Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 226241 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nadia Khairan Wibowo
"Latar Belakang Kelainan bawaan bertanggung jawab atas 11,3% kematian bayi di dunia. Di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, neural tube defect merupakan jenis kelainan bawaan yang berperan penting dalam kecacatan dan kematian neonatus, yaitu sekitar 17% hingga 70% dari seluruh kematian akibat kelainan bawaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil karakteristik klinis dan tata laksana anak dengan neural tube defect di Departemen Bedah Saraf FKUI-RSCM pada tahun 2018–2022. Metode Desain penelitian ini adalah deskriptif observasional dengan metode penelitian potong lintang. Hasil Jenis kelamin yang paling banyak ditemukan adalah perempuan (51,7%). Jaminan kesehatan yang paling banyak digunakan adalah BPJS (94,8%) dengan rujukan paling banyak berasal dari fasilitas kesehatan di wilayah Jabodetabek (65,5%). Jenis NTD yang paling banyak ditemukan adalah myelomeningocele (25,9%), lipomyelomeningocele (24,1%), dan encephalocele occipital (20,7%). Faktor risiko maternal yang teridentifikasi adalah usia maternal > 35 tahun (12,1%). Proporsi ibu yang rutin mengonsumsi vitamin hamil sejak prekonsepsi sangat rendah (1,7%). Riwayat infeksi saat hamil ditemukan pada sebagian kecil kasus (3,4%) sedangkan riwayat kontak ibu dengan unggas atau hewan peliharaan cukup banyak ditemukan (22,4%). Waktu tahu hamil paling banyak saat usia kehamilan < 5 minggu (55,2%). Riwayat keluarga dengan NTD, riwayat diabetes pregestasional, dan riwayat konsumsi obat antiepilepsi maternal tidak ditemukan. Jenis operasi yang paling banyak dilakukan adalah rekonstruksi tutup defek. Sebagian besar operasi untuk NTD bersifat elektif (89,7%). Kesimpulan Jenis NTD yang paling banyak ditemukan adalah myelomeningocele, lipomyelomeningocele, dan encephalocele occipital dengan jenis operasi tersering berupa rekonstruksi tutup defek.

Introduction Birth defects are responsible for 11.3% of infant deaths worldwide. In low- and middle-income countries, neural tube defect are a type of birth defect that plays an important role in neonatal disability and death, accounting for around 17% to 70% of all deaths due to birth defect. This study aims to determine the clinical and therapeutic profile of children with neural tube defects in the Department of Neurosurgery at Cipto Mangunkusumo Hospital, Indonesia, period 2018–2022. Method The design used in this research is descriptive observational with cross-sectional research method. Results The most common gender found was female (51.7%). The most widely used health insurance was BPJS (94.8%) with most referrals coming from health facilities in the Jabodetabek area (65.5%). The most common types of NTD were myelomeningocele (25.9%), lipomyelomeningocele (24.1%), and occipital encephalocele (20.7%). The maternal risk factor identified was maternal age > 35 years (12.1%). The proportion of mothers who regularly take pregnancy vitamins since preconception was very low (1.7%). A history of infection during pregnancy was found in a small number of cases (3.4%) while a history of maternal contact with poultry or pets was quite common (22.4%). The most common time the mothers knew that they’re pregnant was when the gestational age was < 5 weeks (55.2%). Family history of NTDs, history of pregestational diabetes, and history of maternal antiepileptic drug consumption were not found. The most common type of surgery performed was repair of the defect. Most operations for NTDs were elective (89.7%). Conclusion The most common types of NTD found were myelomeningocele, lipomyelomeningocele, and occipital encephalocele while the type of surgery most frequently performed was repair of the defect."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bryanna Infinita Laviashna Saputro
"

Latar Belakang

Brain Arteriovenous Malformation (BAVM) merupakan salah satu anomali vaskular pada otak yang dapat menyebabkan berbagai komplikasi. Baku emas untuk mendeteksi BAVM adalah dengan digital subtraction angiography (DSA), namun modalitas ini tidak tersedia secara luas di Indonesia. Penelitian ini disusun untuk memberikan gambaran profil karakteristik klinis dan temuan dari DSA, CT-Angiography (CTA), dan MR-Angiography (MRA) dalam sesuai penilaian Grade Spezler-Martin.

Metode

Data rekam medis dan hasil pencitraan kasus BAVM dengan DSA disertai atau tidak pemeriksaan MRA atau CTA didapat dari Departemen Bedah Saraf RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada periode 2018-2022. Kasus yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi disertakan penelitian deskriptif obserasional ini.

Hasil

Terdapat total 37 subjek pada penelitian ini. Kasus BAVM didominasi oleh laki-laki (62,2%) dan lebih banyak pada pasien dewasa berusia >18 tahun (75,7%). Hampir seluruh pasien menggunakan jaminan kesehatan BPJS (94,6%) dan asal rujukan terbanyak adalah dari Jabodetabek (54,1%). Gejala terbanyak pada pasien adalah nyeri kepala 59,4%), diikuti dengan kesadaran terganggu (37,8%) dan kejang (35,1%). Temuan DSA tidak berbeda jauh dengan temuan MRA dan CTA. Hampir seluruh pasien memiliki feeding artery [DSA (97,3%); CTA dan MRA (100%)], mayoritas terdapat lokasi eloquent [DSA (67,6%); MRA (71,4%); CTA (80%)], berukuran sedang (3-6 cm) [DSA (59,5%); MRA (71,4%); CTA (40%)], dan memiliki drainase vena superficial [DSA (59,5%); MRA (71,4%); CTA (40%)]. Presentase grade SM terbanyak adalah grade III (31,6%), diikuti oleh grade IV (28,9%) dan grade II (21,1%).

