Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 146016 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fadhlia Majidiah
"Latar belakang: Trombosis vena dalam merupakan komplikasi tersering yang dijumpai pada keganasan. Insidens trombosis vena dalam pada kanker paru sangatlah tinggi bila dibandingkan dengan populasi umum. Saat ini belum ada pedoman alur diagnosis yang dapat menegakkan diagnosis trombosis vena dalam pada kanker paru. Selain itu, penelitian serupa juga belum pernah dilakukan di Indonesia sehingga hasil penelitian ini dapat menjadi penelitian pendahuluan yang menitikberatkan pada trombosis vena dalam pada kanker paru.
Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai proporsi trombosis vena dalam menggunakan kriteria klinis yaitu skor Wells’ pada pasien kanker paru yang dirawat di RS Persahabatan.
Metode: Desan penelitian ini menggunakan metode potong lintang. Kami melakukan pemeriksaan pada pasien kanker paru yang dirawat sejak September 2012 hingga Februari 2013. Kami menyingkirkan pasien kanker paru dengan penyakit infeksi serta pasien kanker paru dengan sediaan histopatologi yang belum tegak. Pemeriksaan fungsi hemostasis seperti PT, APTT dan D-dimer tetap dilakukan bersama dengan penggunaan kriteria klnis skor Wells’. Diagnosis trombosis vena dalam ditentukan apabila skor Wells berat.
Hasil: Subjek dalam penelitian ini terbanyak adalah laki-laki (69,2%) dengan kelompok usia terbanyak yaitu kelompok usia 51-60 tahun (33,3%). Jenis histopatologi yang terbamyak ditemukan adalah jenis adenokarsinoma (57,7%). Hampir sebagian besar pasien yaitu 64 pasien (82,1%) memiliki D-dimer >500 dan hanya 14 pasien (17,9%) dengan D-dimer normal. Penelitian ini mengungkapkan proporsi trombosis vena dalam menggunakan skor Wells adalah 23,1%.%. Faktor-faktor seperti jenis kelamin, usia, riwayat merokok, jenis tumor, stadium tumor, status penampilan, serta fungsi hemostasis tidak berpengaruh terhadap trombosis vena dalam namun nilai D-dimer >500 berpengaruh terhadap trombosis vena dalam.
Kesimpulan: Proporsi trombosis vena dalam pada pasien kanker paru di RS Persahabatan hampir sama jumlahnya dengan penelitian-penelitian di negara lain yaitu sekitar 21%. Penelitian ini menunjukkan bahwa skor Wells masih mempunyai peran penting dalam menentukan trombosis vena dalam mengingat penggunaannya mudah dan praktis. Penelitian selanjutnya diperlukan untuk menilai metode yang mudah dan sederhana digunakan dalam praktek sehari-hari bersama dengan skor Wells dalam menentukan trombosis vena dalam pada kanker paru.

Background: Deep vein trombosis (DVT) is the common complication found in malignancy. Its incidence in lung cancer is much higher than in general population. Since there were no current diagnosis guideline which could help identify DVT in lung cancer and there were no similar study conducted before in Indonesia, thus this study could be a pilot study for further research focusing DVT in lung cancer.
Objective: The objective of this study is to find deep vein trombosis proportion among lung cancer patients which is determined by clinical criteria such as Wells’ score in Persahabatan Hospital.
Method: The study design is using a cross-sectional method. We examined the lung cancer patients who were hospitalized within September 2012 to Februari 2013. We excluded the lung cancer patients with infection comorbidity or who had not yet had histopathological confirmation. The hemostatis work up included PT, APTT, and D-dimer were conducted along with clinical Wells’ score criteria. Deep vein trombosis among the patients is determined by severe Wells’ score.
Results: Subjects in this study were mostly male (69,2%) with predominant age group of 51-60 years old (33,3%). Predominant histopathologic sub type was adenocarcinoma (57,7%). Mostly, 64 patients (82,1%) had D-dimer >500 and only 14 patients (17,9%) with normal D-dimer. This study found that deep vein trombosis proportion is 23,1% using Wells’ score. Clinical characteristics such as sex, age, smoking history, tumor cell type, tumor staging, performance status and hemostasis function does not have correlation with DVT but score of D-dimer >500 have correlation with DVT.
Conclusion: The DVT proportion among lung cancer patients in Persahabatan Hospital is similar found in some studies in other countries which is approximately 21%. This study revealed that the simple and practical application of Wells’ score in determining DVT is still have valueable role. Further study is needed to find the best simple and easy methods along with Wells’ score in determining DVT in daily practice.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marscha Iradyta Ais
"Latar Belakang: Jumlah kasus KPKBSK diperkirakan 85% dari seluruh kasus kanker paru dan 40% diantaranya adalah jenis adenokarsinoma. Sebanyak 10%-30% pasien adenokarsinoma mengalami mutasi EGFR dan mendapatkan terapi EGFR-TKI. Mayoritas pasien KPKBSK memiliki respons dan toleransi baik terhadap terapi EGFR- TKI tetapi sebagian kecil pasien mengalami penyakit paru interstisial akibat EGFR- TKI. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proporsi gambaran penyakit paru interstisial pada pasien KPKBSK dengan terapi EGFR-TKI di RSUP Persahabatan.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendeketan kohort retrospektif yang dilakukan bulan Januari 2021 hingga Juni 2022. Subjek penelitian adalah pasien KPKBSK yang mendapatkan terapi EGFR-TKI. Subjek penelitian dipilih sesuai kriteria inklusi dan eksklusi. Pengambilan data melalu data sekunder berupa rekam medis dan hasil CT scan toraks pasien yang kontrol di poliklinik onkologi RSUP Persahabatan.
