Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 60890 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wisanggeni Tegar Tyasing Mada
"Latar Belakang Anak memiliki lima ranah keterampilan yang perlu dilalui dalam tahap perkembangannya. Dalam pemantauan perkembangan keterampilan anak, perkembangan motorik kasar merupakan ranah keterampilan anak yang dapat diamati secara langsung. Deteksi keterlambatan keterampilan motorik perlu dilakukan agar tata laksana terhadap keterlambatan keterampilan motorik dapat diberikan dengan tepat dan segera. Penelitian ini membahas mengenai peran pemeriksaan neurologis tonus otot dalam mendeteksi keterlambatan motorik kasar bayi usia 6-18 bulan. Metode Desain penelitian ini menggunakan uji diagnostik observasional dengan metode cross-sectional. Sumber data peneitian ini merupakan data primer, yaitu pemeriksaan neurologis tonus otot dan penilaian keterampilan motorik kasar secara langsung di Poliklinik Departemen Ilmu Kesehatan Anak, RSUPN Cipto Mangunkusumo Kiara, Jakarta Pusat pada bulan September–Oktober 2023. Data yang telah diperoleh kemudian dianalisis dengan tabel 2x2 serta uji bivariat dan multivariat. Hasil Dari 81 subjek, didapatkan sensitivitas terbaik secara berturut-turut adalah lateral propping, traction response, vertical suspension, spasticity, horizontal suspension, scarf sign, resting posture dan popliteal angle, serta hand fisting, dengan sensitivitas secara berturut-turut sebesar 84,31%; 76,47%; 72,55%; 56,86%; 54,90%; 50,98%; 49,02%; 49,02%; dan 39,22%. Adapun spesifisitas terbaik secara berturut-turut adalah resting posture, hand fisting, spasticity, horizontal suspension, dan popliteal angle, vertical suspension, traction response, dan scarf sign, serta lateral propping, dengan spesifisitas secara berturut-turut sebesar 96,67%; 96,67%; 96,67%; 96,67%; 96,67%; 93,33%; 93,33%; 93,33%; dan 90%. Kesimpulan Pemeriksaan lateral propping dan traction response merupakan pemeriksaan neurologis tonus otot yang memiliki hubungan paling signifikan secara statistik dengan perkembangan motorik kasar.

Introduction Children have five domains of skills that need to be passed in their developmental stages. In monitoring children's skill development, gross motor development is a skill domain that can be observed directly. Detection of motor skill delay needs to be done so that management of motor skill delay can be provided appropriately and immediately. This study discusses the role of neurological examination of muscle tone in detecting gross motor delays in infants aged 6-18 months. Method This research design uses an observational diagnostic test with a cross-sectional method. The source of data for this study is primary data, namely neurological examination of muscle tone and direct gross motor skills assessment at the Polyclinic of the Department of Pediatrics, Cipto Mangunkusumo Kiara National Hospital, Central Jakarta in September–October 2023. The data obtained were then analyzed with 2x2 tables and bivariate and multivariate tests. Results Of the 81 subjects, the best sensitivities were lateral propping, traction response, vertical suspension, spasticity, horizontal suspension, scarf sign, resting posture and popliteal angle, and hand fisting, with sensitivities of 84.31%; 76.47%; 72.55%; 56.86%; 54.90%; 50.98%; 49.02%; 49.02%; and 39.22%, respectively. The best specificities were resting posture, hand fisting, spasticity, horizontal suspension, and popliteal angle, vertical suspension, traction response, and scarf sign, and lateral propping, with specificities of 96.67%; 96.67%; 96.67%; 96.67%; 96.67%; 96.67%; 93.33%; 93.33%; 93.33%; and 90%, respectively. Conclusion The lateral propping and traction response examination is a neurological examination of muscle tone that has the most statistically significant relationship with gross motor development."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harahap, Amanda Chairunnissa
"Tahun pertama kehidupan adalah periode vital yang merupakan masa perkembangan anak. Salah satu domain perkembangan anak ialah motorik kasar, yakni postur dan gerakan yang menggunakan otot besar. Deteksi keterlambatan perkembangan motorik kasar perlu dilakukan sedini mungkin agar anak dapat diberikan intervensi yang cepat dan tepat. Penelitian ini membahas mengenai peran pemeriksaan neurologis refleks primitif dalam mendeteksi keterlambatan motorik kasar pada bayi usia 6-18 bulan. Desain penelitian ini menggunakan uji diagnostik observasional dengan metode cross-sectional. Sumber data penelitian ini merupakan data primer, yaitu pemeriksaan neurologis refleks primitif dan penilaian perkembangan keterampilan motorik kasar sesuai usia secara langsung di Poliklinik Departemen Ilmu Kesehatan Anak, RSUPN Cipto Mangunkusumo Kiara pada bulan September-Oktober 2023. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan tabel 2x2 dan uji bivariat serta multivariat. Dari 66 subjek, didapatkan tiga pemeriksaan neurologis refleks primitif signifikan dalam mendeteksi keterlambatan perkembangan motorik kasar. Pemeriksaan neurologis refleks primitif stepping merupakan pemeriksaan degan sensitivitas terbaik (81.08%), diikuti oleh pemeriksaan neurologis refleks Moro (35.13%), dan refleks sucking (24.32%). Adapun pemeriksaan neurologis dengan spesifisitas terbaik secara berturut-turut adalah pemeriksaan refleks sucking (96.55%), refleks Moro (89.66%), dan refleks stepping (82.76%). Empat pemeriksaa yang dilakukan lainnya, yakni refleks palmar grasp, plantar grasp, Babinski, dan Landau tidak signifikan dalam mendeteksi keterlambatan perkembangan motorik kasar. Dapat disimpulkan pemeriksaan neurologis stepping reflex dan sucking reflex merupakan pemeriksaan neurologis refleks primitif yang paling baik sebagai modalitas untuk mendeteksi keterlambatan perkembangan motorik kasar pada subjek penelitian.

