Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 167598 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lidya Anissa
"Pada penderita kanker paru terjadi inflamasi sistemik dan dapat dilihat dengan peningkatan rasio netrofil limfosit di mana pemeriksaan ini lazim dilakukan di Rumah Sakit. Inflamasi sitemik dapat menyebabkan anoreksia sehingga asupan pada penderita kanker paru menurun dan memengaruhi status gizinya.  Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara status gizi dengan rasio netrofil limfosit pada pasien kanker paru di RSUP Persahabatan. Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional. Data diambil dari wawancara, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan dari rekam medis pasien poliklinik onkologi RSUP Persahabatan (n=52). Pada penelitian ini subjek sebagian besar berjenis laki-laki (61,5%), rentang usia terbanyak antara 50-60 tahun (38,5%), memiliki riwayat merokok (55,8%) dengan indeks Brinkman berat (30,8%). Lebih dari 50% subjek dengan asupan energi dan protein dibawah rekomendasi asupan untuk pasien kanker. Sebagian besar subjek penelitian berisiko malnutrisi atau malnutrisi sedang (38,5%) dan sebanyak 67,3% mengalami malnutrisi. Sebagai kesimpulan tidak terdapat hubungan antara status gizi dengan rasio netrofil limfosit pada penelitian ini (p = 0,35).

Systemic inflammation in patients with lung cancer can be seen by the increase in the neutrophil lymphocyte ratio where these examinations are common in hospitals. Systemic inflammation can cause anorexia, with the result that nutrition intake of patients with lung cancer decreases and affects their nutritional status. This study aims to determine the association between nutritional status and the ratio of lymphocyte neutrophils in patients with lung cancer at Persahabatan Hospital. This is a cross-sectional study. Data were taken from interviews, physical examinations, laboratory analysis, and patients medical records in the oncology clinic of Persahabatan Hospital (n = 52) The subjects of the study were mostly male (61.5%), the largest age range was between 50-60 years (38.5%), had a history of smoking (55.8%) with a severe Brinkman index (30.8%). More than 50% of the subjects with energy and protein intake were below the recommended intake for cancer patients. Most of the study subjects were at risk of malnutrition or moderate malnutrition (38.5%) and 67.3% of them were experiencing malnutrition. In conclusion, there was no relationship between nutritional status with the ratio of neutrophil to lymphocytes in this study (p = 0.35)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bimo Dwi Pramesta
"Obstruksi saluran cerna adalah kondisi yang sering memerlukan operasi dan dapat menyebabkan komplikasi serius. Neutrophil-to-lymphocyte ratio (NLR) telah digunakan sebagai indikator inflamasi pada berbagai kondisi medis, namun penelitian mengenai hubungan antara NLR dan obstruksi saluran cerna masih terbatas. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi peran NLR sebagai prediktor praoperasi yang hemat biaya dan sederhana terhadap mortalitas dan morbiditas pascaoperasi, khususnya infeksi luka operasi pada pasien dewasa dengan obstruksi saluran cerna. Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang yang dilakukan pada pasien dewasa dengan obstruksi saluran cerna di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta. Sampel penelitian terdiri dari 150 pasien dengan karakteristik dasar yang meliputi jenis kelamin, usia, jenis obstruksi saluran cerna, dan kadar neutrofil dan limfosit. Pasien yang meninggal pascaoperasi memiliki rata-rata NLR yang lebih tinggi (26,50) dibandingkan dengan pasien yang masih hidup (9,77). Analisis multivariat menunjukkan bahwa NLR merupakan faktor prediktif independen untuk morbiditas (OR = 1,37) dan mortalitas pasien (OR = 1,10). Penelitian ini juga mengidentifikasi cut-off nilai NLR praoperasi terbaik untuk menjadi prediktor morbiditas (9,95) dan mortalitas (12,51) pasien obstruksi saluran cerna pascaoperasi dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi. Temuan ini menunjukkan bahwa NLR dapat digunakan sebagai indikator yang dapat diandalkan dalam memprediksi hasil operasi pada pasien obstruksi saluran cerna

