objek hibah yang objek hibahnya dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Dalam kasus ini sengketa hibah terjadi karena adanya gugatan dari kedua orang tuanya yang tidak diberi nafkah oleh anak yang menerima hibah. Oleh karena objek hibah telah dijual kepada pihak ketiga dan Mahkamah Agung telah menangkan pihak penggugat sehingga dianggap tidak pernah ada hibah, maka objek hibah kembali menjadi milik pemberi hibah. Simpulan dari tesis ini adalah pihak ketiga terlindungi secara hukum dengan melakukan tindakan hukum berupa gugatan ke pengadilan, dan Notaris/PPAT tidak dapat dimintai pertanggungjawaban karena telah melaksanakan tugasnya sesuai prosedur.
.....
Grant is gift from someone in his lifetime to others voluntarily without expect anything in returns. In the form of the provision of land grant and/or buildings must be through official land deeds officer (PPAT). Grants are generally unable to be revoked, but there is a situation which grants can be revoked based on Article 1688 of Indonesia Civil Code. The research?s method of this thesis is normative juridical. In this thesis, writers discussed on protection law grants buyers object to which the objects of grants be revoked by the supreme court. In this case dispute grant occur because of a lawsuit from both parents who was not provided with a living by children who received grant. Because of the grant object had been sold to third party and the supreme court had won the plaintiff that there was never any grants, then grant object turn back became the property of grant providers. Conclusions from this thesis is the third parties are protected by the law with conduct of legal proceedings in the form of claim to the court, and Notary/ official land deeds officer (PPAT) cannot accused for accountability for performing his task because he did his task in accordance with procedures."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
T43981
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuni Sofiyah
"Kepastian dan perlindungan hukum bagi kreditur dalam pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia menjadi isu penting, terutama setelah lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 18/PUU-XVII/2019 dan Nomor: 2/PUU-XIX/2021. Putusan tersebut memberikan dampak signifikan terhadap mekanisme eksekusi jaminan fidusia di Indonesia, khususnya dalam menyeimbangkan hak-hak kreditur dan debitur. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh kedua putusan tersebut terhadap kepastian hukum dan perlindungan bagi kreditur dalam praktik eksekusi jaminan fidusia. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan, doktrin hukum, serta putusan pengadilan. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 18/PUU-XVII/2019, ditegaskan bahwa eksekusi jaminan fidusia oleh kreditur hanya dapat dilakukan apabila terdapat kesepakatan terkait wanprestasi antara kreditur dan debitur atau melalui penetapan pengadilan. Sementara itu, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 2/PUU-XIX/2021 memperkuat perlindungan terhadap debitur dengan memastikan adanya mekanisme keberatan dalam proses eksekusi. Hasil analisis menunjukkan bahwa kedua putusan tersebut mengubah orientasi eksekusi jaminan fidusia dari yang sebelumnya berfokus pada kepentingan kreditur menjadi lebih berimbang dengan memperhatikan hak debitur. Namun, perubahan ini memunculkan tantangan berupa potensi keterlambatan dan peningkatan biaya eksekusi. Oleh karena itu, diperlukan penyusunan regulasi yang lebih komprehensif untuk memastikan kepastian hukum bagi kreditur sekaligus melindungi hak-hak debitur. Kesimpulannya, Putusan Mahkamah Konstitusi menghadirkan reformasi hukum yang penting dalam pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia. Namun, harmonisasi regulasi tetap diperlukan untuk mewujudkan keseimbangan antara kepastian hukum bagi kreditur dan keadilan bagi debitur.