The first year of life is a vital period in a child's development. One of the domains of child development is gross motor, which involves posture and movements that using large muscles. Detection of delays in gross motor development needs to be done as early as possible to enable prompt treatment. This study discusses the role of primitive reflex neurological examination in detecting gross motor delays in infants aged 6-18 months. This study design uses an observational diagnostic test with a cross-sectional method. The data source for this research is primary data consisted of a neurologic examination of primitive reflexes and direct gross motor skills assessment directly at the Polyclinic of the Department of Pediatrics, Cipto Mangunkusumo Kiara Hospital in September-October 2023. The data obtained were then analyzed using 2x2 tables, bivariate and multivariate tests. Of the 66 subjects, three primitive reflex neurological examinations were found to be significant in detecting delays in gross motor development. Examination of the stepping primitive reflex has the best sensitivity (81.08%), followed by examination of the Moro reflex nerve (35.13%), and sucking reflex (24.32%). The most specific examinations were the sucking reflex (96.55%), Moro reflex (89.66%), and stepping reflex (82.76%) respectively. The other four neurologic examinations conducted, which includes palmar grasp reflex, plantar grasp reflex, Babinski, and Landau were not significant in detecting delays in gross motor development.  It can be concluded that the stepping reflex and sucking reflex are the best primitive reflex neurological examinations as modalities for detecting delays of gross motor development in research subjects."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sofia Salsabilla Syifa
"Data dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (2013) menyebutkan bahwa sekitar 5—10% anak mengalami kelainan dalam perkembangannya, serta sekitar 1—3% anak usia di bawah 5 tahun mengalami kelainan pada lebih dari 1 aspek perkembangan (global developmental delay). Perkembangan motorik yang mengalami keterlambatan memiliki dampak negatif, bukan hanya terkait kompetensi motorik yang buruk, melainkan juga pada risiko keterlambatan di domain perkembangan lainnya beserta gangguan kesehatan yang berpotensi dialami anak di usia mendatang. Penelitian ini berfokus untuk mencari tahu peran pemeriksaan neurologis kepala dalam mendeteksi keterlambatan motorik kasar pada anak usia 6—18 bulan. Penelitian ini dilakukan dengan desain cross-sectional di Poliklinik Neurologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo Kiara pada bulan September—Oktober 2023. Sebanyak 80 subjek direkrut secara consecutive sampling. Analisis dilakukan untuk mengetahui indikator diagnostik sensitivitas, spesifisitas, PPV, NPV, dan DOR. Analisis dilakukan pada seluruh sampel dengan inklusi maupun eksklusi faktor risiko. Kemampuan menunjuk menunjukkan analisis hubungan signifikan dari analisis dengan sampel eksklusi faktor risiko. Sementara itu, pada sampel tanpa eksklusi faktor risiko, lingkar kepala, bentuk kepala, dan kemampuan menunjuk memiliki DOR yang signfikan. Rentang indikator diagnostik seluruh pemeriksaan kepala yakni sensitivitas 34—68% (tertinggi pada kemampuan menunjuk); spesifisitas 66,67—96,67% (tertinggi pada kontak visual); PPV 66,67—96,15% (tertinggi pada kontak visual); dan NPV 39,62%—61,90% (tertinggi pada kemampuan menunjuk). Indikator diagnostik pemeriksaan neurologis kepala cukup sebanding dengan alat asesmen keterlambatan motorik kasar lain. Pemeriksaan neurologis kepala, khususnya lingkar kepala, kontak visual, bentuk kepala, dan kemampuan menunjuk, memiliki potensi pemanfaatan sebagai alat deteksi keterlambatan motorik kasar pada anak usia 6—18 bulan.

