Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 95155 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Diany Nurliana Taher
"Latar belakang Depresi berhubWlgan dengan meningkatnya angka kesakitan dan kematian terutama pada pasien pasca infark miokard. Prevalensi depresi pada pasien infark miokard diperlcirakan berkisar antara 16%-190/0. Risiko kematian meningkat menjadi 3,5 kali lebih besar pada pasien pasca infark miokard yang menderita depresi dibanding yang tidak depresi. Menurunnya variabilitas denyut jantung merupakan faktor risi.ko kematian pada pasien pasca infark miokard yang disertai adanya depresi Hal ini disebabkan karena terjadinya disfungsi otonom.1 ). Carney mendapatkan semua parameter yang dinilai pada variabilitas denyut jantung (ultrQ low frekuensi, very low frekuensi, low frekuensi dan high frekuensl) secara bermakna lebih rendah pada pasien yang didapatkan adanya depresi dibanding yang tidak disertai depresi? Adapun tujuan dari pene1itian ini a.dalah lUltuk me1ihat apakah rerdapat beda rerata variabilitas denyut jantung antara pasien pasca infark miokard yang mengalami depresi dil>anding yang tidak depresi. Bahan daD metode Pene1itian ini merupakan studi potong lintang. Pada pasien pasca Infark Miokard yang telah melewati masa akut penyakitnya.Dilakukan di subbagian jantung dan psikosomatik bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUPN-CM antara bulan April200S- Agustus 200S Diperoleh subyek sebesar 24 orang untuk. ke10mp0k. pasien yang menderita depresi dan 24 orang kelompok yang tidak didapatkan adanya depresi. Pada kedua kelompok kemudian dipasang Holter monitoring, untuk melihat variabilitas denyut jantungnya. Hasil : Rerata usia pada kelompok depresi lebih muda daripada kelompok tidak depresi.(depresi 55,21±9,23 , tidak depresi 57,83 ±8,75). Pasien laki laki didapatkan lebih banyak baik pada ke10mp0k depresi mauplUl tidak depresi. Tingkat pendidikan subyek terbanyak adalah SMA (depresi(50,0%) tidakdepresi(66,7%)). Riwayat Diabetes Melitus terbanyak didapatkan pada kelompok depresi (50%) hipertensi juga didapatkan terbanyak pada kelompok depresi 79,20/0. Sekitar 75 % pasien dengan depresi mempunyai kebiasaan merokok, sementara pada kelompok yang tidak depresi, kebiasaan merokok didapatkan sebesar 37,5% . Sedangkan dari basil analisis bivariat, pada ketiga komponen Holter Monitoring dengan domain frekuensi didapatkan beda rerata yang bermakna dari variabilitas denyut jantung, antara pasien infark miokard yang menderita depresi dibanding tanpa depresi. Dimana pada pasien yang disertai adanya depresi didapatkan variabilitas denyut jantungnya lebih rendah. Pada Very Low Frekuensi didapatkan rerata yang lebih rendah pada kelompok depresi dibandiog yang tidak depresi (2,470±1,12 >< 2,9030±1,31 P 0,0 IS), rerata Low Fre1cuensi juga didapatkan lebih rendah pada kelompok yang depresi ( 1 ,958± 1,11 >< 2,520± 1,28 P 0~007) Demikian juga pada High Frekuensi , didapatkan rerata yang lebih rendah pada pasien yang disertai adanyadepresi ( 1,645±1,10 >< 2,143±1,11 P 0,003 ) Kesimpulan Pasien pasca infark miokard yang disertai adanya depresi mempunyai variabilitas denyut jantung yang lebih rendah dibanding yang tidak depresi.