Legal certainty and protection for creditors in the execution of fiduciary guarantees have become significant issues, particularly following the Constitutional Court Decisions No. 18/PUU-XVII/2019 and No. 2/PUU-XIX/2021. These decisions have significantly impacted the mechanism for executing fiduciary guarantees in Indonesia, especially in balancing the rights of creditors and debtors. This study aims to analyse the influence of these decisions on legal certainty and creditor protection in fiduciary guarantee executions. This research employs a normative juridical approach, referencing statutory regulations, legal doctrines, and court rulings. Constitutional Court Decision No: 18/PUU-XVII/2019 stipulates that the execution of fiduciary guarantees by creditors can only be conducted if there is an agreement on default between the creditor and debtor or through a court ruling. Meanwhile, Constitutional Court Decision No: 2/PUU-XIX/2021 reinforces debtor protection by ensuring an objection mechanism during the execution process. The analysis reveals that these decisions have shifted the orientation of fiduciary guarantee executions from being creditor-centric to a more balanced approach that considers debtor rights. However, this shift introduces challenges, including potential delays and increased execution costs. Therefore, comprehensive regulatory reform is necessary to ensure legal certainty for creditors while protecting debtor rights. In conclusion, the Constitutional Court Decisions represent significant legal reforms in fiduciary guarantee executions. However, regulatory harmonization is still required to achieve a balance between legal certainty for creditors and fairness for debtors."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lumbrini Yudhapramesti
"ABSTRAK
Pejabat Lelang sebagai pejabat umum yang membuat akta autentik berupa Risalah Lelang, bertanggung jawab terhadap autentisitasnya. Pejabat Lelang juga bertanggung jawab terhadap legalitas formal subjek dan objek lelang, serta membantu permohonan lelang yang diajukan padanya. Lelang merupakan sistem jual beli secara terbuka yang handal, aman dan terpercaya, dan harus selalu dilakukan menurut prosedur yang berlaku. Lelang bertujuan untuk menjamin kepastian hukum dari segala bentuk pengalihan hak atas objek lelang. Namun demikian, pada pengalihan hak objek lelang pada Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 481 K/TUN/2016, walaupun lelang telah dilakukan sesuai dengan prosedur yang berlaku, telah menimbulkan ketidakpastian hukum dengan pembatalan objek lelangnya oleh Peradilan Tata Usaha Negara. Hal tersebut dapat menimbulkan ketidakpercayaan mengenai keamanan dan perlindungan hukum dari mekanisme lelang, sehingga pada akhirnya dapat menghambat perkembangan lelang noneksekusi sukarela di masyarakat. Berdasarkan kasus tersebut, maka tesis ini menguraikan pengalihan hak melalui mekanisme lelang noneksekusi sukarela untuk objek lelang yang dilakukan oleh Pejabat Lelang Kelas II agar lebih menjamin perlindungan hukum bagi pembeli, dan tanggung jawab pejabat lelang kelas II terhadap objek lelang yang dibatalkan oleh Peradilan Tata Usaha Negara tersebut. Tesis ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif bersifat deskriptif analitis. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa terdapat kekeliruan di Badan Pertanahan Nasional BPN yang telah menerbitkan objek lelang ketika sedang dalam sengketa di Peradilan Tata Usaha Negara. Agar dimasa mendatang tidak terjadi kasus serupa yang dapat merugikan berbagai pihak, disarankan kepada Pejabat Lelang dan Peserta/Pembeli Lelang selalu menerapkan prinsip ketelitian dan kehati-hatian yaitu dengan meneliti dan mengetahui secara terperinci mengenai keadaan dan status hukum dari objek lelang dimaksud sebelum lelang dilaksanakan. Penulis menyarankan agar dibuat sistem verifikasi, pendaftaran, dan pengalihan hak atas tanah yang terintegrasi antara BPN dan Badan Peradilan Indonesia.Kata kunci:Pejabat Lelang, Lelang Noneksekusi Sukarela, Pengalihan Hak, Perlindungan Hukum Bagi Pembeli Lelang.

