Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 204907 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nadia Khairan Wibowo
"Latar Belakang Kelainan bawaan bertanggung jawab atas 11,3% kematian bayi di dunia. Di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, neural tube defect merupakan jenis kelainan bawaan yang berperan penting dalam kecacatan dan kematian neonatus, yaitu sekitar 17% hingga 70% dari seluruh kematian akibat kelainan bawaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil karakteristik klinis dan tata laksana anak dengan neural tube defect di Departemen Bedah Saraf FKUI-RSCM pada tahun 2018–2022. Metode Desain penelitian ini adalah deskriptif observasional dengan metode penelitian potong lintang. Hasil Jenis kelamin yang paling banyak ditemukan adalah perempuan (51,7%). Jaminan kesehatan yang paling banyak digunakan adalah BPJS (94,8%) dengan rujukan paling banyak berasal dari fasilitas kesehatan di wilayah Jabodetabek (65,5%). Jenis NTD yang paling banyak ditemukan adalah myelomeningocele (25,9%), lipomyelomeningocele (24,1%), dan encephalocele occipital (20,7%). Faktor risiko maternal yang teridentifikasi adalah usia maternal > 35 tahun (12,1%). Proporsi ibu yang rutin mengonsumsi vitamin hamil sejak prekonsepsi sangat rendah (1,7%). Riwayat infeksi saat hamil ditemukan pada sebagian kecil kasus (3,4%) sedangkan riwayat kontak ibu dengan unggas atau hewan peliharaan cukup banyak ditemukan (22,4%). Waktu tahu hamil paling banyak saat usia kehamilan < 5 minggu (55,2%). Riwayat keluarga dengan NTD, riwayat diabetes pregestasional, dan riwayat konsumsi obat antiepilepsi maternal tidak ditemukan. Jenis operasi yang paling banyak dilakukan adalah rekonstruksi tutup defek. Sebagian besar operasi untuk NTD bersifat elektif (89,7%). Kesimpulan Jenis NTD yang paling banyak ditemukan adalah myelomeningocele, lipomyelomeningocele, dan encephalocele occipital dengan jenis operasi tersering berupa rekonstruksi tutup defek.

Introduction Birth defects are responsible for 11.3% of infant deaths worldwide. In low- and middle-income countries, neural tube defect are a type of birth defect that plays an important role in neonatal disability and death, accounting for around 17% to 70% of all deaths due to birth defect. This study aims to determine the clinical and therapeutic profile of children with neural tube defects in the Department of Neurosurgery at Cipto Mangunkusumo Hospital, Indonesia, period 2018–2022. Method The design used in this research is descriptive observational with cross-sectional research method. Results The most common gender found was female (51.7%). The most widely used health insurance was BPJS (94.8%) with most referrals coming from health facilities in the Jabodetabek area (65.5%). The most common types of NTD were myelomeningocele (25.9%), lipomyelomeningocele (24.1%), and occipital encephalocele (20.7%). The maternal risk factor identified was maternal age > 35 years (12.1%). The proportion of mothers who regularly take pregnancy vitamins since preconception was very low (1.7%). A history of infection during pregnancy was found in a small number of cases (3.4%) while a history of maternal contact with poultry or pets was quite common (22.4%). The most common time the mothers knew that they’re pregnant was when the gestational age was < 5 weeks (55.2%). Family history of NTDs, history of pregestational diabetes, and history of maternal antiepileptic drug consumption were not found. The most common type of surgery performed was repair of the defect. Most operations for NTDs were elective (89.7%). Conclusion The most common types of NTD found were myelomeningocele, lipomyelomeningocele, and occipital encephalocele while the type of surgery most frequently performed was repair of the defect."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bryanna Infinita Laviashna Saputro
"

Latar Belakang

Brain Arteriovenous Malformation (BAVM) merupakan salah satu anomali vaskular pada otak yang dapat menyebabkan berbagai komplikasi. Baku emas untuk mendeteksi BAVM adalah dengan digital subtraction angiography (DSA), namun modalitas ini tidak tersedia secara luas di Indonesia. Penelitian ini disusun untuk memberikan gambaran profil karakteristik klinis dan temuan dari DSA, CT-Angiography (CTA), dan MR-Angiography (MRA) dalam sesuai penilaian Grade Spezler-Martin.

Metode

Data rekam medis dan hasil pencitraan kasus BAVM dengan DSA disertai atau tidak pemeriksaan MRA atau CTA didapat dari Departemen Bedah Saraf RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada periode 2018-2022. Kasus yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi disertakan penelitian deskriptif obserasional ini.

Hasil

Terdapat total 37 subjek pada penelitian ini. Kasus BAVM didominasi oleh laki-laki (62,2%) dan lebih banyak pada pasien dewasa berusia >18 tahun (75,7%). Hampir seluruh pasien menggunakan jaminan kesehatan BPJS (94,6%) dan asal rujukan terbanyak adalah dari Jabodetabek (54,1%). Gejala terbanyak pada pasien adalah nyeri kepala 59,4%), diikuti dengan kesadaran terganggu (37,8%) dan kejang (35,1%). Temuan DSA tidak berbeda jauh dengan temuan MRA dan CTA. Hampir seluruh pasien memiliki feeding artery [DSA (97,3%); CTA dan MRA (100%)], mayoritas terdapat lokasi eloquent [DSA (67,6%); MRA (71,4%); CTA (80%)], berukuran sedang (3-6 cm) [DSA (59,5%); MRA (71,4%); CTA (40%)], dan memiliki drainase vena superficial [DSA (59,5%); MRA (71,4%); CTA (40%)]. Presentase grade SM terbanyak adalah grade III (31,6%), diikuti oleh grade IV (28,9%) dan grade II (21,1%).

Kesimpulan

Pengetahuan akan profil karakteristik klinis dan profil temuan pencitraan dapat memberikan pengetahuan lebih untuk membantu dokter menunjang diagnosis BAVM.


Background

Brain Arteriovenous Malformation (BAVM) is a vascular anomaly in the brain that can cause various complications. The gold standard for detecting BAVM is digital subtraction angiography (DSA), but this modality is not widely available in Indonesia. This study was designed to provide an overview of the profile of clinical characteristics and findings from DSA, CT-Angiography (CTA), and MR-Angiography (MRA) in accordance with the Spezler-Martin Grade assessment.

Method

Medical record data and imaging results of BAVM cases with DSA accompanied/not by MRA or CTA examination were obtained from the Department of Neurosurgery, RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) in the 2018-2022 period. Cases that met the inclusion and exclusion criteria were included in this observational descriptive study.

