Metode penelitian menggunakan metode kualitatif, desain phenomenology. Informan penelitian 8 orang, 5 informan utama remaja PSP online (apartemen dan kost) dan offline (lokalisasi, tempat hiburan, jalanan) berusia 10-24 tahun, serta 3 orang informan kunci yaitu mucikari, penghubung dan petugas lapangan. Pengumpulan data dengan wawancara mendalam. Hasil penelitian menunjukkan informan tidak mengetahui dengan baik gejala dan penularan IMS, IMS merupakan hal yang menakutkan tetapi merupakan risiko pekerjaan. PSP memilih no action dan self-treatment jika gejala yang dirasakan ringan. Dukungan mucikari cukup membantu dengan syarat tidak merugikan mucikari. Pengaruh orang lain (personal reference) sangat besar bagi PSP mendorong upaya pengobatan sendiri (self-treatment). Sumber daya yang tidak dimiliki oleh PSP menjadi hambatan bagi PSP offline, yaitu dana yang terbatas, waktu buka layanan kesehatan formal yang tidak sesuai dengan jam kerja PSP, perlakuan stigma dan diskriminasi dari tenaga kesehatan klinik. Sedangkan bagi PSP online, hambatannya adalah kekurangan dana dan ketergantungan terhadap orang yang mengantar ke klinik. Budaya pengobatan turun temurun seperti jamu-jamuan atau ke dukun menjadi hambatan bagi PSP online dan offline.
Rekomendasi: meningkatkan KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) pada remaja PSP, mucikari dan penghubung mengenai IMS, pengobatan yang benar dan pengunaan kondom; memperbaiki kualitas layanan IMS; evaluasi berkala terhadap layanan dan Petugas Lapangan PSP dalam program pencegahan IMS.
The research method used qualitative methods, with phenomenology design. The research informants were 8 people, 5 main informants were adolescent FSW who work online (apartments and boarding houses) and offline (localization, entertainment, and streets) aged 10- 24 years, and 3 key informants, pimps, liaisons and outreach worker. Data collection using in- depth interviews. The research results showed that informants did not know well the symptoms and transmission of STIs, STIs are terrible thing as an occupational risk. FSW chooses no action and self-treatment if the symptoms not serious. Pimps support is quite helpful as long as it doesn't cause harm. Personal reference influenced self-treatment for FSW. The resources that FSWs do not have are obstacles for offline FSWs, namely limited funds, formal health service operational hours, stigmatized and discriminatory treatment from clinical providers. Meanwhile, for online FSW, the obstacles are lack of funds and dependence on people who accompany them to the clinic. The culture of traditional treatments such as herbal medicine or going to shamans is an obstacle for online and offline FSW.
Recommendations: improve IEC (communication, information and education) among adolescent FSW, pimps and liaisons regarding STIs, correct treatment and condoms use; improving the quality of STI services; continuous evaluation of services and FSW’s outreach worker in STI prevention program."
Abstrak
Latar Belakang: Wanita pekerja seks merupakan salah satu populasi kunci penularan human immunodeficiency virus (HIV) melalui jalur hubungan seksual. Salah satu faktor yang menjadikan pekerja seks sebagai populasi kunci penularan HIV adalah perilaku seksual berisiko. Perilaku seksual berisiko pada wanita pekerja seks dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah negosiasi penggunaan kondom dan konsumsi alkohol.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menilai hubungan antara negosiasi penggunaan kondom dan konsusmis alkohol terhadap perilaku seksual berisiko HIV pada wanita pekerja di Kupang.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan teknik purposive sampling dengan melibatkan 125 wanita pekerja seks. Penelitian ini menggunakan tiga instrumen yakni : safe sexual behavior questionaire (SSBQ), condom influence strategy questionaire (CISQ) dan the alcohol use disorders identification test (AUDIT).
Hasil: Terdapat hubungan yang signifikan antara negosiasi penggunaan kondom dan perilaku seksual berisiko (p-value : 0,003) dan konsumsi alkohol dengan perilaku seksual berisiko (p value : 0,037).