Kesimpulan

Pengetahuan akan profil karakteristik klinis dan profil temuan pencitraan dapat memberikan pengetahuan lebih untuk membantu dokter menunjang diagnosis BAVM.


Background

Brain Arteriovenous Malformation (BAVM) is a vascular anomaly in the brain that can cause various complications. The gold standard for detecting BAVM is digital subtraction angiography (DSA), but this modality is not widely available in Indonesia. This study was designed to provide an overview of the profile of clinical characteristics and findings from DSA, CT-Angiography (CTA), and MR-Angiography (MRA) in accordance with the Spezler-Martin Grade assessment.

Method

Medical record data and imaging results of BAVM cases with DSA accompanied/not by MRA or CTA examination were obtained from the Department of Neurosurgery, RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) in the 2018-2022 period. Cases that met the inclusion and exclusion criteria were included in this observational descriptive study.

Results

There was a total of 37 subjects in this study. BAVM cases are dominated by men (62.2%) and are more common in adult patients aged >18 years (75.7%). Almost all patients use BPJS health insurance (94.6%) and the highest number of referrals is from Jabodetabek (54.1%). The most common symptom in patients was headache, 59.4%), followed by impaired consciousness (37.8%) and seizures (35.1%). DSA findings do not differ much from MRA and CTA findings. Almost all patients had a feeding artery [DSA (97.3%); CTA and MRA (100%)], the majority had eloquent locations [DSA (67.6%); MRA (71.4%); CTA (80%)], medium-sized (3-6 cm) [DSA (59.5%); MRA (71.4%); CTA  (40%)], and had superficial venous drainage [DSA (59.5%); MRA (71.4%); CTAs (40%)].  The highest percentage of SM grade was grade III (31.6%), followed by grade IV (28.9%) and grade II (21.1%).

Conclusion

Knowledge of the profile of clinical characteristics and profile of imaging findings can  provide more knowledge to help doctors support the diagnosis of BAVM.

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Angelina Larasati Budiman
"Latar Belakang
Adenoma hipofisis merupakan jenis tumor hipofisis yang paling umum, yang menyebabkan efek massa dan ketidakseimbangan hormon. Gejala seperti gangguan ketajaman penglihatan (VA), cacat lapang pandang (VFD), dan sakit kepala mendorong pasien untuk mencari pertolongan medis. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis karakteristik, gejala, dan hasil akhir pasien adenoma hipofisis yang dirawat di Rumah Sakit Rujukan Nasional Cipto Mangunkusumo (RSCM) dari tahun 2018-2022, dengan fokus pada gejala penglihatan dan sakit kepala sebelum dan sesudah perawatan.
Metode
Penelitian observasional retrospektif dan potong lintang, ini meninjau catatan medis pasien adenoma hipofisis dari tahun 2018-2022 di RSCM. Awalnya, 241 pasien diidentifikasi, setelah menerapkan kriteria eksklusi untuk hasil patologi yang inkonklusif dan rekam medis tidak lengkap, berkurang menjadi 161 pasien. Data tentang demografi, karakteristik tumor, intervensi, dan keluhan utama dikumpulkan, dengan fokus pada gangguan penglihatan dan pola sakit kepala.
Hasil
Rata-rata usia pasien adalah 46,2 tahun, dengan sedikit dominasi perempuan (54,6%). Adenoma non-fungsional (NFA) mencakup 86,9% kasus, sedangkan prolaktinoma merupakan adenoma fungsional yang paling umum. Makroadenoma terdapat pada 96,9% pasien. Intervensi yang paling umum adalah operasi transsphenoidal. Gangguan lapang pandang (42,2%) dan sakit kepala merupakan gejala yang sering muncul. Pascaoperasi, sakit kepala berkurang secara signifikan, dengan perbaikan yang terlihat pada ketajaman penglihatan dan defek lapang pandang pada kunjungan tindak lanjut.
Kesimpulan
Sakit kepala dan gangguan penglihatan merupakan gejala yang paling umum pada pasien adenoma hipofisis di RSCM (2018-2022). Meskipun temuan tersebut menggarisbawahi pentingnya pemeriksaan diagnostik yang komprehensif, penelitian ini dibatasi desain retrospektif dan dokumentasi pasien yang tidak konsisten.