Results

There was a total of 37 subjects in this study. BAVM cases are dominated by men (62.2%) and are more common in adult patients aged >18 years (75.7%). Almost all patients use BPJS health insurance (94.6%) and the highest number of referrals is from Jabodetabek (54.1%). The most common symptom in patients was headache, 59.4%), followed by impaired consciousness (37.8%) and seizures (35.1%). DSA findings do not differ much from MRA and CTA findings. Almost all patients had a feeding artery [DSA (97.3%); CTA and MRA (100%)], the majority had eloquent locations [DSA (67.6%); MRA (71.4%); CTA (80%)], medium-sized (3-6 cm) [DSA (59.5%); MRA (71.4%); CTA  (40%)], and had superficial venous drainage [DSA (59.5%); MRA (71.4%); CTAs (40%)].  The highest percentage of SM grade was grade III (31.6%), followed by grade IV (28.9%) and grade II (21.1%).

Conclusion

Knowledge of the profile of clinical characteristics and profile of imaging findings can  provide more knowledge to help doctors support the diagnosis of BAVM.

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Haikal Irsyadi Hasbillah
"Latar Belakang Defek septum atrium (DSA) adalah kelainan jantung bawaan yang memengaruhi efisiensi jantung saat septum atrium tidak menutup saat lahir. Umum terjadi pada anak-anak dan terkait dengan faktor risiko seperti Sindrom Down, kelahiran prematur, berat badan lahir rendah, usia ibu muda, riwayat keluarga penyakit jantung bawaan, paparan rokok dan paparan alkohol ibu. Meskipun berbagai profil klinis anak dengan DSA terisolasi telah diteliti namum faktor risiko DSA di RSCM belum banyak diteliti. Metode Penelitian potong lintang ini melibatkan 39 pasien DSA terisolasi berusia 0-18 tahun di RSCM, bersama dengan 39 pasien pediatrik umum sebagai kontrol. Rekam medis dipilih secara acak, dan wawancara dilakukan untuk melengkapi data. SPSS versi 27 digunakan untuk analisis data melalui uji statistik, termasuk analisis univariat dan bivariat. Hasil Kelompok DSA terisolasi umumnya terdiri dari perempuan muda dengan berat badan rendah dan bising jantung derajat-III, dan berasal dari keluarga berpenghasilan menengah-rendah. Sindrom Down (nilai-p=0,007) dan kelahiran prematur (nilaip= 0,001) merupakan faktor risiko yang signifikan secara statistik untuk DSA terisolasi dalam populasi ini. Kesimpulan Sindrom Down dan kelahiran prematur terdapat hubungan signifikan dengan DSA. Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan sampel yang lebih besar untuk memperkuat bukti faktor risiko yang tidak signifikan secara statistik.

Introduction Atrial septal defect is a congenital heart defect that affects the efficiency of the heart when the atrial septum does not close at birth. It is common in children and is associated with risk factors such as Down Syndrome, premature birth, low birth weight, young maternal age, family history of congenital heart disease, smoking exposure and maternal alcohol exposure. Although various clinical profiles of children with isolated ASD have been studied, the risk factors for ASD in dr.Cipto-Mangunkusumo Hospital have not been widely studied. Method This cross-sectional study involved 39 isolated ASD patients aged 0-18 years at dr.Cipto- Mangunkusumo Hospital, along with 39 general pediatric patients as controls. Medical records were selected randomly, and interviews were conducted to complete the data. SPSS version 27 was used for data analysis through statistical tests, including univariate and bivariate analysis. Results The isolated ASD group generally consisted of young women with low body weight and grade-III heart murmurs, and came from middle/low-income families. Down syndrome (p-value=0.007) and preterm birth (p-value=0.001) were statistically significant risk factors for isolated ASD in this population. Conclusion Down syndrome and premature birth are significantly associated with isolated ASD. Further research with a larger sample is needed to strengthen the evidence for risk factors that are not statistically significant."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Swanty Chunnaedy
"Latar Belakang: Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan terminologi baru yang dikeluarkan oleh the National Kidney Foundation’s Kidney Disease and Outcome Quality Initiative (NKF KDOQI) pada tahun 2002 untuk pasien yang mengalami kerusakan ginjal paling sedikit selama tiga bulan dengan atau tanpa penurunan LFG atau pasien yang memiliki LFG < 60 mL/menit/1,73 m2 lebih dari tiga bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal. Progresivitas PGK ditentukan oleh beberapa faktor risiko seperti hipertensi, proteinuria, anemia, genetik, ras, usia dan jenis kelamin. Terminologi PGK belum banyak digunakan di Indonesia, sehingga karakteristik dan kesintasan PGK stadium 3 dan 4 pada anak belum banyak diteliti.
Tujuan: Mendapatkan karakteristik dan kesintasan PGK stadium 3 dan 4 pada anak yang berobat di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM
Metode: Desain penelitian ini adalah kohort prospektif historikal yang diambil dari rekam medis di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM sejak Januari 2004 hingga 30 November 2012, kemudian diamati luaran akhirnya sampai penelitian dinyatakan selesai. Kriteria pemilihan subjek meliputi usia 2-18 tahun dan memenuhi kriteria PGK stadium 3 dan 4 menurut NKF KDOQI. Data ditabulasi untuk melihat karakteristik subjek. Kesintasan dianalisis dengan menggunakan Kaplan Meier dengan event yang dinilai adalah PGK stadium 5 atau kematian.
Hasil: Dalam kurun waktu 8 tahun ditemukan 50 rekam medis yang masuk dalam analisis, terdiri atas 36 subjek PGK stadium 3 dan 14 subjek PGK stadium 4. Median usia adalah 7,9 (2-15) tahun dengan jenis kelamin perempuan (58 %) sedikit lebih banyak dari pada lelaki (42 %). Etiologi terbanyak adalah glomerulonefritis (56 %) dengan sindrom nefrotik memiliki proporsi terbesar. Gambaran klinis yang ditemukan adalah hipertensi (42 %), gizi kurang (40 %), anemia (70 %), gangguan elektrolit (78 %), asidosis (34 %), proteinuria (72 %), perawakan pendek (56 %), osteodistrofi renal (2 %), dan kardiomiopati dilatasi (14 %). Median kesintasan keseluruhan adalah 57,13 bulan (IK 95 % 11,18 sampai 103,09).
Simpulan: PGK stadium 3 dan 4 sedikit lebih banyak terjadi pada perempuan (58 %) dengan etiologi terbanyak adalah glomerulonefritis (56 %). Komplikasi PGK di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM yang paling sering adalah gangguan elektrolit (78 %), anemia (70 %), perawakan pendek (56 %), gizi kurang (46 %), dan hipertensi (42 %). Median kesintasan keseluruhan adalah 57,13 bulan (IK 95 % 11,18 sampai 103,09).