Hasil: Pada penelitian ini diperoleh 73 subjek penelitian, pasien KPKBSK dengan mutasi EGFR yang mendapatkan terapi EGFR-TKI di RSUP Persahabatan. Sebanyak 12 dari 73 subjek penelitian mengalami gambaran ILD yang dievaluasi berdasarkan CT scan toraks RECIST I dan II dengan karakteristik jenis kelamin laki-laki (22,2%), kelompok usia 40-59 tahun (19,4%), perokok (24,1%), indeks brinkman berat (42,9%) dan mendapatkan terapi afatinib (26,1%). Proporsi gambaran ILD pada pasien KBPKBSK dengan terapi EGFR-TKI adalah opasitas retikular (58,3%), parenchymal band (33,3%), ground-glass opacities (25%), traction bronchiectasis (25%) dan crazy paving pattern (8,3%). Hasil analisis bivariat dan multivariat menunjukkan tidak terdapat perbedaan antara faktor-faktor seperti jenis kelamin, usia, jenis EGFR-TKI, riwayat merokok, indeks brinkman, riwayat penyakit paru dan tampilan status terhadap gambaran ILD.
Kesimpulan: Gambaran ILD pada pasien KPKBSK dengan terapi EGFR-TKI meliputi opasitas retikular, parenchymal band, ground-glass opacities, traction bronchiectasis dan crazy paving pattern. Tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik antara faktor-faktor yang memengaruhi terhadap gambaran ILD.

Background: The number of cases of NSCLC is estimated around 85% of all lung cancer cases and 40% among them are adenocarcinoma. Approximately 10%-30% of adenocarcinoma patients have EGFR mutations and receive EGFR-TKI therapy. The majority of NSCLC patients have a good response and tolerance to EGFR-TKI therapy, but a small group of patients experience EGFR-TKI induced interstitial lung disease. This study aims to determine the proportion of features of interstitial lung disease ini NSCLC patients treated with EGFR-TKI at Persahabatan Hospital.
Methods: This study was an analytic observational with a retrospective cohort approach that was conducted from January 2021 until June 2022. The subject were NSCLC patients who received EGFR-TKI treatment. The inclusion and exclusion criteria were used to determine which subjects will be included in the study. Data collection through secondary data from medical record and chest CT scan results of patients controlled at oncology polyclinic at Persahabatan Hospital.
Result : In this study, there were 73 subjects of NSCLC with EGFR mutations and received EGFR-TKI therapy at Persahabatan Hospital. There were 12 out of 73 subjects had ILD features which were evaluated based on RECIST I and II chest CT scan with predominant of male (22.2%), age group 40-59 years old (19.4%), smokers (24.1%), severe Brinkman index (42.9%) and received afatinib (26.1%). The proportion of ILD features in NSCLC patients with EGFR-TKI therapy are reticular opacities (58.3%), parenchymal bands (33.3%), ground-glass opacities (25%), traction bronchiectasis (25%) and crazy paving pattern (8.3%). The results of bivariate and multivariate analyzes showed that there was no differences between factors such as sex, age, type of GEFR-TKI, smoking history, Brinkman index, history of lung disease and performance status with features of ILD.
Conclusion: Features of ILD in NSCLC patients with EGFR-TKI therapy include reticular opacities, parenchymal bands, ground-glass opacities, traction bronchiectasis and crazy paving pattern. There is no statistically significa
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Alisa Narendraputri
"Latar belakang: Kanker paru menduduki peringkat ketiga sebagai penyebab kematian utama akibat keganasan di Indonesia, 85% di antaranya adalah kanker paru karsinoma bukan sel kecil (KPKBSK). Pasien kanker paru rentan terhadap infeksi oportunistik, termasuk kriptokokosis, yaitu infeksi jamur Cryptococcus. Penelitian tentang data klinis dan keberadaan Cryptococcus pada pasien KPKBSK di Indonesia masih terbatas. Salah satu metode untuk mendeteksi keberadaan Cryptococcus adalah pemeriksaan serologi Lateral Flow Assay (LFA).
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil klinis pasien KPKBSK dan kaitannya dengan hasil pemeriksaan LFA Cryptococcus di RSUP Persahabatan.
Metode: Penelitian dengan disain potong lintang ini dilakukan pada pasien KPKBSK yang belum dikemoterapi di RSUP Persahabatan yang memenuhi kriteria inklusi. Data klinis pasien diperoleh dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang diambil dari rekam medis, selanjutnya dilakukan pemeriksaan LFA Cryptococcus di laboratorium Parasitologi FKUI.
