Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 131587 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Oriana Zahira Putri
"Latar Belakang: Lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit autoimun sistemik yang dapat melibatkan berbagai organ dan sistem tubuh. Pasien dengan LES tidak bisa disembuhkan, melainkan dikontrol dengan pendekatan terapi treat-to-target bertujuan mencapai low lupus disease activity state (LLDAS) atau remisi. Pemantauan dilakukan secara berkala setiap 3-6 bulan sekali untuk menghindari kerusakan organ lebih lanjut. Metode: Penelitian analitik observasional dengan desain kohort retrospektif menggunakan data dari rekam medis pasien LES di RSCM. Didapatkan total 66 pasien yang telah berobat selama 6 bulan pada Mei 2021—Juni 2022. Respons yang dilihat yaitu status aktivitas penyakit berdasarkan skor SLEDAI-2K pada bulan pertama dan keenam serta luaran penyakit, meliputi remisi, perbaikan, persisten aktif, dan perburukan.
Hasil: Sebagian besar pasien LES adalah perempuan (95,5%), rerata usia 31,23 tahun, dan keterlibatan organ terbanyak muskuloskeletal (93,9%). Hidroksiklorokuin dan metilprednisolon merupakan terapi yang paling banyak didapatkan pasien. Setelah 6 bulan terapi, status aktivitas penyakit pasien membaik dengan luaran penyakit perbaikan (33,3%) dan remisi (10,6%).
Kesimpulan: Setelah menjalani pengobatan selama 6 bulan, status aktivitas penyakit pasien membaik dari kategori aktivitas penyakit sedang (37,9%) menjadi ringan (48,5%). Terdapat perbedaan yang bermakna signifikan secara statistik dan klinis antara skor SLEDAI-2K bulan pertama dengan bulan keenam (p = 0,000).

Introduction: Systemic lupus erythematosus (SLE) is a systemic autoimmune disease that involve various organs and body systems. Patients with SLE cannot be cured, but rather controlled with a treat-to-target therapy approach aimed at achieving low lupus disease activity state (LLDAS) or remission. Monitoring is carried out regularly every 3- 6 months to avoid further organ damage.
Method: Observational analytical study with retrospective cohort design using database from medical records of SLE patients at RSCM. There were a total of 66 patients who had received treatment for 6 months in May 2021—June 2022. The interests were disease activity based on the SLEDAI-2K score in the first and sixth months as well as disease outcomes, such as remission, improvement, persistently active, and flare.
Results: Most SLE patients were women (95.5%), the average age was 31.23 years, and the most organ involvement was musculoskeletal (93.9%). Hydroxychloroquine and methylprednisolone are the most common therapy received by patients. After 6 months of therapy, the overall patient's disease activity status improved with an outcome of improvement (33.3%) and remission (10.6%).
Conclusion: After undergoing treatment for 6 months, the patient's disease activity status improved from moderate (37.9%) to mild (48.5%) disease activity category. There was a statistically and clinically significant difference between the SLEDAI-2K score for the first month and the sixth month (p = 0.000).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Nadim
"Latar Belakang. Depresi sering ditemukan pada pasien lupus eritematosus sistemik (LES) dan berhubungan dengan aktivitas penyakit LES. Kurangnya perhatian klinisi terhadap penapisan hingga tatalaksana depresi pada LES sangat berperan. Hospital Anxiety and Depression Scal (HADS) merupakan salah satu skala pengukuran depresi berbentuk kuesioner yang sering dan mudah digunakan serta memiliki banyak terjemahan yang tervalidasi sedangkan Mexican- Systemic Lupus Erythematosus Disease Activity Index (Mex-SLEDAI) merupakan sistem skoring untuk menilai aktivitas penyakit LES dengan biaya minimal namun mempunyai reliabilitas dan validitas yang baik. Rasio neutrofil-limfosit (RNL) merupakan penanda inflamasi sistemik sedangan anti-dsDNA merupakan autoantibodi spesifik pada LES yang kadarnya meningkat seiring dengan aktivitas penyakit. Saat ini di Indonesia, belum ada penelitian yang mengkorelasikan antara skor HADS-D dengan RNL, kadar anti-dsDNA dan skor Mex-SLEDAI pada LES.
Tujuan. Mengetahui korelasi antara skor HADS-D dengan RNL, kadar anti-dsDNA dan skor Mex-SLEDAI pada pasien LES.
Metode. Studi ini menggunakan desain potong lintang, dilakukan analisis data primer pasien LES usia 18-60 tahun. Dilakukan wawancara dan pemeriksaan fisik serta pengisian kuesioner HADS diikuti dengan pengambilan sampel darah untuk menilai kadar anti-dsDNA dan melengkapi perhitungan skor Mex-SLEDAI. Korelasi antara skor HADS-D dengan RNL, kadar anti-dsDNA, dan skor Mex-SLEDAI didapat dengan uji korelasi Spearman menggunakan SPSS.
