Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 203470 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hasnan Habib
"Latar belakang: Difagia atau gangguan menelan merupakan gejala yang dapat memperburuk morbiditas dan mortalitas pasien yang mengalaminya baik yang bersifat mekanik maupun neurogenik. Keluhan ini sering ditemui pada poli rawat jalan THT RSCM terutama di poli THT divisi Bronkoesofagologi. Sampai saat ini belum ada instrumen yang bersifat patient reported outcome untuk skrining disfagia, sehingga dalam penelitian ini dilakukan adaptasi kuesioner EAT-10 ke bahasa Indonesia. Kuesioner ini dirancang untuk menilai keparahan gejala disfagia yang sudah banyak digunakan di berbagai negara yang sudah diadapatasi ke bahasa masing-masing negara.
Tujuan: Mengetahui validitas dan reliabilitas kuesioner EAT-10 versi bahasa Indonesia serta mengetahui nilai kepositifan EAT-10 versi bahasa Indonesia terhadap pemeriksaan FEES.
Metode: Pasien-pasien dengan gejala disfagia atau gangguan menelan yang terlebih dahulu didiagnosis dengan pemeriksaan FEES yang datang ke poli THT divisi Bronkoesofagologi. Pemeriksaan FEES dengan serat optik lentur untuk melihat kriteria objektif secara struktur anatomi dan gerakan refleks menelan daerah orofaring, kemudian dilakukan anamnesis dan diminta untuk mengisi kuesioner EAT-10 yang sudah diadaptasi ke bahasa Indonesia dengan metode WHO. Uji validitas dilakukan dengan uji korelasi spearman correlation coefficient, dianggap signifikan bila nilai p<0,05. Uji reliabilitas dengan konsistensi internal mencari nilai Cronbach α di atas 0,6 untuk masing-masing dan keseluruhan pertanyaan.
Hasil: Penelitian melibatkan 50 subjek yang memenuhi kriteria inklusi. Kuesioner EAT-10 ini memiliki nilai p dan korelasi yang signifikan (0,00) untuk setiap pertanyaan walaupun pada pertanyaan keenam yaitu “rasa sakit saat menelan” memiliki kekuatan korelasi yang lemah (0,408). Kuesioner ini juga memiliki Cronbach α di atas 0,6 untuk masing-masing pertanyaan (0,9) dan memiliki kepositifan 80% terhadap pemeriksaan FEES.
Kesimpulan: Instrumen EAT-10 versi bahasa Indonesia telah diadaptasi lintas budaya (transcultural), valid dan reliabel sebagai instrumen untuk menilai gejala pada disfagia serta memiliki nilai kepostifan yang baik terhadap pemeriksaan FEES.

Backround: Disphagia or swallowing disorder is a symptom that can exacerbate the morbidity and mortality of patients who experience it, both mechanical and neurogenic type. This complaint is often found in the RSCM ENT outpatient clinic, especially in the ENT polyclinic Bronchoesophagology division. Until now there was no patient reported outcome instrument that used for screening of dysphagia, so in this study an adaptation of the EAT-10 questionnaire to Indonesian version was carried out. This questionnaire is designed to assess the severity of dysphagia symptoms which have been widely used in various countries that have been adapted to the language of each country.
Objective: To determine the validity and reliability of the Indonesian version of the EAT-10 questionnaire and also to determine the positivity value between EAT-10 Indonesian version towards FEES examination.
Methods: Patients with symptoms of dysphagia or swallowing disorders diagnosed by FEES examination who came to the ENT Bronchoesophagology outpatient clinic and has been diagnosed with dysphagia by FEES examination. First of all FEES examination objectively evaluate anatomical structure and swallowing reflex in the oropharynx, then anamnesis was carried out and asked to fill out the EAT-10 questionnaire which had been adapted to Indonesian using the WHO method. The validity test was carried out using the Spearman correlation coefficient test. It was considered significant if the p value <0,05. The reliability test with internal consistency looks for a Cronbach α value above 0,6 for each and all questions.