Background: Chronic kidney disease (CKD) is a new terminology in 2002, defined by the National Kidney Foundation Kidney Disease and Outcome Quality Initiative (NKF KDOQI) Group to classify any patient who has kidney damage lasting for at least 3 months with or without a decreased GFR or any patient who has a GFR of less than 60 mL/min per 1.73 m2 lasting for 3 months with or without kidney damage. The progression of established CKD is influenced by several risk factors, such as hypertension, proteinuria, anemia, genetic, race, age, and sex. In Indonesia, the term of CKD is not widely used so that its characteristic and renal survival remains sparse.
Objective: To find the characteristic and renal survival of pediatric chronic kidney disease in Cipto Mangunkusumo Hospital.
Methods: A historical prospective cohort study was conducted from medical record in Department of Child Health CMH from January 2004 to November 2012. The outcome was followed up until the end of the study. The inclusion criteria were 2-18 years old children with chronic kidney disease stage 3 and 4 according to NKF KDOQI classification. Renal survival was analyzed by using Kaplan Meier survival function. The event was progression to CKD stage 5 or death.
Results: A total of 50 medical records were included in the analysis. Of those, 36 patients had CKD stage 3 and 14 patients had CKD stage 4. The median age at admission was 7.9 (2 to 15) years and 58 % were female. The most common etiology was glomerulonephritis (56 %) where nephrotic syndrome was the most frequent cause. The common clinical manifestations were hypertension (42 %), malnourished (40 %), anemia (70 %), electrolyte disturbance (78 %), acidosis (34 %), proteinuria (72 %), short stature (56 %), renal osteodystrophy (2 %), and dilated cardiomyopathy (14 %). Overall renal survival was 57.13 months (CI 95 % 11.18 to 103.09).
Conclusion: CKD stage 3 and 4 are more common in female (58 %) with glomerulonephritis (56 %) is the most common etiology. The most frequent complications are electrolyte disturbance (78 %), anemia (70 %), short stature (56 %), malnourished (46 %), and hypertension (42 %). Overall renal survival is 57.13 months (CI 95 % 11.18 to 103.09).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2103
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hesty Lidya Ningsih
"Latar Belakang: Enzim O6-methylguanine-DNA methyltransferase MGMT merupakan suatu DNA-repair enzyme yang dapat menghambat proses kematian sel tumor akibat proses alkilasi oleh zat alkilasi termasuk zat kemoterapi. Enzim ini berhubungan dengan mekanisme pertahanan tumor terhadap zat kemoterapi. Eskpresi dari enzim MGMT ini ditemukan tinggi pada pada berbagai tumor termasuk glioma. Metilasi promoter MGMT mengakibatkan gen dalam sel tumor berhenti menghasilkan MGMT. Adanya metilasi dari promoter MGMT dihubungkan dengan respon yang lebih baik terhadap zat alkilasi termasuk kemoterapi. Status metilasi dari promoter MGMT pada pasien glioma dapat digunakan untuk memperkirakan efektifitas kemoterapi dengan zat alkilasi.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil enzim O6-methylguanine-DNA methyltransferase MGMT pada pasien glioma derajat tinggi dan glioma derajat rendah dan karakteristik pasien glioma di Departemen Bedah Saraf RS Cipto Mangunkusumo Jakarta.
Metode: Peneliti mengumpulkan data profil MGMT yang diperiksa menggunakan methylation-specific polymerase chain reaction pada pasien glioma derajat tinggi dan glioma derajat rendah yang menjalani pembedahan di Departemen Bedah Saraf Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta dalam periode 1 tahun. Data berupa usia, jenis kelamin, Karnofsky Performance Scale KPS, and derajat serta jenis histopatologi tumor dikumpulkan.
Hasil: Dalam periode 1 tahun terdapat 17 pasien dengan hasil histopatologi glioma derajat tinggi dan derajat rendah yang masuk kriteria inklusi. Promoter MGMT termetilasi ditemukan pada 11 pasien 64,7 dan tidak termetilasi pada 6 pasien 35,3. Promoter MGMT termetilasi methylated MGMT lebih banyak didapatkan pada pasien berusia ge; 40 tahun dibandingkan pasien yang berusia < 40 tahun 85,7 vs 50 dan pada pasien laki-laki dibandingkan perempuan 77,7 vs 50. Sedangkan berdasarkan KPS, promoter MGMT termetilasi ditemukan lebih banyak pada pasien dengan KPS > 70 dibandingkan dengan KPS le; 70 70 vs 57,1. Berdasarkan derajat keganasan, promoter MGMT termetilasi ditemukan lebih banyak ditemukan pada glioma derajat rendah WHO grade II dibandingkan pada glioma derajat tinggi WHO grade III dan IV 85,7 vs 50. Pada glioma derajat tinggi, promoter MGMT termetilasi ditemukan lebih banyak pada astrositoma/oligoastrositoma anaplastik WHO grade III dibandingkan glioblastoma WHO grade IV 66,6 vs 42,8. Pada glioma derajat rendah, promoter MGMT termetilasi ditemukan lebih banyak pada oligoastrositoma dibandingkan astrositoma difus 100 vs 75.
Kesimpulan: Promoter MGMT termetilasi lebih sedikit ditemukan pada derajat tumor yang lebih tinggi WHO grade IV, KPS yang rendah, usia lebih muda saat diagnosis dan pasien wanita, meskipun perbedaannya belum dibuktikan signifikan secara statistik. Promoter MGMT termetilasi ditemukan lebih banyak pada tumor dengan komponen oligodendroglioma. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih besar untuk menentukan apakah metilasi promoter MGMT memiliki hubungan yang signifikan dengan faktor-faktor tersebut.