Background
Pituitary adenomas are the most common type of pituitary tumors, leading to mass effects and hormonal imbalances. Symptoms such as visual acuity (VA) disturbances, visual field defects (VFDs), and headaches prompt patients to seek medical attention. This study aims to analyze the characteristics, symptoms, and outcomes of pituitary adenoma patients treated at Cipto Mangunkusumo National Referral Hospital (RSCM) from 2018 to 2022, focusing on visual and headache symptoms pre- and post-treatment.
Methods
This retrospective, cross-sectional, observational study reviewed the medical records of pituitary adenoma patients from 2018 to 2022. Initially, 241 patients were identified, but after applying exclusion criteria for inconclusive pathology and incomplete records, 161 patients were included. Data on demographics, tumor characteristics, interventions, and chief complaints were collected, concentrating on visual disturbances and headache patterns.
Results
The average age of patients was 46.2 years, with a slight female predominance (54.6%). Non-functioning adenomas (NFA) accounted for 86.9% of cases, while prolactinomas were the most common functioning adenomas. Macroadenomas were present in 96.9% of patients. The most common intervention was transsphenoidal surgery. Visual field disturbances (42.2%) and headaches were the frequent presenting symptoms. Postoperatively, headaches decreased, with improvements noted in both visual acuity and field defects at follow-up visits.
Conclusion
Headaches and visual impairments were the most common symptoms in pituitary adenoma patients at RSCM (2018-2022). Although the findings underscore the importance of comprehensive diagnostic workups, the study's limitations include its retrospective design and inconsistent documentation. Future research should aim to standardize data collection for improved clinical management.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Hafif
"Pendahuluan: Arteriovenous malformation (AVM) serebral adalah kelainan vaskular di otak yang sering menyebabkan perdarahan intraserebral dan kejang, dengan prevalensi 10-18 per 100.000 orang pada populasi dewasa. Modalitas terapi meliputi observasi, reseksi bedah, bedah radiasi stereotaktik, dan embolisasi endovaskular. Studi ini bertujuan untuk mengevaluasi luaran klinis dan radiologis pasien AVM serebral setelah Gamma Knife Radiosurgery (GKRS) di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM).

Metode: Studi observasional kohort-retrospektif dilakukan pada pasien AVM serebral yang menjalani GKRS di RSCM antara 2018 dan 2022. Evaluasi klinis dan radiologis dilakukan pada 6 bulan, 1 tahun, 2 tahun, dan 3 tahun pasca tindakan. Pengambilan sampel menggunakan metode consecutive sampling berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi.

Hasil: Dari 41 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi, usia rerata pasien adalah 25,76 tahun dengan mayoritas laki-laki (63,45), gejala klinis yang paling umum adalah nyeri kepala dan kejang. Rata-rata tingkat obliterasi AVM setelah 1 tahun pasca-GKRS adalah 71,69%, meningkat menjadi 87,21% setelah 2 tahun, dan mencapai 91,07% setelah 3 tahun. Dalam evaluasi satu tahun pasca-GKRS, seluruh 41 pasien mengalami resolusi nyeri kepala. Sedangkan, dari 15 pasien yang mengalami kejang sebelum GKRS, hanya 2 pasien yang masih mengalami kejang dalam evaluasi 1 tahun setelah GKRS. Terdapat korelasi kuat antara tingkat obliterasi dan ukuran nidus <3cm (r=0.39) dan ukuran 3-6 cm (r=0.83). Selain itu, peningkatan tingkat obliterasi memiliki korelasi terhadap Spetzler-Martin (SM) Grade yang lebih rendah (p=0,001).

Pembahasan: Penelitian ini menunjukkan tingkat obliterasi yang tinggi pada pasien AVM serebral pasca-GKRS, terutama pada kelompok SM grade rendah dan ukuran nidus yang kecil. Meskipun demikian, perdarahan tetap merupakan risiko selama periode evaluasi pasca GKRS, terutama pada pasien dengan SM grade tinggi. Faktor seperti embolisasi sebelum GKRS tidak mempengaruhi tingkat obliterasi secara signifikan, sementara hubungan antara tingkat obliterasi dengan perbaikan klinis, seperti penurunan nyeri kepala, ditemukan bermakna.

Kesimpulan: Sebagai kesimpulan, ukuran nidus yang lebih kecil mempunyai korelasi signifikan dalam memprediksi obliterasi AVM serebral pasca GKRS. Meskipun GKRS dapat menjadi pilihan utama pada pasien dengan SM grade rendah dan ukuran nidus kecil, risiko perdarahan perlu dipertimbangkan selama pemantauan pasca tindakan. Perbaikan klinis, khususnya dalam mengurangi nyeri kepala, berkorelasi positif dengan tingkat obliterasi AVM setelah GKRS.


Introduction: Brain arteriovenous malformation (AVM) is a vascular disorder in the brain often associated with intracerebral hemorrhage and seizures, with a prevalence of 10-18 per 100,000 adults. Treatment modalities include observation, surgical resection, stereotactic radiosurgery, and endovascular embolization. This study aimed to evaluate the clinical and radiological outcomes of cerebral AVM patients after Gamma Knife Radiosurgery (GKRS) at Dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital (RSCM).

Methods: A retrospective cohort observational study was conducted on brain AVM patients who underwent GKRS at RSCM between 2018 and 2022. Clinical and radiological evaluations were performed at 6 months, 1 year, 2 years, and 3 years post-procedure. Sampling was conducted using consecutive sampling based on inclusion and exclusion criteria.

Results: Of the 41 patients meeting the inclusion and exclusion criteria, the mean age was 25.76 years with a predominance of males (63.45%). The most common clinical symptoms were headache and seizures. The average AVM obliteration rate after 1 year post-GKRS was 71.69%, increasing to 87.21% after 2 years, and reaching 91.07% after 3 years. At the one-year evaluation post-GKRS, all 41 patients experienced resolution of headaches. Among the 15 patients with pre-GKRS seizures, only 2 patients still experienced seizures at the 1-year evaluation post-GKRS. There was a strong correlation between obliteration rate and nidus size <3 cm (r=0.39) and size 3-6 cm (r=0.83). Furthermore, increased obliteration rates correlated with lower Spetzler-Martin (SM) Grade (p=0.001).

Discussion: This study demonstrates high obliteration rates in brain AVM patients after GKRS, particularly in the low SM grade and small nidus size groups. However, hemorrhage remains a risk during the post-GKRS evaluation period, especially in patients with high SM grades. Factors such as pre-GKRS embolization did not significantly affect obliteration rates, while a significant association between obliteration rate and clinical improvement, such as reduction in headaches, was found.