Hasil. Dilakukan analisis pada 121 subjek. Seluruh sampel adalah perempuan dengan median usia 31 (24-39) tahun. Median skor HADS-D sebesar 6 (4-7), median RNL sebesar 2,64 (1,945-3,91), median anti-dsDNA sebesar 133,5 (29,8-388,5), dan median skor Mex-SLEDAI sebesar 5 (3-10). Terdapat korelasi positif sangat lemah antara skor HADS-D dengan RNL (r 0,18 dan p 0,048). Terdapat korelasi positif lemah antara skor HADS-D dengan Mex-SLEDAI (r 0,244 dan p 0,007). Tidak terdapat korelasi antara skor HADS-D dengan anti-dsDNA.
Kesimpulan. Terdapat korelasi positif antara skor HADS-D dengan RNL dan skor Mex-SLEDAI tetapi tidak ada korelasi antara skor HADS-D dengan kadar anti-dsDNA pada pasien dengan LES.

Background. Depression is common in systemic lupus erythematosus (SLE) and can increase SLE disease activity. Lack of clinical attention to screening until the management of depression play an important role. Hospital Anxiety Depression Scale (HADS) is a depression measurement scales that is often and easy to use while Mexican-Systemic Lupus Erythematosus Disease Activity Index (Mex-SLEDAI) is a scoring system to asses disease activity at lower cost but has good reliability and validity. Neutrophil-lymphocyte ratio (NLR) is a systemic inflammation marker whereas anti-dsDNA is a specific antibody for SLE. In  Indonesia, there are no studies that correlate HADS-D score with NLR, anti-dsDNA level, and Mex-SLEDAI score in SLE patients.
Objective. To determine the correlation between HADS-D score with NLR, anti-dsDNA level, and Mex-SLEDAI score in SLE patients.
Methods. This study used a cross-sectional design that analysed the primary data of SLE patients aged 18-60 years. Interviews and physical examinations were carried out as well as filling out the HADS questionnaire followed by blood sampling to assess anti-dsDNA levels and calculate Mex-SLEDAI score. The correlation between HADS-D score with NLR, anti-dsDNA level, and Mex-SLEDAI score were obtained by using the Spearman correlation test using SPSS.
Results. This study analysed on 121 subjects with a median age of 31 (24-39) years. The median HADS-D score was 6 (4-7), median NLR was 2.64 (1.945-3.91), median anti-dsDNA level was 133.5 (29.8-388.5), and median Mex- SLEDAI score was 5 (3-10). There is a very weak positive correlation between HADS-D and NLR (r 0.18 and p 0.048) and weak positive correlation between HADS-D and Mex-SLEDAI (r 0.244 and p 0.007). There is no correlation between HADS-D and anti-dsDNA.
Conclusion. There are positive correlation between HADS-D score with NLR and Mex-SLEDAI score but there is no correlation between HADS-D score with anti-dsDNA level in SLE patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Wicaksono Narendro Utomo
"Latar Belakang : Lupus Eritematosus Sistemik ( LES ) adalah penyakit reumatik autoimun yang ditandai adanya inflamasi luas yang melibatkan hampir seluruh sistem organ. Penyakit ini menyerang wanita muda dengan insiden puncak usia 15-40 tahun. Manifestasi klinik LES beragam tergantung organ yang terlibat. Risiko kematian pada pasien LES meningkat apabila tidak terdiagnosis dan tidak ditangani secara tepat.
Tujuan : Mengetahui kesintasan pasien LES di RSCM beserta faktor-faktor yang memengaruhi kesintasan.
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian kohort retrospektif dengan menggunakan data rekam medis dari pasien yang terdiagnosis LES pertama kali pada tahun 2014-2019 di RSCM. Dilakukan analisis survival terhadap usia, jenis kelamin, anemia hemolitik, trombositopenia, NPSLE, anti ds-DNA tinggi, C3 dan C4 rendah, penggunaan
glukokortikoid dosis tinggi, limfopenia, Anti Cardiolipin Antibody ( ACA ) positif, penyakit kardiovaskular, dan nefritis lupus. Dilakukan analisis multivariat dengan cox regression.