Intestinal obstruction is a condition that often requires surgery and can lead to serious complications. Neutrophil-to-lymphocyte ratio (NLR) has been used as an inflammation indicator in various medical conditions, but research on the relationship between NLR and intestinal obstruction is still limited. Therefore, this study aims to evaluate the role of NLR as a cost-effective and simple preoperative predictor of postoperative mortality and morbidity, particularly surgical site infection, in adult patients with intestinal obstruction. This study is a cross-sectional study conducted at Cipto Mangunkusumo Hospital in Jakarta. The study sample consists of 150 adult patients with intestinal obstruction, with baseline characteristics including gender, age, type of intestinal obstruction, and neutrophil and lymphocyte levels. Patients who died postoperatively had a higher average NLR (26.50) compared to those who survived (9.77). Multivariate analysis showed that NLR was an independent predictive factor for morbidity (OR = 1.37) and patient mortality (OR = 1.10). This study also identified the optimal preoperative NLR cut-off values as predictors of morbidity (9.95) and mortality (12.51) in postoperative intestinal obstruction patients, with high sensitivity and specificity. These findings indicate that NLR can be used as a reliable indicator for predicting surgical outcomes in patients with intestinal obstruction."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lillah Fitri
"Latar Belakang: Penatalaksanaan klinis pada pasien COVID-19 mencakup tindakan pencegahan dan pengendalian infeksi serta perawatan suportif termasuk oksigen tambahan dan dukungan ventilasi mekanis. Pemberian terapi antivirus diharapkan dapat mengurangi tingkat keparahan dan mortalitas. Di antara terapi antivirus yang diberikan, favipiravir dan remdesivir merupakan terapi antivirus untuk pasien dewasa dengan COVID-19 derajat berat atau kritis yang direkomendasikan pemberiannya menurut Protokol Tata Laksana COVID-19. Tujuan dari penelitian ini adalah membandingkan tingkat kesembuhan pasien COVID-19 yang diterapi dengan remdesivir dan favipiravir ditinjau dari CRP, viral clearance, dan NLR.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan desain kohort retrospektif. Kelompok yang mendapat paparan terapi antivirus favipiravir dan kelompok yang mendapat paparan terapi antivirus remdesivir diikuti sampai terjadinya outcome. Data yang akan digunakan adalah data sekunder dari rekam medis pasien COVID-19 yang dirawat di ruang Intensif Care Unit (ICU) dan High Care Unit (HCU) RSUD Tarakan dengan pemeriksaan RT-PCR positif berusia minimal 18 tahun yang mendapat terapi antivirus remdesivir dan favipiravir pada bulan April 2020-September 2021. Uji statistik menggunakan chi square yang dilanjutkan dengan uji regresi logistik untuk menilai secara multivariat jika memenuhi persyaratan.
Hasil: Pada penelitian ini didapat hubungan bermakna antara antivirus yang digunakan pasien COVID-19 dengan tingkat kesembuhan (OR 0, 384; CI 95% = 0,234-0,606 ). Tingkat kesembuhan lebih baik berdasarkan CRP adalah 35,5% pada remdesivir dan 51,4% pada favipiravir (OR 0,690; CI 95% = 0,525-0,907), berdasarkan RNL adalah 14,2% pada remdesivir dan 41,1% pada favipiravir (OR 0,345; CI 95% = 0,220-0,541) dan berdasarkan viral clearence adalah 20 hari pada remdesivir dan 21 hari pada favipiravir untuk virus tidak lagi terdeteksi (OR 1,79; CI 95% = 0,804-1,730).
Kesimpulan : Tingkat kesembuhan lebih baik sebesar 14,2% pada kelompok remdesivir dibandingkan kelompok favipiravir yang sembuh lebih baik sebesar 37%. Remdesivir memberikan tingkat kesembuhan sebesar 0,384 kali lebih baik dari favipiravir.

Background: Clinical management of COVID-19 patients includes infection prevention and control measures as well as supportive care including supplemental oxygen and mechanical ventilation support. Giving antiviral therapy is expected to reduce the severity and mortality. Among the antiviral therapies given, favipiravir and remdesivir are antiviral therapies for adult patients with severe or critically ill COVID-19 that are recommended according to the COVID-19 Management Protocol. This study aims to compare the cure rates of COVID-19 patients treated with remdesivir and favipiravir in terms of CRP, viral clearance, and NLR.
Methods: This study is an observational study with a retrospective cohort design. The group exposed to antiviral therapy with favipiravir and the group exposed to antiviral therapy remdesivir were followed until the outcome. The data to be used is secondary data from medical records of COVID-19 patients treated in the intensive care unit (ICU) and High Care Unit (HCU) of Tarakan Hospital with positive RT-PCR examination aged at least 18 years who received antiviral therapy remdesivir and favipiravir in April 2020-September 2021. Admission criteria included patients aged at least 18 years who had confirmed COVID-19 with positive RT-PCR who were receiving remdesivir or favipiravir therapy. Exclusion criterias were pregnancy and breastfeeding. Statistical test using chi square followed by logistic regression test to assess multivariately if it meets the requirements.