Conclusion: In conclusion, smaller nidus size significantly predicts brain AVM obliteration post-GKRS. Although GKRS may be the primary choice for patients with low SM grade and small nidus size, the risk of hemorrhage needs consideration during post-procedural monitoring. Clinical improvements, particularly in reducing headaches, positively correlate with AVM obliteration rates after GKRS."

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Haikal Irsyadi Hasbillah
"Latar Belakang Defek septum atrium (DSA) adalah kelainan jantung bawaan yang memengaruhi efisiensi jantung saat septum atrium tidak menutup saat lahir. Umum terjadi pada anak-anak dan terkait dengan faktor risiko seperti Sindrom Down, kelahiran prematur, berat badan lahir rendah, usia ibu muda, riwayat keluarga penyakit jantung bawaan, paparan rokok dan paparan alkohol ibu. Meskipun berbagai profil klinis anak dengan DSA terisolasi telah diteliti namum faktor risiko DSA di RSCM belum banyak diteliti. Metode Penelitian potong lintang ini melibatkan 39 pasien DSA terisolasi berusia 0-18 tahun di RSCM, bersama dengan 39 pasien pediatrik umum sebagai kontrol. Rekam medis dipilih secara acak, dan wawancara dilakukan untuk melengkapi data. SPSS versi 27 digunakan untuk analisis data melalui uji statistik, termasuk analisis univariat dan bivariat. Hasil Kelompok DSA terisolasi umumnya terdiri dari perempuan muda dengan berat badan rendah dan bising jantung derajat-III, dan berasal dari keluarga berpenghasilan menengah-rendah. Sindrom Down (nilai-p=0,007) dan kelahiran prematur (nilaip= 0,001) merupakan faktor risiko yang signifikan secara statistik untuk DSA terisolasi dalam populasi ini. Kesimpulan Sindrom Down dan kelahiran prematur terdapat hubungan signifikan dengan DSA. Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan sampel yang lebih besar untuk memperkuat bukti faktor risiko yang tidak signifikan secara statistik.

Introduction Atrial septal defect is a congenital heart defect that affects the efficiency of the heart when the atrial septum does not close at birth. It is common in children and is associated with risk factors such as Down Syndrome, premature birth, low birth weight, young maternal age, family history of congenital heart disease, smoking exposure and maternal alcohol exposure. Although various clinical profiles of children with isolated ASD have been studied, the risk factors for ASD in dr.Cipto-Mangunkusumo Hospital have not been widely studied. Method This cross-sectional study involved 39 isolated ASD patients aged 0-18 years at dr.Cipto- Mangunkusumo Hospital, along with 39 general pediatric patients as controls. Medical records were selected randomly, and interviews were conducted to complete the data. SPSS version 27 was used for data analysis through statistical tests, including univariate and bivariate analysis. Results The isolated ASD group generally consisted of young women with low body weight and grade-III heart murmurs, and came from middle/low-income families. Down syndrome (p-value=0.007) and preterm birth (p-value=0.001) were statistically significant risk factors for isolated ASD in this population. Conclusion Down syndrome and premature birth are significantly associated with isolated ASD. Further research with a larger sample is needed to strengthen the evidence for risk factors that are not statistically significant."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Baitil Atiq
"Latar belakang: Endokarditis infektif (EI) merupakan salah satu penyebab kesakitan dan kematian pada anak baik yang dengan penyakit jantung bawaan (PJB) maupun tanpa PJB. Insidens EI pada anak jarang dibandingkan orang dewasa, tetapi diprediksikan akan meningkat seiring meningkatnya kesintasan anak dengan PJB dan meningkatnya penggunaan kateter vena sentral. Saat ini belum ada data epidemiologi, karakteristik klinis dan mikrobiologis, serta luaran EI pada anak di Indonesia.
Tujuan: Mengetahui karakteristik, profil mikrobiologis serta luaran penyakit EI pada anak serta faktor-faktor yang memengaruhinya sehingga dapat menilai efektivitas terapi empiris yang digunakan saat ini.
Metode: Menggunakan desain potong lintang pada anak dengan EI usia 0-18 tahun yang dirawat di RSCM tahun 2014-2018. Data mengenai karakteristik klinis, pola kuman dan uji sensitivitasnya, serta luaran EI diperoleh melalui rekam medis pasien.
Hasil: Insidens EI di RSCM pada tahun 2014-2018 adalah 3,08 kasus per 10000 rawat inap anak. Insidens per tahun meningkat seiring dengan peningkatan jumlah rawat inap anak. Karakteristik klinis anak dengan EI di RSCM umumnya laki-laki berusia 5-18 tahun, dengan penyakit dasar PJB terutama ventricular septal defect  (VSD) dan tetralogy of fallot (TOF). Faktor risiko utama yang ditemukan adalah prosedur invasif dan pemasangan kateter vena sentral.  Sebagian besar biakan steril dengan bakteri terbanyak yang tumbuh adalah S. aureus yang resisten terhadap penisilin G dan ampisilin. Angka komplikasi pada EI di RSCM cukup tinggi yaitu 40,2% dengan angka mortalitas 5,9%. Tidak ditemukan perbedaan usia, jenis kelamin, penyakit dasar, dan ukuran vegetasi pada kelompok dengan dan tanpa komplikasi di RSCM. 
Kesimpulan: Terdapat peningkatan insidens EI pada anak dalam kurun waktu 5 tahun dengan etiologi utama S.aureus. Uji kepekaan antibiotik menunjukkan resistensi kuman terhadap antibiotik empirik yang digunakan. Angka komplikasi dan kematian pada anak masih cukup tinggi sehingga perlu dilakukan tindakan pencegahan yang tepat pada anak berisiko tinggi EI.