According to data sourced from Indonesian Pediatric Society (2013), approximately 5—10% of children experience abnormalities in their development and maturation process. Delay in motoric development not only affects said children’s motor skills, but could potentially risk delay in other developmental domains and make them more susceptible to other health issues in the future. This cross-sectional study was held at the Neurology Clinic of Cipto Mangunkusumo Kiara Hospital for the period of September to October 2023. Exactly 80 samples were recruited using consecutive sampling according to patient visit. Analyses were done to acquire diagnostic indicators such as sensitivity, specificity, PPV, NPV, dan DOR (CI analyzed through binary logistic regression). Samples were analyzed both including and excluding significant risk factors. Pointing produced significant discriminative strength in the final sample group analysis (excluding samples with significant risk factors). Initial sample analysis (without baseline covariate exclusion) showed significant DOR in head circumference, head shape, and pointing ability examination. Diagnostic indicators including all head neurological assessments showed good result intervals, with sensitivity of 34—68% (highest in pointing test), specificity of 66.67—96.67% (highest in eye contact test), PPV of 66.67—96.15% (highest in eyes contact test), and NPV of 39,62—61,90% (highest in pointing test). Head neurological assessment in pediatric patients, especially evaluations of head circumference, head shape, dan pointing ability, have the potential to be effectively implemented as a tool for detecting gross motor development delay in children 6 to 18 months of age."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Joanna Erin Hanrahan
"Latar belakang. Terdapat 5 domain keterampilan yang harus dicapai sesuai dengan kelompok usia anak. Apabila tidak dicapai hingga melebihi batasan usia yang seharusnya, anak dikatakan mengalami keterlambatan perkembangan. Keterampilan motorik kasar merupakan domain perkembangan dengan tingkat perhatian orang tua tertinggi, sebab keterampilan motorik kasar merupakan penentu otonomi seorang anak. Penelitian mengenai faktor risiko dibuat untuk menyusun strategi intervensi pencegahan keterlambatan perkembangan.
Tujuan. (1) Mengetahui faktor risiko yang signifikan terhadap keterlambatan motorik kasar pada anak usia 6-24 bulan. (2) Mengetahui pengaruh antar masing-masing faktor risiko.
Metode penelitian. Desain penelitian menggunakan kasus dan kontrol. Data diperoleh melalui data primer hasil penilaian keterampilan motorik kasar yang divalidasi oleh pembimbing dan wawancara orang tua pasien yang ada di Poli Kiara RSUPN Cipto Mangunkusumo dan Pondok Pinang. Anak dengan keterampilan motorik kasar terlambat dimasukkan dalam kelompok kasus dan dilakukan matching usia untuk memperoleh kelompok kontrol. Pengambilan data dilakukan dari bulan Februari sampai Juli 2018. Faktor-faktor risiko dianalisis secara bivariat dan multivariat.
Hasil penelitian. Dilakukan analisis terhadap 63 anak dengan motorik kasar terlambat dan 63 anak dengan motorik kasar normal. Faktor risiko yang memiliki hubungan bermakna dengan keterlambatan motorik kasar pada anak, yaitu asfiksia perinatal (P=0,004 ; OR=5,714 ; IK 95%=1,553-21,026), prematuritas (P=0,009 ; OR=3,949 ; IK 95%=1,347-11,574), berat badan lahir rendah (P=0,011 ; OR=3,511 ; IK 95%=1,281-9,625), dan mikrosefali (P<0,001 ; OR=5,128 ; IK 95%=2,332-11,280). Setelah dilakukan analisis multivariat, mikrosefali (aOR=4,613 ; IK 95%=2,023-10,521) dan prematuritas (aOR=3,668 ; IK 95%=1,153-11,673) merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap keterlambatan motorik kasar pada anak.
Kesimpulan. Mikrosefali dan prematuritas (usia gestasi < 37 minggu) merupakan faktor prediktor keterlambatan motorik kasar pada anak usia 6-24 bulan.

Introduction. There are 5 domains of development that has to be accomplished by a child. If a child fails to master a skill according to his age group, he is said to have a delayed development. Gross motor is one of the domain with the highest parental concern as mastering gross motor is an important factor that determine the autonomy of a child. This study is made to arrange a strategic intervention on the prevention of delayed development.
Objectives. (1) To determine the significant risk factors for gross motor delay in children age 6-24 months old. (2) To determine the association between risk factors.
Methods. Case control study design was used. Data was obtained from direct assessment of gross motor skill (validated by supervisor) and parents’ interview in Cipto Mangunkusumo National Hospital and Pondok Pinang. Children with gross motor delay were categorized as the case group and age matching from this group was used to obtain the control group. Data was collected from February until July 2018. Bivariate and multivariate analysis on risk factors were done to find the significant risk factors and predictor factors for gross motor delay.
Results. 63 children with gross motor delay and 63 children with normal gross motor development were being analyzed. Significant risk factors for gross motor delay were perinatal asphyxia (P=0.004 ; OR=5.714 ; CI 95%=1.553-21.026), prematurity (P=0.009 ; OR=3.949 ; CI 95%=1.347-11.574), low birth weight (P=0.011 ; OR=3.511 ; CI 95%=1.281-9.625), and microcephaly (P<0.001 ; OR=5.128 ; CI 95%=2.332-11.280). After multivariate analysis, microcephaly (aOR=4.613 ; CI 95%=2.023-10.521) and prematurity (aOR=3.668 ; CI 95%=1.153-11.673) were the predictor factors for gross motor delay.