Result: In this study, there was a significant relationship between the antiviral used by COVID-19 patients and the recovery rate (OR 0,384; 95% CI = 0,234-0,606), The better recovery rate based on CRP was 35.5% for remdesivir and 51.4% for favipiravir (OR 0.690; 95% CI = 0.525-0.907), based on RNL was 14.2% for remdesivir and 41.1% for favipiravir ( OR 0.345; 95% CI = 0.220 – 0.541) and based on viral clearance, it took 20 days on remdesivir and 21 days on favipiravir for virus no longer detectable
Conclusion: There was a significant relationship of the recovery rate in the two antiviral groups. The recovery rate for COVID-19 was better by 14.2% in the remdesivir group compared to the favipiravir group which recovered better by 37%. Remdesivir provides a recovery rate of 0,384 times better than favipiravir.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lidya Anissa
"Pada penderita kanker paru terjadi inflamasi sistemik dan dapat dilihat dengan peningkatan rasio netrofil limfosit di mana pemeriksaan ini lazim dilakukan di Rumah Sakit. Inflamasi sitemik dapat menyebabkan anoreksi sehingga asupan pada penderita kanker paru menurun dan memengaruhi status gizinya. Kejadian malnutrisi yang tinggi pada pasien paru dapat berakibat lamanya rawat inap, turunnya kualitas hidup, dan dapat memengaruhi keberhasilan terapi kanker sehingga terapi nutrisi yang cepat dan tepat sangat perlu dilakukan. Salah satu diagnostik status gizi pada penderita kanker yaitu dengan menggunakan kriteria ASPEN yang terdiri dari penurunan asupan, penurunan berat badan, penurunan massa otot dan massa lemak subkutan, akumulasi cairan general atau lokal, dan kapasitas fungsional. Dikatakan malnutrisi jika terdapat dua dari enam kriteria tersebut. Penelitian ini merupakan studi potong lintang yang bertujuan untuk mengetahui hubungan status gizi dengan rasio netrofil limfosit pada pasien kanker paru di RSUP Persahabatan. Data diambil dari wawancara, pemeriksaan fisis, pemeriksaan laboratorium, dan rekam medis pasien poliklinik onkologi RSUP Persahabatan (n =52). Pada penelitian ini subjek sebagian besar berjenis laki-laki (61,5%), rentang usia terbanyak antara 50-60 tahun (38,5%), memiliki riwayat merokok (55,8%) dengan indeks Brinkman berat (30,8%). Lebih dari 50% subjek dengan asupan energi dan protein dibawah rekomendasi asupan untuk pasien kanker. Sebagian besar subjek penelitian berisiko malnutrisi atau malnutrisi sedang (38,5%) dan sebanyak 67,3% mengalami malnutrisi. Pada penelitian ini subjek dengan nilai rasio netrofil limfosit tinggi sebanyak 38,5% dan rendah sebanyak 61,5%. Tidak terdapat hubungan antara status gizi dengan rasio netrofil limfosit pada penelitian ini (p = 0,35).

Systemic inflammation in patients with lung cancer can be seen by the increase in the neutrophil lymphocyte ratio where these examinations are common in hospitals. Systemic inflammation can cause anorexia, with the result that nutrition intake of lung cancer patients decreases and affects their nutritional status. High incidence of malnutrition in lung cancer patients can result in length of stay, decreased quality of life, and can affect the treatment of cancer therapy, therefore prompt and appropriate nutritional therapy is essential. One of the diagnostics of nutritional status for lung cancer patients is by using the ASPEN criteria which consist of decreased nutritional intake, weight loss, decreased muscle mass and subcutaneous fat mass, general or local fluid accumulation, and functional capacity. Malnutrition can be seen if there are two of the six criteria. This study is a cross-sectional study which aimed to determine the association between nutritional status and the ratio of lymphocyte neutrophils in lung cancer patients at Persahabatan Hospital. Data were taken from interviews, physical examinations, laboratory analysis, and patients medical records in the oncology polyclinic of Persahabatan Hospital (n = 52). The subjects of the study were mostly male (61.5%), the largest age range was between 50-60 years (38.5%), had a history of smoking (55.8%) with a severe Brinkman index (30.8%). More than 50% of the subjects with energy and protein intake were below the recommended intake for cancer patients. Most of the study subjects were at risk of malnutrition or moderate malnutrition (38.5%) and 67.3% of them were experiencing malnutrition. The subjects with the highest neutrophil lymphocyte ratio value were 38.5% and the lowest value were 61.5%. Overall, there was no relationship between nutritional status and the ratio of neutrophil to lymphocytes in this study (p = 0.35)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tomu Juliani
"Latar belakang: Kondisi badai sitokin atau hiperinflamasi pada COVID-19 dapat berakibat fatal pada pasien. Inflamasi juga dapat menyebabkan gangguan koagulasi. Rasio netrofil limfosit (RNL) dan rasio platelet limfosit (RPL) telah diketahui dapat menjadi penanda inflamasi pada beberapa penyakit. Status koagulasi pasien dapat dilihat dari parameter nilai D-dimer. Peran penanda hayati yang dapat menggambarkan keadaan tromboinflamasi pada pasien COVID-19 tersebut perlu ditelaah lebih lanjut.