ABSTRACT
An auctioneer is a public officer who creates an authentic deed of auctions. The auctioneer is responsible for the authenticity of the auction deeds and the formal legality of the subject and the object of the auction, as well as assisting the auction request submitted. Auction is an open and reliable and safety selling and buying system, and should always be done according to the applicable procedures. The auction aims to ensure the legal certainty transfer of rights its auction object. However, on the transfer of auction object rights in the case of the Supreme Court Verdict Number 481 K TUN 2016, although the auction has been conducted in accordance with applicable procedures, it has created legal uncertainty with the cancellation of its auction object by the State Administrative Court. This case may lead to distrust of the security and legal protection of the auction mechanism, thereby ultimately impeding the development of non execution voluntary auction in the society. Based on the aforementioned case, this thesis analizes the transfer process of the auction object rights through non execution voluntary auction by Class II Auctioneer to ensure legal protection for the buyer, and the responsibility of Class II Auctioneer on the cancellation of its auction object by the State Administrative Court. This thesis research uses normative juridical method with qualitative descriptive analytical approach. The research found that there is a mistake in The Indonesian National Land Agency who issued the auction object while there is a dispute on that object in the State Administrative Court. Finally, the writer suggests that the auctioneer and the auction participants, particularly buyers, always to apply the precision and prudent principle by researching and knowing in detail the state and legal status of the auction object before the auction is held. The writer also suggests the Government to create a new integrated system between The Indonesian National Land Agency and The Indonesian Judiciary Board on the verification, registration and right transfer of the land. Keywords Auctioneer, Non execution Voluntary Auction, Transfer of Right, Legal Protection For Auction Buyer "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T50848
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ghazi Athif Mazaya
"Jual beli dengan objek tanah sebagai salah satu mekanisme peralihan hak atas tanah semestinya dilakukan sesuai dengan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria berikut peraturan pelaksananya, dalam hal ini adalah Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Namun kenyataannya banyak muncul sengketa dalam jual beli tanah yang dipicu oleh adanya perbuatan melawan hukum, seperti yang ditemukan dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1440 K/Pdt/2023. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kedudukan hukum pemilik asal dan pembeli yang beriktikad baik dalam jual beli tanah yang memunculkan sengketa serta menganalisis pelindungan hukum bagi mereka melalui pertimbangan Majelis Hakim dalam putusannya. Penelitian hukum ini berbentuk doktrinal dengan mengumpulkan data sekunder melalui studi kepustakaan yang selanjutnya dianalisis secara kualitatif. Dari hasil analisis dapat dijelaskan bahwa kedudukan hukum pemilik asal dan pembeli yang beriktikad baik dalam jual beli tanah yang memunculkan sengketa adalah bahwa pemilik asal berhak untuk memperoleh ganti rugi yang layak dan pembeli beriktikad baik berhak untuk menguasai hak atas tanah yang disengketakan. Adapun pelindungan hukum bagi pemilik asal dan pembeli beriktikad baik dapat diberikan melalui pertimbangan Majelis Hakim dalam putusannya dengan menegaskan bahwa pemilik asal berhak atas ganti rugi dari penjual yang tidak berhak (Tergugat I-IX) sementara pembeli beriktikad baik (Tergugat X) memang pantas untuk memperoleh hak atas tanah karena diterapkannya iktikad baik dalam jual beli sebagaimana ketentuan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2012, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2014, dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016.