Conclusion. Microcephaly and prematurity (gestation age < 37 weeks) are the predictor factors for gross motor delay in children age 6-24 months old.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kristian Kurniawan
"ABSTRAK
Keterlambatan perkembangan merupakan suatu kondisi seorang anak dalam tidak mampu mencapai milestones perkembangan sesuai dengan tingkat perkembangan anak seusianya. Perkembangan anak ditandai dengan kemajuan perkembangan pada berbagai domain perkembangan, salah satunya adalah perkembangan motorik kasar. Perkembangan motorik kasar dapat memprediksi tingkat maturasi sistem saraf pusat fungsional sehingga keterlambatan perkembangan motorik kasar akan berdampak pada keterlambatan penguasaan domain perkembangan lainnya. Di Indonesia terhitung secara epidemiologis, presentasi anak yang tidak mencapai potensi perkembangan secara penuh mencapai angka 20,01-40,0% pada 2004. Oleh karena itu, penelitian mengenai faktor risiko dikerjakan untuk meningkatkan kewaspadaan dan sebagai bahan pertimbangan diagnosis terhadap keterlambatan motorik kasar.
Tujuan
(1) Mengidentifikasi faktor risiko eksternal yang memiliki signifikansi terhadap keterlambatan motorik kasar pada anak 6-24 bulan. (2) Mengidentifikasi pengaruh antar setiap faktor risiko terhadap keterlambatan motorik kasar.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus-kontrol sebagai desain penelitian. Data yang digunakan berupa data primer yang diperoleh melalui hasil penilaian perkembangan motorik kasar yang divalidasi oleh dokter anak pembimbing serta wawancara orang tua/wali anak. Penelitian dilaksanakan di Poliklinik anak RSUPN Cipto Mangunkusumo Kiara, Jakarta Pusat sebagai rumah sakit rujukan nasional dan di Klinik Anakku, Jakarta Selatan
Hasil Penelitian
Selama kurun waktu penelitian diperoleh subjek sebesar 128 anak, dengan perbandingan kasus-kontrol 1:1 pada kelompok rentang usia yang sesuai. Dari hasil analisis pearson kai-kuardat diperoleh 2 faktor signifikan terhadap keterlambatan motorik kasar, yakni: status gizi kurang/buruk (p<0,001; OR=6,576; IK 95%=2,705-13,986) dan tidak diberikannya ASI eksklusif (p=0,032; OR=2,180; IK 95%=1,065-4,460). Di sisi lain, faktor urutan anak, usia ibu saat kehamilan, dan cara kelahiran menunjukan hasil tidak bermakna terhadap keterlambatan motorik kasar. Kemudian, dari analisis multivariat dengan regresi logistik biner, menunjukan bahwa status gizi kurang/buruk merupakan faktor paling berpengaruh terhadap kejadian keterlambatan motorik kasar pada anak (p<0,001; OR=6,159; IK 95%=2,512-15,099).
Kesimpulan.
Pada Penelitian ini, status gizi kurang/buruk pada anak dan tidak diberikannya ASI eksklusif merupakan faktor risiko signifikan terhadap keterlambatan anak usia 6-24 bulan. Dalam model multivariabel ini, status gizi kurang/buruk merupakan faktor prediktor keterlambatan motorik kasar yang paling berpengaruh.

ABSTRACT
Background
Developmental delay is defined as a condition which a child fails to achieve appropriate developmental milestone according to his age group development. Childhood development is indicated by developmental advancement ini several develompental domain, for instance, gross motor development. Gross motor development could predict certain functional central nervous system maturation, thus delay in this domain might inhibit mastering process of other domains development. In Indonesia according to epidimiological data in 2004, it is estimated thath around 20.01-40.0% children could not fully achieve their developmental potential. Therefore, this study related to risk factor identification was established in order to increase awareness to developmental delay and also as a consideration in diagnosing gross motor delay.
Objectives
(1) To determine significant external risk factor for gross motor delay in children aged 6-24 months.(2) To determine the association between risk factors for gross motor delay.
Method
This research used case-control study approach as its study design. Utilized data was a primary data which were obtained through assessing gross motor development validated by supervisiong pediatrician and through interviewing parent/legal guardian. The interview was held in pediatric polyclinic of RSUPN Cipto Mangunkusumo Kiara, Central Jakarta as a national referral hospital and in Klinik Anakku, South Jakarta.
Result
During the period of the study, 128 pediatric patients were found to be a subject, with case-control ratio 1:1 in corresponding age group range. According to pearson chi-square test, there are two significant factors for gross motor delay, which are wasting/severely wasting (p<0,001; OR=6,576; CI 95%=2,705-13,986) and not exclusive breastfeeding (p=0,032; OR=2,180; CI 95%=1,065-4,460). On the other hand, birth order, maternal age during gestation, and mode of delivery demonstrate insignificant result for gross motor delay. Furthermore, mutlivariate anylisis with binary logistic regression shows wasting/severely wasting to be the most influential external risk factor gross motor delay (p<0,001; OR=6,159; CI 95%=2,512-15,099).