Background: O6 methylguanine DNA methyltransferase MGMT is a DNA repair enzyme that correlates with resistance mechanism of tumors to chemotherapy. MGMT inhibits the killing process of tumor cells by alkylating agents including chemotherapy MGMT expression has been noted higher in several tumors including glioma.. Methylation of MGMT promoter inhibits the cells to produce MGMT. Methylation status of the MGMT promoter in gliomas is useful to predict the effectiveness of chemotherapy with alkylating agents.
Objective: The purpose of this study was to evaluate profile of MGMT enzyme and characteristic of low grade and high grade glioma patients in Neurosurgery Department of Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta.
Methods: We evaluated data of MGMT promoter methylation status from methylation specific polymerase chain reaction result in low grade and high glioma patients who underwent surgical resection in Department of Neurosurgery, Cipto Mangunkusomo Hospital Jakarta. Demographic characteristic and clinical data of glioma patiens including age, sex, Karnofsky Performance Scale KPS, and grading of tumor were collected.
Results: In one year period, there are 17 patients with pathological finding of low grade and high grade gliomas met criteria of inclusion. Methylated MGMT promoter was found in 11 patients 64.7 and unmethylated in 6 patients 35.3. MGMT promoter methylation was observed more often in patients diagnosed in age more than 40 years old than in patient less than 40 years old 85,7 vs 50, and men than women 77,7 vs 50. In patients with KPS more than 70 and KPS 70 or less, methylation of MGMT promoter was observed in 70 and 57,1, respectively. Base on tumors grading, MGMT promoter methylation was observed more often in low grade gliomas WHO grade II than high grade gliomas WHO grade II and IV 85,7 vs 50. In high grade glioma, methylation was observed more often in grade III tumors anaplastic astrocytomas oligoastrocytomas than grade IV tumors glioblastomas 66,6 vs 42,8. In low grade gliomas, methylation was observed more in oligoastrocytomas than difus astrocytomas 100 vs 75.
Conclusions. MGMT promoter methylation was observed less in higher grade of tumors grade IV, lower KPS, younger age at time of diagnosis and female patients, although the differences were not statistically significant. MGMT promoter methylation was observed more often in gliomas with oligodendroglioma component. Further and larger scale of research is needed to determine whether MGMT promoter methylation significantly correlates with these factors.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurhasan
"[ABSTRACT
Background : Spontaneous intracerebral hemorrhage is responsible for 10-15 % of stroke cases and associates with higher mortality rate compared to ischemic stroke or subarachnoid hemorrhage. The causative in 70-80% cases is caused by hypertension or amyloid angiopathy cerebral.
With mortality rate up to 40-50%, identification of risk factor that can be modified is crucial. Hypertension posed as a modifiable risk factor and contribute as the highest caused for spontaneous intracerebral hemorrhage. With the better control of the blood pressure we can lowering the risk of spontaneous intracerebral hemorrhage. In geriatric patients the risk can be lowered up to 50% if we could control the systolic blood pressure. Overall the relative risk of hypertensive patients compared to normotensive patients is about 3.9 ? 13.3. Men are more prone to intracerebral hemorrhage than women.
Clinical evaluation and diagnosis of spontaneous cerebral hemorrhage are based on clinical examination and other additional examination. The clinical exam is depend on the location and volume of hematome. For the additional exam, computed tomography scan can be done to detect the hemmorhage. Based on it?s location, spontaneous intracerebral hemorrhage can be classified into lobar, ganglia basal, thalamic, pons and cerebellar. Methods : This is a descriptive study with cross-sectional approach. The data in this study are gotten from the medical record unit of Cipto Mangunkusumo National Hospital. The population in this study are all of the spontaneous intracerebral hemorrhage patients which being consulted to the Neurosurgery Departement of Cipto Mangunkusumo National Hospital during January 2013 until August 2014 periods.
The method for getting the sample in this study is using consecutive sampling. The inclusion criteria in this study is spontaneous intracerebral hemorrhage cases which proven using CT scan and consulted to the Neurosurgery Departement of Cipto Mangunkusumo National Hospital during January 2013 until August 2014 periods. The exclusion criteria in this study is the patient that does not have complete data in the medical record. Results : In this study, there are 29 cases in male (63%) and 17 cases in female (37%) that diagnosed with the spontaneus intracerebral hemorrhage. For the location of hemorrhage, there are 19 cases located on basal ganglia (41,3%), 21 cases located on lobar (45,7%), 5 cases located on thalamus (10,9%) and 1 case located on cerebellum (2,1%).
From the bivariate analysis, we found that there is correlation between operative procedure to length of stay (p=0,012). But there are not any correlation between operative procedure to glasgow outcome scale (GOS) (p=0,708) and to the mortality outcome (p=0,472). There are not any correlation between the onset of PISS to the mortality outcome (p=0,09) and history of hipertension with mortality outcome (p=1,00). We found that there is correlation between glasgow coma scale (GCS) and mortality outcome (p=0,013). Based on the hemorrhage location, there is not any correlation between the location and the mortality outcome. (p=0,370). Conclusions :The conclusion of this study are, the spontaneous intracerebral hemorrhage is often occured in male with age 40-60 years old. Mostly, the location of intracerebral hemorrhage is on the basal ganglia. GCS is a parameter that has correlation with the spontaneous intracerebral hemorrhage, but history of hypertension does not have correlation with the outcome (mortality). Operative procedure will make longer length of stay of the patient and does not influence the GOS.

