Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 139905 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aya Sofia
"Harta benda dalam perkawinan dibagi menjadi dua bagian yaitu harta bersama dan harta pribadi. Apabila terdapat pihak yang ingin melakukan tindakan hukum atas harta bersama tersebut, baik oleh suami maupun istri, maka ia haruslah mendapatkan persetujuan dari pasangannya sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU 1/1974”). Tidak terdapat ketentuan lebih rinci yang mengatur sejauh apa persetujuan pasangan harus disyaratkan. Tidak adanya ketentuan tersebut membuat praktik yang dilakukan oleh notaris terkadang berbeda-beda dalam mengklasifikasikan transaksi yang membutuhkan persetujuan pasangan dan mana yang dianggap tidak perlu membutuhkan persetujuan, khususnya mengenai transaksi yang tidak mengakibatkan peralihan kepemilikan atas harta bersama. Berdasarkan latar belakang tersebut, dibuatlah penelitian ini yang bertujuan untuk mengetahui bagaimana akibat akta sewa menyewa terhadap objek yang merupakan harta bersama yang dibuat tanpa persetujuan pasangan, dengan studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1111/K/Pdt/2018. Dalam melakukan penelitian, penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder. Berdasarkan hasil penelitian, dalam melaksanakan ketentuan Pasal 36 UU 1/1974, hakim mensyaratkan adanya persetujuan pasangan bagi suami atau istri yang ingin menyewakan harta bersamanya berupa tanah dan bangunan kepada pihak lain. Persetujuan pasangan ini tetap diperlukan walaupun transaksi tersebut tidak disertai dengan beralihnya kepemilikan harta bersama tersebut. Apabila akta sewa menyewa dibuat tanpa disertai dengan persetujuan pasangan, maka tindakan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum karena bertentangan dengan Pasal 36 ayat (1) UU 1/1974 sehingga akta perjanjian sewa menjadi batal demi hukum dan notaris yang membuat akta tersebut dapat dimintakan pertanggungjawaban secara perdata berupa pembayaran ganti rugi.

Marital property is divided into joint assets and seperate assets. The definition of joint assets is refered to an asset acquired during the course of a marriage. The consequences as the joint assets, both husband and wife who bring the joint assets as the object of any transaction are obliged to obtain the consent of their spouse as regulated under Article 36 paragraph (1) Law Number 1 Year 1974 regarding Marital Law (“Law 1/1974”). However, there is no definitif regulation which specifically explain to what extend the spousal consent is required. The absent of such regulation resulting different practices by notaries. As the result, we can find for a similar transaction, one notary required a spousal consent while another notary does not. In accordance to those background, the writer makes this research with the aim is to find the legality of deed of lease upon marital property which executed without spousal consent and the responsibility of the notary who made the deed (Case Study: Verdict of Supreme Court Number: 1111/K/Pdt/2018). In this study, the author uses the normative juridical research method using secondary data. Based on the results of the study, the judge required a spousal consent for lease transaction of land and bulding under joint assets conducted by husband or wife. This spousal consent is still required even though there are no transfer ownership in such transaction. In the event that the deed was executed without spousal consent, the deed is become null and void due to the breach of Article 36 paragraph (1) Law 1/1974 and the notary who made the deed may be responsible for indemnity payment."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diah Dwi Iriyanti