Hasil: Terdapat 448 subjek yang diteliti. Kesintasan lima tahun pasien LES di RSCM adalah 88%. Rerata kesintasan 56 bulan (IK95% 55-57). Pada analisis multivariat, ditemukan bahwa NPSLE [HR 3,595 (IK95% 1,932-6,688)], kadar C3 dan C4 rendah [HR 2,501 (IK95% 1,330-4,701)], penyakit kardiovaskuler [HR 2,851 (IK95% 1,198-6,787)], dan anemia hemolitik [HR 2,106 (IK95% 1,008-4,404)] berpengaruh signifikan terhadap kesintasan 5 tahun pasien LES.
Kesimpulan: Kesintasan kumulatif 5 tahun pasien LES di RSCM adalah 88% dengan neuropsikiatri lupus (NPSLE), kadar C3 dan C4 rendah, penyakit kardiovaskuler, dan anemia hemolitik berpengaruh signifikan terhadap kesintasan pasien LES di RSCM.

Background : Systemic Lupus Erythematosus (SLE) is an autoimmune rheumatic disease characterized by widespread inflammation involving almost all organ systems. This disease attacks young women with a peak incidence aged 15-40 years. The clinical manifestations of SLE vary depending on the organs involved. The risk of death in SLE patients increases if it is not diagnosed and treated appropriately.
Objective : knowing the survival of SLE patients at RSCM along with the factors that influence survival.
Methods : This study is a retrospective cohort study using medical record data from patients diagnosed with SLE for the first time in 2014-2019 at RSCM. Survival analysis was carried out on age, gender, hemolytic anemia, trombocytopenia, NPSLE, high anti ds-DNA, low C3 and C4, use of high doses of glucocorticoids, lymphopenia, positive Anti-Cardiolipin Antibody (ACA), cardiovascular disease, and lupus nephritis. Multivariate analysis with cox
regression was carried out.
Results : There were 448 subjects studied. The 5 year survival of SLE patients at RSCM is 88%. Mean survival time 56 months (95%CI 55-57). In the multivariate analysis, it was found that NPSLE [HR 3,595 (95%CI 1,932-6,688)], low C3 dan C4 [HR 2,501 (95%CI 1,330-4,701)], cardiovascular disease [HR 2,851 (95% CI 1,198-6,787 )], dan hemolytic anemia [HR 2,106 (95% CI 1,008-4,404)] had a significant effect on 5 year SLE survival.
Conclusion : The 5 year survival cumulative of SLE patients at RSCM is 88% with neuropsychiatric lupus (NPSLE), low C3 dan C4, cardiovascular disease, dan hemolytic anemia have a significant effect on the survival of SLE patients at RSCM.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pernanda Selpia S.
"Latar Belakang. Lupus Eritematosus Sistemik merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik kronik yang banyak terjadi pada usia reproduktif. Kehamilan pada LES adalah kehamilan risiko tinggi dengan kemungkinan luaran kehamilan buruk pada maternal dan fetal/neonatal. Belum ada data dalam 5 tahun terakhir di RSCM mengenai proporsi luaran kehamilan buruk tersebut.
Tujuan. Mengetahui proporsi luaran kehamilan buruk maternal dan fetal/neonatal pada pasien LES di RSUPN Cipto Mangunkusumo serta faktor-faktor yang berhubungan
Metode. Dilakukan studi cohort retrospective melalui telaah rekam medis pada pasien LES mulai 1 Januari 2015-Mei 2021. Dilakukan analisis bivariat dengan chi square untuk variabel kategorik. Variabel yang bermakna selanjutnya dilakukan analisis multivariat menggunakan uji regresi logistik. Analisis bivariat dan multivariat dilakukan dengan menggunakan SPSS.
Hasil. Dari 173 subjek dengan 150 kehamilan, didapatkan luaran kehamilan buruk maternal sebanyak 47,4% (flare 43,3%, preeklamsia/eklamsia 12,1%, kematian maternal 3,6%). Luaran kehamilan buruk fetal/neonatal 65,3% (kelahiran prematur 31,2%, BBLR 32%, still birth 8,1%, SGA 34%, IUGR 16,2%, abortus 19,5%). Berdasarkan analisis multivariat terdapat 2 faktor yang berhubungan dengan kejadian luaran kehamilan buruk maternal yaitu aktivitas LES tinggi OR: 2,25 (IK95% [1,199-4,225], p=0,012) dan hipertensi OR 3,007 (IK95% [1,425-6,341), p=0,004). Sedangkan hasil analisis multivariat pada luaran kehamilan buruk fetal/neonatal, ditemukan aktivitas LES tinggi OR: 2,40 (IK95% [1,041-5,534], p=0,040) dan hipertensi OR: 5,988 (IK95% [1,640-21,870], p=0,007) berhubungan dengan kejadian luaean kehamilan buruk fetal/neonatal.