Tujuan penelitian: Mengetahui hubungan nilai RNL, RPL dan D-dimer terhadap luaran tatalaksana pasien COVID-19 terkonfirmasi di RSUP Persahabatan.
Metode penelitian: Analisis observasional kohort retrospektif terhadap pasien COVID-19 terkonfirmasi yang dirawat di RSUP Persahabatan secara total sampling diperoleh dari bulan Maret sampai dengan Juli 2020. Kami meninjau 214 rekam medis pasien COVID-19 terkonfirmasi yang memenuhi kriteria inklusi.
Hasil penelitian: Rerata usia pasien pada penelitian ini adalah 54,35 tahun, didominasi oleh laki-laki sebanyak 60,7%. Status gizi pasien paling banyak adalah normal sebesar 54,7%. Proporsi pasien yang memiliki komorbid sebanyak 65,4%. Komorbid yang paling banyak adalah hipertensi, kedua adalah diabetes melitus. Derajat penyakit paling banyak adalah berat-kritis sebanyak 76,1%, diikuti sedang 20,1%, ringan 3,7%. Median lama rawat adalah 12 hari. Pasien meninggal sebanyak 60 orang (28%). Nilai median RNL, RPL dan D-dimer awal pasien adalah 5,75 (0,68-81,5), 243,5 (44,7-1607) dan 1140 (190-141300), secara berurutan. Terdapat hubungan antara nilai RNL (p=0,000), RPL (0,013) dan D-dimer (0,032) terhadap luaran pasien.
Kesimpulan: Nilai RNL, RPL dan D-dimer awal perawatan pasien COVID-19 terkonfirmasi di RSUP Persahabatan berhubungan dengan luaran tatalaksana pasien.

Backgrounds: Cytokine storm or hyperinflammation in COVID-19 can cause fatal outcome for patients. Imflammation also can cause hypercoagulation. Neutrophil lymphocyte ratio (NLR) and platelet lymphocyte ratio (PLR) have already known as inflammation marker in several diseases. Coagulation status in patients could be measured by D-dimer value. The role of biomarkers for that thromboinflammation in COVID-19 should be explored.
Aims: to know the association between NLR, PLR and D-dimer value with confirmed COVID-19 patients’ outcome in Persahabatan hospital, Jakarta
Methods: We performed observational retrospective cohort analysis of confirmed COVID-19 patients hospitalized in Persahataban hospital. Subjects by means of total sampling were confirmed COVID-19 patients between March till July 2020. We reviewed the medical record of 214 patients whom met the inclusion criteria.
Results: Mean age of patients in this study were 54,35 years old, dominated by males (60,7%). Most of the patients were with normal nutritional status (54,7%) and presented with comorbidity (65,4%). Diabetes melitus was the most frequent comorbidity, second was hypertension. Disease severity was severe to critical in 76,1% patients, 20,1% in moderate cases and 3,7% in mild case. Length of hospital stay was 12 days. Death patients were 60 (28%). The median of initial NLR, PLR and D-dimer value were 5,75 (0,68-81,5), 243,5 (44,7-1607) dan 1140 (190-141300), respectively. There were an association between NLR (p=0,000), PLR (0,013) and D-dimer value (p=0,032) with patients’ outcome.
Conclusions: There were association between NLR, PLR and D-dimer value on admission with confirmed COVID-19 patients’ outcome in Persahabatan hospital.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hera Afidjati
"Latar belakang: Kompleksitas pengobatan TB RO berupa durasi pengobatan yang panjang, penggunaan beberapa obat lini kedua, toksisitas obat, dan interaksi obat akibat multidrug use dapat menyebabkan efek samping pengobatan pada pasien. Hal ini dapat mengurangi efektivitas pengobatan dan memengaruhi luaran pengobatan TB RO. Tujuan: Untuk melihat efek samping obat/kejadian tidak diinginkan terhadap luaran pengobatan TB RO.
Metode: Penelitian observasional dengan desain kohort retrospektif ini dilakukan di RSUP Persahabatan, Jakarta. Sumber data adalah data sekunder dari sistem informasi tuberkulosis (SITB) yang melibatkan pasien TB RO yang menjalani pengobatan di tahun 2021 – 2023. Metode sampling berupa total sampling. Analisis data bivariat antara KTD dengan luaran pengobatan TB RO berupa Cox regresi dan uji Log-Rank, yang kemudian dilanjutkan dengan analisis multivariat menggunakan Extended Cox Regresi.