Conclusion
In this study, wasting/severely wasting in children and not exclusive breastfeeding are significant risk factor for gross motor delay in children aged 6-24 months. In this multivariable model, wasting/severely wasting is proven to be the most influential predictior factor for gross motor delay."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nugroho Danu Tri Subroto
"Latar Belakang: Angka prevalensi GSA semakin meningkat dan kekhawatiran orang tua tentang kondisi anaknya, mendorong dilakukannya skrining deteksi dini GSA. Beberapa tanda untuk deteksi dini GSA yaitu 1) respon terhadap godaan, 2) respon ketika dipanggil dan 3) respon terhadap penghambatan. Terdapat tanda lain yang dapat digunakan sebagai deteksi dini GSA, yaitu respon colek. Tujuan: Mengetahui seberapa besar nilai diagnostik respon colek dalam mendeteksi GSA pada anak usia 18 bulan - 4 tahun dengan keterlambatan bicara. Metode:Studi potong lintang dilakukan terhadap subyek berusia 18 bulan - 4 tahun dengan keterlambatan bicara. Pada subyek diberikan rangsangan colek, godaan saat bermain, dipanggil namanya saat bermain dan penghambatan saat bermain (dengan tangan) kemudian dinilai respon subyek terhadap pemberi respon. Subyek kemudian dikelompokkan menjadi 2 kelompok, GSA dan bukan GSA berdasarkan kriteria DSM-5. Hasil:Dibandingkan ketiga respon lain, respon colek memiliki spesifitas paling tinggi (93%) dengan sensitivitas 75% dalam mendeteksi GSA. Bila ke 4 pemeriksaan uji diagnostik digabungkan, dengan hasil tes negatif menandakan tidak adanya respon terhadap pemeriksaan, maka akan didapatkan nilai spesifisitas sangat tinggi (100%) dengan sensitivitas 42%. Simpulan: Dibandingkan ketiga pemeriksaan yang sudah ada, respon colek memiliki spesifisitas paling tinggi dalam menyingkirkan GSA pada anak dengan keterlambatan bicara.
Background: ASD prevalence are increasing and parents' concerns about their child's condition, encourage early detection by screening of ASD. Several signs for early detection of ASD: 1) teasing response, 2) calling response, 3) blocking response. There are other signs can be used as early detection of ASD, which is a poke response. Objective:To know the diagnostic value of poke response in detecting ASD in children aged 18 months - 4 years with speech delay. Methods:A cross-sectional study was conducted on subjects aged 18 months - 4 years with speech delay. The subjects given poke stimulation, teasing when playing, called by name and inhibition when playing then assessed the subject's responses. The subjects were grouped into 2 groups, ASD and not ASD based on DSM-5. Results:Compared to the other 3 responses, poke response had the highest specificity (93%) with 75% sensitivity in detecting ASD. If all 4 diagnostic test examinations are combined, with a negative test result indicating no response to the examination, a very high specificity (100%) with a sensitivity of 42% will be obtained. Conclusion:Compared the others, the poke response has the highest specificity to rule out ASD in children with speech delay."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muzna Anisah
"Latar belakang: Serum Albumin merupakan protein plasma yang jumlahnya paling melimpah dalam darah dan berkontribusi dalam mempertahankan tekanan osmotik koloid dan juga mengikat substansi yang sukar larut dalam plasma dan membantunya agar dapat didistribusikan ke dalam tubuh. Protein dalam ASI kebanyakan disintesis oleh mammary epithelium namun serum albumin merupakan protein yang didapat langsung dari sirkulasi darah ibu dan disalurkan melalui blood-milk barrier. Kadar serum albumin yang ditemukan di dalam ASI jumlahnya dapat bervariasi, protein ini dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti masa menyusu bayi (fase laktasi), usia ibu, paritas, dan Indeks Massa Tubuh (IMT) Ibu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan kadar serum albumin pada ASI ibu yang menyusui bayi usia 1-3 bulan dan 4-6 bulan dan mencari hubungannya dengan  usia Ibu, jumlah paritas, dan IMT Ibu.
Metode: Penelitian ini menggunakan sampel ASI yang diperoleh dari 58 ibu dari Puskesmas Petamburan (Jakarta Pusat) dan Puseksmas Cilincing (Jakarta Utara). Sampel dikelompokkan  menjadi dua kelompok, yaitu usia bayi 1-3 dan 4-6 bulan.  Kadar serum albumin diukur dengan kit Bromocresol Green (BCG) menggunakan spektrofotometer dengan Panjang gelombang 628 nm.
Hasil : Hasil penelitian menunjukkan bahwa ASI pada periode laktasi yang lebih awal yaitu pada 1-3 bulan memiliki kadar serum albumin yang lebih tinggi secara bermakna dibandingkan dengan kadar serum albumin ASI pada kelompok usia 4-6 bulan (p=0,002). Kadar serum albumin ASI pada kelompok usia bayi 1-3 bulan tidak memiliki korelasi terhadap usia ibu (p=0,881), dan juga paritas (p=0,428), namun berkorelasi positif kuat bermakna terhadap IMT Ibu (p=000). Kadar serum albumin ASI pada kelompok usia bayi 4-6 bulan tidak memiliki korelasi terhadap usia ibu (p=0,581) dan juga paritas (p=0,823), namun berkorelasi positif kuat bermakna terhadap IMT Ibu (p=0,000). 