Hasil: Dari 77 subjek yang memenuhi kriteri inklusi, terdapat 48 (62,3%) pasien laki-laki, dengan rerata usia 59,4 tahun. Data klinis lain menunjukkan IMT 18,5-22,9 kg/m2 (53,2%), status tampilan 1 (42,9%), perokok aktif (61,0%), Indeks Brinkman ringan (42,9%), adenokarsinoma (75,3%), stadium IIIB-IV (79,2%). Riwayat komorbid yang ditemukan adalah TB (13,0%), asma/PPOK (1,3%), DM (16,9%), dan penyakit lainnya (31,2%). Proporsi hasil pemeriksaan LFA Cryptococcus positif adalah 11,7%. Tidak ditemukan hubungan bermakna antara profil klinis dengan keberadaan Cryptococcus pada pasien KPKBSK.
Simpulan: Proporsi keberadaan Cryptococcus pada pasien KPKBSK yang belum dikemoterapi adalah 11,7%. Profil klinis terbanyak berupa IMT 18,5-22,9 kg/m2, status tampilan 1, perokok aktif, Indeks Brinkman ringan, jenis keganasan adenokarsinoma, dan stadium IIIB-IV. Riwayat komorbid meliputi TB, asma/PPOK, DM, dan penyakit lain. Tidak ditemukan hubungan antara profil klinis dengan keberadaan Cryptococcus pada subjek penelitian.

Background: Lung cancer is the third of leading cause of death due to malignancy in Indonesia. Eighty-five percent of them were non-small cell lung cancer (NSCLC). Lung cancer patients are prone to have the opportunistic infections, such as cryptococcosis. However, the clinical data on the exictance of Cryptococcus in NSCLC patients in Indonesia are scarce. One of the methods to detect Cryptococcus in those patients is the Lateral Flow Assay (LFA) serology test.
Aim: The study aimed to determine the association between the clinical profile of NSCLC patients with the Cryptococcal LFA test results at Persahabatan Hospital, Jakarta.
Methods: This cross-sectional study was conducted on naïve NSCLC patients at Persahabatan Hospital Jakarta, who met the inclusion criteria. The clinical data were obtained from history taking and physical examination from the medical records. Furthermore, the Cryptococcal LFA serology test was conducted at laboratory of Parasitology Department, Faculty of Medicine Universitas Indonesia.
Results: Of the 77 subjects, there were 48 male patients (62.3%), and the mean age was 59.4 years old. The most common clinical profile of NSCLC patients were BMI of 18.5-22.9 kg/m2 (53.2%), performance status 1 (42.9%), active smokers (61.0%), mild Brinkman Index (42.9%), adenocarcinoma (75.3%), and cancer stage of IIIB-IV (79.2%). The comorbidities of those patients were TB (13.0%), asthma/COPD (1.3%), DM (16.9%), and other diseases (31.2%). The proportion of positive Cryptococcal LFA test results was 11.7%. There was no significant association between the clinical profiles and the presence of Cryptococcus.
Conclusion: The proportion of the Cryptococcus existance in naïve NSCLC patients was 11.7%. The most common clinical profiles were BMI of 18.5-22.9 kg/m2, performance status 1, active smokers, mild Brinkman Index, adenocarcinoma histology type, and lung cancer stage at IIIB-IV. The comorbidities of those patients were TB, asthma/COPD, DM, and other diseases. No association was found between the clinical profile of those patients and the presence of Cryptococcus.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayuningtyas Setyoreni
"Latar Belakang : Metastasis tulang merupakan masalah pada pasien kanker paru karena memperburuk prognosis dan kualitashidup. Nyeri merupakan salah satugejala yang paling umum. Tatalaksana metastasis tulang pada pasien kanker paru meliputi terapi pada tumor primer, radioterapi pada lesi metastasis dan pemberian ibandronic acid.
Metode : Penelitian ini merupakan studi retrospektif. Kami mencatat pasien kanker paru bermetastasis tulang dan dirawat di rumah sakit pusat rujukan respirasi nasional Persahabatan Jakarta dari tanggal 1 Januari 2016 sampai 30 Juni 2018. Tujuan penelitian ini untuk mengevaluasi penurunan nyeri kanker yang berhubungan dengan metastasis tulang. Semua pasien menerima terapi ibandronic acid 6 mg intravena setiap bulan dan diukur skala nyerinya dengan menggunakan Visual Analogue Scale (VAS). Selain mendapat terapi ibandronic acid, setiap pasien juga mendapatkan modalitas terapi nyeri kanker lain seperti analgetik, radioterapi atau kombinasi keduanya.
Hasil : Lokasi lesi kanker paru bermetastasis ke tulang paling sering (dari 51/71 pasien) adalah vertebra 74 (43,79%), toraks 55 (32,54%) dan pelvis 28 (17,75%). Rerata jumlah pemberian ibandronic acid adalah 8 kali pemberian. Rentang waktu pemberian ibandronic acid dari tegak jenis adalah 6 bulan. Nyeri VAS setelah pemberian ibandronic acid berturut-turut nyeri VAS ringan (VAS 1-3) 14 (27,54%), nyeri VAS sedang (VAS 4-6) 37 (72,46%) dan nyeri berat (VAS 7-10) 0 (0%). Total waktu penurunan nyeri setelah pemberian ibandronic acid adalah 4 bulan. Rerata penurunan nyeri VAS pada grup nyeri VAS ringan-sedang terjadi setelah 5 kali pemberian sedangkan rerata penurunan grup nyeri VAS berat setelah 1 kali pemberian (p = 0.0001). Terdapat beberapa kejadian efek samping setelah pemberian ibandronic acid yang ditemukan pada 9 dari 51 subjek antara lain 2 (3,9%) ruam kulit, 3 (5,9%) mual dan muntah, 3 (5,9%) sakit kepala dan 1 (2,0%) demam.
