Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 129218 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jenica Katya Az Zahra
"Fenomena molka merupakan kasus kekerasan berupa foto atau rekaman video tanpa izin dengan menggunakan kamera berukuran kecil dan tersembunyi. Sementara itu norma Konfusianisme sebagai norma yang mengatur hubungan antarmanusia termasuk hubungan antara laki-laki dan perempuan di Korea Selatan dianggap turut andil dalam berkembangnya fenomena molka. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak norma Konfusianisme pada penyebaran luas fenomena molka di Korea Selatan, dengan fokus pada perempuan sebagai objek utama. Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan memanfaatkan teknik studi pustaka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa norma Konfusianisme berkontribusi pada pembentukan budaya patriarki yang kuat di struktur sosial Korea Selatan. Budaya patriarki ini, secara erat terkait dengan fenomena molka karena memicu ketidaksetaraan gender. Perempuan menjadi objek dalam fenomena molka karena didukung oleh pandangan masyarakat yang menempatkan perempuan dalam hierarki yang lebih rendah dan posisi subordinate.

Molka phenomenon involves cases of violence where photos or videos are taken without consent using small and hidden cameras. Meanwhile, Confucianism norms which regulate interpersonal relationships, including those between men and women in South Korea are considered to play a role in the development of the molka phenomenon. This study aims to analyze the impact of Confucianism norms on the widespread occurrence of the molka phenomenon in South Korea, with a focus on women as the primary subjects. The method employed in this study is qualitative descriptive using literature review techniques. The research findings indicate that Confucianism norms contribute to the formation of a strong patriarchal culture in the social structure of South Korea. This patriarchal culture is closely linked to the molka phenomenon as it triggers gender inequality. Women become the subjects of the molka phenomenon due to societal perspectives that place them in a lower hierarchy and subordinate position."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Citra Cahyaning Sumirat
"Korea Selatan dikenal sebagai negara dengan penganut ajaran konfusianisme tertinggi, bahkan mengalahkan Cina sendiri yang merupakan negara asal konfusianisme. Ajaran konfusianisme telah memberikan adanya perubahan di berbagai bidang, salah satunya tatanan nilai dalam masyarakat Korea. Konfusianisme merupakan sebuah ajaran yang tidak terlepaskan bagi masyarakat Korea karena nilai-nilai di dalamnya sangat melekat dalam kehidupan masyarakatnya. Nilai-nilai konfusianisme tersebut dapat dilihat dari realitas kehidupan masyarakat Korea sendiri, di antaranya masih terdapat kecenderungan sikap diskriminasi terhadap kaum perempuan, yaitu terpinggirkannya peran perempuan dalam kehidupan sehari-hari, terutama terhadap mereka yang bekerja.