Introduction Depression is associated with an increased risk of morbidity and mortality especially after acute myocardial infarction. The prevalence of depression patient after acute myocardial infarction ranging 16% to 19".4. The mortality rate is increase 3,5 fold in patient myocardial infarction with depression compare not depression.The decrease of heart rate variability is reflection of the mortality risk patient acute myocardial infarction with depression. Altered cardiac autonomic tone remains one of the most plausible explanations.1 ,2 Carney study demonstrated that all 4 log-transformed frequency domain indices of HRV ( ULF,VLF,LF and HF) were significantly lower in post MI patients with depression than in post MI patients without depression.2 The purpose of this study was to compare the heart rate variability between in post MI patients with depression than in post MI patients without depression. Methods A cross-sectional study.Patient with a recent acute MI who were depressed.Al1 patients admitted between Aprill-Augustus 2008 to Cardiology unit and Psycosomatic division in CiptoMangunkusumo Hospital. During that time, 24 patients post myocardial infarction with depression and 24 patients post myocardial infarction without depression took part in our study. The Heart rate Variability measured by Holter Monitoring. Result Comparison between depressed and nondepressed patients: depressed patients were slightly younger ( 55,21±9,23 ,57,83 ±8,75). Were likely to be male , level of education was Senior High School, to have diabetes mellitus (50010) hypertension 79,2% and to be current cigarette smoker compared with nondepressed patients. All 3 log- transformed frequency domain indices of HRV ( VLF,LF and HF) were significantly lower in post-MI patients with depression than in post-MI without depression. Mean Very Low Frequensi lower in depressed group than the group without depression (2,47O±1,12 >< 2,9030±1,31 P 0,018), Mean Low Ftekuensi also lower in depressed group than nondepressed group (1,958±1,11 >< 2,520±1,28 P 0,007) Mean High Frekuensi also lower in depressed group than in nondepressed group ( 1,645±1,10 ><2,143±1,1l p 0,003 ) Conclusion Post myocardial infarction patients with depression had a lower heart rate variability than in post myocardial infarction patients without Oepression."
Jakarta: Universitas Indonesia Fakultas Kedokteran, 2008
T59042
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diah Mutiara Briliantinna
"Latar belakang: Gangguan Depresi pada pasien pasca IMA sering tidak terdeteksi. Hanya 25% kasus depresi pasca IMA yang terdiagnosis dan hanya 30% yang mendapat pengobatan yang memadai. Dari berbagai penelitian didapatkan bila depresi tidak ditangani dengan baik maka dapat memperburuk prognosis, meningkatkan risiko kematian dan memperlambat penyembuhan. Faktor risiko lain dalam terjadinya IMA adalah faktor pola perilaku. Berdasarkan penelitian perilaku tipe A mempunyai risiko lebih tinggi untuk mengalami penyakit jantung dibandingkan dengan perilaku tipe B. Sekitar 37-45% penderita iskemi miokard dicetuskan oleh stresor psikososial yang bila tdak diatasi dengan baik dapat berlanjut menjadi infark miokard. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui adanya hubungan antara derajat keparahan IMA dan stresor psikososial dengan Gangguan Depresi pada pasien pasca IMA yang mempunyai perilaku tipe A.
Metode: Penelitian ini menggunakan rancangan cross sectional terhadap 136 responden berusia 25-60 tahun yang datang ke PoIiklinik Jantung Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta dan memenuhi kriteria inkiusi. Instrumen yang digunakan adalah Videotaped Clinical Examination (VCE) perilaku tipe A, Structured CIinical Interview for DSM-IV Axis-1 Disorder (SLID) dan kuesioner stresor psikososial dari Irwin G. Sarasan.
Hasil: Dari 136 responden sebesar 57,4% pasien mengalami depresi. Proporsi Gangguan Depresi tertinggi ditemukan pada responden IMA derajat berat dan sangat berat (69%). Pada responden terdapat hubungan antara derajat keparahan IMA dengan Gangguan Depresi (p=0,008) dan terdapat hubungan antara stresor psikososial dengan Gangguan Depresi (p<0,001). Hasil analisis regresi logisitik didapatkan keparahan IMA berat dan sangat berat merupakan faktor yang paling dominan dalam meningkatkan risiko untuk mengalami Gangguan Depresi pada responden (odds ratio 4,6) sedangkan stresor psikososial (odds ratio 1,4).
Simpulan: Derajat keparahan IMA dan stresor psikososial adalah faktor yang berperan dalam meningkatkan risiko untuk mengalami Gangguan Depresi pada pasien pasca IMA yang mempunyai perilaku tipe A.