Kesimpulan : Terapi ibandronic acid sangat bermanfaat untuk menurunkan nyeri kanker pada pasien kanker paru bermetastasis ke tulang

Background: Bone metastasis (BM) is one of the problems in lung cancer because it affects the prognosis and quality of life. Pain is most common symptom. The management of bone metastasis (BM) in lung cancer are treatment of primary cancer lesion, radiotherapy on the metastatic lesions and ibandronic acid.
Method : In this retrospective study, lung cancer patients with BM and treated in Persahabatan National Respiratory Referral Hospital, Jakarta, between January 1st 2016 and June 30th 2018 were enrolled. The aim of study was to evaluate the efficacy of ibandronic acid in the treatment of cancer pain caused by BM. All of patients received ibandronic acid 6 mg (intravenously) monthly and Visual Analogue Scale (VAS) was used to evaluate pain. All patients received other management cancer pain such as analgesics, radiotherapy or combination.
Results : Most BM lesions (51/71 cases) were located in vertebra 74 (43,79%), thoracic cage 55( 32,54%) and pelvic 28 (17,75%). The averages of administration of ibandronic acid 6 mg iv was 8 times. The mean time-to-treat of ibandronic acid since the first time of lung cancer diagnosis was 6 months. VAS pain scale after administration of ibandronic acid was classified to mild pain (VAS 1-3) 14 cases (27,54%), moderate pain (VAS 4-6) 37 cases (72,46%) and severe pain (VAS 7-10) 0 cases. Overall the decrease in VAS scale was seen after 4 times ibandronic acid administration. Pain was significantly improved after the fifth administration in patients which initially suffered from moderate to mild pain and was significantly improved immediately after the first administration in patients which initially suffered from severe pain (p=0,0001). The side effects caused by ibandronic acid was observed in 9 patients, in which 2 subjects (3,9%) had a rash skin, 3 subjects (5,9%) suffered nausea and vomiting, 3 subjects (5,9%) had headache, and 1 subject (2,0%) fever.
Conclusion : Ibandronic acid treatment was useful to relieve metastatic bone pain in lung cancer patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T55538
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hapsari Retno Dewanti
"Latar Belakang: Kanker paru menjadi penyebab kematian utama akibat keganasan pada laki-laki sebesar 31% dan perempuan sebesar 27%. Pada pasien adenokarsinoma paru dengan mutasi pada exon 20 T790M memberikan respons yang buruk terhadap terapi EGFR-TKI generasi pertama maupun generasi kedua.
Tujuan: Mengetahui profil serta angka tahan hidup 1 tahun pasien kanker paru jenis Adenokarsinoma dengan mutasi exon 20 T790M primer.
Metode: Penelitian menggunakan desain kohort terhadap pasien-pasien adenokarsinoma paru stadium IV dengan mutasi exon 20 T790M primer dari bulan September 2015 sampai Desember 2017 di RSUP Persahabatan. Variabel yang diteliti adalah karakteristik klinis dan angka kesintasanberdasarkan kurva Kaplan Meier. Hasil analisis dinyatakan berbeda bermakna apabila nilai p<0,05.
Hasil: Didapatkan 27 subjek penelitian dengan rerata usia 58,5 tahun dan berjenis kelamin laki-laki (70,6%). Keluhan utama berupa sesak napas (73,5%) dan nyeri dada (55,9%). Mutasi genetik tunggal pada Exon 20 T790M (64,7%), sedangkan mutasi Exon 20 T790M dengan Exon 21 L858R (11,8%) dan mutasi Exon 20 T790M dengan 21 L861Q (8,8%). Organ target metastasis adalah efusi pleura (73,5%), tulang (26,5%) dan otak (20,6%). Angka kesintasan 360 dan 990 hari sebesar 35% dan 20% dengan median kesintasan sebesar 213 hari.
Kesimpulan: Mutasi exon 20 T790M pada adenokarsinoma paru memegang peranan penting terhadap kesintasan dan prediktor responsterhadap terapi yang diberikan.

Background: Lung cancer causes mortality in men (31%) and in women (27%). Lung adenocarcinoma patients with exon 20 T790Mepidermal growth factor receptor(EGFR) mutation showed poor response to the first generation and second generation of EGFR tyrosine kinase inhibitor (TKI) therapy.
Purpose: This study aims to reveal the characteristics and one year survival rate of lung adenocarcinoma patients with primary exon 20 T790M EGFR mutations treated at Persahabatan Hospital Jakarta, Indonesia.
Methods: The cohort study involved patients with primary exon 20 T790M EGFR mutation between September 2015 to December 2017 in Persahabatan Hospital Jakarta, Indonesia. The survival rate was observed from Kaplan Meier estimator curve and was statistically analyzed.