Background: Infective endocarditis (IE) is one of the cause of morbidity and mortality in children both with or without congenital heart disease (CHD). The incidence is much lower than adults but tends to increase along with improved survival rates of children with CHD and increased usage of central venous catheter in critically ill children. Nowadays, there is still no epidemiological data, clinical characteristics, microbiological profile, and outcomes of IE in children in Indonesia.
Objectives: To assess the recent trends in incidence, characterictics, microbiological profile and outcomeof infective endocarditis in children during the period  of 2014–2018.
Methods: Using cross sectional study design involving patients with IE aged 0-18 years old admitted in Cipto Mangunkusumo Hospital (CMH) in 2014-2018. Clinical data, microbiological profile, and outcomes of subjects with IE was obtained from electronic and printed medical record.
Results: Total incidence of IE in CMH in 5 years was 3.08 cases per 10000 pediatric admission with increasing trends along with increased total pediatric admission. Clinical characteristics was predominantly male, aged 5-18 years old, with CHD as underlying disease, especially ventricular septal defect  (VSD) and tetralogy of fallot (TOF). The most common predisposing factors were history of invasive procedure and indwelling central catheter. Most of cases were the blood culture negative IE with the majority of positive blood cultures isolated S.aureus resistant to penisilin G and ampisilin. There were high rates of complications (40.2%) leading to mortality (5.9%) in CMH. There was no significant difference in age, genders, underlying disease, and size of vegetation in both cases with or withot complication in CMH.
Conclusions: There were increasing trends of IE incidence in children during last five years with S.aureus as the most common causative agent. Antibiotic sensitivity test showed antibiotic resistant to the most common empirical antibiotics in the health care setting. Complication and mortality rates were still high, thus proper prophylactic procedure was needed to be considered in high risked population.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Swanty Chunnaedy
"Latar Belakang: Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan terminologi baru yang dikeluarkan oleh the National Kidney Foundation’s Kidney Disease and Outcome Quality Initiative (NKF KDOQI) pada tahun 2002 untuk pasien yang mengalami kerusakan ginjal paling sedikit selama tiga bulan dengan atau tanpa penurunan LFG atau pasien yang memiliki LFG < 60 mL/menit/1,73 m2 lebih dari tiga bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal. Progresivitas PGK ditentukan oleh beberapa faktor risiko seperti hipertensi, proteinuria, anemia, genetik, ras, usia dan jenis kelamin. Terminologi PGK belum banyak digunakan di Indonesia, sehingga karakteristik dan kesintasan PGK stadium 3 dan 4 pada anak belum banyak diteliti.
Tujuan: Mendapatkan karakteristik dan kesintasan PGK stadium 3 dan 4 pada anak yang berobat di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM
Metode: Desain penelitian ini adalah kohort prospektif historikal yang diambil dari rekam medis di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM sejak Januari 2004 hingga 30 November 2012, kemudian diamati luaran akhirnya sampai penelitian dinyatakan selesai. Kriteria pemilihan subjek meliputi usia 2-18 tahun dan memenuhi kriteria PGK stadium 3 dan 4 menurut NKF KDOQI. Data ditabulasi untuk melihat karakteristik subjek. Kesintasan dianalisis dengan menggunakan Kaplan Meier dengan event yang dinilai adalah PGK stadium 5 atau kematian.
Hasil: Dalam kurun waktu 8 tahun ditemukan 50 rekam medis yang masuk dalam analisis, terdiri atas 36 subjek PGK stadium 3 dan 14 subjek PGK stadium 4. Median usia adalah 7,9 (2-15) tahun dengan jenis kelamin perempuan (58 %) sedikit lebih banyak dari pada lelaki (42 %). Etiologi terbanyak adalah glomerulonefritis (56 %) dengan sindrom nefrotik memiliki proporsi terbesar. Gambaran klinis yang ditemukan adalah hipertensi (42 %), gizi kurang (40 %), anemia (70 %), gangguan elektrolit (78 %), asidosis (34 %), proteinuria (72 %), perawakan pendek (56 %), osteodistrofi renal (2 %), dan kardiomiopati dilatasi (14 %). Median kesintasan keseluruhan adalah 57,13 bulan (IK 95 % 11,18 sampai 103,09).
Simpulan: PGK stadium 3 dan 4 sedikit lebih banyak terjadi pada perempuan (58 %) dengan etiologi terbanyak adalah glomerulonefritis (56 %). Komplikasi PGK di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM yang paling sering adalah gangguan elektrolit (78 %), anemia (70 %), perawakan pendek (56 %), gizi kurang (46 %), dan hipertensi (42 %). Median kesintasan keseluruhan adalah 57,13 bulan (IK 95 % 11,18 sampai 103,09).