Hasil: Dari 583 subjek yang diikutsertakan dalam penelitian ini, insidens luaran pengobatan tidak berhasil sebanyak 40,65%. Sebanyak 12,69% pasien mengalami efek samping berat. Sebagian besar efek samping terjadi pada fase intensif pengobatan TB RO (43,57%). Jenis efek samping yang paling sering dialami pada pasien adalah gangguan gastrointestinal (79,25%), gangguan muskuloskeletal (58,32%), dan gangguan saraf (49,40%). Efek samping berupa KTD berat/serius tidak memiliki asosiasi yang signifikan terhadap terjadinya pengobatan tidak berhasil berdasarkan hasil analisis Cox regresi bivariat (HR=0,823; 95% CI: 0,558-1,216; p=0,329) dan analisis multivariat Extended Cox regresi (setelah dikontrol oleh variabel kovariat). Probabilitas survival antara kelompok dengan KTD berat dan kelompok non-KTD berat tidak berbeda bermakna. Kesimpulan: pemantauan efek samping selama pengobatan TB RO berlangsung merupakan hal yang penting untuk menunjang keberhasilan pengobatan.

Background: The complexity of treating drug-resistant tuberculosis (DR TB) involves prolonged treatment duration, the use of several second-line drugs, drug toxicity, and drug interactions due to multidrug use, which can lead to adverse drug reactions in patients. These issues can reduce treatment effectiveness and affect treatment outcomes for DR TB.
Objective: To investigate the impact of adverse drug reactions/adverse events on DR TB treatment outcomes.
Methods: This observational study utilized a retrospective cohort design conducted at RSUP Persahabatan, Jakarta. The data source was secondary data from the tuberculosis information system (SITB) involving DR TB patients who underwent treatment between 2021 and 2023. The sampling method was total sampling. Bivariate data analysis between adverse events and TB RO treatment outcomes involved Cox regression and Log Rank tests, followed by multivariate analysis using Extended Cox Regression.
Results: Among the 583 subjects included in this study, the incidence of unsuccessful treatment outcomes was 40.65%. Severe adverse drug reactions were experienced by 12.69% of patients. Most adverse reactions occurred during the intensive phase of TB RO treatment (43.57%). The most common types of adverse reactions experienced by patients were gastrointestinal disorders (79.25%), musculoskeletal disorders (58.32%), and neurological disorders (49.40%). Severe/serious adverse reactions did not have a significant association with unsuccessful treatment outcomes based on the results of the bivariate Cox regression analysis (HR=0.823; 95% CI: 0.558-1.216; p=0.329) and the multivariate Extended Cox regression analysis (after adjusting for covariate variables). The survival probability between the group with severe adverse reactions and the non- severe adverse reactions group did not differ significantly.
Conclusion: Monitoring adverse drug reactions during DR TB treatment is crucial to support the success of the treatment.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Christi Giovani Anggasta Hanafi
"Salah satu karakteristik klinis yang sering diamati pada TB paru adalah adanya kavitas paru pada pemeriksaan radiologis dada. Kavitas paru akan menyebabkan prognosis lebih buruk akibat keterlambatan konversi kultur sputum, hasil klinis yang buruk, dan penularan infeksi yang lebih tinggi. Beberapa faktor yang telah ditemukan berkaitan dengan kavitas paru adalah usia tua, jenis kelamin laki-laki, penyakit penyerta diabetes mellitus, dan malnutrisi. Prevalensi malnutrisi pada pasien dengan TB diperkirakan berkisar antara 50% sampai 57%, dan malnutrisi dikaitkan dengan dua kali lipat risiko kematian. Telah lama diketahui bahwa terdapat hubungan antara TB dan malnutrisi, tetapi dampak malnutrisi terhadap derajat keparahan TB, yang dilihat dari adanya kaviats paru, masih kurang diketahui dan data yang telah ada masih saling bertentangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara status gizi dan kavitas paru pada pasien tuberkulosis paru di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan. Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang. Sebanyak 134 pasien yang memenuhi kriteria menjadi subjek penelitian di Instalasi Rawat Jalan dan Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan. Pasien pada penelitian ini umumnya berjenis kelamin laki-laki (61,9%) dan berusia 18-59 tahun (92,5%). Mayoritas subjek penelitian termasuk dalam kategori status gizi SGA B (malnutrisi ringan-sedang) sebanyak 77 orang (57,5%), SGA A (status gizi baik) sebanyak 35 orang (26,1%), dan SGA C (malnutrisi berat) sebesar 22 orang (16,4%). Proporsi kavitas paru pada pasien TB paru dalam penelitian ini sebanyak 42 orang (31,3%). Penelitian ini mendapatkan hubungan bermakna secara statistik antara status gizi berdasarkan SGA dan kavitas paru (OR=6,933; 95%CI=1,986-24,205; p=0,002; aOR=7,303 (95%CI=2,060-25,890; p=0,002). Variabel lain yang mempengaruhi terbentuknya kavitas paru adalah pemeriksaan bakteriologis (p=0,016), TB resisten obat (p<0,001), dan perubahan BB (p=0,033). Analisis multivariat mendapatkan bahwa pemodelan dapat memenuhi 29,3% faktor prediktor kejadian kolonisasi dan setelah dimasukkan ke dalam perhitungan, maka probabilitas seorang pasien yang mengalami TB resisten obat dan malnutrisi untuk pembentukan kavitas paru adalah sebesar 95,16%. Kesimpulan: Terdapat hubungan antara status gizi dan kavitas paru pada pasien tuberkulosis paru di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan.