Results: There were 27 subjects with mean age of 58.5 years and were predominated male (70.6%). The most common chief complaints were shortness of breath (73.5%) and chest pain (55.9%). The EGFR mutations detected were exon 20 T790M (64.7%), exon 20 T790M with exon 21 L858R (11.8%) and exon 20 T790M with exon 21 L861Q (8.8%). Metastatic target organs were pleural effusions (73.5%), bone (26.5%) and brain (20.6%). Survival rate of 360 and 990 days was 35% and 20% respectively with median survival rate was 213 days.
Conclusion: Exon 20 T790M EGFR mutation in lung adenocarcinoma was revealed to be an important factor in survival and in predicting response to EGFR TKI chemotherapy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Pohan, M. Yusuf Hanafiah
"Saat ini kasus kanker paru meningkat jumlahnya dan menjadi salah satu masalah kesehatan di dunia juga di Indonesia. Data yang dikemukakan World Health Organization (WHO) menunjukkan kanker pare adalah penyebab utama pada kelompok kematian akibat keganasan, bukan hanya pada laki-laki tetapi juga pada perempuan. Di Indonesia kanker paru menduduki peringkat ke-3 atau ke-4 di antara tumor ganas yang paling sering ditemukan di beberapa rumah sakit. Jumlah penderita kanker paru di RS Persahabatan 239 kasus pada tahun 1996, 311 kasus tahun 1997 dan 251 kasus di tahun 1998. Lebih dari 90% penderita kanker paru datang berobat pada keadaan penyakit yang sudah lanjut, hanya 6% penderita masih dapat dibedah.
Prognosis buruk penyakit ini mungkin berkaitan erat dengan penderita yang jarang datang ke dokter ketika penyakitnya masih berada dalam tahap awal. Hasil penelitian pada penderita kanker pare pascabedah menunjukkan bahwa rerata angka tahan hidup 5 tahun stage 1 jauh berbeda dengan mereka yang dibedah setelah stage II, apalagi jika dibandingkan dengan penderita kanker pare stadium lanjut. Masa tengah hidup penderita kanker part stage lanjut yang diobati adalah 9 bulan.
Kanker pare adalah salah satu jenis penyakit paru yang memerlukan penanganan dan tindakan yang cepat dan terarah. Penegakan diagnosis ini membutuhkan keterampilan dan sarana yang tidak sederhana serta memerlukan pendekatan multidisiplin kedokteran. Penyakit ini membutuhkan kerjasama yang erat dan terpadu antara ahli pare dengan ahli radiologi diagnostik, ahli patologi anatomi, ahli radioterapi, ahli bedah toraks dan ahli-ahli lainnya. Pengobatan atau penatalaksanaan penyakit ini sangat tergantung pada kecekatan ahli paru untuk mendapatkan diagnosis pasti. Penemuan kanker part pada stage dini akan sangat membantu penderita dan penemuan diagnosis dalam waktu lebih cepat memungkinkan penderita memperoleh kualiti hidup yang lebih baik.
Diagnosis pasti penyakit kanker ditentukan oleh basil pemeriksaan patologi anatomi. Dasar pemeriksaan patologi anatomi adalah pemeriksaan mikroskopik terhadap perubahan sel atau jaringan organ akibat penyakit. Terdapat dua jenis pemeriksaan patologi anatomi yaitu pemeriksaan histopatologi dan sitologi. Pemeriksaan histopatologi bertujuan memeriksa jaringan tubuh, sedangkan pemeriksaan sitologi memeriksa kelompok sel penyusun jaringan tersebut. Pemeriksaan histopatologi merupakan diagnosis pasti (baku emas). Pemeriksaan sitologi mampu memeriksa sel kanker sebelum tindakan bedah sehingga bermanfaat untuk deteksi pertumbuhan kanker, bahkan sebelum timbul manifestasi klinis penyakit kanker.
Diagnostik kanker paru memang tidak mudah khususnya pada lesi dini. Pemeriksaan sitologi sputum merupakan satu-satunya pemeriksaan noninvasif yang dapat mendeteksi kanker pare tetapi nilai ketajamannya rendah. Pengambilan bahan pemeriksaan sel/jaringan pare banyak dilakukan dengan cara invasif seperti biopsi pare tembus dada (transthoracic biopsy/TTB), bronkoskopi atau torakoskopi. Teknik ini jauh lebih noninvasif dibandingkan biopsi pare terbuka dengan cara pembedahan yang sudah banyak ditinggalkan. Di RS Persahabatan jumlah penderita kanker paru yang dapat dibedah masih dibawah 10%, angka ini masih sangat kecil dibandingkan negara lain yang dapat mencapai angka sekitar 30%. Data yang belum dipublikasi dari bagian bedah toraks RS Persahabatan dari tahun 2000-2004 mencatat 33 kasus kanker paru yang dibedah, rata-rata hanya sekitar 6-7 pasien pertahun, itupun bukan untuk tujuan diagnostik tetapi untuk penatalaksanaan. Hal ini menjadikan pemeriksaan sitologi masih akan tetap menjadi alat utama untuk diagnostik kanker paru.