Kesimpulan: Negosiasi penggunaan kondom dan konsumsi alkohol berdampak pada perilaku seksual berisiko HIV. Upaya untuk meningkatkan kemampuan negosiasi penggunaan kondom melalui pelatihan komunikasi efektif dengan melibatkan teman sebaya perlu ditingkatkan. Intervensi untuk menurunkan konsumsi alkohol juga diperlukan.
Kata kunci: konsumsi alkohol, negosiasi penggunaan kondom, perilaku seksual berisiko, wanita pekerja seks
Abstract
Background : Female sex worker is one of the key populations of transmission human immunodeficiency virus (HIV) through sexual intercourse. One of the factors that make sex workers as the key population of HIV transmission is risky sexual behavior. Risky sexual behavior in female sex workers is influenced by several factors including negotiation of condom use and alcohol consumption.
Objective : The study aimed to determine the relationship between condom negotiation, alcohol comsumption and HIV risk sexual behavior among female sex worker in Kupang .
Method : Cross-sectional was used in this study. Purposive sampling technique involving 125 female sex workers. This study utilized theree instruments: safe sexual behavior questionaire (SSBQ), condom influence strategy questionaire (CISQ) and the alcohol use disorders identification test (AUDIT).
Results : There was a significant relationship between condom negotiation and risky sexual behavior (p-value : 0,003) and alcohol use and risky sexual behavior (p-value : 0,037).
Conclusion : Negotiation of condom use and alcohol consumption affect to HIV risk sexual behavior. Efforts to improve the ability to negotiate condom use through effective communication training involving peers need to be improved. Interventions to reduce alcohol consumption are also needed
Keywords: alcohol consumption, condom negotiation, female sex worker, risky sexual behavior
"Lelaki seks Lelaki (LSL) dengan HIV positif merupakan populasi yang terstigmatisasi dan beresiko tinggi menularkan infeksi HIV. Promosi penggunaan kondom menjadi kunci strategis untuk mencegah penularan HIV dikalangan orang dengan HIV/AIDS (ODHA) LSL dan pasangannya. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi determinan perilaku penggunaan kondom ODHA LSL. Desain yang digunakan analitik cross sectional. Teknik pengambilan sampel consecutive sampling. Penelitian di Kupang dengan 150 responden. Hasil menunjukkan ada hubungan antara pengetahuan tentang kesehatan seksual ODHA LSL (p=0,001;α=0,05) dan penggunaan alkohol (p=0,002;α=0,05) dengan perilaku penggunaan kondom. Analisis regresi berganda menunjukkan faktor yang lebih dominan memengaruhi perilaku penggunaan kondom pada ODHA LSL di Kupang adalah pengetahuan tentang kesehatan seksual ODHA LSL (p=0,001; α= 0,05; OR=15,505; 95% CI= 3,550-67,732). Konsistensi penggunaan kondom ODHA LSL membutuhkan pengetahuan yang baik terkait kesehatan seksual meliputi bahaya HIV/AIDS, PMS, perilaku seksual beresiko, dan manfaat kondom. Petugas kesehatan dianjurkan mampu merancang intervensi khusus dalam memberikan pendidikan kesehatan seksual ODHA LSL.
Men who have sex with men (MSM) with HIV/AIDS are a stigmatized population and at high risk of transmitting HIV infection. Promotion of condom use is a strategic key to preventing HIV transmission among MSM and their partners. This study aims to identify the behavioral determinants of condom use for MSM with HIV/AIDS. The design used is cross sectional analytic. The sampling technique used was consecutive sampling. This research was conducted in Kupang with 150 respondents. The results showed that there was a relationship between knowledge about sexual health of MSM with HIV/AIDS (p = 0.001; α = 0.05) and alcohol use (p = 0.002; α = 0.05) with the behavior of condom use. Multiple regression analysis showed that the more dominant factor influencing the behavior of condom use in MSM with HIV/AIDS in Kupang was knowledge about sexual health of MSM with HIV/AIDS (p = 0.001; α = 0.05; OR = 15,506; 95% CI = 3.550-3,550-67,732). The consistency of condom use for MSM with HIV/AIDS requires good knowledge regarding sexual health including the dangers of HIV / AIDS, STDs, risky sexual behavior, and the benefits of condoms. Health workers are recommended to be able to design specific interventions in providing sexual health education for for MSM with HIV/AIDS.
"