Background: Chronic kidney disease (CKD) is a new terminology in 2002, defined by the National Kidney Foundation Kidney Disease and Outcome Quality Initiative (NKF KDOQI) Group to classify any patient who has kidney damage lasting for at least 3 months with or without a decreased GFR or any patient who has a GFR of less than 60 mL/min per 1.73 m2 lasting for 3 months with or without kidney damage. The progression of established CKD is influenced by several risk factors, such as hypertension, proteinuria, anemia, genetic, race, age, and sex. In Indonesia, the term of CKD is not widely used so that its characteristic and renal survival remains sparse.
Objective: To find the characteristic and renal survival of pediatric chronic kidney disease in Cipto Mangunkusumo Hospital.
Methods: A historical prospective cohort study was conducted from medical record in Department of Child Health CMH from January 2004 to November 2012. The outcome was followed up until the end of the study. The inclusion criteria were 2-18 years old children with chronic kidney disease stage 3 and 4 according to NKF KDOQI classification. Renal survival was analyzed by using Kaplan Meier survival function. The event was progression to CKD stage 5 or death.
Results: A total of 50 medical records were included in the analysis. Of those, 36 patients had CKD stage 3 and 14 patients had CKD stage 4. The median age at admission was 7.9 (2 to 15) years and 58 % were female. The most common etiology was glomerulonephritis (56 %) where nephrotic syndrome was the most frequent cause. The common clinical manifestations were hypertension (42 %), malnourished (40 %), anemia (70 %), electrolyte disturbance (78 %), acidosis (34 %), proteinuria (72 %), short stature (56 %), renal osteodystrophy (2 %), and dilated cardiomyopathy (14 %). Overall renal survival was 57.13 months (CI 95 % 11.18 to 103.09).
Conclusion: CKD stage 3 and 4 are more common in female (58 %) with glomerulonephritis (56 %) is the most common etiology. The most frequent complications are electrolyte disturbance (78 %), anemia (70 %), short stature (56 %), malnourished (46 %), and hypertension (42 %). Overall renal survival is 57.13 months (CI 95 % 11.18 to 103.09).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2103
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amrina Rasyada
"Latar Belakang: Infeksi sitomegalovirus (CMV) telah menjadi masalah besar secara global dengan prevalens yang tinggi. Demam neutropenia merupakan kegawatdaruratan anak di bidang onkologi karena dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas, salah satu penyebabnya yaitu infeksi CMV. Mengingat tingginya seroprevalens CMV di Indonesia yang dapat meningkatkan angka kematian pasien keganasan, maka penting untuk memahami profil klinis, laboratoris, dan tata laksana infeksi CMV pada demam neutropenia. Tujuan: Untuk mengetahui prevalens, karakteristik klinis, laboratoris dan tata laksana infeksi CMV pada pasien anak dengan demam neutropenia karena keganasan. Metode: Penelitian ini merupakan uji observasional secara prospektif. Subyek yang diteliti adalah seluruh pasien demam neutropenia usia 1 bulan-18 tahun yang dirawat di bangsal anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta pada bulan Januari sampai dengan Mei 2024. Hasil: Terdapat 89 episode demam neutropenia yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, yang terjadi pada 71 pasien anak dengan median usia 6 tahun (5 bulan-16 tahun), lelaki 56,3%, dan tumor padat 53,5%. Kultur steril terbanyak yaitu darah (78,3%) dan urin (65,2%), dengan kultur positif terbanyak yaitu feses (100%), darah (21,7%), urin (34,8%), dan sputum (100%). Dari kultur yang positif, proporsi kuman terbanyak adalah Klebsiella pneumoniae (29%) dengan sensitivitas antibiotik tertinggi yaitu lini 1 gentamisin (50%), lini 2 sefoperazon sulbaktam (55,5%), dan lini 3 imipenem (72,2%). Terdapat 2 subyek dengan infeksi CMV berdasarkan PCR CMV dan peningkatan IgG 4 kali lipat dalam 4 minggu. Karekteristik klinis yang ditemukan yaitu demam neutropenia episode kedua, durasi demam 1,5 hari, suhu puncak demam 39,45oC, diare, muntah, pucat, dan perdarahan. Kedua subyek dengan status gizi baik. Karakteristik laboratoris yang ditemukan yaitu pansitopenia, peningkatan CRP, dan kultur yang negatif. Karakteristik tata laksana yang ditemukan yaitu pemberian antibiotik empiris, antijamur, dan antivirus valgansiklovir selama 14 hari. Kesimpulan: Prevalens infeksi CMV pada anak dengan demam neutropenia karena keganasan di RSCM sebesar 2,2%, dengan karakteristik klinis demam neutropenia episode kedua, durasi demam 1,5 hari, suhu puncak 39,45oC, gejala diare, muntah, pucat, dan perdarahan. Tidak terdapat karakteristik laboratoris dan tata laksana, tetapi ditemukan pansitopenia, peningkatan CRP, kultur negatif, dan pemberian valgansiklovir selama 14 hari. Hasil tambahan berupa proporsi kuman tertinggi pada pasien demam neutropenia yaitu Klebsiella pneumoniae dengan sensitivitas antibiotik tertinggi yaitu sefoperazon sulbaktam.