South Korea is a nation with the highest number of adherents of Confucianism; even defeat China itself which is the origin country of Confucianism. Confusianism has raisen changes in various fields, one of them is the order of the values in Korean people. Confucianism is a doctrine that could not be separated with Korean because the values in it are attached to the life of its people. The values ​​of Confucianism can be seen from the reality of Korean life itself, namely there is still tendency of discrimination against women, that marginalized the role of women in daily life, especially to those women who work.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2013
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Saskia Dwi Putri Maharani
"Penelitian ini menganalisis pengaruh norma 
Konfusianisme dalam kebijakan rok mini di Korea Selatan pada tahun 1973. Kebijakan rok mini adalah salah satu kebijakan yang ada di dalam Undang-Undang Tindak Pidana Ringan atau Gyeongbeomjoecheobeolbeop yang disahkan pada tahun 1973. Dalam undang-undang ini, salah satu jenis pelanggarannya berupa paparan tubuh wanita yang memakai rok mini.  Saat itu, biasanya polisi membawa penggaris saat berpatroli dan sering kali menghentikan para wanita yang memakai rok untuk diukur panjangnya. Jika rok yang dipakai mempunyai hemline 17 cm diatas lutut, maka wanita tersebut diberikan sanksi. Kebijakan ini dibuat karena pandangan akan rok mini tidak sesuai norma dan tradisi busana wanita Korea yang berlaku saat itu sehingga menciptakan kontroversi. Oleh karena itu, rumusan masalah pada penelitian ini yaitu bagaimana norma Konfusianisme menjustifikasi kebijakan rok mini untuk wanita muda di Korea Selatan. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis yang dibantu dengan studi pustaka. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan normakonfusianisme sebagai pengaruh pembentukan kebijakan rok mini Korea Selatan pada tahun 1973. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembentukan kebijakan rok mini pada tahun 1973 dipicu oleh norma Konfusianisme khususnya pada etika berbusana bagi kaum wanita pada era Joseon. Norma ini ditekankan kembali pada masa Park Chung-hee yang konfusianis melalui kebijakan tersebut, guna memperkuat identitas bangsa Korea
This study analyses the influence of Confucian norms on the miniskirt policy in South Korea in 1973. Miniskirt policy is one of the policies contained in the Minor Offences Act or Gyeongbeomjoecheobeolbeop which was passed in 1973. In this law, one of the violations is overexposure, which refers to women wearing miniskirts. At that time, the police usually carried a ruler on patrol and often stopped women who wore skirts to measure the length. If the skirt worn has a hemline of 17 cm above the knee, the woman will be penalized. This policy was made because the view of the miniskirt does not fit the norms and traditions of the Korean women clothing, which creates controversy. Therefore, the research question in this study is how Confucianism norms justify the miniskirt policy for Korean women. This study uses a descriptive analysis method with the help of literature study. This study aims to explain Confucian norms as the influence of the establishment of the South Korean miniskirt policy in 1973. The results show that the establishment of the miniskirt policy in 1973 was caused by Confucian norms, especially dress etiquette for Korean women which were regulated by Confucian officials in the Joseon era. This norm was re-emphasized during the Park Chung-hee era through this policy, where Confucianism was a value that was applied to his government to strengthen the identity of the Korean nation. 
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dhanisa Kamila
"Skripsi ini membahas tentang pengaruh ajaran Konfusianisme yang berkembang di Korea Selatan terhadap persaingan pemerolehan pendidikan tinggi di masyarakat modern Korea Selatan. Dengan menggunakan metode deskriptif analisis, hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat pengaruh dari ajaran Konfusianisme terhadap persaingan dalam pendidikan di masyarakat modern Korea Selatan melalui nilai-nilai familisme, chemyeon, grupisme, elitisme, dan paternalisme. Nilai-nilai tersebut mendorong masyarakat Korea untuk bersaing dengan ketat demi meraih pendidikan terbaik yang mengindikasikan pada masa depan yang cerah.

This thesis discusses about the influence of Confucianism towards education competitiveness in modern Korea society. Using descriptive analysis method, the analysis focuses on the values of Confucianism and its relation to the phenomenons of education competition in modern Korean Society, particularly in the acquisition of higher education. The result shows that Confucianism gives strong influence on education competition in Korean modern society through its familism, chemyeon, groupism, elitism, and paternalism values. Those values encourage Korean society to strictly compete in order to achieve the best education that indicates a bright future."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2016
S62727
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Ratriani Putri
"Makalah ini membahas tentang fenomena bromance pada laki-laki Korea khususnya di BIPA (Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing) yang berada di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain deskriptif yang menunjukan bahwa kebanyakan laki-laki di Korea terlibat dalam hubungan pertemanan yang sangat dekat yang disebut bromance dan memicu munculnya skinship di kehidupan mereka. Perkembangan fenomena ini tidak terlepas dari pengaruh Konfusianisme yang mengakar kuat di Korea. Tidak hanya di Korea, warga Korea yang berada di luar Korea pun tidak bisa meninggalkan kebiasaan tersebut.

This paper examines the phenomenon of bromance among Korean boys, especially those in Faculty of Humanities? BIPA. This is a qualitative research with descriptive design which shows that most of boys in Korea are engage in a close relationship that is called bromance and it causes skinship in their lives. The development of this phenomenon cannot be separated from the influence of Confusianism that deeply rooted in Korea. Not only in Korea, Korean citizens who live in other countries are also cannot leave that habit."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Fadhilla Ratna Febrianti
"Penelitian ini membahas mengenai kekerasan terhadap perempuan yang terjadi secara online (online violence against women (online VAW)) di Korea Selatan, khususnya voyeurisme digital. Korban kejahatan voyeurisme digital mayoritas adalah perempuan, sedangkan pelakunya mayoritas laki-laki, baik yang dikenal korban maupun yang tidak dikenal. Perempuan dalam kasus voyeurisme digital mendapat tekanan tidak hanya dari pelaku, tetapi secara struktural ditekan oleh praktik budaya patriarki oleh petugas polisi, penyidik kasus, dan netizen. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi pengaruh apa saja yang ditimbulkan dari budaya patriarki dalam perilaku kekerasan terhadap perempuan secara online. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan pendekatan studi pustaka dalam lingkup budaya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa warisan budaya patriarki Konfusian menegaskan persistensi dominasi laki-laki terhadap perempuan dan subordinasi perempuan dalam online VAW yang terjadi.