Results: The study involved 50 subjects who met the inclusion criteria. This EAT-10 questionnaire has a significant p-value (0,00) and correlation for each question even though the sixth question “pain when swallowing” has a weak (0,408) correlation strength. This questionnaire also has a Cronbach α above 0,6 for each question (0,9) and has 80% positivity value towards FEES examination.
Conclusion: The Indonesian version of the EAT-10 instrument has been adapted cross-culturally, is valid and reliable as an instrument for assessing symptoms of dysphagia and also has a good positivity value towards FEES examination
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andreas Robby Susanto
"Latar Belakang. Saturasi oksigen merupakan pengukuran rutin pada pasien dengan pipa endotrakea ataupun dengan masalah pernafasan / oksigenasi dan merupakan standar pemantauan oksigenasi dari ASA dan WHO. Oksimeter denyut jari menjadi pilihan utama karena mudah digunakan. Pemantauan saturasi oksigen sering bermasalah karena lokasi di perifer terdapat kelainan , misalnya karena luka bakar, hipoperfusi. Diperlukan alternatif pemantauan saturasi antara lain dengan modifikasi oksimeter denyut orofaring. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan kesesuaian hasil pengukuran antara modifikasi oksimeter denyut orofaring dan oksimeter denyut jari. Metode. Penelitian analitik observasional dengan rancangan potong lintang terhadap pasien ASA 1 dan ASA 2 terintubasi yang menjalani pembedahan di RSCM Jakarta periode Agustus-September 2017. Sebanyak 26 pasien diambil secara konsekutif, setiap pasien dilakukan dua pengukuran saturasi dengan oksimeter denyut jari dan modifikasi oksimeter denyut orofaring, pencatatan dilakukan setiap 5 menit selama 30 menit . Analisis data menggunakan uji kesesuain Bland-Altman. Hasil. Rerata hasil pengukuran oksimeter jari sebesar 98,53 SD 0,896 , dan rerata hasil pengukuran modifikasi oksimeter denyut orofaring sebesar 98,35 SD 1,238 . Analisa uji Bland Altman pada semua waktu pengukuran mendapatkan rerata selisih antara oksimeter denyut jari dan modifikasi oksimeter denyut orofaring sebesar 0,19 , dengan interval kepercayaan 95 sebesar 0.07-1,79 dan dengan limit of agreement sebesar -1,42 ndash; 1,79. Simpulan. Pengukuran dengan metode modifikasi oksimeter denyut orofaring memiliki kesesuaian yang sangat baik dengan oksimeter denyut jari.

Background. Oxygen saturation is an important routine measurement in patients with endotracheal tubes or with respiratory oxygenation problems and standard oxygenation monitoring from ASA and WHO. Finger pulse oxymeter is the first choice because of its easy use. Oxygen saturation monitoring often has problems if the peripheral site has abnormalities due to several things, because. Alternative saturation monitoring is required, modification oropharyngeal pulse oxymeter is one choice. This study aims to compare the agreement of the measurement results between the modification of the oropharynx pulse oximeter and the finger pulse oximeter. Method. An observational analytic study with cross sectional design which observe ASA 1 and ASA 2 patients who were intubated and undergo surgery at RSCM Jakarta period August September 2017. Total 26 patients were taken consecutively, each patient were performed finger pulse oximeter and modification oropharyngeal pulse oxymeter, recorded every 5 minutes for 30 minutes. Analysis using agreement test Bland Altman. Results. The mean of measurement with finger oximeter was 98,53 SD 0,896 , and mean of measurement result with modification oropharyngeal pulse oximeter was 98,35 SD 1,238 . Analysis with Bland Altman test at all measurement time got mean difference between finger pulse oximeter and modification oropharyngeal pulse oximeter of 0.19, with 95 confidence interval equal to 0.07 1,79 and with limit of agreement equal to 1,42 1,79. Conclusion. Measurements with the modification oropharyngeal pulse oximeter method have good agreement with finger pulse oximeter."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andreas Ronald Barata Sebastian