One of the clinical characteristics that is often found in pulmonary TB is the presence of lung cavities on chest radiological examination. Lung cavities will lead to a worse prognosis due to delayed sputum culture conversion, poor clinical outcome, and higher transmission of infection. Several factors that have been found to be related to the lung cavity are elder age, male gender, comorbid diabetes mellitus, and malnutrition. The prevalence of malnutrition itself in patients with TB is estimated to range from 50% to 57%, and malnutrition is associated with a twofold risk of death. It has long been known that there is a relationship between TB and malnutrition, but the impact of malnutrition on the severity of TB, which is observed from lung cavity presence, is still poorly understood and the available data are conflicting. This study aims to determine the relationship between nutritional status and lung cavity in pulmonary tuberculosis patients at Persahabatan General Hospital. This research is a cross-sectional study. A total of 134 patients who met the criteria became research subjects at the Outpatient and Inpatient Department at the Persahabatan General Hospital. Patients in this study were generally male (61.9%) and aged 18-59 years (92.5%). The majority of research subjects were included in the SGA B (mild-moderate malnutrition) category of 77 people (57.5%), SGA A (good nutritional status) of 35 people (26.1%), and SGA C (severe malnutrition). by 22 people (16.4%). The proportion of lung cavities in pulmonary TB patients in this study were 42 people (31.3%). This study found a statistically significant relationship between nutritional status based on SGA and lung cavities (OR=6.933; 95%CI=1.986-24.205; p=0.002; aOR=7.303 (95%CI=2.060-25.890; p=0.002). Variables Other factors that influenced the formation of lung cavities were bacteriological examination (p=0.016), drug-resistant TB (p<0.001), and changes in weight (p=0.033). Multivariate analysis found that modeling could fulfill 29.3% of the predictors of colonization and after taken into account, the probability of a patient with drug-resistant TB and malnutrition for lung cavity formation is 95.16%. Conclusion: There is a relationship between nutritional status and lung cavity in pulmonary tuberculosis patients at Persahabatan General Hospital."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Haloho, Agustina Br
"Latar Belakang: Ventilasi mekanik diperlukan pasien kritis di unit perawatan intensif dengan tujuan menormalkan kadar gas darah arteri dan menyeimbangkan kadar asam basa, namun penggunaan ventilasi mekanik yang berkepanjangan dapat menyebabkan terjadinya Ventilator Associated Pneumonia, cedera paru, infeksi nosokomial, dan sepsis. Ketebalan diafragma memiliki korelasi signifikan dengan lama penggunaan ventilasi mekanik. Penelitian ini bertujuan menganalisis hubungan faktor-faktor risiko dengan ketebalan diafragma pasien kritis di ICU, sehingga dapat membantu untuk memprediksi lamanya penggunaan ventilasi mekanik.
Metode: Penelitian ini merupakan studi analitik observasional terhadap 30 subjek penelitian yang memenuhi kriteria penerimaan selama periode September 2018- Desember 2018 di Ruang Perawatan Intensif RSUP Dr. Mohammad Hoesin. Ketebalan diafragma pasien kritis yang menggunakan ventilasi mekanik diukur pada hari ke-0, ke-3, ke-5 dan kemudian dibandingkan.
Hasil: Penelitian menunjukkan bahwa penggunaan ventilasi mekanik didominasi oleh laki-laki (63,33 %), usia 40-70 tahun (63,33%), dengan status nutrisi kategori tidak obes (90%). Penurunan ketebalan diafragma signifikan terjadi pada hari ke-3 (nilai P = 0,026). Penurunan ketebalan diafragma memiliki hubungan yang bermakna dengan RNL (nilai P = 0,003), kadar prealbumin (nilai P = 0,025), IMT (nilai P = 0,015), sepsis (nilai P = 0,010), dan pemberian albumin artifisial (nilai P = 0,013). Sedangkan usia (nilai P = 0,603), jenis kelamin (nilai P = 0,906), opioid (nilai P = 0,315), dan kadar glukosa (nilai P = 0,303) menunjukkan hubungan yang tidak bermakna secara statistik.