Kesimpulan: Kadar serum albumin dalam ASI dipengaruhi oleh usia bayi atau fase laktasi, dimana kadar serum albumin lebih tinggi secara bermakna pada ASI kelompok bayi usia 1-3 bulan dibandingkan dengan ASI kelompok bayi usia 4-6 bulan. Kadar serum albumin berhubungan dengan IMT ibu yaitu kadar serum albumin akan semakin meningkat seiring dengan bertambahnya IMT Ibu.

Serum albumin is the most abundant plasma protein in the blood and contributes to maintaining osmotic colloid pressure and also binds poorly soluble substances in plasma and helps them to be distributed throughout the body. Protein in breast milk is mostly synthesized by the mammary epithelium, but serum albumin is a protein that is obtained directly from the mother's blood circulation and is channeled through the blood-milk barrier. Serum albumin levels found in breast milk can vary in number, this protein is influenced by various factors such as breastfeeding period (lactation phase), maternal age, parity, and maternal body mass index (BMI). This study aims to determine the comparison of serum albumin levels in breast milk of mothers who breastfeed infants aged 1-3 months and 4-6 months and to find out the relationship with maternal age, parity, and maternal BMI. This study used breast milk samples obtained from 58 mothers from Petamburan Public Health Center (Central Jakarta) and Cilincing Public Health Center (North Jakarta). The samples were grouped into two groups, namely infants aged 1-3 and 4-6 months. Serum albumin levels were measured with the Bromocresol Green (BCG) kit using a spectrophotometer with a wavelength of 628 nm. The results showed that breast milk in the earlier lactation period at 1-3 months had significantly higher serum albumin levels than breast milk serum albumin levels in the 4-6 month age group (p=0.002). Serum albumin levels in breast milk in infants aged 1-3 months had no correlations on maternal age (p = 0.881), and parity (p = 0.428), but a significant positive correlation with maternal BMI (p = 000) . Serum albumin levels in breast milk in the infant age group 4-6 months had no correlations to maternal age (p=0.581) and parity (p=0.823), but had a significant positive correlation to maternal BMI (p=0.000). Serum albumin levels in breast milk are influenced by the infant's age or lactation phase, where serum albumin levels are significantly higher in the breast milk group of infants aged 1-3 months compared to the breast milk group of infants aged 4-6 months. Serum albumin levels are related to maternal BMI, namely serum albumin levels will increase with increasing maternal BMI."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ghaisani Fadiana
"ABSTRAK
Latar belakang: Palsi serebral PS adalah gangguan fungsi motorik, postur, dan gerak akibat gangguan perkembangan otak. Insidens PS pada bayi risiko tinggi cukup besar. Alat deteksi dini PS yang mudah dilakukan sangat diperlukan untuk aplikasi klinis sehari-hari.Tujuan: 1 menentukan proporsi PS pada bayi risiko tinggi, 2 mengetahui manfaat dan kesesuaian pemeriksaan refleks primitif usia 4 bulan untuk deteksi dini PS pada bayi risiko tinggi usia 6 bulan dan pemeriksaan refleks perkembangan usia 9 bulan untuk deteksi dini PS pada bayi risiko tinggi usia 12 bulan 3 mengetahui waktu yang dibutuhkan untuk melakukan pemeriksaan refleks primitif dan perkembangan.Metode: Penelitian kohort prospektif dilakukan pada 40 bayi risiko tinggi yang berusia koreksi 4 bulan atau 9 bulan dan pernah dirawat di Unit Perinatologi RSCM. Pemeriksaan 3 refleks primitif dilakukan saat usia 4 bulan. Pemeriksaan keterlambatan motorik, 3 refleks primitif, dan 1 reaksi postural dilakukan saat usia 9 bulan. Diagnosis PS ditegakkan saat usia 6 dan 12 bulan.Hasil: Proporsi PS pada bayi risiko tinggi saat usia 6 dan 12 bulan berturut-turut adalah 26 dan 10 . Nilai kemaknaan dan risiko relatif RR pemeriksaan refleks primitif usia 4 bulan dengan kejadian PS pada usia 6 bulan adalah pemeriksaan refleks palmar p 0,04; RR 6,86; IK95 : 0,94-49,82 , respon tarikan p 0,04; RR 6,86; IK95 0,94-49,82 , dan fisting p 0,04; RR 5,63; IK95 1,38-23,01 . Nilai kemaknaan dan RR pemeriksaan refleks perkembangan usia 9 bulan dengan kejadian PS pada usia 12 bulan adalah pemeriksaan refleks palmar p 0,19; RR 9; IK95 : 0,85-94,9 , fisting p 0,19; RR 9; IK95 : 0,85-94,9 , respon tarikan p 0,28; RR 5,67; IK95 : 0,47-68,02 , keterlambatan motorik p 0,19; RR 9; IK95 : 0,85-94,9 , dan reaksi protektif-ekstensi p 0,37; RR 4; IK95 : 0,31-51,03 . Pemeriksaan refleks primitif usia 4 bulan dan refleks perkembangan usia 9 bulan memerlukan waktu berturut-turut 2 menit 37 detik SB 32,3 detik dan 5 menit 18 detik SB 53 detik .Simpulan: Pemeriksaan refleks primitif usia 4 bulan dapat menjadi alat deteksi dini PS untuk usia 6 bulan dan dapat dilakukan dalam waktu singkat. Pemeriksaan refleks perkembangan usia 9 bulan belum dapat digunakan sebagai alat deteksi dini PS untuk usia 12 bulan.