Background: Depression disorders in post acute myocard infarct (ANTI) patients are frequently not detected. Only 25% of the post AMI cases that have been diagnosed and only 30% of those received adequate treatment. Based on a variety of studies, if depression is not properly handled, the prognosis will become worse augmenting the risk of mortality and slowing down the recovery. Another risk factor in the induction of AMI is a behavior pattern factor. Based on the study, type a behavior runs a higher risk for developing cardiac disease than type B behavior. Approximately 37-45% of the cases, myocard ischemia triggered by unresolved psychosocial stressors could lead to AMI. The purpose of this study was to find out the correlation between the severity degree of AMI and psychosocial stressors with depression disorders in post AMI patients who were identified to have type a behavior.
Method: This study was cross-sectional involving 136 respondents aged 25 to 60 years who presented to the cardiac poly of Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta. The respondents fulfilled the inclusion criteria. The instruments employed were VCE of type a behavior SCID and psychosocial stressor questionnaire from Irwin C. Samson.
Result: Out of 136 respondents, 57.4% of them had depression. The biggest proportion of depression disorder was found in severe and very severe myocard infarct respondents (69%). In the respondents, association between the severity degree of AMI and depression disorder was found; there was association between psychosocial stressors and depression disorder (p <0.081). The result of the Logistic regression revealed that severe and very severe AMI was the most dominant factor in increasing the risk for developing disorder in the respondents (odds ratio 4.6). Whereas psychosocial stressors had the odds ratio 1.4.
Conclusion: The severity of AMI and psychosocial stressors are the two factors that have a role in increasing the risk for developing depression disorder in AMI patients with type A behavior."
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Sujoko
"ABSTRAK
Penderita pasca IMA yang menunjukan elevasi segmen ST pada ULJB akan mendapat serangan koroner cukup besar berkisar 75% - 84% dan mempunyai gambaran klinik berupa infark anterior yang leas.
Insidensi untuk terjadi elevasi segmen ST pada ULJB bervariasi 2 - 3,5% ada pula yang mendapatkan 14 - 51% , sedangkan kematian tertinggi terjadi pada 6 bulan setelah IMA. Untuk menguji pernyataan tersebut dilakukan penelitian secara
retrospektip dan prosfektip pada penderita IMA yang masuk di R.S. Jantung Harapan Kita Jakarta dalam periode Nopember 1985 - Agustus 1988 dengan tujuan penelitian melihat serangan koroner berupa kematian, payah jantung,IMA dan angina berulang yang terjadi dalam periode tindak lanjut (" follow up ") 10 bulan.
Insidensi elevasi segmen ST pada ULJB pada penelitian ini didapat 14,81% dan didominasi 79,2% infarct anterior. Kelompok yang diteliti 19 penderita dengan hasil ULJB elevasi segmen ST , kelompok kontrol 12 penderita dengan hasil ULJB depresi segmen ST, kedua kelompok ini berlatar belakang infark anterior dan beralamat di Jakarta.
Variahel kedua kelompok ini jenis kelamin sama serta usia juga tidak berbeda bermakna kelompok yang diteliti berusia rata-rata 52,55 ± 6,58 tahun, sedang pada kelompok kontrol, berusia rata-rata 53,79 ± 8,05 tahun, faktor resiko juga tidak berbeda, lama ULJB yang dicapai juga tidak berbeda bermakna kelompok yang diteliti lama ULJB rata-rata 7,11 ± 2,98 menit sedang kelompok kontrol 7,83 ± 5,6 menit, denyut jantung yang dicapai juga tidak berbeda bermakna pada kelompok yang diteliti denyut jantung rata-rata 134,17 ± 13,47 / menit kelompok kontrol 123,17 ± 20,12 / menit.
Nilai ensim kreatinin kinase saat masuk rumah sakit pada kelompok yang diteliti adalah sangat tinggi dan berbeda bermakna dibanding kelompok kontrol yang menunjukan infark luas.
Pada tindak lanjut selama 10 bulan didapatkan serangan koroner hanya pada kelompok yang diteliti 31,5% dengan kematian pada 2 penderita .
Karena itu perlu dilakukan koroner angiografi pada penderita pasca IMA yang menghasilkan elevasi segmen ST pada ULJB guna pertimbangan Bedah pintas koroner atau medikamentosa.
"
1989
Tpdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sonny Pamudji Laksono
"Ruang Lingkup dan Cara Penelitian: Revaskularisasi sel otot jantung yang terjadi sewaktu bedah pintas koroner sesungguhnya memang merupakan suatu fenomena iskemia-reperfusi, dimana radikal bebas oksigen sering terbentuk berlebihan pada waktu itu dan dapat menimbulkan cedera reperfusi pada sel otot jantung dan endotel koroner. Luka reperfusi tidak jarang menimbulkan berbagai komplikasi pasca bedah, seperti aritmia, infark barn pasca bedah, miokard stunning dan sebagainya. Kurkumin selama ini telah dipergunakan oleh masyarakat luas sebagai obat tradisional misalnya pada gangguan nafsu makan dan penelitian terakhir pada hati telah terbukti bahwa kurkumin mempunyai efek antioksidan. Oleh karena itu permasalahannya adalah apakah pemberian kurkumin pada jantung sebelum bedah pintas koroner akan mampu mencegah fenomena tersebut. Pada penelitian ini diamati efek kurkumin terhadap jantung marmut melalui parameter-parameter tekanan sistolik dan frekuensi denyut jantung. Peristiwa Iskemia-Reperfusi dibuat dengan menggunakan model alat Isolated Working Rat Heart Perfusion yang telah dimodifikasi. Hewan coba yang digunakan adalah marmut jantan dengan berat antara 150-300 gram. Penelitian dibuat 2 kelompok yaitu: kelompok kontrol dengan hipoksia 15 menit (n=9) dan 30 menit (n=9), serta kelompok perlakuan kurkumin 0,25 µM dengan hipoksia 15 menit (n=9) dan 30 menit (n=9).
Hasil dan Kesimpulan: Dari hasil pengamatan didapatkan frekuensi denyut jantung kelompok kontrol yang dihipoksia 15 menit (N15= 173,22 ± 21,75 denyutlmenit VS R15= 174,00 ± 13,45 denyut/menit, T-test, p > 0,05). Pada kelompok kontrol hipoksia 30 menit didapat (N30= 182,80 ± 15,50 denyutlmenit VS R30=180,80 ± 31,54 denyut/menit, T-test, p >0,05). Untuk frekuensi denyut jantung kelompok perlakuan kurkumin 0,25 µM dengan hipoksia 15 menit (N15K= 217,78 ± 22,85 denyutlmenit VS R15K= 211,56 ± 35,81 denyutlmenit, T-test, p>0,05). Untuk kelompok perlakuan kurkumin 0,25 µM dengan hipoksia 30 menit (N30K= 188,00 ± 23,99 denyutlmenit VS R30K= 191,10 ± 17,69 denyut/menit, T-test, p >0,05). Dari hasil pengamatan didapat tekanan sistolik untuk kelompok kontrol yang dihipoksia 15 menit (N15= 94,61 ± 9,38 cmH2O VS R15= 52,89 ± 18,66 cmH2O, T-test, p <0,05), untuk kelompok kontrol yang dihipoksia 30 rnenit (N30= 93,80 ± 11,38 cmH2O VS R30= 30,70 ± 30,34 cmH20, T-test, p <0,05). Pada kelompok perlakuan kurkumin 0,25 µM yang dihipoksia 15 menit (N15K= 91,72 ± 11,42 cmH2O VS R15K= 66,61 ± 19,95 cmH2O, T-test, p <0,05), dan hasil kelompok perlakuan kurkumin 0,25 µM yang dihipoksia 30 rnenit (N30K= 97,44 ± 13,74 cmH2O VS R30K= 68,67 ± 14,41 cmH2O, T-test, p <0,05). Hasil analisis menunjukkan bahwa frekuensi denyut jantung balk yang dihipoksia 15 menit maupun 30 rnenit ternyata pads kelompok kurkumin 0,25 pM menunjukkan adanya peningkatan, tetapi peningkatan ini tidak bermakna secara statistik (p >0,05). Sedangkan hasil analisis terhadap tekanan sistolik baik yang dihipoksia 15 menit dan 30 menit pada kelompok kurkumin 0,25 µM menunjukkan adanya peningkatan recovery tekanan sistolik dan bermakna secara statistik (p <0,05)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2003
T21388
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wirdasari
"Latar belakang: Pasien sindom koroner akut (SKA) dengan gejala ansietas berisiko mengalami luaran negatif yang dimediasi oleh disfungsi otonom yang dapat dinilai dengan variabilitas denyut jantung (VDJ). Penurunan VDJ ditemukan baik pada pasien SKA maupun ansietas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan nilai VDJ pada pasien SKA dengan gejala ansietas dibandingkan dengan tanpa gejala ansietas dan menentukan korelasi antara nilai VDJ dengan gejala ansietas.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang. Subjek penelitian diambil dari data penelitian utama pada pasien SKA yang dirawat di ruang intensif rawat jantung RSCM periode April-September 2021 secara total sampling. Gejala ansietas dinilai dengan kuesioner. Hospital Anxiety and Depression Scale (HADS). Data VDJ yang diambil adalah domain waktu (SDNN, RSSMD) dan frekuensi (LF, HF, rasio LF/HF). Uji Mann-Whitney dilakukan untuk perbedaan nilai VDJ antara subjek dengan gejala ansietas dibanding tanpa gejala ansietas, uji Spearman untuk korelasi antara nilai VDJ dengan gejala ansietas, dan analisis multivariat untuk faktor perancu.
Hasil: Tujuh puluh subjek SKA yang dilibatkan terdiri dari 23 subjek dengan gejala ansietas dan 47 subjek tanpa gejala ansietas. Tidak didapatkan perbedaan nilai VDJ (SDNN, RMSSD, LF, HF, rasio LF/HF) antara subjek dengan gejala ansietas dibanding tanpa gejala ansietas secara statistik. Setelah mengontrol variabel perancu, gejala ansietas memiliki korelasi dengan SDNN (r = -0,563; p<0,001) yang dipengaruhi oleh usia (p<0,004); sementara nilai LF (r = -0,63; p< 0,001) dipengaruhi oleh usia (p = 0,007) dan penyekat beta (p = 0,030).
Kesimpulan: Tidak didapatkan perbedaan nilai VDJ antara pasien SKA dengan gejala ansietas dibanding tanpa gejala ansietas yang bermakna secara statistik, namun terdapat penurunan nilai SDNN, HF, dan rasio LF/HF pada kelompok dengan gejala ansietas yang lebih besar. Terdapat korelasi antara nilai VDJ (SDNN dan LF) dengan gejala ansietas pada pasien SKA.