"Tesis ini mengenai harta bersama yang diperoleh selama perkawinan yang diperjualbelikan setelah terjadinya perceraian berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Pemalang Nomor 14/Pid.B/2019/PN.PML. Adapun permasalahan yang diangkat adalah akibat hukum atas jual beli harta bersama dimana salah satu pihak tidak memberikan persetujuan dan tanggung jawab yang harus dipikul oleh PPAT. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan penelusuran data sekunder dari berbagai dokumen sumber hukum primer, sekunder dan tersier. Pendekatan yang digunakan kualitatif dengan tipe penelitian deskriptif analitis. Hasil penelitian menyatakan bahwa bilamana salah satu pihak tidak mengetahui dan memberikan persetujuan atas jual beli harta bersama maka jual beli tersebut menjadi batal demi hukum karena tidak memenuhi unsur obyektif yaitu sebab yang halal. Hal tersebut dikarenakan persetujuan pasangan bersifat mutlak dalam pelaksanaan jual beli atas harta bersama. Dalam jual beli harta bersama setelah terjadinya perceraian peran penting tidak hanya berupa persetujuan dari mantan pasangan suami istri tetapi juga perlunya sikap kehati-hatian dari PPAT yakni PPAT harus hadir dan memastikan bahwa pihak yang bertandatangan adalah pihak yang berwenang. Akibat dari ketidakhati-hatian PPAT menyebabkan kerugian. Selain itu PPAT juga harus bertanggungjawab dan terancam sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2018
This thesis about marital properties obtained during marriages which are traded after the divorce based on the Decision of Pemalang District Court Number 14/Pid.B/2019/PN.PML. The problem raised is the legal consequences of the sale and purchase of marital properties in which one party does not give consent and responsibility that must be borne by the Land Deed Making Officer (PPAT). The research method used is normatif juridical with secondary data retrieval from various primary, secondary and tertiary legal source document. The approach used is qualitative with descriptive analytical research type. The result of the study stated that if one of the parties does not know and give approval for the sale of marital assets the sale and purchase will be null and void by law because it does not fulfill the objective element which is halal cause. That is because the consent of the spouse is absolute in the conduct of buying and selling of joint marital properties. In the sale and purchase of marital properties after the divorce the important rule is not only in the form of approval from a former husband and wife but also the need for prudence from the PPAT that is the PPAT must be present and ensure that the signatory is an authorized party. As a result of carelessness PPAT causes losses. Because PPAT must also be responsible and threatened administrative sanction as Regulation of the Minister of Agrarian Affairs and Spatial Planning/Head of the National Land Agency Number 2 of 2018"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fanni Dwi Abriyanti
"ABSTRAK
Seringkali PPAT tidak cermat dalam memeriksa
keaslian dokumen setiap membuat akta, sehingga akta
yang telah dibuat oleh PPAT dapat, keadaan inilah
yang membuat penulis tertarik untuk membahas
mengenai hibah terhadap harta bersama, karena dalam
kasus ini, akta hibah PPAT dibatalkan karena tidak
mendapat persetujuan isteri, dikarenakan obyek hibah
adalah harta bersama. Permasalahan yang diangkat
dalam kasus ini, mengenai konsekuensi terhadap hibah
harta bersama yang tidak mendapat persetujuan
isteri, pengadilan yang berwenang mengadili dan
memutus perkara serta pertanggungjawaban terhadap
PPAT yang lalai sehingga mengakibatkan akta hibah
dibatalkan. Untuk menjawab permasalahan hukum dalam
kasus tersebut, maka dilakukan penelitian
kepustakaan yang bersifat deskriptif analitis untuk
menggambarkan peraturan-peraturan yang berlaku yaitu
Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
yang dikaitkan dengan teori-teori hukum dalam
praktek pelaksanaannya berkenaan dengan permasalahan
yang ada. Dari analisa terhadap putusan Perkara
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3634
K/PDT/1999 tersebut dapat diketahui bahwa
perbuatan hibah oleh suami terhadap harta bersama
tanpa disertai dengan persetujuan dari isteri
mengakibatkan akta hibah tersebut menjadi cacat
hukum dan dapat dimintakan pembatalan akta hibah
oleh pengadilan. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
berwenang untuk memutus perkara hibah menurut Pasal
50 ayat (1) Undang-Undang No. 3 tahun 2006 tentang
peradilan Agama. PPAT yang terbukti lalai dapat
dikenakan sanksi pelanggaran ringan yang ada dalam
PP No. 37 Tahun 1998."