ABSTRACT
Background Cerebral palsy CP is motor function and postural disorder due to an insult of the developing brain. The incidence of CP is high among high risk infants. A simple and less time consuming tool for early detection of CP is needed in daily clinical practice.Aim 1 to determine proportion of CP in high risk infants, 2 to determine benefit and congruence of primitive reflexes at age 4 months for early detection of CP at age 6 months, and those of developmental reflexes at age 9 months for early detection of CP at age 12 months 3 to know the time required to perform primitive and developmental reflexes.Method A prospective cohort study was conducted in 40 high risk infants with corrected age 4 or 9 months history of admission to Unit of Cipto Mangunkusumo Hospital. Three primitive reflexes were performed at the age of 4 months. Motor delay evaluation, 3 primitive reflexes, and a postural reaction were performed at the age of 9 months. The diagnosis of CP was established at 6 and 12 months of age.Result The proportion of CP in high risk infants was 26 at 6 months of age and 10 at 12 months of age. The p value and relative risk RR of primitive reflexes at age 4 months associated with incidence of CP at age 6 months were palmar grasp p 0.04 RR 6.86 CI95 0.94 49.82 , traction response p 0.04 RR 6.86 CI95 0.94 49.82 , and fisting p 0.04 RR 5.63 CI95 1.38 23.01 . The p value and relative risk RR of developmental reflexes at age 9 months associated with incidence of CP at age 12 months were palmar grasp p 0.19 RR 9 CI95 0.85 94.9 , fisting p 0.19 RR 9 CI95 0.85 94.9 , traction response p 0.28 RR 5.67 CI95 0.47 68.02 , motor delay p 0.19 RR 9 CI95 0.85 94.9 , and protective extension reaction p 0.37 RR 4 CI95 0.31 51.03 . Primitive reflexes at age 4 months and developmental reflexes at age 9 months required 2 minutes 37 seconds SD 32.2 seconds and 5 minutes 18 seconds SD 53 seconds , respectively.Conclusion Primitive reflexes examination at 4 months can be performed for early detection of PS in high risk infants aged 6 months in short time. Developmental reflexes examination at 9 months cannot be applied for early detection of PS in high risk infants aged 6 months yet."
2017
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Veronika Maria Sidharta
"Latar belakang: Otot rangka adalah jaringan yang dinarnis. Proses perkembangan dan regenerasinya dipengaruhi oleh berbagai faktor pertumbuhan, antara lain tenasln-C. Tenasin-C adalah suatu glikoprotein heksabrakion matriks ekstrasel yang mempunyai subunit EGF-like. Tenasin-C berfungsi sebagai regulator berbagai fungsi seL Ekspresinya dapat dilihat dengan cara imunohisto kimia dan dinilai secara semikuantitatif dengan estimasi visual. Belum dtketahui ekspresi tenasin-C pada jaringan otot rangka berkaitan dengan proses perkembangan dan korelasinya dengan jumlah dan diameter serat otot rangka. Dlduga seiring bertambahnya usia akan terjadi penunman ekspresi tenasin-C dan bertambahnya jumlah dan diameter serat otot. Diharapkan di kemudian hari dapat dikembangkan terapi kerusakan atau kelainan otot meJalui optimalisasi regenerasi sentt otot dengan pemberian tenasin-C eksogen.
Metode: Desain penelitian ini adalah perbandingan potong lintang dengan subyek tikus Sprague-Dawley jantan usia l-4 hari, 3-4 bulan, dan 12-16 bulan. Sediaan mikroskopik diwarnal dengan hematoksilin eosin TNC. Fotomikrograf dianalisis dengan Digimizer Image Analyzer. Anaiisis imunoreaktivltas TNC dilakukan berdasarkan intensitas pewamaan dan pola ekspresi.
Hasil: Terdapat penambahan jumlah dan diameter sera! otot rangka dari kelompok usia 1-4 hari sampai kelompok usia 12-16 bulan. Ekspl}'Si TNC ditemukan pada otot rangka semua kelompok umur. Ekspresi kuat terhadap TNC paling sering ditemukan di kelompok usia l-4 hari. Ekspresi negatif dan ekspresi lemah paling sering ditemukan di kelompok usia 12-16 bulan.

Background: Skeletal muscle is a dynamic tissue. Its development and regeneration processes are influenced by various growth factors. Amongst those factors is tenascin C 1NC is one of the extracellular matrix glycoprotein with EGF-like subunit. TNC acts as regulator for several cell functions. Its expression can be detected immunohistochernically and analyzed semiquantitatively using visual estimation. TNC expression in skeletal muscle related with developmental process and its correlation with skeletal muscle fiber number and diameter is, to date, not yet known. The preferred hypothesis is with increasing age. there wi11 be decreasing TNC expression and increment of skeletal muscle fiber number and diameter.