Background: Acute coronary syndrome (ACS) patients with anxiety symptoms are at high risk of developing poor outcomes mediated by autonomic dysfunction that can be assessed with heart rate variability (HRV). Reductions in HRV are reported not only in ACS but also in anxiety. This study aims to compare HRV of ACS subjects with and without anxiety and to determine the correlation between HRV and anxiety symptoms.
Methods: This research is a cross-sectional study. The study subjects were taken from the primary research data of ACS patients treated at the ICCU of RSCM from April to September 2021 by total sampling. Anxiety symptoms are assessed with Hospital Anxiety and Depression Scale (HADS) questionnaire. HRV analysis consist of time (SDNN, RSSMD) and frequency (LF, HF, LF/HF ratio) domain. Data were analyzed using Mann- Whitney test for differences in HRV between ACS subjects with anxiety symptoms compared to those without anxiety symptoms, Spearman's test for the correlation between HRV and anxiety symptoms, and multivariate analysis for confounding factors.
Results: Seventy ACS subjects involved consisted of 23 subject with anxiety symptoms and 47 without anxiety symptoms. There was no statistical difference in comparison of HRV (SDNN, RMSSD, LF, HF, LF/HF ratio) between anxiety symptoms compare to those without anxiety symptoms. After controlling for confounding variables, SDNN has a correlation with anxiety symptoms (r = -0,563; p<0,001) which was influenced by age (p<0,004); while the LF has a correlation (r = -0,63; p< 0,001) which are influenced by age (p = 0,007) and beta blockers (p = 0,030).
Conclusion: There was no significant difference in HRV values (SDNN, RMSSD, LF, HF, ratio LF/HF) between ACS patients with anxiety symptoms compared to those without anxiety symptoms. There was a correlation between HRV (SDNN and LF) and anxiety symptoms.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dika Iyona Sinulingga
"Latar Belakang: COVID-19 dapat menimbulkan konsekuensi kesehatan jangka panjang yang serius, yang disebut Post-COVID-19 Syndrome (SPC). Saat ini, bukti dan pemahaman yang tersedia tentang manajemen SPC masih terbatas. Oleh karena salah satu gejala SPC dikaitkan dengan gejala psikis, maka psikoterapi dipercaya memiliki peran dalam penatalaksanaan SPC. Tujuan: Mengetahui efektivitas psikoterapi suportif pada pasien SPC di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian klinis acak tersamar tunggal menggunakan kontrol sebelum-setelah intervensi. Peserta secara acak dibagi menjadi dua kelompok: kelompok psikoterapi yang terdiri dari 40 peserta dan kelompok edukasi yang terdiri dari 37 peserta. Setiap kelompok diberikan psikoterapi atau edukasi berbasis internet tiga kali seminggu dalam bentuk kelompok yang terdiri dari 6-8 peserta. Kuesioner Symptom Checklist-90 digunakan untuk mengevaluasi gejala psikis dan somatik. Variabilitas Denyut Jantung (VDJ) dan Rasio Limfosit Neutrofil (RNL) juga dinilai. Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji Mann-Whitney atau uji T tidak berpasangan. Hasil: Perbaikan skor SCL-90 ditemukan sebesar 17,51 (SD 30,52) pada kelompok psikoterapi dan 19,79 (SD 35,11) pada kelompok edukasi (p = 0,771). Baik psikoterapi maupun edukasi meningkatkan RNL sebanyak 0,03 (IQR -0,17 – 0,27) pada kelompok psikoterapi dan 0,085 (IQR -0,385 – 0,41) pada kelompok edukasi (p = 0,534). Baik psikoterapi maupun edukasi juga menurunkan VDJ sebesar 3,83 (RIK -7,245 – 5,605) pada kelompok psikoterapi dan 0,705 (RIK -6,49 – 4,462) pada kelompok edukasi (p = 0,827). Simpulan: Baik psikoterapi suportif kelompok dan edukasi berbasis internet memperbaiki secara bermakna gejala psikis dan somatik pasien SPC, meskipun tidak didapatkan perbedaan bermakna antara kelompok psikoterapi dan edukasi. Baik psikoterapi suportif kelompok dan edukasi berbasis internet tidak memperbaiki RNL dan VDJ. Saran dilakukan penelitian lebih lanjut dengan melakukan penambahan frekuensi sesi psikoterapi kelompok berbasis internet kepada pasien SPC dan dilaksanakan pada pagi hari untuk mencapai hasil yang lebih optimal.