"Tujuan : untuk mengetahui waktu terbaik dilakukan adaptasi perencanaan radiasi terhadap kasus kanker nasofaring yang menjalani radiasi di RSCM serta mencari tahu hubungan penurunan berat badan dan pengecilan ukuran tumor terhadap perubahan dosimetri pasien kanker nasofaring serta batasan perubahan separasi leher yang memerlukan tindakan adaptasi perencanaan radiasi. Metode : Dilakukan studi kohort prospektif pada 11 pasien kanker Nasofaring. Dilakukan pengukuran berat badan dengan timbangan dan separasi pada tip mastoid , kelenjar getah bening terlebar menggunakan alat ukur di TPS pada data set CT Simulator dan pada CBCT fraksi 1,6,11,16,21,26,dan 31. Data set hasil CBCT dilakukan fusi terhadap data set CT simulator kemudian dilakukan delineasi dan dilanjutkan rekalkulasi dosis dengan parameter yang sama seperti perencanaan radiasi awal kemudian dilakukan evaluasi dosimetri. Jika terdapat deviasi pada minimal 1 organ normal berisiko atau target volume maka masuk ke kriteria untuk dilakukan adaptasi perencanaan radiasi. Batasan waktu dalam menilai hubungan adaptasi perencanaan radiasi dengan parameter klinis dilakukan menggunakan kurva ROC (Receiving Operator Characteristic) Hasil : Dari 11 pasien yang diteliti,terdapat 10 pasien yang memerlukan adaptasi perencanaan radiasi dikarenakan melewati batas toleransi. Perubahan dosimetri yang menyebabkan adaptasi perencanaan radiasi, terjadi pada fraksi dan struktur organ yang berbeda. Hubungan antara waktu fraksinasi dengan indikasi tindakan adaptasi perencanaan radiasi signifikan mulai fraksi ke 6 sedangkan perubahan relative risk terbesar terdapat pada fraksi 11 ke fraksi 16. Indikasi adaptasi perencanaan radiasi dengan parameter klinis; Δ separasi KGB terlebar (AUC 0.951, 95% CI 0.905-0.996), Δ separasi Tip mastoid (AUC) 0.741, 95% CI 0.631-0.852, Δ persentase berat badan ((AUC) 0.911, 95% CI 0.844-0.978). dengan batas tengah kurva ROC pada Δ separasi KGB terlebar 1,21 cm dan Δ persentase berat badan 4,49 %. Kesimpulan : dari penelitian ini, pasien kanker nasofaring membutuhkan radiasi adaptif untuk memberikan terapeutik ratio yang baik dan didapatkan adanya hubungan antara perubahan separasi dan penurunan berat badan dengan adaptasi perencanaan radiasi.

Objectives: to determine appropriate timing for adaptive radiation therapy for nasopharyngeal cancer cases undergoing radiation at the RSCM and to find out the relationship between weight loss and tumor size reduction on dosimetry changes in nasopharyngeal cancer patients and the cut off of changes in neck separation that require adaptive radiation therapy. Methods: A prospective cohort study was conducted on 11 nasopharyngeal cancer patients. Separation measurements were made on the tip mastoid, the widest neck lymph node using a measuring instrument at the treatment planning system (TPS) on the CT Simulator data set and the CBCT data set fractions 1,6,11,16,21,26, and 31. The CBCT data set was fused to the CT data set. The CBCT data set was then delineated and continued with dose recalculation using the same parameters as the initial radiation plan, then dosimetry evaluation was carried out. If there is deviation in at least 1 normal organ at risk or target volume, then it is included in the criteria for adaptive radiation therapy. The time limit in assessing the relationship between adaptive radiation planning adaptive and clinical parameters was carried out using the ROC (Receiving Operator Characteristic) curve. Results: there were 10 out of 11 patients who required adaptive radiation planning due to exceeding the tolerance limit. Dosimetry changes that cause adaptive radiation planning occur in different fractions and organ structures. The relationship between fractionation time and indications of radiation planning adaptative measures is significant starting from the 6th fraction, while the largest relative risk changes are found in fractions 11 to 16. Indications of adaptive radiation planning with clinical parameters; widest lymph node separation (AUC 0.951, 95% CI 0.905-0.996), tip mastoid separation (AUC) 0.741, 95% CI 0.631-0.852, weight percentage ((AUC) 0.911, 95% CI 0.844-0.978). with the middle limit of the ROC curve at the widest KGB separation 1.21 cm and body weight percentage 4.49%. Conclusion: Nasopharyngeal cancer patients require adaptive radiation to provide a good therapeutic ratio and there is relationship between changes in separation and weight loss with adaptive radiation planning"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Citra Estetika
"Latar belakang. Kanker payudara merupakan kanker yang paling sering terjadi pada wanita di dunia. Kanker ini juga merupakan salah satu penyebab kematian akibat kanker tersering kedua pada wanita setelah kanker paru. Morfologi kanker payudara penting untuk diketahui karena setiap jenis morfologi mempunyai kecenderungan memiliki karakteristik tertentu, seperti status reseptor hormon dan pola metastasis tertentu, yang dapat menyebabkan prognosis dan penatalaksanaan yang berbeda.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran morfologi kanker payudara dan mengetahui apakah terdapat perbedaan jenis morfologi kanker payudara pada topografi dan kelompok usia yang berbeda di RSUPN Cipto Mangunkusumo tahun 2003-2007.