Simpulan: Penurunan ketebalan diafragma terjadi pada subjek yang menggunakan ventilasi mekanik dipengaruhi oleh RNL, kadar prealbumin serum, IMT, sepsis, dan penggunaan albumin intravena, namun tidak dipengaruhi usia, jenis kelamin, penggunaan opioid, dan pemberian infus albumin intravena.

Background: Mechanical ventilation required by critical patients in intensive care unit to normalizing arterial blood gas and balancing acid-base levels, but prolonged use of mechanical ventilation can cause ventilator associated pneumonia, lung injury, nosocomial infections, and sepsis. Diaphragm thickness has a significant correlation with the duration of mechanical ventilation uses. This study aims to analyze the relations of risk factors with the thickness of the diaphragm of critical patients in the ICU. Hopefully it can help to predict the length of the mechanical ventilation uses.
Methods: This study was an observational analytic study of 30 research subjects who met the acceptance criteria during the period September 2018-January 2019 in the Intensive Care Unit of Dr. Mohammad Hoesin Hospital. The diaphragm thickness of critical patients using mechanical ventilation was measured on the 0th, 3rd, 5th and then compared by days.
Results: The study showed that the use of mechanical ventilation was dominated by men (63.33%), ages 40-70 years (63.33%), with nutritional status in the category of not obese (90%). A significant decrease in the thickness of the diaphragm occurred on the 3rd day (p-value = 0.026). The decrease in diaphragm thickness has a significant relations with RNL (p-value = 0.003), prealbumin level (p-value = 0.025), BMI (p-value = 0.015), sepsis (p-value = 0.010), and artificial albumin (p-value = 0.013). Whereas age (p-value = 0.603), gender (p-value = 0.906), opioid (p-value = 0.315), and glucose level (p-value = 0.303) showed a relations that did not reach statistical significance.
Conclusion: The decrease in diaphragm thickness occurred in subjects using mechanical ventilation affected by RNL, serum prealbumin levels, BMI, sepsis, and intravenous albumin uses, but were not affected by age, sex, opioid use, and intravenous albumin infusion.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58910
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Fitri Chairunnisa
"Doksorubisin merupakan salah satu terapi antikanker yang termasuk golongan antrasiklin, memiliki aktivitas klinis pada penyakit kanker payudara. Doksorubisin dapat menimbulkan efek kardiotoksik akibat pembentukan doksorubisinol selaku metabolit utamanya. Salah satu metode biosampling terbaru yaitu volumetric absorptive microsampling memiliki berbagai kelebihan yaitu pengambilan darah secara finger prick, tidak dipengaruhi oleh hematokrit, dan dapat disimpan dalam suhu ruang. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis doksorubisin dan mengetahui reaksi obat merugikan kemoterapi berbasis doksorubisin. Nilai multiple reaction monitoring (MRM) diatur pada m/z 544,22>396,9 untuk doksorubisin; m/z 546,22>398,9 untuk doksorubisinol; dan m/z 528,5>362,95 untuk daunorubisin. Nilai LLOQ yang diperoleh adalah 8 ng/mL untuk doksorubisin dan 3 ng/mL untuk doksorubisinol dengan linearitas 0,9904 untuk doksorubisin dan 0,9902 untuk doksorubisinol. Hasil analisis mendapatkan rentang kadar terukur untuk doksorubisin sebesar 9,47 – 87,84 ng/mL serta rentang kadar terukur untuk doksorubisinol sebesar 4,24 – 54,02 ng/mL. Dosis kumulatif doksorubisin pada pasien sebesar 47,93 – 346,09 mg/m2, hal ini menunjukkan bahwa risiko seluruh pasien terkena kardiomiopati di bawah angka kejadian 4%. Pasien yang mengalami penurunan fraksi ejeksi ventrikel kiri setelah kemoterapi doksorubisin terdiri dari penurunan fraksi ejeksi <10% dan ada 3 pasien yang mengalami penurunan fraksi ejeksi ventrikel kiri >10%. Alopesia merupakan reaksi obat merugikan subjektif yang paling banyak dirasakan pasien diikuti dengan mual dan muntah. Hasil uji hubungan menunjukkan adanya tidak signifikan antara kadar doksorubisin dan doksorubisinol terhadap reaksi obat merugikan pada pasien kanker payudara. Terdapat hubungan signifikan pada kadar doksorubisin terhadap dosis kumulatif dan waktu pengambilan sampel pasien.