ABSTRAK
Latar Belakang : Perdarahan intraserebral spontan (PISS) menyumbang 10-15% kasus stroke dan memiliki tingkat mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan stroke iskemik ataupun perdarahan subaraknoid. Penyebab PISS ini dalam 70-80% kasus adalah hipertensi atau serebral amiloid angiopati.
Dengan mortalitas yang mencapai 40-50% maka identifikasi faktor resiko yang dapat diperbaiki sangatlah penting. Hipertensi merupakan salah satu faktor resiko tersebut dan diduga berperan besar sebagai salah satu penyebab PISS. Dengan kontrol tekanan darah yang baik maka resiko untuk terjadinya PISS dapat diturunkan. Pada pasien geriatri resiko ini dapat diturunkan sampai 50% apabila tekanan darah sistolik dapat terkontrol. Secara keseluruhan resiko relatif dari pasien dengan hipertensi dibandingkan pasien dengan tekanan darah normal adalah sebesar 3,9-13,3. Laki-laki diduga lebih sering mengalami PISS dibandingkan dengan wanita.
Evaluasi klinis dari PISS didasarkan atas pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang. Hasil pemeriksaan klinis ini bergantung pada lokasi dan volume hematom. Untuk pemeriksaan penunjang, Computed tomography (CT) scan merupakan salah satu sarana yang dapat dipergunakan untuk mendeteksi ada tidaknya perdarahan. Berdasarkan lokasinya, PISS dapat diklasifikasikan menjadi lobar, ganglia basal, talamik, pons dan serebelar. Metode : Penelitian ini merupakan studi deskriptif dengan data primer yang didapatkan dari rekam medis Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo.
Populasi pada penelitian ini adalah semua penderita perdarahan intraserebral spontan yang dikonsulkan ke Departemen Bedah Saraf Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo ? Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia selama periode Januari 2013 sampai dengan Agustus 2014. Sampel penelitian dipilih dengan cara consecutive sampling sesuai dengan jumlah penderita perdarahan intraserebral spontan yang ditangani. Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah pasien dengan perdarahan intraserebral spontan yang dibuktikan dengan pemeriksaan penunjang CT scan kepala dan ditangani Departemen Bedah Saraf FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo, selama periode Januari 2013 sampai dengan Agustus 2014. Sedangkan sebagai kriteria eksklusi adalah pasien dengan data rekam medik yang tidak lengkap.
Hasil : Untuk hasil penelitian, didapatkan jumlah kasus pada laki-laki sebanyak 29 orang (63%), perempuan sebanyak 17 orang (37%). Data sebaran lokasi perdarahan didapat yaitu pada ganglia basal sebanyak 19 orang (41,3%), lobar sebanyak 21 orang (45,7%), talamus sebanyak 5 orang (10,9%) dan serebelum sebanyak 1 orang (2,1%).
Dari analisis bivariat didapatkan hubungan antara tindakan operatif dengan lama perawatan pasien (length of stay) (p=0,012). Namun tidak didapatkan hubungan antara tindakan operatif dengan nilai glasgow outcome scale (p=0,708) dan luaran mortalitas (p=0,472). Hasil berikutnya adalah tidak didapatkan adanya hubungan antara onset perdarahan intraserebral (p=0,09) dan hipertensi (p=1,00) dengan luaran mortalitas. Didapatkan hubungan antara tingkat kesadaran pada saat masuk (GCS) dengan luaran mortalitas pasien perdarahan intraserebral (p=0,013). Jika dilihat dari lokasi perdarahan, maka pada penelitian ini tidak didapatkan hubungan antara lokasi perdarahan intraserebral dengan luaran mortalitas (p=0,370). Kesimpulan : Disimpulkan bahwa PISS ditemukan lebih banyak pada pria yang berusia lanjut (usia 40-60 tahun) dengan lokasi tersering di ganglia basal. Adapun faktor yang berperan pada luaran PISS (mortalitas) pada penelitian ini adalah nilai GCS awal. Semakin tinggi GCS awal pasien saat datang maka semakin tinggi pula kemungkinan hidup pasien PISS. Sedangkan faktor lainnya seperti hipertensi dalam penelitian ini, bukanlah merupakan faktor yang berperan terhadap luaran mortalitas PISS. Dengan dilakukannya tindakan operatif maka lama perawatan pasien (length of stay) akan lebih, dan tindakan operatif sendiri tidak mempengaruhi Glasgow Outcome Scale (GOS) dibanding dengan yang tidak dioperasi.;Latar Belakang : Perdarahan intraserebral spontan (PISS) menyumbang 10-15% kasus stroke dan memiliki tingkat mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan stroke iskemik ataupun perdarahan subaraknoid. Penyebab PISS ini dalam 70-80% kasus adalah hipertensi atau serebral amiloid angiopati.
Dengan mortalitas yang mencapai 40-50% maka identifikasi faktor resiko yang dapat diperbaiki sangatlah penting. Hipertensi merupakan salah satu faktor resiko tersebut dan diduga berperan besar sebagai salah satu penyebab PISS. Dengan kontrol tekanan darah yang baik maka resiko untuk terjadinya PISS dapat diturunkan. Pada pasien geriatri resiko ini dapat diturunkan sampai 50% apabila tekanan darah sistolik dapat terkontrol. Secara keseluruhan resiko relatif dari pasien dengan hipertensi dibandingkan pasien dengan tekanan darah normal adalah sebesar 3,9-13,3. Laki-laki diduga lebih sering mengalami PISS dibandingkan dengan wanita.
Evaluasi klinis dari PISS didasarkan atas pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang. Hasil pemeriksaan klinis ini bergantung pada lokasi dan volume hematom. Untuk pemeriksaan penunjang, Computed tomography (CT) scan merupakan salah satu sarana yang dapat dipergunakan untuk mendeteksi ada tidaknya perdarahan. Berdasarkan lokasinya, PISS dapat diklasifikasikan menjadi lobar, ganglia basal, talamik, pons dan serebelar. Metode : Penelitian ini merupakan studi deskriptif dengan data primer yang didapatkan dari rekam medis Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo.
Populasi pada penelitian ini adalah semua penderita perdarahan intraserebral spontan yang dikonsulkan ke Departemen Bedah Saraf Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo – Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia selama periode Januari 2013 sampai dengan Agustus 2014. Sampel penelitian dipilih dengan cara consecutive sampling sesuai dengan jumlah penderita perdarahan intraserebral spontan yang ditangani. Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah pasien dengan perdarahan intraserebral spontan yang dibuktikan dengan pemeriksaan penunjang CT scan kepala dan ditangani Departemen Bedah Saraf FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo, selama periode Januari 2013 sampai dengan Agustus 2014. Sedangkan sebagai kriteria eksklusi adalah pasien dengan data rekam medik yang tidak lengkap.
Hasil : Untuk hasil penelitian, didapatkan jumlah kasus pada laki-laki sebanyak 29 orang (63%), perempuan sebanyak 17 orang (37%). Data sebaran lokasi perdarahan didapat yaitu pada ganglia basal sebanyak 19 orang (41,3%), lobar sebanyak 21 orang (45,7%), talamus sebanyak 5 orang (10,9%) dan serebelum sebanyak 1 orang (2,1%).
Dari analisis bivariat didapatkan hubungan antara tindakan operatif dengan lama perawatan pasien (length of stay) (p=0,012). Namun tidak didapatkan hubungan antara tindakan operatif dengan nilai glasgow outcome scale (p=0,708) dan luaran mortalitas (p=0,472). Hasil berikutnya adalah tidak didapatkan adanya hubungan antara onset perdarahan intraserebral (p=0,09) dan hipertensi (p=1,00) dengan luaran mortalitas. Didapatkan hubungan antara tingkat kesadaran pada saat masuk (GCS) dengan luaran mortalitas pasien perdarahan intraserebral (p=0,013). Jika dilihat dari lokasi perdarahan, maka pada penelitian ini tidak didapatkan hubungan antara lokasi perdarahan intraserebral dengan luaran mortalitas (p=0,370). Kesimpulan : Disimpulkan bahwa PISS ditemukan lebih banyak pada pria yang berusia lanjut (usia 40-60 tahun) dengan lokasi tersering di ganglia basal. Adapun faktor yang berperan pada luaran PISS (mortalitas) pada penelitian ini adalah nilai GCS awal. Semakin tinggi GCS awal pasien saat datang maka semakin tinggi pula kemungkinan hidup pasien PISS. Sedangkan faktor lainnya seperti hipertensi dalam penelitian ini, bukanlah merupakan faktor yang berperan terhadap luaran mortalitas PISS. Dengan dilakukannya tindakan operatif maka lama perawatan pasien (length of stay) akan lebih, dan tindakan operatif sendiri tidak mempengaruhi Glasgow Outcome Scale (GOS) dibanding dengan yang tidak dioperasi., Latar Belakang : Perdarahan intraserebral spontan (PISS) menyumbang 10-15% kasus stroke dan memiliki tingkat mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan stroke iskemik ataupun perdarahan subaraknoid. Penyebab PISS ini dalam 70-80% kasus adalah hipertensi atau serebral amiloid angiopati.
Dengan mortalitas yang mencapai 40-50% maka identifikasi faktor resiko yang dapat diperbaiki sangatlah penting. Hipertensi merupakan salah satu faktor resiko tersebut dan diduga berperan besar sebagai salah satu penyebab PISS. Dengan kontrol tekanan darah yang baik maka resiko untuk terjadinya PISS dapat diturunkan. Pada pasien geriatri resiko ini dapat diturunkan sampai 50% apabila tekanan darah sistolik dapat terkontrol. Secara keseluruhan resiko relatif dari pasien dengan hipertensi dibandingkan pasien dengan tekanan darah normal adalah sebesar 3,9-13,3. Laki-laki diduga lebih sering mengalami PISS dibandingkan dengan wanita.
Evaluasi klinis dari PISS didasarkan atas pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang. Hasil pemeriksaan klinis ini bergantung pada lokasi dan volume hematom. Untuk pemeriksaan penunjang, Computed tomography (CT) scan merupakan salah satu sarana yang dapat dipergunakan untuk mendeteksi ada tidaknya perdarahan. Berdasarkan lokasinya, PISS dapat diklasifikasikan menjadi lobar, ganglia basal, talamik, pons dan serebelar. Metode : Penelitian ini merupakan studi deskriptif dengan data primer yang didapatkan dari rekam medis Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo.
Populasi pada penelitian ini adalah semua penderita perdarahan intraserebral spontan yang dikonsulkan ke Departemen Bedah Saraf Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo – Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia selama periode Januari 2013 sampai dengan Agustus 2014. Sampel penelitian dipilih dengan cara consecutive sampling sesuai dengan jumlah penderita perdarahan intraserebral spontan yang ditangani. Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah pasien dengan perdarahan intraserebral spontan yang dibuktikan dengan pemeriksaan penunjang CT scan kepala dan ditangani Departemen Bedah Saraf FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo, selama periode Januari 2013 sampai dengan Agustus 2014. Sedangkan sebagai kriteria eksklusi adalah pasien dengan data rekam medik yang tidak lengkap.
Hasil : Untuk hasil penelitian, didapatkan jumlah kasus pada laki-laki sebanyak 29 orang (63%), perempuan sebanyak 17 orang (37%). Data sebaran lokasi perdarahan didapat yaitu pada ganglia basal sebanyak 19 orang (41,3%), lobar sebanyak 21 orang (45,7%), talamus sebanyak 5 orang (10,9%) dan serebelum sebanyak 1 orang (2,1%).
Dari analisis bivariat didapatkan hubungan antara tindakan operatif dengan lama perawatan pasien (length of stay) (p=0,012). Namun tidak didapatkan hubungan antara tindakan operatif dengan nilai glasgow outcome scale (p=0,708) dan luaran mortalitas (p=0,472). Hasil berikutnya adalah tidak didapatkan adanya hubungan antara onset perdarahan intraserebral (p=0,09) dan hipertensi (p=1,00) dengan luaran mortalitas. Didapatkan hubungan antara tingkat kesadaran pada saat masuk (GCS) dengan luaran mortalitas pasien perdarahan intraserebral (p=0,013). Jika dilihat dari lokasi perdarahan, maka pada penelitian ini tidak didapatkan hubungan antara lokasi perdarahan intraserebral dengan luaran mortalitas (p=0,370). Kesimpulan : Disimpulkan bahwa PISS ditemukan lebih banyak pada pria yang berusia lanjut (usia 40-60 tahun) dengan lokasi tersering di ganglia basal. Adapun faktor yang berperan pada luaran PISS (mortalitas) pada penelitian ini adalah nilai GCS awal. Semakin tinggi GCS awal pasien saat datang maka semakin tinggi pula kemungkinan hidup pasien PISS. Sedangkan faktor lainnya seperti hipertensi dalam penelitian ini, bukanlah merupakan faktor yang berperan terhadap luaran mortalitas PISS. Dengan dilakukannya tindakan operatif maka lama perawatan pasien (length of stay) akan lebih, dan tindakan operatif sendiri tidak mempengaruhi Glasgow Outcome Scale (GOS) dibanding dengan yang tidak dioperasi.]"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Daniel Surjadinata
"ABSTRACT
Latar Belakang. Sebagai klinisi, dokter diharapkan mampu menegakkan diagnosis etiologi keluhan BKB dengan cepat, tepat, hemat biaya dan tidak hanya bersifat simptomatik belaka. Sayangnya, hingga kini masih sedikit penelitian mengenai etiologi BKB pada anak, padahal setiap pusat pelayanan kesehatan memiliki data etiologi BKB yang berbeda-beda. Perbedaan etiologi ini disebabkan oleh perbedaan definisi yang dianut, batasan usia anak, serta karakteristik dan tingkat pusat pelayanan kesehatan yang menjadi tempat penelitian.
Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalens keluhan utama BKB pada pasien anak dengan keluhan batuk, tiga etiologi tersering, waktu yang dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis etiologi BKB, profil klinis dan pemeriksaan penunjang pada pasien di unit rawat jalan Departemen IKA-RSCM dari bulan Juli 2007 sampai dengan Juli 2013.
Metode. Metode penelitian ini adalah deskriptif retrospektif dengan melakukan penelusuran dan analisis data rekam medis pasien berusia 1-18 tahun (12-216 bulan) dengan keluhan utama batuk (ICD 10-R05.0).
Hasil. Prevalens BKB dari seluruh subjek dengan keluhan batuk adalah 437 subjek (87,6%), dengan median usia 54 bulan (12-220 bulan). Etiologi spesifik tersering adalah United airway diseases (46,9%), asma (31,7%) dan TB paru (15,4%). Riwayat penyakit dahulu dan keluarga dengan atopi, alergi dan asma membantu penegakan diagnosis. Dari 28 subjek yang tidak mendapat imunisasi BCG, 15 (53,6%) subjek didiagnosis TB paru dan 1 subjek TB milier. Sebanyak 362 (82,9%) subjek yang didiagnosis etiologi batuk pascainfeksi virus, rinitis alergi, asma dan TB paru telah mendapat terapi antibiotik sebelumnya. Median waktu yang dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis etiologi BKB adalah 2,5 hari/pasien (0-8 hari/pasien) untuk diagnosis BKB nonspesifik batuk pasca infeksi virus dan diagnosis etiologi spesifik yaitu rinitis alergi adalah 3,7 hari/pasien (0-21hari/pasien), rinosinusitis 4,8 hari/pasien (2-21 hari/pasien), asma 2,5 hari/pasien (0-53 hari/pasien) dan TB paru 6,2 hari/pasien (3-60 hari/pasien). Pemeriksaan penunjang yang banyak dilakukan untuk penegakan diagnosis meliputi uji tuberkulin (84,7%), foto toraks (72,5%), spirometri (14%), dan foto polos sinus paranasal (26,8%).
Simpulan. Prevalens BKB mencapai 87,6% dengan etiologi tersering adalah penyakit saluran respiratorik atas, asma dan TB paru. Kata kunci. Batuk kronik berulang (BKB) pada anak,