Metode. Penelitian ini merupakan studi deskriptif dengan desain penelitian cross-sectional dan menggunakan 336 data sekunder yang diperoleh dari 1.644 pasien kanker payudara yang diperiksa berdasarkan pemeriksaan histopatologi di RSUPN Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada tahun 2003 ? 2007. Variabel yang diteliti meliputi morfologi, topografi, dan kelompok usia penderita kanker payudara.
Hasil Penelitian. Dari 336 sampel yang diteliti, morfologi kanker payudara yang paling sering ditemukan adalah invasive ductal carcinoma (81,8%), yang sebagian besar berusia 40 ? 49 tahun (37%), dan terletak di kuadran lateral atas payudara (37%). Tidak terdapat perbedaan jenis morfologi yang paling sering ditemukan pada semua topografi dan kelompok usia.
Kesimpulan. Morfologi kanker payudara yang paling sering ditemukan pada pemeriksaan histopatologi di RSCM pada tahun 2003 ? 2007 adalah invasive ductal carcinoma. Jenis morfologi ini juga merupakan jenis morfologi yang paling banyak ditemukan pada semua topografi dan kelompok usia."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2010
S10005fk
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ericko Ekaputra
"ABSTRAK
Tatalaksana kanker di suatu rumah sakit tidak dapat berjalan baik tanpa tersedianya data kanker yang baik. Registrasi kanker berbasis rumah sakit di RSUPN Cipto Mangunkusumo mulai diimplemetasikan kembali sejak ditanda tanganinya surat keputusan bersama terkait onkologi center oleh Direktur RSUPN Cipto Mangunkusumo dengan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada bulan April 2016. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif observasional dalam implementasi registrasi kanker dan evaluasi hasil data yang dihasilkannya. Pencatatan pada registrasi kanker menggunakan formulir SRiKandI dan diinput kedalam server menggunakan program CanReg5. Data yang dikumpulkan adalah data kanker pada tahun 2013 antara lain data data demografi, data klinis, data sumber, dan data follow-up. Permasalahan implementasi terjadi pada. Tim registrasi kanker mengolah 886.086 data mentah menjadi 5.554 data bersih pasien kanker tahun 2013 dan didapatkan 10 besar pasien kanker terbanyak antara lain Kanker Payudara, Kanker Serviks, Leukemia, Kolorektal, Limfoma, Nasofaring, Ovarium, Tiroid, Hepatoma dan Kulit. Penegakan diagnosis 73 menggunakan pemeriksaan mikroskopik Microscopic Verification MV .

ABSTRACT
Cancer management in a hospital can rsquo t be done properly without the availability of cancer data. Hospital based cancer registry in Cipto Mangunkusumo began to be implemented since the signing of a joint decree of the oncology center by the Director of Cipto Mangunkusumo Hospital and the Dean of the Faculty of Medicine University of Indonesia in April 2016. Cancer registration use SRiKandI form as a template for data collection and inputted into the server using CanReg5 program. This study was an observational descriptive study in the implementation and evaluation of cancer registration data. The collected data is the data of cancer from year 2013, including demographic data, clinical data, source data, and follow up data. Implementation problems occurred in the bureaucracy, medical records, human resources, the use of Electronic Health Record EHR and CanReg5 program. Cancer registration team process 886.086 raw data into a 5.554 clean data of cancer patients in 2013 and found 10 highest number of cancer patients among others are Breast Cancer, Cervical Cancer, leukemia, colorectal, lymphoma, nasopharyngeal, ovary, thyroid, and skin hepatoma. Diagnosis of 73 using a microscopic examination Microscopic Verification MV ."