Background: COVID-19 can have serious long term health consequences, which is called Post-COVID-19 Syndrome (PCS). Currently, the available evidence and understanding of PCS management is limited. Because one of the symptoms of PCS is associated to psychological symptoms, psychotherapy is believed to have a role in the management of PCS. Objective: To identify the effectiveness of supportive psychotherapy in PCS patients at Cipto Mangunkusumo National General Hospital. Methods: This study was a single blind randomized clinical trial using a pre-and post-test with control group study design. Participants were randomly divided into two groups: a psychotherapy group with 40 participants and an education group with 37 participants. Each group was given internet-based psychotherapy or education three times a week in a form of group consisting of 6-8 participants. Symptom Checklist-90 questionnaire was used to evaluate somatic and psychological symptoms. Heart rate variability and neutrophil lymphocyte ratio were also investigated. Data analysis was performed using either the Mann-Whitney test or the independent T test. Results: An improvement in the SCL-90 score was found to be 17.51 (SD 30.52) in the psychotherapy group and 19.79 (SD 35.11) in the education group (p = 0.771). Both psychotherapy and education increased NLR by 0.03 (IQR -0.17 – 0.27) in the psychotherapy group and 0.085 (IQR -0.385 – 0.41) in the education group (p = 0.534). Both psychotherapy and education also decreased HRV by 3.83 (RIK -7.245 – 5.605) in the psychotherapy group and 0.705 (RIK -6.49 – 4.462) in the education group (p = 0.827). Conclusion: Both internet-based group supportive psychotherapy and education improved psychological and somatic symptoms in PCS patients, although there was no significant difference between supportive psychotherapy and education groups. Both internet-based group supportive psychotherapy and education did not improve NLR and HRV. Suggestions for further research regarding adding frequency of internet-based group psychotherapy in PCS patients and held in the morning to achieve more optimal results."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yesi Astri
"