Doxorubicin is an anticancer therapy belonging to the anthracycline class, which has clinical activity in breast cancer. Doxorubicin can cause cardiotoxic effects due to the formation of doxorubicinol as its main metabolite. One of the newest biosampling methods, namely Volumetric Absorptive microsampling, has many advantages, namely blood collection by finger prick, not affected by hematocrit, and can be stored at room temperature. This study aims to analyze doxorubicin and determine the adverse drug reactions of doxorubicin-based chemotherapy. The multiple reaction monitoring (MRM) value is set at m/z 544.22> 396.9 for doxorubicin; m/z 546.22>398.9 for doxorubicinol; and m/z 528.5>362.95 for daunorubicin. The LLOQ values ​​obtained were 8 ng/mL for doxorubicin and 3 ng/mL for doxorubicinol with a linearity of 0.9904 for doxorubicin and 0.9902 for doxorubicinol. The results of the analysis showed that the measured concentration range for doxorubicin was 9.47 – 87.84 ng/mL and the measured concentration range for doxorubicin was 4.24 – 54.02 ng/mL. The cumulative dose of doxorubicin in patients was 47.93 – 346.09 mg/m2, this shows that the risk of all patient developing cardiomyopathy is below the incidence rate of 4%. Patients who experienced a decrease in left ventricular ejection fraction after doxorubicin chemotherapy consisted of a decrease in ejection fraction <10% and there were 3 patients who experienced a decrease in left ventricular ejection fraction >10%. Alopecia is the most common subjective adverse drug reaction experienced by patients, followed by nausea and vomiting. The results of the relationship test showed that there was no significant relationship between doxorubicin and doxorubicinol levels on adverse drug reactions in breast cancer patients. There is a significant relationship between doxorubicin levels and cumulative dose and patient sampling time.xv,"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Murniati
"Latar Belakang:Tuberkulosis resisten obat (TB-RO) merupakan ancaman bagi seluruh dunia termasuk Indonesia, karena memerlukan waktu lama dan biaya yang besar dalam mengobati penyakit tersebut meskipun telah ditangani dengan baik. Data penelitian di luar negeri menunjukkan bahwa terdapat kekambuhan TB-RO, tapi datanya sangat terbatas. Di Indonesia belum ada data tentang angka kekambuhan TB-RO.
Tujuan: Mengevaluasi pasien TB resisten obat (TB-RO) pasca pengobatan yang datang kontrol pada bulan ke 6, 12, 18, dan 24 di RSUP Persabatan Jakarta.
Metode: Penelitian menggunakan desain penelitian potong lintang terhadap pasien TB-RO yang telah dinyatakan sembuh dan pengobatan lengkap yang datang kontrol di poli MDR RSUP Persahatan Jakarta mulai bulan April 2017 sampai Desember 2017. Dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan foto toraks dan biakan sputum. Mencatat data pengobatan dan hasil-hasil pemeriksaan terkait data yang diperlukan dalam dalam rekam medis pasien.
Hasil: Didapatkan 60 subjek penelitian dengan rerata usia 42,3 + 12,5 tahun, berjenis kelamin laki-laki 31 (51,7%) dan perempuan 29 (48,3%), dengan rerata IMT 21,75+ 4,34. Dari hasil foto toraks didapatkan gambaran dominan lesi luas dan hasil kultur sputum semua pasien yang diteliti tidak ditemukan pertumbuhan Mycobacterium tuberculosis.
Kesimpulan: Tidak ditemukan kekambuhan pada pasien TB resisten obat yang yang telah dinyatakan sembuh dan pengobatan lengkap yang datang kontrol pasca pengobatan di RSUP Persahabatan Jakarta.

Objective: This study aimed to evaluate DR-TB patients which was biannually performed for two-years (e.g. at the 6th, 12th, 18th, and 24th mos) after treatment completion.
Methods: This cross-sectional study involved DR-TB patients completing their treatment at Persahabatan General Hospital Jakarta, Indonesia, between April and December 2017. The post-treatment evaluation during the 6th, 12th, 18th, and 24th mos included clinical, chest x-ray (CXR) and sputum culture examination.
Results: Sixty patients were observed in this study, 31 (51.7%) were males and 29 (48.3%) were females. The mean age was 42.3+12.5 yo and the mean body mass index was 21.75+4.34. Fourty nine (81.7%) patients showed extensive lesions per CXR and none of the patient showed Mycobacterium tuberculosis growth per sputum culture.
Conclusion: There was no recurrence of DR-TB from patients completing their treatment at Persahabatan General Hospital Jakarta, Indonesia during two-years post-treatment evaluation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>