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Aeni
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2010
S26569
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Michelle Linggodigdo
"Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan penyakit endemis di Indonesia dengan tingkat mortalitas yang tinggi. Salah satu penyebab mortalitas adalah metastasis jauh. VEGF-A terbukti berperan pada kejadian metastasis jauh KNF, namun penelitian yang membahas hubungan langsung keduanya masih terbatas. Selain VEGF, terdapat jalur pensinyalan lain terkait VEGF yang mungkin berperan dalam kejadian metastasis jauh, yaitu jalur pensinyalan Hippo. Protein Yes-Associated Protein (YAP) adalah downstream efektor utama dari jalur pensinyalan ini. Dengan dilakukan pulasan YAP serta dievaluasi hubungan antara YAP dengan VEGF-A diharapkan hasilnya dapat memberikan informasi mengenai potensi biomarker sebagai indikator prognostik kejadian metastasis jauh KNF. Penelitian menggunakan metode analitik observasional dengan uji Chi-square dan korelasi koefisien kontingensi. Terdapat perbedaan ekspresi YAP yang bermakna pada kelompok KNF dengan dan tanpa metastasis jauh (p<0,001). Terdapat perbedaan bermakna ekspresi VEGF-A pada kelompok KNF dengan dan tanpa metastasis jauh (p<0,001). Ekspresi YAP yang tinggi berhubungan dengan peningkatan ekspresi VEGF-A (p=0,001). Terdapat korelasi signifikan antara peningkatan ekspresi YAP dan peningkatan ekspresi VEGF-A dengan kekuatan lemah (C=0,397, p=0,01). Terdapat perbedaan bermakna koekspresi YAP tinggi dan VEGF-A tinggi (double co-high-expression) antara kelompok KNF dengan dan tanpa metastasis jauh (p<0,001). Penelitian ini mendukung sifat onkogenik YAP. YAP dan VEGF-A dapat menjadi biomarker potensial untuk memprediksi kejadian metastasis jauh KNF.

Nasopharyngeal carcinoma (NPC) is an endemic disease in Indonesia with a high mortality rate. Distant metastasis is one of the leading causes of death. Although VEGF-A has been found to play a role in distant NPC metastasis, research on the relationship between the two is still limited. Another VEGF-related pathway, the Hippo pathway, may be involved in distant metastasis. Yes-Associated Protein (YAP) is the main downstream effector of this signaling pathway. It is expected that performing YAP marker and studying the relationship between YAP and VEGF-A, would provide data on the possibility of biomarkers that may be used as a prognostic predictor of the occurrence of distant metastasis in NPC. An observational analytic study was conducted—statistical analysis using SPSS 25.0 with Chi-square and contingency coefficients test. There was a significant difference in YAP expression between NPC with and without distant metastasis (p<0.001). The expression of VEGF-A differed significantly between NPC with and without distant metastasis (p<0.001). There was a significant relationship between YAP and VEGF-A (p=0.001) and a weak correlation (C 0.397, p=0.01). There was a significant difference in the double co-high-expression group between the KNF with and without distant metastasis (p<0.001). This study highlights YAP's oncogenic role in NPC, suggesting that YAP and VEGF-A might be potential biomarkers to predict distant metastasis in NPC."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Desti Ermawati Putri
"Nyeri kanker merupakan gejala utama yang paling sering dikeluhkan oleh pasien kanker yang sedang menjalani hospitalisasi, sehingga memerlukan manajemen nyeri yang dilakukan secara tepat oleh tenaga kesehatan terutama perawat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan dan sikap dengan penerapan manajemen nyeri pada pasien kanker oleh perawat di Rumah Sakit Kanker Dharmais. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan melibatkan 76 perawat yang ditentukan dengan menggunakan teknik total sampling.