2007
T38054
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Victoria Diora Artha
"Dalam suatu perceraian tak jarang terjadi sengketa mengenai pembagian harta, terkhususnya mengenai benda tidak bergerak yaitu tanah. Dalam Putusan Mahkamah Agung 2457 K/Pdt/2020, pihak istri WNI bernama Hany Ratna Gulaso (“HRG”) dan pihak suami WNA bernama Enrico Brandonisio (“EB”) telah memilih untuk pisah harta pada saat perkawinan. Namun demikian, setelah membeli suatu tanah hak milik di Indonesia atas nama HRG, pasangan suami istri tersebut membuat suatu Surat Kesepakatan Bersama untuk memperjanjikan tanah sebagai milik bersama. Hal ini menimbulkan masalah karena asas nasionalitas yang dianut dalam UUPA tidak memperbolehkan WNA untuk mempunyai hak atas hak milik. Rumusan masalah yang diangkat dalam tesis ini adalah kedudukan harta pasca perceraian suatu perkawinan campuran berdasarkan hukum Indonesia dan juga kedudukan harta pasca perceraian sebagai akibat dari adanya Surat Kesepakatan Bersama. Penelitian ini merupakan penelitian doktrinal dengan tipologi penelitian deskriptif analitis. Penelitian ini menunjukkan bahwa benda tidak bergerak berupa tanah di Indonesia yang beralaskan hak milik, HGU, HGB tidak bisa menjadi harta bersama dalam perkawinan campuran karena harus dilepaskan dalam jangka waktu satu tahun atau akan jatuh kepada Negara. WNI tetap berhak atas tanah beralaskan hak tersebut hanya jika telah menyepakati perjanjian pisah harta. Dalam Putusan, EB dan HRG terikat dalam perjanjian pisah harta, sehingga sewaktu mereka membuat Surat Kesepakatan Bersama, pasangan suami istri tersebut bertindak sebagai subjek hukum dengan hak milik bersama bebas, sehingga objek sengketa seharusnya bukan merupakan harta bersama. Oleh karenanya, Surat Keputusan Bersama tersebut sebenarnya merupakan perjanjian nominee yang melanggar ketentuan UUPA.

In a divorce, disputes on distribution of marital assets, especially immovable assets such as land, may occur. In the Supreme Court Judgment 2457 K/Pdt/2020, Hany Ratna Gulaso ("HRG"), an Indonesian national as the wife, and Enrico Brandonisio ("EB"), an Italian national as the husband, have chosen to separate their assets at the time of marriage by agreeing on a nuptial agreement. Nevertheless, after purchasing a piece of land with Ownership Rights in Indonesia, the pair also made a Letter of Agreement to treat the object as marital property. This raises a problem because the nationality principle adhered to in the Indonesian Agrarian Law prohibits foreigners from having Ownership Rights over land in Indonesia. This research studies the status of marital assets post-divorce in a mixed marriage and the status of marital assets due to the so-called Letter of Agreement agreed upon by the husband and wife. It is doctrinal research with an analytical descriptive research typology. This research finds that an immovable asset in the form of land with Ownership Rights in Indonesia is not an object of marital property in a mixed marriage because the land must be released to the third party within one year, or the State will seize it. Indonesian nationals will still have Ownership Rights over land located in Indonesia only if a nuptial agreement separating the marital property exists. In the Supreme Court Judgment, EB and HRG are bound in a nuptial agreement to separate their assets, so that when they agreed on the Letter of Agreement, they act as legal subjects with free joint property rights. Therefore the disputed land should not be treated as marital property. Consequently, the Letter of Agreement is, in fact, a nominee agreement which violates the Indonesian Agrarian Law."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yulia Faradhyta Dewi
"ABSTRAK
Persetujuan dari salah satu pihak dalam melakukan pengalihan harta bersama merupakan hal yang wajib dilakukan. Hal ini sudah diatur dalam Pasal 36 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Jika ditafsirkan secara a contrario Pasal 36 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan, melarang pengalihan harta bersama tanpa persetujuan dari pasangan suami/istri. Penelitian ini mengambil studi kasus Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 463 PK/Pdt/2017. Rumusan masalah dari penelitian ini adalah keabsahan peralihan hak dan peran PPAT terhadap harta bersama perkawinan dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 463 PK/Pdt/2017 dan kedudukan para pihak dalam memberikan persetujuan pengalihan harta bersama dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 463 PK/Pdt/2017. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis-normatif dengan menggunakan data sekunder. Kesimpulan dalam penelitian ini adalah keabsahan peralihan hak milik terhadap harta bersama milik Tuan GOS dan Nyonya S yang dilakukan tanpa adanya persetujuan dari Nyonya S adalah tidak sah. Hal ini telah melanggar ketentuan dari Pasal 36 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan serta melanggar pula syarat sah perjanjian yaitu sepakat dan sebab yang halal yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Akibatnya perjanjian tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum. Peran PPAT terhadap harta bersama adalah membuat alas hak terkait harta yang dialihkan yaitu membuat akta jual beli. Kedudukan para pihak dalam memberikan persetujuan pengalihan harta bersama dalam putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 463 Pk/Pdt/2017 sangat penting sebagaimana telah diatur dalam pasal 36 Undang-Undang Perkawinan.