The sale and purchase of land as one of the mechanisms for the transfer of land rights should be carried out following Law Number 5 of 1960 concerning Basic Agrarian Regulations and its implementing regulations, in this case, Government Regulation Number 24 of 1997 concerning Land Registration. However, in reality, many disputes arise in the sale and purchase of land triggered by unlawful acts, as found in the Decision of the Supreme Court of the Republic of Indonesia Number 1440 K /Pdt/2023. Therefore, this study aims to analyze the legal position of the original owner and the buyer in good faith in the sale and purchase of land that gives rise to disputes and to analyze legal protection for them through the considerations of the Panel of Judges in their decisions. This legal research is in the form of doctrinal by collecting secondary data through literature studies which are then analyzed qualitatively. From the results of the analysis, it can be explained that the legal position of the original owner and the buyer in good faith in the sale and purchase of land that gives rise to disputes is that the original owner has the right to obtain appropriate compensation and the buyer in good faith has the right to control the rights to the disputed land. Legal protection for the original owner and the good faith buyer can be provided through the consideration of the Panel of Judges in its decision by affirming that the original owner is entitled to compensation from the unlawful seller (Defendant I-IX) while the good faith buyer (Defendant X) is indeed entitled to obtain land rights because of the application of good faith in the sale and purchase as stipulated in the Circular Letter of the Supreme Court Number 7 of 2012, Circular Letter of the Supreme Court Number 5 of 2014, and Circular Letter of the Supreme Court Number 4 of 2016."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jihan Noor Fakhira
"Pejabat Pembuat Akta Tanah memiliki tugas dan kewenangan untuk membuat akta-akta autentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun antara lain pembuatan akta jual beli. Namun, pada praktiknya pembuatan akta jual beli yang dibuat di hadapan pejabat pembuat akta tanah dimungkinkan didasari sertipikat pengganti yang diterbitkan atas perbuatan melawan hukum oleh penjual meskipun telah dilakukan pengecekan melalui kantor pertanahan. Sebagaimana kasus pada Putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta Nomor 91/PDT/2021 PT YYK yang menggunakan sertipikat pengganti yang diperoleh melawan hukum sebagai dasar perbuatan jual beli yang mengakibatkan terjadinya peralihan hak kepada pihak lain. Adapun permasalahan yang dirumuskan dalam tesis ini adalah mengenai keabsahan akta jual beli dengan menggunakan sertipikat pengganti yang diterbitkan atas perbuatan melawan hukum dan bagaimana perlindungan hukum bagi pejabat pembuat akta tanah terhadap akta jual beli menggunakan sertipikat tanah pengganti yang diperoleh atas perbuatan melawan hukum. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder yang diperoleh dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang diolah secara kualitatif. Bahwa dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan terhadap akta jual beli yang dibuat menggunakan sertipikat pengganti yang diperoleh secara melawan hukum adalah batal demi hukum karena tidak memenuhi syarat sah suatu perjanjian terhadap unsur suatu sebab yang halal yang merupakan syarat objektif sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Perlindungan hukum bagi pejabat pembuat akta tanah berdasarkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2018 adalah adanya bantuan hukum berupa pemberian saran, pendampingan dalam penyidikan dan keterangan ahli oleh Majelis Pembina dan Pengawas.

The Land Deed Making Officer has the duty and authority to make authentic deeds regarding certain legal acts regarding land rights or property rights to units of flats, including the making of sale and purchase deeds. However, in practice, the making of a sale and purchase deed made before the land deed-making official may be based on a substitute certificate issued for unlawful acts by the seller even though it has been checked through the land office. As the case in the Yogyakarta High Court Decision Number 91/PDT/2021 PT YYK which uses substitute certificates obtained against the law as the basis for buying and selling actions that result in a transfer of rights to other parties. The problem formulated in this thesis is regarding the validity of the sale and purchase deed using a substitute certificate issued for unlawful acts and how is the legal protection for the land deed-making officer against the sale and purchase deed using a substitute land certificate obtained for unlawful acts. This research uses normative juridical research methods using secondary data obtained from primary legal materials and qualitatively processed secondary legal materials. That from the results of this study, it can be concluded that the sale and purchase deed made using a substitute certificate obtained unlawfully is null and void because it does not meet the valid conditions of an agreement against the element of a lawful cause which is an objective requirement as stipulated in Article 1320 of the Civil Code. Legal protection for land deed-making officials based on the Regulation of the Minister of Agrarian affairs and Spatial Planning / Head of the National Land Agency Number 2 of 2018 is the existence of legal assistance in the form of providing advice, assistance in investigations and expert information by the Board of Trustees and Supervisors."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fadila Amelia Muhammad