Pendahuluan:  Pasien dengan tumor otak pada umumnya mengalami nyeri kepala (90%) yang biasanya muncul pada malam hari sesuai dengan fisiologis tubuh. Hal ini menyebabkan pasien dapat berisiko mengalami gangguan tidur atau perubahan pola tidur. Sebaliknya, pasien tumor otak dapat mengalami penurunan kesadaran berupa cenderung tidur hingga sulit dibangunkan. Hal ini harus bisa dibedakan oleh dokter dan keluarga dengan gangguan tidur. Polisomnografi merupakan baku emas pemeriksaan klinis gangguan tidur yang akan menghasilkan luaran berupa arsitektur tidur. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran arsitektur tidur pada pasien tumor otak primer yang mengalami gangguan tidur dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. 

Metode: Studi ini bersifat deskriptif dengan metode potong lintang pada pasien tumor otak primer dengan penapisan menggunakan Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI).  Pasien yang dinyatakan poor sleepers akan dilakukan pemeriksaan polisomnografi (PSG).

Hasil: Sebanyak 40 subjek penelitian, terdiri dari 14 laki-laki dan 26 perempuan. Rerata usia subjek penelitian adalah 45,5±11,7 tahun dengan median durasi sakit 12 (2-72) bulan. Arsitektur tidur didapatkan sleep latency 8,5 (1,0-212,5) menit, sleep efficiency 88,0 (22,0-99,0) menit, total sleep time342 (92,0-462,5) menit, N1 19,5 (4,0-99,0)%, N2 59,5 (1,0-92,0)%, 8,0 (0-29,0)%, REM 4,5 (0-24,0)%, dan arousal index 8,9 (0,4-36,9). Terdapat kemaknaan secara statistik antara jenis kelamin, nyeri kepala, efek desak ruang, riwayat penurunan kesadaran, dan lama tidur malam dengan total sleep time, N1, N3, dan REM.

Kesimpulan: Pasien tumor otak primer yang mengalami gangguan tidur memiliki abnormalitas arsitektur tidur dan memiliki kecenderungan tidur hanya sampai fase light sleep.

Kata Kunci: arsitektur tidur, gangguan tidur, polisomnografi, tumor otak primer


Background: Brain tumor patients run into cephalgia (90%) and commonly experienced at night that conform to physiology of the body. It generate the patients have higher risk to underwent sleep disorders or change the sleep cycle. Whereas brain tumor patients also experience altered consciousness in the form of tend to sleep and difficult to wake up.This condition must be able to be distinguished with sleep disoders by doctor and family. Polysomnography known as gold standard method to examine sleep disorder and obtain sleep architecture. This research aimed to get sleep architecture profile in primary brain tumor that experience sleep disorder and the influenced factors.

Method: This is a cross sectional research in primary brain tumor patients that passed the screening of Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI). Poor sleepers then undergoing polysomnography.

Results: There are 40 subjects consist of 14 male and 26 female. Age median 45,5±11,7 years and duration of illness 12 (2-72) months. Sleep architecture’s profiles are sleep latency 8,5 (1,0-212,5) minute, sleep efficiency 88,0 (22,0-99,0) minute, total sleep time 342 (92,0-462,5) minute, N1 19,5 (4,0-99,0)%, N2 59,5 (1,0-92,0)%, 8,0 (0-29,0)%, REM 4,5 (0-24,0)%, and arousal index 8,9 (0,4-36,9). There are statistical significancy of gender, cephalgia, space occupying effect, altered conccioussness, and duration of sleep with total sleep time, N1, N3, and REM.

Conclusion: Primary brain tumor patients experience abnormal of sleep architectures and tend to have light sleep.