ABSTRACT
The consent of one party to the transfer of community property is obligatory. This has been regulated in Article 36 Paragraph 1 Law number 1 of 1974 on marriage. If interpreted in a contrario Article 36 Marriage Act, transfer community property without the consent of the husband wife are prohibits. This research takes a case study of the Supreme Court of the Republic of Indonesia Number 463 PK Pdt 2017. The formulation of the problem of this study is the validity of the transfer of rights and the role of PPAT on the property of the marriage in the Supreme Court Decision No. 463 PK Pdt 2017 and the position of the parties in granting the transfer of community property in the Supreme Court Decision No. 463 PK Pdt 2017. Research method used in this research is juridical normative by using secondary data. The conclusions in this research is the validity of the transfer of property right against join property of Mr. GOS and Mrs. S is invalid. This has violated Article 36 Paragraph 1 of the Marriage Act and also violates the validity of an agreement which is the concent and lawful cause who has been regulated in Article 1320 of The Civil Code. As a result, the agreement can be canceled or void by law. The role of PPAT on community property is to make a right of ownership related to the transfer of the property. The position of the parties in giving the consent of the transfer against community property in the decision of the Supreme Court of the Republic of Indonesia Number 463 Pk Pdt 2017 is very important as has been regulated in Article 36 Paragraph 1 of The Marriage Act. "
2018
T51047
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elva Monica Hubertina
"Tesis ini membahas pengalihan hak atas tanah yang merupakan harta bersama tanpa persetujuan dari pasangan. Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan mewajibkan pasangan suami istri yang hendak bertindak atas harta bersama harus mendapatkan persetujuan dari kedua belah pihak. Adapun permasalahan yang diangkat dalam tesis ini adalah pengalihan hak terhadap objek harta bersama yang dibuat oleh PPAT tanpa adanya persetujuan pasangan suami istri terhadap pihak ketiga. Permasalahan berikutnya adalah tanggung jawab PPAT atas jual beli tersebut. Penelitian ini menggunakan metode yang berbentuk Yuridis normatif dengan melakukan studi dokumen atas data sekunder. Analisis menggunakan pendekatan kualitatif. Hasil dari penelitian ini adalah dalam pengalihan hak atas tanah yang merupakan harta bersama tanpa persetujuan pasangan melalui akta jual beli yang dibuat oleh PPAT tidaklah sah karena tidak memenuhi syarat sahnya akta jual beli. Dengan tetap dibuatkannya akta jual beli tersebut terjadilah perbuatan melawan hukum sehingga akta tersebut batal demi hukum. Pembeli yang beritikad baik dalam melakukan jual beli harus dilindungi oleh hukum, PPAT harus mempertanggungjawabkan secara perdata dan administratif guna memberikan efek jera bagi PPAT karena jabatan PPAT merupakan jabatan kepercayaan sebagai perpanjangan tangan dari Badan Pertanahan Nasional

This thesis discusses the transfer of rights to land which is joint property without the consent of the spouse. Article 36 paragraph (1) of the Marriage Law requires that a married couple wishing to act on joint assets must obtain the consent of both parties. The problem raised in this thesis is the transfer of rights to objects of joint property made by Land Deed Official without the husband and wife's consent to a third party. The next problem is Land Deed Official's responsibility for the sale and purchase. This research uses a normative juridical method by conducting document studies on secondary data. The analysis uses a qualitative approach. The result of this research is in the transfer of rights to land which is a joint property without the partner's consent through a sale and purchase deed made by illegitimate because it does not meet the valid requirements of the sale and purchase deed. With the sale and purchase deed still being made, there is an act against the law so that the deed is null and void. Buyers who have good intentions in buying and selling must be protected by law, Land Deed Official must be accountable civil and administratively to provide a deterrent effect for Land Deed Official because the position of Land Deed Official is a position of trust as an extension of the National Land Agency
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Daniel Noegroho
"Tesis ini membahas mengenai sejauh mana keabsahan pembuatan surat wasiat terbuka yang objeknya merupakan harta bersama yang dibuat tidak dengan persetujuan pasanganannya dan tanggung jawab notaris yang membuat akta hibah wasiat yang dibatalkan karena objeknya merupakan harta bersama yang dibuat tanpa persetujuan pasangannya. Penelitian untuk tesis ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan deduktif, dengan preposis 1 (satu) yaitu premis mayor berupa teori-teori hukum, preposisi 2 (dua) yaitu premis minor berupa analisis putusan pengadilan dan preposis 3 (tiga) yaitu konklusi atau kesimpulan. Dilatarbelakangi adanya kasus terkait notaris yang tersangkut didalam perbuatan melawan hukum karena membuat akta hibah wasiat yang lalai memperhatikan bahwa objek hibah wasiat merupakan harta bersama yang didapat selama perkawinan dan untuk pengalihan objek tersebut memerlukan persetujuan pasangannya atau kawan kawinnya. Berdasarkan hasil penelitian, notaris bertanggung jawab bila terjadi pembuatan akta hibah wasiat yang objeknya harta bersama namun dibuat tanpa persetujuan pasangannya dan tergolong sebagai perbuatan melawan hukum. Meskipun secara perdata, hibah wasiat tersebut tetap berlaku keabsahannya, karena merupakan kehendak terakhir dari pewaris.