This study discusses online violence against women (online VAW) in South Korea, particularly digital voyeurism. The majority of victims of digital voyeurism are women, while the perpetrators are mostly men, both known to the victim and unknown. Women in digital voyeurism cases are under pressure not only from perpetrators, but structurally by patriarchal cultural practices by police officers, case investigators, and netizens. The purpose of this study is to identify the effects of patriarchal culture on violent behavior against women online. The research method used in this research is descriptive qualitative with a literature study approach within the cultural scope. The results show that the Confucian patriarchal cultural heritage confirms the persistence of male domination over women and female subordination in the online VAW that occurs in South Korea.;Penelitian ini membahas mengenai kekerasan terhadap perempuan yang terjadi secara online (online violence against women (online VAW)) di Korea Selatan, khususnya voyeurisme digital. Korban kejahatan voyeurisme digital mayoritas adalah perempuan, sedangkan pelakunya mayoritas laki-laki, baik yang dikenal korban maupun yang tidak dikenal. Perempuan dalam kasus voyeurisme digital mendapat tekanan tidak hanya dari pelaku, tetapi secara struktural ditekan oleh praktik budaya patriarki oleh petugas polisi, penyidik kasus, dan netizen. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi pengaruh apa saja yang ditimbulkan dari budaya patriarki dalam perilaku kekerasan terhadap perempuan secara online. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan pendekatan studi pustaka dalam lingkup budaya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa warisan budaya patriarki Konfusian menegaskan persistensi dominasi laki-laki terhadap perempuan dan subordinasi perempuan dalam online VAW yang terjadi.

This study discusses online violence against women (online VAW) in South Korea, particularly digital voyeurism. The majority of victims of digital voyeurism are women, while the perpetrators are mostly men, both known to the victim and unknown. Women in digital voyeurism cases are under pressure not only from perpetrators, but structurally by patriarchal cultural practices by police officers, case investigators, and netizens. The purpose of this study is to identify the effects of patriarchal culture on violent behavior against women online. The research method used in this research is descriptive qualitative with a literature study approach within the cultural scope. The results show that the Confucian patriarchal cultural heritage confirms the persistence of male domination over women and female subordination in the online VAW that occurs in South Korea.;Penelitian ini membahas mengenai kekerasan terhadap perempuan yang terjadi secara online (online violence against women (online VAW)) di Korea Selatan, khususnya voyeurisme digital. Korban kejahatan voyeurisme digital mayoritas adalah perempuan, sedangkan pelakunya mayoritas laki-laki, baik yang dikenal korban maupun yang tidak dikenal. Perempuan dalam kasus voyeurisme digital mendapat tekanan tidak hanya dari pelaku, tetapi secara struktural ditekan oleh praktik budaya patriarki oleh petugas polisi, penyidik kasus, dan netizen. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi pengaruh apa saja yang ditimbulkan dari budaya patriarki dalam perilaku kekerasan terhadap perempuan secara online. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan pendekatan studi pustaka dalam lingkup budaya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa warisan budaya patriarki Konfusian menegaskan persistensi dominasi laki-laki terhadap perempuan dan subordinasi perempuan dalam online VAW yang terjadi.