Berbagai teknik pemeriksaan sitologi dan histopatologi memberikan akurasi basil yang berbeda-beda dan umumnya tidak membandingkan akurasi berbagai teknik pemeriksaan sitologi tersebut dengan baku emas pemeriksaan histopatologi. Perbandingan akurasi basil berbagai teknik pemeriksaan tersebut akan berguna untuk menentukan pilihan pemeriksaan yang paling efektif dan efisien."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18032
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maududi, Abul A`la, supervisor
"Latar Belakang : Pasien kanker paru rentan terhadap infeksi jamur. Candida dan Aspergillus merupakan jenis jamur paling banyak yang menyebabkan infeksi jamur pada pasien kanker. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil klinis, spektrum jamur dan imunoglobulin G spesifik Aspergillus pada pasien kanker paru yang belum dikemoterapi di RSUP Persahabatan.
Metode : Penelitian ini berdesain potong lintang. Subjek penelitian adalah pasien KPKBSK yang sudah tegak jenis dan belum dikemoterapi yang berobat di RSUP Persahabatan. Dahak dan serum diperiksakan biakan jamur dan IgG spesifik Aspergillus di Departemen Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hasil biakan jamur dan IgG spesifif Aspergillus dianalisis untuk mengetahui hubungannya dengan demografi.
Hasil : Subjek penelitian sebanyak 77 pasien. Hasil biakan dahak yang tumbuh jamur sebanyak 76 subjek (98,7%). Jumlah isolat jamur yang tumbuh ≥ dua spesies sebanyak 35 pasien (45,5%). Isolat jamur yang paling banyak tumbuh adalah Candida albicans (72,3%) dan Aspergillus niger (33,8%). Hasil IgG spesifik Aspergillus pada subjek penelitian yang positif sebanyak 22,1%. Terdapat hubungan bermakna antara umur dan leukosit dengan IgG spesifik Aspergillus dan antara umur dan jenis kelamin dengan biakan Aspergillus.
Kesimpulan : Isolat jamur yang ditemukan di antaranya adalah Candida albicans, Aspergillus niger, Aspergillus flavus, Aspergillus fumigatus, Penicillium spp. Candida glabrata, Candida paraspillosis, Candida tropicalis dan Candida kruseii. Terdapat hasil IgG spesifik Aspergillus positif pada subjek penelitian sebanyak 22,1%. Umur dan nilai leukosit berhubungan dengan IgG spesifik Aspergillus dengan nilai (p = 0,048) dan (p = 0,014), sedangkan umur dan jenis kelamin berhubungan dengan biakan Aspergillus dengan nilai (p = 0,027) dan (p = 0,035).

Background: Lung cancer patients are prone to fungal infections. Candida and Aspergillus are the most common cause of fungal infections in cancer patients. This study aimed to determine the clinical profile, fungal detection spectrum and level of Aspergillus specific immunoglobulin-G (igG) of new lung cancer patients prior to chemotherapy at Persahabatan Hospital.
Methods: We performed a cross-sectional study, involving NSCLC patients in Persahabatan Hospital whose type of cancer had been established and had not received chemotherapy as subjects. Sputum and serum of the patients was examined for fungus and Aspergillus specific IgG cultures in the Department of Parasitology Faculty of Medicine, Universitas Indonesia. The results of Aspergillus specific fungi and IgG were analyzed to determine their relationship with demographics.
Results: The study included 77 patients as subjects. Sputum culture detected fungi growth in 76 subjects (98.7%). Fungal isolates that grew ≥ 2 species were present in 35 patients (45.5%). Candida albicans (72.3%) and Aspergillus niger (33.8%) were found from the cultures. Positive Aspergillus specific IgG was present in 22.1% of the subjects. There was a significant relationship between age, leukocytes concentration, and level of Aspergillus specific IgG and between age, sex and Aspergillus culture.