This thesis discusses the extent to which the validity of making an "open will" who's the object is a joint asset made not with the consent of its partner and the responsibility of a notary who makes "a will" be canceled because the object is joint property made without the partner's consent. The research for this thesis uses a normative juridical research method with a deductive approach, with preposition 1 (one) which is the major premise in the form of legal theories, preposition 2 (two), namely the minor premise in the form of court decision analysis and 3 (three) prepositions, namely conclusions. Against the background of a case related to a notary who was involved in an act against the law for making a testamentary testament deed which neglected to consider that the object of the testament is a joint asset obtained during marriage and for the transfer of the object requires the approval of his spouse. Based on the results of the study, the notary is responsible for making a testamentary deed that the object is joint property but made without the consent of their spouse and is classified as an act against the law. Even though civilly of "the will" is still valid, because it is the last will of the testator."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abhyasa Shidqi Nugroho
"Perkawinan apabila tidak adanya perjanjian kawin untuk memisahkan harta sebelumnya dan pada saat perkawinan berlangsung maka semua hartanya akan bercampur antara suami dan istri yang disebut sebagai harta bersama seperti apa yang dikemukakan oleh Pasal 35 Ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Dalam tindakannya untuk melakukan perbuatan melawan hukum haruslah berdasar kepada kesepakatan di antara kedua belah pihak yaitu suami dan istri sesuai dengan Pasal 36 Ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyatakan. Transaksi jual beli di antara suami dan istri juga dilarang oleh KUHPerdata tepatnya pada Pasal 1467 KUHPerdata. Penelitian ini membahas mengenai akibat hukum dan pertimbangan hakim terhadap Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan seorang suami dengan menjual sebidang tanah yang merupakan harta bersama dengan istri pertamanya kemudian menjualnya kepada istri keduanya berdasarkan pada Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 260 K/Pdt/2023), namun gugatannya ditolak. Penelitian ini berbentuk doktrinal dengan melalui pengumpulan data sekunder seperti bahan-bahan hukum dalam studi dokumen, yang nantinya data tersebut akan diteliti menggunakan metode kualitatif. Dari hasil analisis yang dilakukan oleh peneliti dapat disimpulkan bahwa akibat hukum dari perbuatan hukum yang dilakukan terhadap Perbuatan Melawan Hukum mengenai harta bersama tanpa persetujuan istri pertama dan kemudian dijual kepada istri kedua yang menimbulkan kerugian adalah tidak sah dan jual beli tersebut batal demi hukum. Adapun terkait pertimbangan hakim mengenai penjualan harta bersama tanpa persetujuan istri pertama dan dijual kepada istri kedua terkesan keliru, dikarenakan Majelis Hakim menolak gugatan dari Nyonya DHC selaku ahli waris terhadap pembatalan Akta Jual Beli tersebut. Seharusnya Majelis Hakim lebih mengindahkan Pasal Pasal 36 Ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Pasal 1467 KUHPerdata kemudian menyatakan Akta Jual Beli tidak sah dan Batal Demi Hukum.