ABSTRACT
Background. As clinician, a physician should be able to diagnose the etiology of chronic cough in children, therefore the therapy could be done promptly, precisely, cost-effectively, and not merely symptomatic. Unfortunately, publication on the etiology of chronic cough in children is limited up to now, and every health care centers may have different etiologic data. This differences might be caused by the gaps of chronic cough definition, the child's age restrictions, as well as the characteristics and the level of health care services.
Objective. To determine the prevalence of chronic cough in pediatric patients with chief complaints of cough, the three most common etiology, the duration of time to establish the etiology, clinical profiles and supportive investigation in outpatient pediatric unit at CMH from July 2007 to July 2013.
Method. A descriptive retrospective analysis was conducted from medical records of patients aged 1-18 years (12-216 months) with a chief complaint of cough (ICD-10 R05.0)
Result. Chronic cough prevalence of all subjects with complaints of cough was 87.6% (437 subjects), with a median age of 54 months (12-220 months). The most common specific etiology is upper respiratory tract disease (44.7%), asthma (31.7%%) and pulmonary tuberculosis (15.4%). Past medical history and family with atopy, allergy and asthma aid diagnosis. In 28 subjects who had never received BCG immunization, 15 (53.6%) subjects were diagnosed as pulmonary tuberculosis and 1 subject as miliary TB. Prior antibiotic treatment had been given in 362 (82.9%) subjects that were diagnosed as post viral cough, allergic rhinitis, asthma and pulmonary TB. Median duration of time to diagnose the etiology of nonspesific post viral cough was 2.5 days/patient (0-8 days/patient) and specific etiologic such as allergic rhinitis was 3.7 days/patient (0-21 days/patient), rhinosinusitis in 4.8 days/patient (2-21 days/patient), asthma in 2.5 days/patient (0-53 days/patient) and pulmonary TB in 6.2 days /patient (3 - 60 days/patient). Investigations that commonly done to established the diagnosis were tuberculin test (84.7%), chest Xray (72.5%), spirometer (14%), and plain radiography of paranasal sinuses (26.8%).
Conclusion. The prevalence of chronic cough from all subjects with complaints of cough in the outpatient pediatric unit at CMH is 87.6% with the most common etiologies are upper respiratory tract disease, asthma and pulmonary tuberculosis."
2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Nur Komarudin
"Latar Belakang
Kanker ginekologi dan infeksi COVID-19 memiliki tingkat insidensi dan mortalitas yang tinggi di Indonesia serta berdampak pada aspek kesehatan, sosial, dan budaya. Kanker ginekologi dan infeksi COVID-19 memicu inflamasi yang dapat mengakibatkan ganguan multi-organ. Pemeriksaan laboratorium dapat digunakan sebagai indikator keparahan untuk menilai inflamasi dan kerusakan organ. Oleh karena itu penelitian ini akan membahas mengenai analisis kakteristik klinis dan hasil laboratorium pasien kanker ginekologi dengan COVID-19.
Metode
Metode yang akan digunakan di dalam penelitian ini adalah deskritif dan analitik dengan pendekatan potong lintang retrospektif.
Hasil
Tingkat insidensi pasien kanker ginekologi dengan COVID-19 2020-2022 sebesar 154 per 100.000. Kanker serviks (54,3%) menjadi diagnosis terbanyak diikuti dengan kanker ovarium (28,7%), kanker rahim (14,9%), kanker vulva (1,1%), dan kanker vagina (1,1%). Stadium III (37,2%) menjadi yang terbanyak diikuti stadium IV (26,6%), stadium I (20,2%), stadium II (16%). Karakteristik klinis dan hasil laboratorium yang memiliki hubungan signifikan dengan stadium kanker adalah obesitas (OR 0,321; CI 0,125-0,826; P value 0,018), neutrofil absolut tinggi (OR 5,006; Cl 95%, 1,307 – 19,176; P value 0,019), ureum tinggi (OR 3,977; Cl 95%, 1,112 – 14,224; P value 0,034), dan platelet to leucocyte ratio (PLR) tinggi (OR 7,379; 95% CI 2,067-26,466; P value 0,002). Karakteristik klinis dan hasil laboratorium yang memiliki hubungan signifikan dengan derajat keparahan COVID-19 adalah sesak napas (OR 12,364; Cl 95%, 4,148 – 36,848; P value <0.001) dan PLR tinggi (OR 6,787; 95% CI 1,103 - 41,774; P value 0,039).
Kesimpulan
Karakteristik klinis dan hasil laboratorium yang dapat dikaitkan sebagai indikator keparahan berdasarkan stadium kanker ginekologi adalah obesitas, neutrofil absolut tingg, ureum dan PLR tinggi. Karakteristik klinis dan hasil laboratorium yang dapat dikaitkan dengan indikator keparahan berdasarkan derajat keparahan COVID-19 adalah sesak napas dan PLR tinggi.