"Notaris adalah pejabat umum yang melaksanakan jabatannya dalam memberikan pelayanan jasa hukum dibidang keperdataan dalam hal pembuatan akta otentik memerlukan perlindungan hukum. Perlindungan hukum bagi Notaris adalah apabila Notaris itu sendiri telah berada dijalur yang tepat yaitu dengan memperhatikan semua dokumen-dokumen asli dalam proses pembuatan akta untuk para pihak yang bersangkutan dan menaati pelbagai peraturan perundang-undangan yang ada, maka tindakan Notaris tersebut sudah melindungi dirinya sendiri secara hukum meskipun terdapat gugatan dari pihak ketiga (bukan pihak dalam akta). Menyangkut gugatan pihak ketiga ini secara otomatis akan berpengaruh terhadap akta yang dibuat Notaris tersebut. Dalam hal ini, akta otentik tersebut mempunyai Asas Praduga Sah dimana akta tersebut tetap dianggap sah dimuka pengadilan sampai ada pihak yang membuktikan yang sebaliknya. Tesis ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan analisis data secara kualitatif. Dari hasil analisis dapat ditarik kesimpulan bahwa Notaris mendapatkan Perlindungan Hukum karena Notaris itu sendiri telah menaati aturan hukum yang berlaku pada saat proses pembuatan akta sekalipun ada gugatan dari pihak ketiga dan akta otentik yang dibuatnya mempunyai Asas Praduga Sah.

Notary is a public official who implement the occupation in providing legal services in private law of the creation of an authentic deed requires legal protection. Legal protection for notary is in Notary itself had been in the right track that having regard to all the original documents in the process of making the deed to the parties concerned and comply with the various laws and regulations that exist, so that the Notary’s act has already been protect legally while there may be a lawsuit from a third party (not a party in the deed). A lawsuit from the third-party will automatically affect the Notarial deed made. In this case, the authentic deed had a Legitimate basis for the presumption of an act which still considered valid upfront court until there is the party that proves the opposite. This thesis is using the method of research juridical normative with analysis of data in a qualitative manner. From the results of an analysis of the conclusions, may be drawn that a notary get the legal protection because the notary itself has obey the rule of law prevailing at the process of making the deed although there's a lawsuit from the third party and the authentic deed which has been made have the principle of presumption valid."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T32921
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Putu Vinka Rinjani
"Tesis ini membahas tentang pembatalan sertipikat hak atas tanah yang di studi melalui Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2148 K/PDT/2019. Dalam putusan tersebut, sertipikat hak atas tanah dibatalkan karena pihak yang namanya tercantum dalam sertipikat bukan pemilik yang sah atas obyek tanah yang bersangkutan. Dengan adanya pembatalan maka sertipikat hak atas tanah sudah tidak berlaku lagi. Hal ini menimbulkan masalah lainnya karena obyek tanah yang bersangkutan sudah dijual kepada pihak lain. Pembeli menjadi dirugikan karena ia menjadi kehilangan haknya atas tanah tersebut. Untuk itu permasalahan yang dianalisis dalam penelitian ini adalah perlindungan hukum bagi pihak yang dirugikan dalam pembatalan sertipikat hak atas tanah serta tanggung jawab PPAT, PPAT Sementara, dan Kantor Pertanahan akibat adanya pembatalan sertipikat hak atas tanah tersebut. Penelitian yuridis normatif yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan studi dokumen yang diperkuat dengan wawancara. Hasil analisis yang didapatkan dari penelitian ini adalah pembeli sebagai pihak yang dirugikan dalam pembatalan sertipikat hak atas tanah dapat mengajukan gugatan ganti rugi berdasarkan perbuatan melawan hukum kepada penjual. Kemudian terhadap adanya pembatalan sertipikat hak atas tanah, PPAT dan PPAT Sementara tidak dapat dikenakan sanksi administratif, perdata, maupun pidana apabila ia telah mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur peraturan jabatan PPAT dan kode etik PPAT dalam membuat akta jual beli. Adapun, tanggung jawab Kantor Pertanahan adalah untuk melaksanakan putusan pengadilan mengenai pembatalan sertipikat hak atas tanah tersebut. Selain itu, Kantor Pertanahan juga dapat dituntut ganti rugi oleh pembeli karena telah menyebabkan kerugian.