A marriage, in the absence of a prenuptial agreement to separate property before and during the marriage, results in all assets being combined between the husband and wife, referred to as joint property, as stipulated in Article 35, Paragraph (1) of Law Number 1 of 1974 on Marriage. In any legal act, it must be based on mutual agreement between both parties, the husband and wife, as stated in Article 36, Paragraph (1) of Law Number 1 of 1974 on Marriage. A sale and purchase transaction between a husband and wife is also prohibited by the Civil Code, specifically in Article 1467 of the Civil Code. This study discusses the legal consequences and the judge’s consideration regarding an unlawful act committed by a husband, who sold a plot of land, which was joint property with his first wife, and then sold it to his second wife, based on the Supreme Court Decision Number 260 K/Pdt/2023, where the lawsuit was rejected. This research is doctrinal in nature, involving the collection of secondary data such as legal materials through document studies, which will later be analyzed using qualitative methods. From the analysis conducted, the researcher concludes that the legal consequence of the unlawful act involving joint property without the first wife’s consent, and subsequently sold to the second wife, resulting in harm, is invalid, and the sale is legally null and void. Regarding the judge's consideration of the sale of joint property without the first wife’s consent and sold to the second wife, it appears to be flawed, as the panel of judges rejected the lawsuit filed by Mrs. DHC, as the heir, to annul the Sale and Purchase Deed. The panel of judges should have given more weight to Articles 36, Paragraph (1) of Law Number 1 of 1974 on Marriage and Article 1467 of the Civil Code, and should have declared the Sale and Purchase Deed invalid and legally null and void."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewa Gede Yudi Putra Wibawa
"Penelitian ini membahas mengenai keabsahaan pengalihan harta bersama dengan isteri pertama melalui persetujuan isteri kedua dalam akta jual beli tanah serta implikasinya terhadap pembeli tanah yang bersangkutan sebagaimana hal tersebut terjadi dalam perkara yang diputus oleh Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor 2273K/PDT/2021. Secara garis besar harta bersama A berupa tanah telah dialihkan oleh almarhum suaminya semasa hidupnya tanpa persetujuan A tetapi dengan persetujuan isteri lain secara dibawah tangan yang melampirkan akta nikah dan akta-akta lainnya, namun A tidak pernah mengetahui perkawinan tersebut. A mengajukan gugatan terhadap C karena telah melakukan perbuatan melawan hukum dan menyatakan Akta Jual Beli batal demi hukum, namun Majelis Hakim menolak gugatan. Dalam membahas permasalahan tersebut digunakan metode penelitian doktrinal dengan analisis kualitatif. Adapun pembahasan yang diperoleh yaitu keabsahan pengalihan tanah SHM Nomor 2588 terkesan menggantung, di satu sisi Majelis Hakim menyatakan A berhak atas tanah SHM Nomor 2588 sedangkan Majelis Hakim menyatakan harus ada putusan pengadilan yang menyatakan terjadi pemalsuan terhadap identitas penjual tanah SHM Nomor 2588 dan merekomendasikan menggugat kepada penjual yang tidak berhak, akan tetapi penjual yaitu suaminya telah meninggal, yang semestinya Majelis Hakim menangguhkan pemeriksaan perkara untuk diteruskan kepada pejabat yang berwenang menuntut dugaan pemalsuan tersebut berdasarkan Pasal 138 Ayat (7) HIR dan Pasal 138 Ayat (8) HIR untuk mengetahui pihak yang harusnya digugat oleh A. Kepada C diberikan perlindungan hukum karena telah beritikad baik dalam membeli obyek jual beli tanah yang sesuai dengan prosedur/tata cara yang berlaku sehingga jual beli dianggap sah.

This research discusses the legality of transferring joint asset with the first wife through the consent of the second wife in the deed of sale and purchase of the land and the implications for the purchaser of the land that happened in a case decided by the Supreme Court through Decision Number 2273K/PDT/2021. A's joint asset in the form of the land was transferred by her late husband during his lifetime without A's consent but with the consent of another wife who attached a marriage certificate and other certificates, but A never knew about the marriage. A filed a lawsuit against C because he had committed an unlawful act and declared the sale and purchase deed null and void, but the Judges rejected the lawsuit. In discussing these problems using doctrinal research method with qualitative analysis. The results of this research are the validity of the transfer of the land of SHM Number 2588, the Judges stated that A had the right of the land of SHM Number 2588, while the Judges stated that there must be a court decision stating that there was falsification of the identity of the seller of the land of SHM Number 2588 and recommending suing the seller who is not have the right, but the seller, namely her husband, had died, the Judges should have postponed the examination of the case to be forwarded to the official authorized to prosecute the alleged forgery based on Article 138 Paragraph (7) HIR and Article 138 Paragraph (8) HIR to find out which party should be sued by A. C is given legal protection because he has good faith in buying the land of SHM Number 2588 with the procedures, so that the sale and purchase are considered valid."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>