Introduction
Gynecologic cancer and COVID-19 infection have high incidence and mortality rates in Indonesia and impact health, social and cultural aspects. Gynecological cancers and COVID-19 infections trigger inflammation that can lead to multi-organ disorders. Laboratory tests can be used as an indicator of severity to assess inflammation and organ damage. Therefore, this study will discuss the analysis of clinical characteristics and laboratory results of gynecological cancer patients with COVID-19.
Method
The method used in this study is descriptive and analytic with a retrospective cross- sectional approach.
Results
The incidence rate of gynecologic cancer patients with COVID-19 2020-2022 was 154 per 100,000. Cervical cancer (54.3%) was the most common diagnosis followed by ovarian cancer (28.7%), uterine cancer (14.9%), vulvar cancer (1.1%), and vaginal cancer (1.1%). Stage III (37.2%) was the most common followed by stage IV (26.6%), stage I (20.2%), stage II (16%). Clinical characteristics and laboratory results that had a significant association with cancer stage were obesity (OR 0,321; CI 0,125-0,826; P value 0,018), high absolute neutrophils (OR 5.006; 95% CI, 1.307-19.176; P value 0.019), high high ureum level (OR 3.977; 95% CI, 1.112-14.224; P value 0.034), and high PLR (OR 7.379; 95% CI 2.067-26.466; P value 0.002). Clinical characteristics and laboratory results that had a significant association with COVID-19 severity were shortness of breath (OR 12.364; Cl 95%, 4.148 - 36.848; P value <0.001) and high PLR (OR 6.787; 95% CI 1.103 - 41.774; P value 0.039).
Conclusion Clinical characteristics and laboratory results associated with gynecologic cancer stage were obesity, high absolute neutrophils, high ureum level, and high PLR. Clinical characteristics and laboratory results associated with COVID-19 severity were shortness of breath and high PLR.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jane Florida Kalumpiu
"