Methods: This is a comparative cross-sectional study. Subjects are male Sprague-DawJey rats, divided into 3 age groups: l-4 days, 3-4 months. and 12-16 months. Microscopic specimens were made and stained with hematoxylin-eosin and TNC immunohistochemistry. Microphotographs: were analysed using Digimizer Image Analyzer. Immunoreactivity of TNC was classified based on staining intensity and expression pattern.
Result: There is an increase in skeletal muscle fiber number and diameter from 1 day to 16 months. TNC expression was positive in all age groups. Strong TNC expression was found in 1-4 day-oJd group. Negative and weak expressions were found mostly in adult group. 'There is a positive correlation between TNC extracell expression pattern with muscle fiber number and diameter, and also between TNC weak expression with muscle fiber number and diameter."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
T32394
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rina Pratiwi
"Latar Belakang: Insufisiensi vitamin D mengenai hampir 50% populasi seluruh dunia. Dua penyebab paling utama defisiensi adalah kurangnya paparan sinar matahari dan asupan nutrisi vitamin D tidak adekuat. Mulai usia 6 bulan, ASI tidak dapat memenuhi seluruh kebutuhan makronutrien dan mikronutrien bayi termasuk juga vitamin D. Penelitian yang mendukung angka kejadian defisiensi dan insufisiensi vitamin D serta mengetahui paparan sinar matahari yang adekuat untuk mencukupi kebutuhan vitamin D harian belum banyak dilakukan di Indonesia, terutama usia 7-12 bulan.
Tujuan: Membuktikan pengaruh paparan sinar matahari terhadap kadar vitamin D bayi usia 7-12 bulan.
Metode: Uji acak terkontrol dilakukan terhadap 109 subjek berusia 7-12 bulan di Puskesmas wilayah Semarang pada bulan Februari sampai Mei 2019. Dibagi menjadi kelompok intervensi (54 subjek) dan kontrol (55 subjek) dengan kriteria inklusi: tidak memiliki kelainan kongenital maupun penyakit kronik dan orangtua bersedia mengikuti penelitian. Kriteria eksklusi: memiliki status gizi kurang dan gizi buruk, warna kulit selain kuning langsat dan sawo matang, defisiensi vitamin D berat dengan gejala klinis dan mendapat suplementasi vitamin D. Intervensi: paparan sinar matahari selama 5 menit pada pukul 10.00-14.00 tiga kali seminggu selama 2 bulan. Dilakukan pemeriksaan kadar vitamin D awal dan akhir serta food recall.
Hasil: Didapatkan hasil angka defisiensi vitamin D sebesar 8,9%. Tidak terdapat perbedaan bermakna untuk kadar vitamin D awal pada kedua kelompok dengan rerata kadar vitamin D 39,1±14,9 ng/ml pada kelompok intervensi dan 38,6±15,4 ng/ml pada kontrol. Setelah 2 bulan, terdapat perbedaan bermakna dengan p=0,005 pada kadar vitamin D kedua kelompok dengan rerata kelompok intervensi 47,9±21,9 ng/ml dan 36,6±13,7 ng/ml pada kontrol. Tidak terdapat perbedaan bermakna untuk asupan vitamin D pada kedua kelompok.
Kesimpulan: Paparan sinar matahari pukul 10.00-14.00 selama 5 menit pada 50% luas permukaan badan berpengaruh terhadap peningkatan kadar vitamin D bayi berusia 7-12 bulan.

Background: Vitamin D insufficiency found in almost 50% of world population. Two main causes of deficiency were less sun exposure and inadequate vitamin D intake. Since 6 months, breastmilk couldnt fulfilled infant s nutrient need including vitamin D. Study supported vitamin D deficiency and insufficiency prevalence and also information about adequate sun exposure needed to maintain daily vitamin D had not been done much in Indonesia, especially aged 7-12 months.
Objective: To prove effect of sun exposure on vitamin D levels of infants aged 7-12 months
Method: Randomised controlled trial was done to 109 subjects aged 7-12 months in Primary Health care around Semarang city on February until May 2019. Divided to intervention group (54 subjects) and control (55 subjects) with inclusion criteria: no congenital or chronic disease, parents agreed to join the study. Exclusion criteria: moderate or severe malnutrition, skin tone other than yellow or brown, severe vitamin D deficiency with clinical manifestation and received vitamin D supplementation. Intervention : sun exposure for 5 minutes from 10.00-14.00 three times a week for 2 months. Vitamin D level measurement and food recall were done before and after.
Results: It is shown that prevalence of deficiency was 8.9%. No significant difference on pre vitamin D levels for intervention group (mean 39.1±14.9 ng/ml) and control (mean 38.6±15.4 ng/ml). After 2 months, there was significant difference between intervention group (mean 47.9±21.9 ng/ml) and control (mean 36.6±13.7 ng/ml) with p=0.005. There was no significant difference for vitamin D intake between two groups.
Conclusion: Sun exposure of 50% body surface area at 10.00-14.00 for 5 minutes has an effect to increase vitamin D level of infants aged 7-12 months."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59151
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>