This thesis is discuses about the annulled of the certificate of land rights based on the Verdict of the Supreme Court of the Republic of Indonesia Number 2148 K/PDT/2019, in accordance to the verdict, the certificate of land rights has been annulled because the party whose name is listed on it is not legally the owner of the land object. Therefor the certificate is no longer valid. This creates another problem because the land object in question has been sold to another party. The buyer is harmed because he loses his right to the land. For this reason, the problems analyzed in this study are legal protection for the aggrieved party in the cancellation of the certificate of land rights and the responsibilities of the PPAT, Temporary PPAT, and the Land Office due to the cancellation of the certificate of land rights. The normative juridical research conducted in this study used a document study that was strengthened by interviews. The results of the analysis obtained from this study are the buyer as the party who is disadvantaged in the cancellation of the certificate of land rights can file a claim for compensation based on unlawful acts to the seller. Then for the cancellation of land rights certificates, PPAT and Temporary PPAT cannot be subject to administrative, civil, or criminal sanctions if they have complied with the provisions of the laws and regulations governing the PPAT position regulations and the PPAT code of ethics in making the deed of sale and purchase. Meanwhile, the responsibility of the Land Office is to implement the court's decision regarding the cancellation of the certificate of land rights. In addition, the Land Office can also be sued for compensation by the buyer for causing a loss."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Manurung, Joshua Gabriel Marcellio
"Skripsi ini membahas tentang permasalahan 1) perlindungan hukum bagi pemegang polis terhadap tindakan Twisting dan Churning di Indonesia dan Inggris; dan 2) perbandingan perlindungan hukum bagi pemegang polis terhadap tindakan tindakan Twisting dan Churning di Indonesia dengan Inggris. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan penggunaan data primer berupa wawancara dengan pihak yang berpengalaman di bidang asuransi, serta data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Analisis data dilakukan secara kualitatif. Hasil penelitian ini adalah 1) di Indonesia, bentuk perlindungan hukum terhadap tindakan Twisting dan Churning adalah dengan memberikan tanggung jawab atas penggantian kerugian kepada perusahaan asuransi, hak untuk melakukan pengaduan ke perusahaan asuransi, BPKN, LPKSM dan BPSK, kewajiban perusahaan asuransi untuk melakukan pengendalian internal dalam rangka pencegahan tindakan Twisting dan Churning, kewenangan OJK untuk memerintahkan perusahaan asuransi memberhentikan perjanjian keagenan, penyelesaian sengketa melalui LAPS SJK, BPSK, dan pengadilan umum, serta pemberian sanksi kepada agen asuransi; sedangkan di Inggris, bentuk perlindungan hukum terhadap tindakan Twisting dan Churning adalah dengan memberikan tanggung jawab atas penggantian kerugian kepada perusahaan asuransi, hak untuk melakukan pengaduan ke perusahaan asuransi dan FOS, serta penyelesaian sengketa melalui mediasi FOS, arbitrase, dan county courts; 2) Perbandingan antara Indonesia dan Inggris terkait perlindungan hukum bagi pemegang polis terhadap tindakan Twisting dan Churning adalah adalah tidak adanya kewajiban bagi perusahaan asuransi untuk melakukan pengendalian internal dalam rangka pencegahan tindakan Twisting dan Churning di Inggris, tidak ada penyelesaian sengketa berupa arbitrase atau konsiliasi FOS, tidak ada penindaklanjutan dari FCA, serta tidak ada mekanisme pemberian sanksi kepada agen asuransi secara eksplisit di Inggris. Selanjutnya, saran dari Penulis adalah dibuatnya pengaturan perudangan mengenai masa tunggu yang wajib dilalui agen asuransi setelah pindah ke perusahaan asuransi yang baru.