Kriptokokosis adalah infeki jamur yang disebabkan olehCryptococcus. Manifestasi klinis utama pada pasien terinfeksi HIV adalah kriptokokosis meningeal.  Angka kematian masih tinggi, walaupun pasien telah mendapatkan obat anti-retroviral (ARV). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi, profil klinis-mikologis dan prediktor yang mempengaruhi luaran klinis. Penelitian ini bersifat retrospektif dengan menelusuri rekam medik pasien RSCM yang bahan kliniknya diperiksa di Departemen Parasitologi FKUI pada Januari 2013 – Oktober  2018. Prevalensi kriptokokosis meningeal pada 161 pasien HIV yang diteliti adalah 24,2% (39 pasien). Pemeriksaan cairan otak  dengan tinta india menunjukan hasil positif pada 47 dari 50 pasien (94%). Pemeriksaan lateral flow assay(LFA) menunjukkan hasil positif pada 27 dari 28 pasien (96,4%) dan biakan pada 29 dari 30 pasien (96,7%). Profil klinis pada 46 pasien yang diteliti menunjukkan gejala klinis terbanyak  sakit kepala (93,5%), diikuti demam (65,2%), muntah (65,2%) dan penurunan berat badan (47,8%). Pencitraan otak pada 38 pasien, menunjukkan hasil normal pada 20 pasien (52,6%), lesi fokal pada 5 pasien dan penyangatan meningen pada 5 pasien (13,1%). Analisis statistik menunjukkan  pemeriksaaan fisis tekanan darah >130/90 mmHg, kaku kuduk dan papiledema didapatkan berhubungan dengan kematian (p<0,05). Dari 46 pasien setelah keluar dari RSCM, luaran hidup ditemukan sebanyak 21 orang (45,7%). Pada tindak lanjut 20 pasien setelah enam bulan keluar RSCM, luaran hidup ditemukan pada 13 orang (65%). Prediktor yang berhubungan dengan luaran klinis mati pada penelitian ini adalah penurunan berat badan, status HIV baru dan papiledema (p<0,05). 


Cryptococcosis is a fungal infection caused by Cryptococcus. The main clinical manifestation in HIV-infected patients is meningeal cryptococcosis. The mortality rate is still high, despite the use of anti-retroviral drugs (ARVs). The purpose of this study was to determine the prevalence, clinical-mycological profile and predictors for clinical outcomes. This study was retrospective, the data was retrieved  from medical records at Cipto Mangunkusumo hospitalwhose clinical materials were examined in the Parasitology Department faculty of medicine University of Indonesia in January 2013 - October 2018. The prevalence of meningeal cryptococcosis in 161 HIV patients studied was 24.2% (39 patients). Examination of brain fluids with Indian ink showed positive results in 47 of  50 patients (94%). Lateral flow assay (LFA) positive in 27 of 28 patients (96.4%) and from culture the result was positive in 29 out of 30 (96,7%). The clinical profile in 46 patients studied showed the most clinical symptoms is headache (93.5%), followed by fever (65.2%), vomiting (65.2%) and weight loss (47.8%). Brain imaging in 38 patients showed normal results in 20 patients (52.6%), focal lesions in 5 patients and meningeal enhancement in 5 patients (13.1%). Physical examination of blood pressure >130/90 mmHg, neck stiffness and papilledema was found to be associated with death (p<0.05). Of the 46 patients after leaving the Cipto Mangunkusumo hospital, live outcomes were found in 21 patients (45.7%). Live outcomes at follow-up of 20 patients after six months out of the Cipto Mangunkusumo hospitalwere found in 13 patients (65%). Predictors related to dead clinical outcomes in this study were weight loss, new HIV status and papilledema (p <0.05).

"
2018
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Rezaalka Helto
"Latar Belakang: malformasi arteri-vena (MAV) adalah struktur abnormal yang menyebabkan fistula antara arteri dan vena tanpa perantara kapiler. MAV serebral memiliki risiko ruptur yang tinggi, dimana keadaan ruptur dapat menyebabkan kondisi katastrofik bagi pasien. Terdapat berbagai modalitas penatalaksanaan dalam manajemen MAV, seperti reseksi, embolisasi endovaskular, pembedahan stereotaktik, atau kombinasi tindakan-tindakan tersebut. Penelitian mengenai MAV sudah banyak dilakukan di luar negeri, namun masih sedikit dilakukan di Indonesia.
Tujuan: memperoleh data profil klinis, manajemen, luaran, dan gambaran pembiayaan pasien MAV serebral di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, serta memperoleh hubungan antara variabel tersebut.
Metode: penelitian ini merupakan penelitian observasional deskriptif dengan memperoleh data dari rekam medis pasien sejak tahun 2012 hingga 2021.
Hasil: sebanyak 128 tindakan dilakukan pada pasien MAV serebral di RSCM. Jenis tindakan terbanyak adalah DSA diagnostik, disusul dengan GKRS dan embolisasi. Pada tindakan embolisasi,  luaran klinis yang memiliki perbedaan signifikan atara pra dan pasca operasi adalah kejang, nyeri kepala, dan penurunan kesadaran. Pada tindakan GKRS, luaran klinis yang memiliki perbedaan signifikan pra dan pasca operasi adalah kejang, nyeri kepala, mual muntah, penurunan kesadaran, hemiparesis, dan hemihipestesia. Median persentase obliterasi GKRS adalah 51,86%. Data tindakan reseksi tidak dianalisis karena jumlah sampel tidak mencukupi. Biaya tindakan paling tinggi adalah tindakan GKRS, dengan rerata pembiayaan tindakan sebesar Rp. 134.878.643,00.
Kesimpulan: dibandingkan dengan embolisasi dan reseksi, tindakan GKRS menunjukkan luaran klinis yang lebih baik dengan nilai median obliterasi 51,86%, namun merupakan tindakan dengan pembiayaan paling tinggi dan tidak ditanggung oleh asuransi negara.

Backgrounds: Arteriovenous malformation (AVM) is an abnormal structure that causes fistulas between arteries and veins without capillary intermediaries. Cerebral AVM has a high risk of rupture, where the state of rupture can cause catastrophic conditions for the patient. There are various treatment modalities in the management of AVM, such as resection, endovascular embolization, stereotactic surgery, or a combination of the treatments above. Many researches on AVM have been carried out abroad, but little has been done in Indonesia.
Objective: to obtain data on clinical profiles, management, outcomes, and costs of cerebral AVM patients at Dr. Cipto Mangunkusumo, and to obtain the relationship between the variables.
Method: this study is a descriptive observational study by extracting data from patient medical records from 2012 to 2021.
Results: a total of 128 procedures were performed on cerebral AVM patients at RSCM. The most common type of procedure was diagnostic DSA, followed by GKRS and embolization. In the embolization procedure, the clinical outcomes that had a significant difference between pre and post-procedure were seizures, headache, and decreased consciousness. In the GKRS procedure, the clinical outcomes that had significant differences before and after the procedure were seizures, headache, nausea and vomiting, decreased consciousness, hemiparesis, and hemihypesthesia. The median percentage of GKRS obliteration was 51.86%. Resection data were not analyzed because the number of samples was insufficient. The highest cost of procedure is GKRS, with an average cost of action of Rp. 134,878,643.00.
Conclusion: compared to embolization and resection, the GKRS procedure showed a better clinical outcome with a median obliteration value of 51.86%, but it was the procedure with the highest cost and was not covered by national health coverage.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>