Hasil penelitian menunjukkan 48.68% perawat sudah memiliki tingkat pengetahuan dan sikap yang baik serta 60.5% perawat sudah menerapkan dengan baik manajemen nyeri pada pasien kanker di rumah sakit tersebut. Namun, dari hasil uji Chi Square didapatkan tidak ada hubungan antara tingkat pengetahuan dan sikap perawat dengan penerapan manajemen nyeri pada pasien kanker (p= 0.85, α= 0.05).
Penelitian ini memberikan implikasi sebagai data awal untuk penelitian selanjutnya, terkait faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan dan sikap perawat terkait manajemen nyeri kanker.

Cancer pain is the most articulated grievances by undergoing hospitalization cancer patients, so they require pain management by health workers properly, especially nurses. This research aims to identify the relationship between knowledge and attitudes with the implementation of cancer pain management among nurses in Dharmais Cancer Hospital. This research used cross sectional design by involving 76 nurses who had been chosen by total technical sampling.
The result showed that 48.68% of nurse had good level of knowledge and attitude, and 60.5% of nurses implemented cancer pain management well. However, the Chi Square test result revealed that there was no relation between level of knowledge and attitude with the implementation of cancer pain management (p= 0.85, a= 0.05).
This research showed implication as starting data for the next research, especially which related to the influencing factors of knowledge and attitude of nurse towards cancer pain management.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2013
S46501
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zerry Aulia
"ABSTRAK
Latar belakang dan tujuan: Evaluasi lesi residu/rekuren pada karsinoma nasofaring pasca terapi menggunakan CT scan masih sulit dilakukan karena asimetri nasofaring dapat diakibatkan oleh lesi tumoral maupun non-tumoral. CT scan memiliki nilai atenuasi sebagai parameter objektif untuk membedakan densitas lesi. Pengukuran nilai atenuasi lesi sebelum dan sesudah kontras diharapkan dapat menjadi panduan untuk biopsi atau pemeriksaan radiologik selanjutnya. Metode: Studi ini menggunakan desain potong lintang dengan data sekunder menggunakan uji t-independen terhadap 54 subjek untuk mengetahui perbedaan rerata nilai atenuasi sebelum dan sesudah kontras, kemudian didapatkan nilai titik potong optimal untuk membedakan lesi tumoral dan non-tumoral menggunakan kurva receiver operating characteristics ROC . Hasil: Nilai rerata atenuasi lesi non-tumoral dan lesi tumoral sebelum kontras adalah 45,5 HU dan 51,3 HU p=0,03 , sedangkan pasca kontras adalah 70,1 HU dan 78,1 HU p=0,01 . Titik potong optimal untuk membedakan lesi tumoral dan non-tumoral adalah titik potong nilai atenuasi lesi pasca kontras yaitu 73,5 HU dengan sensitivitas 72,2 , spesifisitas 61,1 , nilai taksir positif 48,1 , dan nilai taksir negatif 81,5 . Kesimpulan: Terdapat perbedaan bermakna antara rerata nilai atenuasi lesi tumoral dan non-tumoral sebelum dan sesudah kontras. Nilai atenuasi lesi nasofaring pasca kontras sebesar ge; 73,5 HU sugestif suatu lesi tumoral sedangkan

ABSTRACT
Background and objective Evaluation of residual recurrent lesions in nasopharyngeal carcinoma after therapy using CT scan is difficult because nasopharyngeal asymmetry can be caused by both tumoral and non tumoral lesions. CT scan has an attenuation value as an objective parameter to distinguish the density of the lesion. Measuring the attenuation value of lesions before and after contrast is expected to be a guide for further biopsy or radiological examination. Method This study used a cross sectional design with secondary data using a t independent test of 54 subjects to determine the difference in mean attenuation value before and after contrast, then obtained an optimal cut off point to distinguish tumoral and non tumoral lesions using receiver operating characteristics