Keywords: polysomnography, primary brain tumor, sleep architecture, sleep disorder

 

 

 

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Bakhtiar Rahmat Jati
"Latar Belakang: Disfungsi mikrovaskular merupakan salah satu manifestasi cedera reperfusi letal. Ticagrelor diketahui memiliki efek kardioprotektif terhadap cedera reperfusi pada hewan coba. Efeknya pada manusia masih harus dibuktikan terutama terhadap perfusi mikrovaskular koroner.
Tujuan: Mengetahui efek ticagrelor terhadap perfusi mikrovaskular koroner pada pasien infark miokard akut dengan elevasi segmen ST IMA-EST yang menjalani intervensi koroner perkutan primer IKPP.
Metode: Penelitian ini merupakan studi eksperimental acak tersamar ganda yang dilakukan di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita pada bulan Agustus 2016 sampai November 2016. Pasien IMA-EST yang akan dilakukan IKPP dirandomisasi ke dalam dua kelompok yaitu kelompok yang mendapatkan ticagrelor dan yang mendapatkan clopidogrel sebelum IKPP. Dilakukan pemeriksaan myocardial blush kuantitatif dengan menggunakan program Quantitative Blush Evaluator QuBE.
Hasil Penelitian: Terdapat total 40 subyek, 20 subyek kelompok ticagrelor dan 20 subyek kelompok clopidogrel. Tidak ditemukan perbedaan bermakna antara kelompok ticagrelor dengan clopidogrel terhadap nilai myocardial blush kuantitatif dengan QuBE 18,8 6,6-33,6 vs 18,1 12,4-32,3 , nilai p 0,978.
Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan nilai myocardial blush kuantitatif pada pemberian ticagrelor sebelum IKPP pada pasien IMA-EST yang menjalani revaskularisasi bila dibandingkan dengan pemberian clopidogrel sebelum IKPP.

Background: Microvascular dysfunction become one of lethal reperfusion injury manifestation. Ticagrelor known having cardioprotective effect against reperfusion injury in animal trial. It effects in human need further investigation and evidence.
Objective: To determine the effect of ticagrelor on coronary microvascular perfusion in acute ST elevation myocardial infarction STEMI patients underwent primary percutaneous coronary intervention PPCI.
Method: This was a double blind randomized clinical trial conducted in National Cardiovascular Center Harapan Kita from August to November 2016. Acute ST elevation myocardial infarction patients underwent PPCI were randomized into two groups, ticagrelor or clopidogrel loading dose before PPCI. Quantitative myocardial blush score was assessed after PPCI using Quantitative Blush Evaluator QuBE program.
Result: There were 40 subjects included in this trial, 20 subjects in ticagrelor group and 20 subjects in clopidogrel group. There was no significant difference between two groups regarding the QuBE score 18,8 6,6 33,6 vs 18,1 12,4 32,3 , nilai p 0,978.
Conclusion: There is no difference on quantitative myocardial blush score in STEMI patient given ticagrelor before PPCI compare to clopidogrel.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T57642
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sembiring, Aditya Agita
"Latar Belakang : Pasien infark miokard akut dengan elevasi segmen ST IMAEST yang mengalami revaskularisasi dengan intervensi koroner perkutan primer IKPP dapat terjadi cedera reperfusi yang mempengaruhi prognosis. Penelitianpada model hewan menunjukkan ticagrelor melindungi jantung dari cederareperfusi, namun demikian belum ada penelitian pada manusia yang menguji halini.
Tujuan : Membandingkan pengaruh antara ticagrelor dengan clopidogrelterhadap cedera reperfusi yang diukur melalui kadar puncak high sensitivetroponin T hs-cTnT pada pasien IMA-EST yang mengalami revaskularisasi.
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental acak tersamar gandayang dilakukan di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita padabulan Agustus 2016 sampai November 2016. Pasien IMA-EST yang akanmenjalani IKPP dirandomisasi ke dalam dua kelompok yaitu kelompok yangmendapatkan loading ticagrelor 180 mg dilanjutkan dosis rumatan 2x90 mg danyang mendapatkan loading clopidogrel 600 mg dilanjutkan dosis rumatan 1x75mg sebelum IKPP. Dilakukan pemeriksaan hs-cTnT 8 jam pasca dilatasi balonkateter pertama.
Hasil Penelitian : Terdapat total 60 subyek, 30 subyek kelompok ticagrelor dan30 subyek kelompok clopidogrel. Tidak ditemukan perbedaan bermakna antaraticagrelor dengan clopidogrel terhadap kadar puncak hs-cTnT 9026 5026 ng/Lvs 9329 4664 ng/L, nilai p 0,809.
Kesimpulan : Ticagrelor tidak menyebabkan kadar puncak high sensitivetroponin T yang lebih rendah bila dibandingkan dengan clopidogrel pada pasienIMA-EST yang mengalami revaskularisasi.