This study discusses online violence against women (online VAW) in South Korea, particularly digital voyeurism. The majority of victims of digital voyeurism are women, while the perpetrators are mostly men, both known to the victim and unknown. Women in digital voyeurism cases are under pressure not only from perpetrators, but structurally by patriarchal cultural practices by police officers, case investigators, and netizens. The purpose of this study is to identify the effects of patriarchal culture on violent behavior against women online. The research method used in this research is descriptive qualitative with a literature study approach within the cultural scope. The results show that the Confucian patriarchal cultural heritage confirms the persistence of male domination over women and female subordination in the online VAW that occurs in South Korea.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dalisa Enda M.T.
"Proses industrialisasi yang cepat di Korea menyebabkan perubahan-perubahan sosial dalam masyarakat. Perubahan-perubahan sosial di Korea akibat industrialisasi mengakibatkan perubahan identitas nasional negara Korea dari negara agraris menjadi negara industri. Individualisme yang merupakan karakter dasar dari negara industri telah menggeser kolektivisme. Industrialisasi juga menyebabkan tingginya persaingan dan tuntutan hidup. Ketidakmampuan dalam beradaptasi terhadap perubahan dapat menyebabkan seseorang merasa depresi. Hal ini memicu seseorang untuk bunuh diri. Kasus bunuh diri yang diri semakin meningkat di Korea telah menjadikan bunuh diri menjadi suatu fenomena sosial. Penelitian ini bertujuan untuk membahas faktor-faktor sosial terkait dengan fenomena bunuh diri di Korea Selatan.

Industrialization?s process rapidly induced social changes in society. Social changes caused by industrialization have shifted Korean national identity from agrarian country to industrial country. Collectivism has shifted to Individualism which is based character of industrial country. Industrialization also induced highly competitiveness and highly life?s demand. Incapability in social adaptation can emerge depression feeling on someone. This condition triggers someone to suicide. The increasing of suicides cases in Korea have made suicide become social phenomenon. The purpose of this study is to describe the social factors associated with suicide phenomenon in South Korea.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2013
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Dinayah Fitriany Sukma Putri
"Penelitian ini menganalisis pengaruh kolektivisme pada fenomena demam pendidikan di Korea Selatan. Kolektivisme merujuk pada kecenderungan masyarakat untuk mengutamakan kepentingan kelompok daripada individu. Pada masyarakat yang menganut budaya kolektivisme, individu cenderung memiliki konstruksi diri interdependen yang berfokus pada hubungan sosial terutama ingroup. Dalam konteks pendidikan Korea Selatan yang sangat kompetitif, kolektivisme memiliki peran yang signifikan dalam membentuk pola perilaku siswa, tekanan akademik, dan norma sosial terkait pendidikan. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana budaya kolektivisme diterapkan dalam masyarakat Korea Selatan dan bagaimana perannya dalam unsur-unsur fenomena pendidikan, seperti respons siswa, orang tua, masyarakat, serta sistem pendidikan yang ada. Penulis menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi literatur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa budaya kolektivisme memengaruhi sekaligus mendasari sikap dan respons siswa, orang tua, dan masyarakat secara keseluruhan dalam fenomena demam pendidikan.

This study analyzes the influence of collectivism in the education fever phenomenon in South Korea. Collectivism refers to a society's tendency to prioritize the interests of the group over the individual. In societies that embrace a culture of collectivism, individuals tend to have interdependent self-constructions that focus on social relationships, especially the ingroup. In the highly competitive context of South Korean education, collectivism has a significant role in shaping student behavior patterns, academic pressures, and social norms related to education. This research aims to explain how the culture of collectivism in South Korean society and how it plays a role in elements of educational phenomena, such as the response of students, parents, society, and the existing education system. The author uses a qualitative method with a literature study approach. The results of this study show that collectivist culture influences and underlies the attitudes and responses of students, parents and society as a whole in the phenomenon of education fever."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Elisa Louisiane
"ABSTRAK
Perkembangan serta transformasi ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat Korea memunculkan figur sosial baru di tengah-tengah masyarakat Korea, yakni kidult. Kidult adalah orang dewasa yang memiliki selera dan menyukai hiburan yang ditujukan untuk anak-anak. Perilaku konsumtif yang terus meningkat di tengah masyarakat modern menjadikan kidult bukan hanya sekadar tren konsumsi, melainkan gaya hidup konsumtif di masyarakat Korea. Gaya hidup konsumtif terhadap mainan kidult, terutama keorikto inhyeong
telah menjadikan kidult sebagai fenomena budaya di tengah-tengah masyarakat Korea. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk membahas penyebab munculnya perilaku konsumtif terkait keorito inhyeong yang menjadi pemicu munculnya fenomena kidult di Korea Selatan. Dengan menggunakan metode deskriptifanalitik, penulis memfokuskan analisis pada studi perilaku konsumtif terhadap keorikto inhyeong di Korea Selatan. Hasil penulisan ini menunjukkan bahwa fenomena kidult di Korea yang didasari oleh perilaku konsumtif menggambarkan keadaan masyarakat Korea yang sedang mencari makna hidup dan identitas diri di tengah kesulitan dan beban hidup yang dialaminya. Kidult mencari penghiburan atau pelarian dari tekanan, tuntutan, dan stres dengan mengkonsumsi permainan yang memunculkan perasaan nostalgia ke masa kanak-kanak.