ROC curves. Results The mean attenuation value of non tumoral and tumor lesions before contrast were 45.5 HU and 51.3 HU p 0.03 , whereas after contrast was 70.1 HU and 78.1 HU p 0.01 . The optimal cut off point was the after contrast which is 73,5 HU with 72,2 sensitivity, 61,1 specificity, 48,1 positive predictive value, and 81,5 negative predictive value. Conclusions There was a significant difference between average attenuation value of tumoral and non tumoral lesions before and after contrast. The attenuation value of after contrast lesions of ge 73.5 HU were suggestive of a tumoral lesion while "
2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Harizah Umri
"Sebagai salah satu efek samping, xerostomia pasca radiasi karsinoma nasofaring dirasakan mengganggu pada hampir 100 pasien karsinoma nasofaring setelah mendapat terapi radiasi. Beberapa studi memperlihatkan akupunktur bermanfaat sebagai terapi xerostomia pasca radioterapi. Penelitian ini merupakan penelitian akupunktur pertama di Indonesia dengan subyek pasien xerostomia pasca radiasi karsinoma nasofaring. Dua puluh lima pasien xerostomia pasca radiasi karsinoma nasofaring dibagi dalam tiga kelompok secara acak, kelompok akupunktur telinga A, akupunktur tubuh B dan akupunktur kombinasi C. Skor XI dinilai sebelum, setelah 6 dan 12 kali akupunktur sementara itu pH saliva dinilai sebelum dan setelah 12 kali akupunktur dengan menggunakan saliva check buffer kit. Angka keberhasilan terapi akupunktur pada kelompok A yaitu 71,4 - 100, kelompok B yaitu 66,7 -88,9 dan kelompok C yaitu 88,9 -100 p>0,05. Rerata pH saliva pada kelompok A sebelum akupunktur meningkat dari 6,18 0,60 menjadi 6,83 4,48, kelompok B dari 6,16 0,54 menjadi 6,67 2,26 dan kelompok C dari 6,00 0,49 menjadi 6,60 2,23 setelah akupunktur p>0,05. Rerata skor XI sebelum akupunktur pada kelompok A yaitu 35,70 5,14 menjadi 22,86 16,15, kelompok B yaitu 34,70 7,77 menjadi 20,89 10,06, serta kelompok C yaitu 36,70 5,25 menjadi 21,44 8,97 sesudah 12 kali akupunktur p>0,05. Akupunktur telinga, akupunktur tubuh serta akupunktur kombinasi mempunyai efek yang sebanding dalam meningkatkan pH saliva dan menurunkan skor XI pada xerostomia yang dialami pasien karsinoma nasofaring pasca kemoradiasi.

Distressing side effect from radiation for nasopharyngeal carcinoma treatment, radiation induced xerostomia commonly occurs in almost 100 patients undergoing such procedure method. Some studies suggest that acupuncture might be a useful method for the treatment of radiation induced xerostomia. This study is the first acupuncture research in Indonesia with the subject of xerostomia after chemo irradiation of nasopharyngeal carcinoma patients. Twenty five patients with xerostomia after chemo irradiation of nasopharyngeal carcinoma were divided randomly into 3 groups which are auriculo puncture group A, body acupuncture group B and combination acupuncture group C. XI scores was examined before, after 6th and 12th acupuncture treatment whereas salivary pH was examined before and after 12th acupuncture treatment using saliva check buffer kit. The success rate of acupuncture therapy in group A is 71,4 100, in group B is 66,7 88,9 and group C is 88,9 100 p 0,05. The mean salivary pH in group A was increased from 6,18 0,60 to 6,83 4,48, group B the mean salivary pH was increased from 6,16 0,54 to 6,67 2,26 and group C the mean salivary pH was increased from 6,00 0,4 to 6,60 2,23 after therapy p 0,05. The mean XI score was decreased from 35,70 5,14 group A, 34,70 7,77 group B, 36,70 5,25 group C before acupuncture therapy to 22,89 16,15 group A, 20,89 10,06 group B, 21,44 8,97 group C after 12th acupuncture therapy p 0,05. Auriculo puncture, body acupuncture and combination acupuncture have the same effects to increase salivary pH and decrease XI score in patients with xerostomia after chemo irradiation of nasopharyngeal carcinoma.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>