Conclusion: The fungi isolates in this study were Candida albicans, Aspergillus niger, Aspergillus flavus, Aspergillus fumigatus, Penicillium spp. Candida glabrata, Candida paraspillosis, Candida tropicalis and Candida kruseii. Aspergillus specific IgG results were positive in 22.1% of subjects. Age and leukocyte value are associated with Aspergillus specific IgG with (p=0.048) and (p=0.014), and age and sex are associated with Aspergillus culture with (p=0.027) and (p=0.035).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Inggar Pertiwi
"ABSTRAK
Latar Belakang : Pasien kanker paru umumnya datang pada stage yang sudah lanjut. Keterlambatan bisa diakibatkan oleh pasien itu sendiri, dokter dan sistem kesehatan. Sejak diberlakukan Jaminan Kesehatan Nasional, RSUP Persahabatan sebagai rujukan penyakit paru mengalami peningkatan jumlah pasien kanker paru. Diagnosis kanker paru ditargetkan tegak dalam dua minggu. Namun, selama ini ini belum ada data berapa lama diagnosis kanker paru dapat ditegakan dan berapa biaya yang dikeluarkan serta faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya.Metode : Penelitian ini merupakan studi observasional. Sebanyak 110 subjek terdapat pada penelitian ini. Kami mengevaluasi berapa waktu dan biaya yang dibutuhkan sejak subjek datang ke RSUP Persahabatan sampai diagnosis histopatologi kanker paru didapat. Kami juga mengevaluasi beberapa faktor yang menentukan lama dan besarnya biaya penegakan diagnosis kanker paru.Hasil : Sebanyak 110 subjek terdapat dalam penelitian ini. Delapan puluh empat 76,36 subjek laki-laki dan 26 23,64 perempuan. Nilai tengah umur subjek adalah 57 tahun dengan kisaran 26 sampai 86 tahun. Sebanyak 53 48,2 mendapatkan diagnosis dalam waktu le; dan 57 51,8 subjek mendapatkan diagnosis lebih dari 2 minggu. Nilai tengah penegakan diagnosis adalah 15 hari dengan kisaran 1 ndash;68 hari. Pasien dengan stage lanjut, tampilan status yang jelek dan dirawat dengan pembiayaan umum memiliki waktu tunggu yang lebih singkat. Biaya penegakan diagnosis kanker paru di RSUP Persahabatan memiliki nilai tengah Rp. 13.025.381,- dengan kisaran Rp. 1.083.000,- hingga Rp156.285.000,-. Subjek dengan stage lanjut, tampilan status yang buruk, memiliki penyulit dan dirawat di kelas non JKN memiliki biaya yang lebih besar.Kesimpulan : Nilai tengah waktu penegakan diagnosis kanker paru pada penelitian ini adalah 15 hari dengan kisaran 1-86 hari. Waktu tunggu berhubungan dengan stage pada saat datang, tampilan status, kelas perawatan. Biaya penegakan diagnosis kanker paru di RSUP Persahabatan memiliki nilai tengah Rp. 13.025.381,- dengan kisaran Rp. 1.083.000,- hingga Rp156.285.000,-. Biaya penegakan diagnosis berhubungan dengan stage pada saat datang, tampilan status, penyulit dan kelas perawatan.Kata Kunci : Kanker paru, diagnosis, keterlambatan diagnosis
ABSTRAK
Background and aim Most lung cancer patients had been diagnosed in advanced stage. Most reasons for the delay of the diagnosis, might be from patients and or health system. Currently, in Indonesia has National Health Insurance System Jaminan Kesehatan Nasional . That situation made an increasing numbers of patients who come to referral hospital. In Persahabatan Hospital the National Referral for Respiratory Diseases, the maximum time interval for lung cancer diagnosis was set not more than two weeks, however several cases were delayed. We had been conducting a study to evaluate time diagnostic time and cost for diagnose lung cancer.Method We performed bservational study in Persahabatan Hospital Jakarta. One hundred an ten new patients was recruited in this study. We evaluated how long the time was and how much was needed from the first visit until the initial diagnosis by histopatology obtained. We also evaluated the factors that have correlated with time and cost of diagnosis.Results One hundred and ten patients were enrolled in this study. Eighty four 76,36 were male and 26 23,64 were female. The median age was 57 years old with range 26 to 86 years old. Data had shown that 53 48,2 patient were diagnosed under target time 2 weeks but 57 51,8 had diagnostic time more than 2 weeks. The median time of diagnostic was 15 days with range 1 ndash 68 days. Diagnostic delay was correlated with early stage of the diseases, good performance status, financial resource. The median cost of diagnosis was Rp. 13.025.381, with range Rp. 1.083.000, to Rp156.285.000, . Subject who came with late stage, poor performance status, had complication of lung cancer and hospitalized in private area had higher cost of diagnostic. Conclusion Median diagnostic time of lung cancer in RSUP Persahabatan is 15 days range from 1 to 86 days. Diagnostic time correlates with stage at admission, performance status at admission and source of financial. The median cost of diagnosis is Rp. 13.025.381, with range Rp. 1.083.000, to Rp156.285.000, . Cost of diagnosis correlates with stage at admission, performance status at admission, source of financial and complication related with lung cancer."
2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hera Afidjati
"ABSTRAK
Kanker paru merupakan penyebab kematian terbanyak kedua karena kanker pada perempuan di Indonesia dan insidensinya terus meningkat dari tahun ke tahun. Penyebab utama kanker paru adalah merokok, namun hal ini tidak berlaku pada perempuan, terutama di Asia dan Indonesia. Kanker paru terjadi karena multifaktor, dan sekitar 10 -15 kasus kanker paru di dunia dijumpai pada bukan perokok. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor risiko yang berkaitan dengan terjadinya kanker paru pada perempuan di RSUP Persahabatan. Penelitian ini menggunakan desain kasus kontrol dan melibatkan 46 subjek pada kelompok kasus serta 62 subjek pada kelompok kontrol di Poli Paru RSUP Persahabatan. Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara perokok pasif p=0,038; OR=2,613; 95 CI: 1,038-6,575 dan usia p=0,002; OR=5,378; 95 CI: 1,698-17,029 . Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara perilaku merokok p = 0,569; OR = 0,889; 95 CI: 0,236-3,351 , riwayat kanker di keluarga p = 0,858; OR = 0,917; 95 CI: 0,354-2,373 , dan riwayat penyakit paru kronis p = 0,231; OR = 0,508; 95 CI: 0,165-1,560 terhadap kejadian kanker paru pada perempuan. Dari analisis multivariat didapatkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara perokok pasif p=0,047; aOR=2,639; 95 CI: 1,012-6,878 dan usia p=0,005; aOR=5,417; 95 CI: 1,685-17,412 . Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa usia di atas 40 tahun dan perokok pasif merupakan faktor yang paling berhubungan dengan terjadinya kanker paru pada perempuan.