ABSTRACT
Kidult is the emerged of the new social figure in the midst of Korean society that was based on economy, social, cultural development and transformation. The word kidult refers to a grown-up who embraces entertainment that is made for children. Consumptive behavior that continues to increase is not just a consumption trend, but has become a lifestyle amongst the people in this modern society. Consumptive lifestyle towards childern s toys, especially keorikto inhyeong makes kidult is a cultural phenomenon in the midst of Korean Society. Therefore, the author is interested in discussing the causes of consumptive behavior towards keorikto inhyeong which triggered the emergence of kidult phenomenon in South Korea. Using descriptive-analytic methods, the author focuses its analysis on consumptive behavior study on
keorikto inhyeong in South Korea. The result of this paper shows that the kidult phenomenon in Korea was based on consumptive behavior that illustrates the condition of Korean society who is looking for selfidentity and life-meaning in the midst of the difficulties and burdens of life. Kidult seeks comfort and escape from pressure, demands, also stress by consuming games that reminds them of their childhood memories.
"
Fakultas Ilmu Pengatahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Izellah Amabel
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis gerakan 4B (gerakan feminisme) sebagai penolakan terhadap kebijakan pemerintah dalam mengatasi tingkat kelahiran rendah di Korea Selatan. Permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini adalah bagaimana gerakan 4B berkembang dari reaksi negatif para wanita terhadap kebijakan pemerintah dalam mengatasi tingkat kelahiran rendah di Korea Selatan. Gerakan 4B atau “The 4 No’s” adalah gerakan feminisme yang berkembang di Korea Selatan. 4B merupakan singkatan kata dalam bahasa Korea yang berawalan huruf B, berdasarkan dari 4 prinsip Bihon (tidak menikah), Bichulsan (tidak melahirkan), Biyeonae (tidak berkencan), dan Bisekseu (tidak berhubungan seksual dengan lawan jenis). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis kualitatif. Penulis menggunakan penelitian terdahulu, artikel, media massa, dan buku-buku sebagai sumber data dan panduan dalam penulisan penelitian. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pada awalnya hanya istilah Bihon yang digunakan para feminis untuk memboikot hubungan pernikahan antara pria dan wanita. Namun, kebijakan pemerintah yaitu Birth Map dalam mengatasi tingkat kelahiran rendah di Korea Selatan mengundang kontroversi terutama di kalangan wanita di Korea selatan. Hal tersebut menyebabkan munculnya istilah lain yaitu Bichulsan, Biyeonae, dan Bisekseu (Gerakan 4B) sebagai kritik terhadap kebijakan pemerintah.

This research aims to analyze the 4B movement (feminist movement) as a rejection of government policies in overcoming the low birth rate in South Korea. The problem examined in this research is how feminist movements like 4B developed from women's negative reactions to the government's policy in overcoming the low birth rate in South Korea. The 4B Movement also known as “The 4 No’s” is an abbreviation of the Korean word which starts with letter B based on 4 principles namely Bihon (no to heterosexual marriage), Bichulsan (no to childbirth), Biyeonae (no to dating), and Bisekseu (no to heterosexual sexual relationship). The method used in this research is a qualitative analysis method. The author used previous research, article, mass media, and books as a data and guidelines to support research. The results of this research show that initially only the term Bihon was used by feminists to boycott marriage between men and women. However, the government policies in overcoming the low birth rate in South Korea called ‘Birth Map’ have invited controversy, especially among women. This led to the emergence of other terms such as Bichulsan, Biyeonae, and Bisekseu (The 4B Movement) as a criticism of government policy."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>