This thesis discusses the problems of 1) legal protection for policyholders against act of Twisting and Churning in Indonesia and the UK; and 2) comparison of legal protection for policyholders against acts of Twisting and Churning in Indonesia and the UK. The research method used is normative juridical with the use of primary data in the form of interviews with parties experienced in the field of insurance, as well as secondary data in the form of primary, secondary, and tertiary legal materials. Data analysis is done qualitatively. The results of this study are 1) in Indonesia, the form of legal protection against Twisting and Churning actions is by providing responsibility for compensation of losses to insurance companies, the right to make complaints to insurance companies, BPKN, LPKSM and BPSK, the obligation of insurance companies to carry out internal controls in order to prevent Twisting and Churning actions, OJK's authority to order insurance companies to terminate agency agreements, dispute resolution through LAPS SJK, BPSK, and general courts, as well as sanctions against insurance agents; while in the UK, the form of legal protection against Twisting and Churning is to provide liability for compensation to the insurance company, the right to complain to the insurance company and the FOS, as well as dispute resolution through FOS mediation, arbitration, and county courts; 2) The comparison between Indonesia and the UK regarding legal protection for policyholders against Twisting and Churning is that there is no obligation for insurance companies to carry out internal controls in order to prevent Twisting and Churning in the UK, there is no dispute resolution in the form of FOS arbitration or FOS conciliation, no follow-up from the FCA, and there is no mechanism for sanctioning insurance agents explicitly in the UK. Furthermore, the author's suggestion is to make a regulation regarding the waiting period that must be passed by insurance agents after moving to a new insurance company."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pasaribu, Solafide Christova
"Cek dan Bilyet Giro saat ini dikenal sebagi surat berharga yang lazim digunakan oleh masyarakat sebagai alat pembayaran yang praktis karena dapat dialihkan dari suatu tangan ke tangan yang lain untuk menunjang kelancaran kegiatan bisnis. Menurut Surat Edaran Bank Indonesia, cek merupakan perintah tidak bersyarat dari pemegang rekening atau nasabah giro kepada bank untuk membayar sejumlah uang tertentu, sedangkan bilyet giro merupakan janji bayar dalam bentuk pemindahbukuan. Namun demikian yang menjadi masalah adalah pada saat diajukan kepada bank ternyata dana nasabah pada bank tidak mencukupi untuk melakukan pembayaran atau pemindahbukuan atau sering disebut sebagai cek atau bilyet giro kosong. Akibat dari penggunaan cek dan bilyet giro yang berkembang di dalam masyarakat, bank-bank sebagai penerbit cek dan bilyet giro sering dibuat terikut-ikut dalam permasalahan hukum yang dilakukan oleh nasabahnya. Perlindungan hukum terhadap penerima cek kosong adalah jaminan hukum berupa hak regres dalam hal tidak ada pembayaran hak regres baru akan timbul bila pemegang surat cek tidak mendapat pembayaran dari tersangkut setelah diminta pembayaran dalam 70 hari semenjak tanggal penerbitannya. Kemudian Bank Indonesia memberikan sanksi administratif kepada penerbit cek atau bilyet giro kosong dengan cara memasukkan data penerbit dalam Daftar Hitam Nasional, namun belum pengaturan yang menegaskan bahwa penggunaan cek atau bilyet giro kosong dapat dikategorikan perbuatan melawan hukum secara perdata maupun pidana. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu aturan yang sudah dapat mengkategorikan penggunaan cek atau bilyet giro sebagai jaminan utang yang mengakibatkan perbuatan melawan hukum dalam konteks perdata dan perbuatan melawan hukum dalam kontek pidana.