Background: Cytomegalovirus (CMV) infection has become a major problem globally with high prevalence. Neutropenic fever is a pediatric oncology emergency, increasing morbidity and mortality. CMV infection should be considered as a cause of neutropenic fever. Given the high CMV seroprevalence in Indonesia, which can increase cancer patient mortality, it is crucial to understand the clinical profile, laboratory findings, and management of CMV infection in neutropenic fever. Objective: To determine the prevalence, clinical, laboratory, and management characteristics of cytomegalovirus infection in pediatric patients with neutropenic fever due to malignancy. Methods: This research was an observational study prospectively. The subjects were all neutropenic fever patients aged 1 month-18 years who were hospitalized in the Cipto Mangunkusumo Hospital (CMH) pediatric wards from January to Mei 2024. Results: There were 89 episodes of neutropenic fever that met the inclusion and exclusion criteria, found in 71 pediatric patients, with median age was 6 years old (5 months-16 years old), male 56.3%, and solid tumor 53.5%. Sterile results were found in blood (78.3%) and urine (65.2%) cultures. Positive cultures were found in feces (100%), blood (21.7%), urine (34.8%), and sputum (100%). Klebsiella pneumoniae (29%) was the highest proportion of positive cultures with the highest sensitivity antibiotic in the first line was gentamicin (50%), second line cefoperazone sulbactam (55.5%), and third line imipenem (72.2%). Two subjects were CMV infection based on PCR CMV and IgG increasing 4 times in 4 weeks. Clinical characteristics were second episode of neutropenic fever, duration of fever 1.5 days, peak temperature 39.45oC, diarrhea, vomiting, pale, bleeding, and both had good nutritional status. Laboratory characteristics showed pancytopenia, increasing CRP, and negative culture. Management characteristics included empirical antibiotic, antifungal, and antiviral valganciclovir for 14 days. Conclusion: The prevalence of CMV infection in neutropenic fever at CMH was 2.2%. Clinical characteristics were second episode of neutropenic fever, duration of fever 1.5 days, peak temperature 39.45oC, diarrhea, vomiting, pale, and bleeding. There is no laboratory and management characteristics, but found pancytopenia, increased CRP, negative culture, and administering valganciclovir for 14 days. The additional result was Klebsiella pneumoniae as the highest microbe with the highest antibiotic sensitivity was cefoperazone sulbactam."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hesty Lidya Ningsih
"Latar Belakang: Enzim O6-methylguanine-DNA methyltransferase MGMT merupakan suatu DNA-repair enzyme yang dapat menghambat proses kematian sel tumor akibat proses alkilasi oleh zat alkilasi termasuk zat kemoterapi. Enzim ini berhubungan dengan mekanisme pertahanan tumor terhadap zat kemoterapi. Eskpresi dari enzim MGMT ini ditemukan tinggi pada pada berbagai tumor termasuk glioma. Metilasi promoter MGMT mengakibatkan gen dalam sel tumor berhenti menghasilkan MGMT. Adanya metilasi dari promoter MGMT dihubungkan dengan respon yang lebih baik terhadap zat alkilasi termasuk kemoterapi. Status metilasi dari promoter MGMT pada pasien glioma dapat digunakan untuk memperkirakan efektifitas kemoterapi dengan zat alkilasi.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil enzim O6-methylguanine-DNA methyltransferase MGMT pada pasien glioma derajat tinggi dan glioma derajat rendah dan karakteristik pasien glioma di Departemen Bedah Saraf RS Cipto Mangunkusumo Jakarta.
Metode: Peneliti mengumpulkan data profil MGMT yang diperiksa menggunakan methylation-specific polymerase chain reaction pada pasien glioma derajat tinggi dan glioma derajat rendah yang menjalani pembedahan di Departemen Bedah Saraf Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta dalam periode 1 tahun. Data berupa usia, jenis kelamin, Karnofsky Performance Scale KPS, and derajat serta jenis histopatologi tumor dikumpulkan.
Hasil: Dalam periode 1 tahun terdapat 17 pasien dengan hasil histopatologi glioma derajat tinggi dan derajat rendah yang masuk kriteria inklusi. Promoter MGMT termetilasi ditemukan pada 11 pasien 64,7 dan tidak termetilasi pada 6 pasien 35,3. Promoter MGMT termetilasi methylated MGMT lebih banyak didapatkan pada pasien berusia ge; 40 tahun dibandingkan pasien yang berusia < 40 tahun 85,7 vs 50 dan pada pasien laki-laki dibandingkan perempuan 77,7 vs 50. Sedangkan berdasarkan KPS, promoter MGMT termetilasi ditemukan lebih banyak pada pasien dengan KPS > 70 dibandingkan dengan KPS le; 70 70 vs 57,1. Berdasarkan derajat keganasan, promoter MGMT termetilasi ditemukan lebih banyak ditemukan pada glioma derajat rendah WHO grade II dibandingkan pada glioma derajat tinggi WHO grade III dan IV 85,7 vs 50. Pada glioma derajat tinggi, promoter MGMT termetilasi ditemukan lebih banyak pada astrositoma/oligoastrositoma anaplastik WHO grade III dibandingkan glioblastoma WHO grade IV 66,6 vs 42,8. Pada glioma derajat rendah, promoter MGMT termetilasi ditemukan lebih banyak pada oligoastrositoma dibandingkan astrositoma difus 100 vs 75.
Kesimpulan: Promoter MGMT termetilasi lebih sedikit ditemukan pada derajat tumor yang lebih tinggi WHO grade IV, KPS yang rendah, usia lebih muda saat diagnosis dan pasien wanita, meskipun perbedaannya belum dibuktikan signifikan secara statistik. Promoter MGMT termetilasi ditemukan lebih banyak pada tumor dengan komponen oligodendroglioma. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih besar untuk menentukan apakah metilasi promoter MGMT memiliki hubungan yang signifikan dengan faktor-faktor tersebut.