Background : Reperfusion injury influence prognosis in ST elevation myocardialinfarction STEMI patients after primary percutaneous coronary intervention PPCI . Previous study on animal models showed that ticagrelor may haveprotective effect on the heart by reducing reperfusion injury. However, no studyon humans has ever been done to confirm this.
Aim : To compare the effect of ticagrelor with clopidogrel on reperfusion injurycalculated by peak high sensitive troponin T hs cTnT in STEMI patients whounderwent revascularization.
Methods : This was a randomized controlled trial done in NationalCardiovascular Center Harapan Kita from August 2016 to November 2016.STEMI patients who underwent PPCI was randomized to either ticagrelor loadingdose 180 mg with maintenance of 2x90 mg or clopidogrel loading dose 600 mgwith maintenance of 1x75mg group. Peak hs Troponin T was measured 8 hoursafter first balloon dilatation.
Results : Sixty subjects was included in the study, 30 subjects in the ticagrelorgroup and 30 subjects in the clopidogrel group. There were no difference betweenticagrelor vs clopidogrel on peak hs cTnT levels 9026 5026 ng L vs 9329 4664 ng L, p value 0,809.
Conclusion : Ticagrelor does not cause a lower peak high sensitive troponin Tlevel compared to clopidogrel in STEMI patients who underwentrevascularization.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T55633
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Farrel Dyco Fitrahardy
"Latar belakang: Infark Miokard (MI) merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas di dunia. Salah satu mekanisme yang mendasari terjadinya MI ialah adanya produksi reactive oxygen species (ROS) berlebihan atau keadaan stres oksidatif. Berbagai tata laksana diupayakan untuk dapat mengatasi penyakit ini salah satunya adalah pengobatan herbal. Tanaman Centella asiatica telah dikenal memiliki berbagai efek farmakologikal yang bermanfaat, salah satunya adalah sebagai antioksidan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek ekstrak air daun Centella asiatica terhadap parameter stres oksidatif, khususnya aktivitas SOD dan kadar MDA jaringan jantung tikus yang telah mengalami MI. Metode: Penelitian ini menggunakan sampel jaringan jantung tikus tersedia di laboratorium yang merupakan bagian dari penelitian besar berjudul “Efek Kardioproteksi Tanaman Herbal Indonesia (Moringa oleifera, Centella asiatica, Andrographis paniculata) melalui Aktivitas Antioksidan dan Antiinflamasi pada Model Infark Miokard Tikus yang diinduksi Isoproterenol.”. Pada penelitian ini digunakan tiga kelompok dari enam kelompok yang digunakan di penelitian besar tersebut. Kelompok pertama ialah normal tanpa perlakuan, kelompok kedua (Iso) diberi isoproterenol dengan dosis 85 mg/kgBB. Kelompok ketiga (Iso + ekstrak CA) diberi isoproterenol dosis 85 mg/kgBB dan ekstrak air daun Centella asiatica dosis 200 mg/kgBB. Kadar protein jaringan dihitung menggunakan uji Bradford. Aktivitas SOD jaringan diperiksa menggunakan EZSOD Assay Kit sementara kadar MDA diperiksa menggunakan metode TBARS. Hasil: Berdasarkan hasil penelitian ini, tidak ditemukan adanya perbedaan kadar MDA yang signifikan antar ketiga kelompok (p=0,105). Pada hasil pemeriksaan SOD, ditemukan penurunan yang tidak signifikan pada kelompok Iso (p=0,106) dibandingkan kelompok normal. Pada kelompok Iso + ekstrak CA ditemukan penurunan aktivitias SOD yang tidak signifikan (p=0,490) dibandingkan kelompok Iso. Kesimpulan: Pada penelitian ini, belum dapat dibuktikan bahwa ekstrak air daun Centella asiatica memiliki efek kardioprotektif terhadap aktivitas SOD dan kadar MDA jaringan jantung tikus.

Introduction: Myocardial infarction (MI) is one of the common causes of morbidity and mortality in the world. One of the underlying mechanisms of MI is due to excessive production of oxygen reactive species (ROS) in cells and tissues. This phenomenon is also known as oxidative stress condition. Many therapies are being developed to overcome MI such as medicinal herbs. Centella asiatica has been known for its useful therapeutic potential. For instance, it has some antioxidant compounds which can help reduce free radicals by scavenging them. Thus, this study aimed to analyze the effects of Centella asiatica water extract against SOD activity and MDA levels in isoproterenol-induced myocardial infarction in rats. Method: In this study, we used available rat heart tissues in the laboratory which were part of the previous study. Subjects were devided into three treatment groups as follows: normal, Iso, and Iso + extract CA. Isoproterenol were administered at 85 mg/kg BW and Centella asiatica water extract were administered in the third group at 200 mg/kg BW on the previous study. Bradford tests were performed to measure the concentration of total protein in samples. Activity of SOD were assessed by EZ-SOD Assay Kit. While levels of MDA were assessed by the TBARS assay method. Result: According to the findings of the study, there were non-significant differences in MDA levels among subjects in three groups (p=0,105). There was a non-significant decrease in activity of SOD (p=0,106) in the Iso group compared to the normal group. Also, there was a non-significant decrease in activity of SOD (p=0,490) in the Iso + extract CA group compared to the Iso group. These results are not in accordance with previous studies.Conclusion: In this study, it has not been proven that Centella asiatica water extract has cardioprotective effects against activitiy of SOD and MDA levels in isoproterenol-induced myocardial infarction in rats. This is probably due to some different treatments from previous studies. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>