ABSTRACT
Lung cancer is the second leading cause of cancer specific death among women in Indonesia and the incidence increases continuously from year to year. The main cause of lung cancer is smoking, but it is unlikely occured in women, especially in Asia and Indonesia. Lung cancer is caused by multifactor, and about 10 15 of lung cancer in the world are found in nonsmokers. This study aims to determine the risks factors associated with the occurence of lung cancer in women in Persahabatan Hospital. A case control study was done and involved 46 subjects with lung cancer as well as 62 subjects with no lung cancer at Poli Paru Persahabatan Hospital. The result of bivariate analysis showed that there is a significant association between passive smoker p 0.038, OR 2.613 95 CI 1.038 6.575 and age p 0.002 OR 5.378 95 CI 1.698 17.029 . There are no significant association between active smoking p 0.569 OR 0.889 95 CI 0.236 3.351 , family history of cancer p 0.858 OR 0.917 95 CI 0.354 2.373 , and history of chronic lung disease p 0.231 OR 0.508 95 CI 0.165 1.560 with lung cancer in women. From multivariate analysis, it was found that there was a significant association between passive smoker p 0.047, aOR 2.639, 95 CI 1.012 6.878 and age p 0.005 aOR 5.417 95 CI 1.685 17.412 . From these results it can be concluded that age above 40 years and passive smoker are the factor most associated with the occurrence of lung cancer in women."
2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prima Belia Fathana
"Latar Belakang : Merokok masih merupakan masalah kesehatan utama di Indonesia. Merokok menjadi faktor risiko bagi penyakit kanker paru dan PPOK. Hubungan antara kanker paru dan PPOK masih terus dikaji. Komorbiditas PPOK pada kanker paru dapat mempengaruhi proses diagnostik, tatalaksana serta managemen akhir kehidupan pasien kanker paru.
Metode : Penelitian ini adalah studi potong lintang analitik yang dilakukan di poliklinik onkologi paru RSUP Persahabatan selama periode Agustus 2018 sampai dengan April 2019 terhadap pasien kanker paru kasus baru yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
Hasil : terdapat 52 subjek yang diteliti dan didapatkan 76,9% adalah laki-laki dan perokok (71,2%), jenis kanker paru yang paling banyak ditemukan ialah kanker paru karsinoma bukan sel kecil (98,1%), sebagian besar stage 4 (88%) dan tampilan klinis 1 (50%). Prevalens PPOK berdasarkan pemeriksaan spirometri menurut kriteria PNEUMOMOBILE ialah 46,2% dan prevalens emfisema berdasarkan pemeriksaan CT-scan toraks ialah 30,8%.. Subjek kanker paru yang menderita PPOK 91,7% termasuk kedalam obstruksi derajat sedang (GOLD 2) serta memiliki kelainan faal paru campuran obstruksi dan restriksi ( 70,8%). Subjek yang menderita emfisema terbanyak menderita emfisema jenis sentrilobular (43,7%). Terdapat hubungan antara letak lesi sentral terhadap beratnya obstruksi yang diukur melalalui nilai VEP1 pada subjek PPOK dan emfisema.
Kesimpulan : PPOK pada kanker paru terutama ditemukan pada laki-laki, perokok serta jenis kanker yang paling banyak diderita ialah adenokarsinoma. Emfisema yang paling banyak diderita ialah jenis sentrilobular yang secara umum banyak didapatkan pada perokok.

Background: Smoking is one of risk factors in both of lung cancer and chronic obstructive pulmonary disease (COPD). Comorbidity of COPD among lung cancer patients generally influenced outcome of their quality of life, diagnostic procedures, treatments, and end of life managements.
Methods:This analytical cross-sectional study involved newly diagnosed lung cancer cases admitted to the oncology clinics of Persahabatan Hospital Jakarta, Indonesia between August 2018 and April 2019. Patients who met the study criteria were consecutively included. Spirometric evaluation of airway obstruction and COPD was based on PNEUMOBILE and GOLD criteria. Radiological evaluation of emphysema was based on thorax CT-scan.
Results:Subjects were 52 lung cancer patients and most of them were males (76.9%) and smokers (71.2%). Most of them were diagnosed as non-small cell lung cancer (NSCLC) (98.1%), were in end-stage of the disease (88.0%) and were in performance status of 1 (50.0%). The prevalence of COPD and emphysema was 46.2% and 30.8%, respectively. Most of the COPD subjects (91.7%) experienced moderate airway obstruction (GOLD 2), along with mixed obstruction-restriction spirometric results (70.8%). Centrilobular emphysema was common (43.7%) radiological finding in this study. Degree of obstruction by spirometry (VEP1)and detection of central tumor lesion by thorax CT-scan in COPD and emphysema subjects was found to be correlated.
Conclusion:COPD in lung cancer was found in males, smokers, and NSCLC patients. Centrilobular emphysema was commonly found in this study, particularly in smoker sub-group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57647
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>