Currently Cheque and Giro are known as securities that commonly used by public as payment tools because it can be transferred from one hand to another to support the continuity of business activities. According to the Circular Letter of Central Bank of Indonesia, cheque is an unconditional order from an account holder or current account customer to the bank to pay a certain amount of money, while bilyet giro means a promise to pay by transferring money from giro account to another account. However the problem is when this cheque or bilyet giro is submitted to bank for disbursing or transferring purposes, evidently the amount in the customer’s account are not sufficient to pay or transfer as its written, then its condition often referred to as blank cheque or blank bilyet giro. As a result of the use of cheque and bilyet giro that has developed in society, banks as the issuer of cheque and bilyet giro are often involved in legal problems committed by their customers. The legal protection for the recipient of a blank cheque is a legal guarantee in the form of regression rights in the absence of payment. A new regression right will arise if the cheque letter holder does not receive payment from the suspect after being requested for payment within 70 days from the date of issue. Then Central Bank of Indonesia will charge the administrative penalty to an Issuer of blank cheque or bilyet giro by entering the issuer to the National Blacklist (DHN), however there is no any regulations that emphasize that the utilizing of black cheque or bilyet giro could be categorized as act against the law in the form of civil law or criminal law. Therefore, it is necessary to create regulation that already categorize the utilizing of cheque or bilyet giro as debts guarantee that cause any legal consequences in the form of civil law as well as criminal law."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sigit Martono
"Penerapan Upaya paksa berupa penyitaan barang-barang yang diduga terkait suatu tindak pidana menimbulkan berbagai potensi kerugian bagi pihak-pihak yang barang / asetnya digunakan sebagai alat bukti proses peradilan. Potensi kerugian ditimbulkan karena hilangnya penguasaan atas hak kebendaan yang melekat pada barang yang disita untuk tujuan pembuktian dipengadilan. Penyitaan barang sebagai alat pembuktian tersebut melalui putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap akan ditentukan statusnya baik berupa pengembalian kepada pemilik awal benda itu disita atau bahkan diputuskan untuk dirampas sebagai upaya pengembalian kerugian negara, dengan alasan merupakan hasil dari tindak pidana dan hukuman tambahan bagi terpidana. Penyitaan dan perampasan barang tersebut sangat mungkin menempatkan pihak ketiga beriktikad baik menderita kerugian karena jangka waktu persidangan yang relatif lama hingga mendapatkan putusan yang berkekuatan hukum tetap, terlebih jika benda itu diputuskan untuk dirampas. Sedangakan pengembalian barang terhadap pemilik awal barang-barang itu disita pun tidak dapat mengahapus kerugian yang diderita oleh pihak yang bersangkutan karena adanya penurunan nilai barang maupun potensi keuntungan investasi yang seharusnya dapat dihindari, sedangkan ketentuan hukum terkait perlindungan aset milik pihak ketiga beriktikad baik tidak secara jelas dan tegas mengatur bagaimana upaya hukum dapat dilakukan baik berupa praperadilan terhadap upaya paksa yang dilakukan maupun upaya keberatan terhadap putusan perampasan.

Implementation Efforts in the form of forced confiscation of goods suspected of a crime related cause a variety of potential harm to the parties that the goods / assets used as evidence in judicial proceedings . Potential losses incurred due to loss of control over property rights attached to the items seized for evidentiary purposes in court. Confiscation of goods as a means of proving that a court ruling which legally binding status will be determined either returns to the initial owner of the thing seized or even decided to deprived as indemnification of state efforts, the reason is the result of a criminal offense and additional penalties for convicted. Seizure and confiscation of goods is very likely to put third parties of good will suffer a loss due to a period of relatively long proceedings to obtain a legally binding decision, especially if it is decided to capture. While the return of goods to the initial owner of the goods - the goods seized were not able to erase losses suffered by the parties concerned because of the decrease in the value of the goods and the potential return on investment that should be avoided , while the legal provisions regarding the protection of assets belonging to third parties of good will are not clearly and strictly regulate how the remedy can be done either in the form of pretrial against forceful measures and efforts made objections against the decision of deprivation."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S57281
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>