Background: O6 methylguanine DNA methyltransferase MGMT is a DNA repair enzyme that correlates with resistance mechanism of tumors to chemotherapy. MGMT inhibits the killing process of tumor cells by alkylating agents including chemotherapy MGMT expression has been noted higher in several tumors including glioma.. Methylation of MGMT promoter inhibits the cells to produce MGMT. Methylation status of the MGMT promoter in gliomas is useful to predict the effectiveness of chemotherapy with alkylating agents.
Objective: The purpose of this study was to evaluate profile of MGMT enzyme and characteristic of low grade and high grade glioma patients in Neurosurgery Department of Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta.
Methods: We evaluated data of MGMT promoter methylation status from methylation specific polymerase chain reaction result in low grade and high glioma patients who underwent surgical resection in Department of Neurosurgery, Cipto Mangunkusomo Hospital Jakarta. Demographic characteristic and clinical data of glioma patiens including age, sex, Karnofsky Performance Scale KPS, and grading of tumor were collected.
Results: In one year period, there are 17 patients with pathological finding of low grade and high grade gliomas met criteria of inclusion. Methylated MGMT promoter was found in 11 patients 64.7 and unmethylated in 6 patients 35.3. MGMT promoter methylation was observed more often in patients diagnosed in age more than 40 years old than in patient less than 40 years old 85,7 vs 50, and men than women 77,7 vs 50. In patients with KPS more than 70 and KPS 70 or less, methylation of MGMT promoter was observed in 70 and 57,1, respectively. Base on tumors grading, MGMT promoter methylation was observed more often in low grade gliomas WHO grade II than high grade gliomas WHO grade II and IV 85,7 vs 50. In high grade glioma, methylation was observed more often in grade III tumors anaplastic astrocytomas oligoastrocytomas than grade IV tumors glioblastomas 66,6 vs 42,8. In low grade gliomas, methylation was observed more in oligoastrocytomas than difus astrocytomas 100 vs 75.
Conclusions. MGMT promoter methylation was observed less in higher grade of tumors grade IV, lower KPS, younger age at time of diagnosis and female patients, although the differences were not statistically significant. MGMT promoter methylation was observed more often in gliomas with oligodendroglioma component. Further and larger scale of research is needed to determine whether MGMT promoter methylation significantly correlates with these factors.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Taqwa Rizki Fadhilah
"Latar Belakang: Nyeri tulang belakang adalah masalah umum di kalangan orang dewasa. Ini dapat mengakibatkan pembatasan aktivitas dan absensi pekerjaan. Penyakit tulang belakang lainnya seperti nyeri leher dan nyeri pinggang juga menjadi masalah kesehatan masyarakat yang meningkat, terutama di kalangan remaja. Penyakit tulang belakang dapat disebabkan oleh kerusakan tulang belakang atau saraf yang menyebabkan rasa sakit dan gangguan stabilitas tulang belakang. Di Indonesia, nyeri punggung sering diabaikan atau diobati sendiri sehingga menyebabkan keterlambatan dalam penanganan yang tepat. Masih kurang penelitian tentang profil operasi tulang belakang di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan sedikit data epidemiologis penyakit tulang belakang yang dipublikasikan di Indonesia.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional retrospektif terhadap pasien bedah tulang belakang di departemen bedah saraf RSCM dari Januari 2018 hingga Desember 2022 yang bertujuan untuk menggambarkan profil demografi, presentasi klinis, dan waktu antara gejala pertama dan operasi pasien. Data akan dikumpulkan dari semua rekam medis yang tersedia dan dianalisis menggunakan IBM SPSS Statistik 24.0. Data tersebut akan ditabulasikan dan disajikan secara deskriptif.
Hasil: Penelitian ini melibatkan 363 pasien, dengan usia rata-rata 46,55 ± 15,732 tahun. Mayoritas pasien (41,1%) mengalami keterlambatan lebih dari 12 bulan antara onset gejala pertama dan operasi. Gejala klinis yang paling umum adalah defisit sensorik bilateral (44,6%) dan nyeri radikular (29,2%), dan penyakit tulang belakang degeneratif, terutama degenerasi lumbal (25,4%), adalah etiologi yang paling umum.
Kesimpulan: Penelitian ini menggarisbawahi prevalensi penyakit tulang belakang degeneratif dan menyoroti pentingnya diagnosis dan intervensi tepat waktu untuk meningkatkan hasil bedah untuk kondisi penytulang belakang di Indonesia.

Introduction: Back pain is a common issue among adults. It can result in activity restrictions and job absences. Other spinal diseases such as neck pain and low back pain are also becoming a rising public health concern, especially among teenagers. The number of spinal surgeries has almost doubled from 2004 to 2015. Spinal disease can be caused by damage to the spine or nerves, leading to pain and impaired spinal stability. In Indonesia, back pain is often ignored or self-treated, leading to a delay in proper treatment. There is a lack of studies on the profiles and outcomes of spinal surgeries in Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM) and little to no published epidemiological data of spinal diseases in Indonesia.
Method: This study is a retrospective observational study of spinal surgery patients at the department of neurosurgery RSCM from January 2018 to December 2022 that aims to describe demographic profiles, clinical presentations, and time between first symptoms and surgery of the patients. The data will be collected from all available medical records and analyzed using IBM SPSS Statistics 24.0.  The data will be tabulated and presented in a descriptive manner.
Results: The study included 363 patients, with a mean age of 46.55 ± 15.732 years. The majority of patients (41.1%) experienced delays of more than 12 months between first symptom onset and surgery. The most common clinical symptoms were bilateral sensoric deficits (44.6%) and radicular pain (29.2%). Degenerative spinal diseases, particularly lumbar degeneration (25.4%), were the most common etiology.
Conclusion: The findings underscores the prevalence of degenerative spinal diseases and highlights the importance of timely diagnosis and intervention to improve surgical outcomes for spinal conditions in Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>