Kesimpulan. Proporsi luaran kehamilan buruk maternal dan fetal/neonatal pada pasien LES di RSUPN Cipto Mangunkusumo cukup tinggi. Aktivitas LES tinggi dan hipertensi merupakan faktor yang berhubungan dengan luaran kehamilan buruk maternal dan fetal/neonatal.

Background. Systemic Lupus Eritematosus is a chronic systemic inflamatory disease found in reproductive age. Pregnancy in SLE patients is a high risk pregnancy mainly with the possibility of adverse outcome in maternal and fetal/neonatal. There is no data in last 5 years about proportion of adverse pregnancy outcome at Cipto Mangunkusumo Hospital.
Aim. To determine proportions of adverse pregnancy outcomes of maternal and fetal/neonatal in Systemic Lupus Eritematosus patients at Cipto Mangunkusumo Hospital and it’s related factors.
Method. A retrospective cohort study was done through medical records study in medical record installation at SLE Patient from 1 January 2015 to Mei 2021. Bivariate analysis was done with chi square for categorical variable. Statistically significant variable then analyzed with multivariate analysis with logistic regression analysis. Bivariat and Multivariate analysis was done using SPSS.
Result. Of the 173 subjects with 150 pregnancies, the maternal outcome was 47.4% (43.3% flare, 12.1% preeclampsia/eclampsia, 3.6%). Fetal/neonatal poor pregnancy outcome was 65.3% (31.2% premature birth, 32% LBW, 8.1% still birth, 34% SGA, 16.2% IUGR, 19.5% abortion). Based on multivariate analysis, there were 2 factors associated with maternal adverse pregnancy outcomes, namely high LES activity OR: 2.25 (CI 95% [1.199-4.225], P = 0.012) and hypertension OR 3.007 (CI 95% [1.425-6.341), p =0.004). Meanwhile, the results of multivariate analysis on the outcome of poor fetal/neonatal pregnancy, found high LES activity OR: 2.40 (CI 95% [1.041-5.534], P=0.040) and hypertension OR: 5.988 (CI 95% [1.640-21.870], p= 0.007) associated with fetal/neonatal pregnancy outcome.
Conclusion. The proportion of maternal and fetal/neonatal adverse pregnancy outcomes in SLE patients at Cipto Mangunkusumo General Hospital is quite high. High SLE disease activity and hypertension are factors associated with poor maternal and fetal/neonatal outcomes.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Lusiani
"Latar Belakang: Lupus Eritematosus Sistemik LES adalah suatu penyakit autoimun kronik yang melibatkan multiorgan dan multietiologi. Komplikasi kardiovaskular pada pasien LES merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas terbesar. Proses aterosklerosis diketahui terjadi pada pasien LES usia muda dan menjadi salah satu faktor penyebab disfungsi diastolik. Penegakkan diagnosis disfungsi diastolik memerlukan pemeriksaan yang cukup mahal dan tidak merata di setiap fasilitas kesehatan. Oleh karena itu, diperlukan suatu metode diagnostik yang lebih mudah dan murah tetapi tetap dapat diandalkan untuk penegakkan diagnostik tersebut, seperti metode sistem skoring. Umur, lama sakit, komorbiditas hipertensi dan atau diabetes mellitus dan atau dislipidemia , anemia, Index Massa Tubuh IMT , kadar serum kreatinin, dan APS diketahui berhubungan dengan disfungsi diastolik dan dapat menjadi determinan diagnosis disfungsi diastolik pada pasien LES.
Tujuan: Menetapkan sistem skoring diagnosis disfungsi diastolik pasien LES berdasarkan determinan umur, lama sakit, komorbiditas, anemia, IMT, kadar serum kreatinin, dan APS.
Metode: Penelitian uji diagnostik potong-lintang cross sectional terhadap 127 pasien LES di RSCM sejak bulan April 2017 sampai Mei 2017. Data yang digunakan adalah data primer berupa wawancara, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan ekokardiografi transtorakal, serta data sekunder yang diperoleh dari rekam medis.
Hasil: Terdapat 9 7.08 subjek penelitian yang mengalami disfungsi diastolik. Lima dari tujuh determinan masuk dalam analisis multivariat. Setelah pemodelan, didapatkan APS dengan bobot skor 2 dan komorbiditas dengan bobot skor 1 yang selanjutnya menjadi bagian dari sistem skoring diagnosis disfungsi diastolik pasien LES. Sistem skoring ini kemudian di uji dengan kurva ROC dan didapatkan AUC sebesar 80.3 95 IK 62.7-97.8 dengan titik potong terbaik adalah lebih sama dengan 2. Skor ge;2 memiliki sensitifitas 44 , spesifisitas 94.9 , nilai prediksi positif 60 , dan nilai prediksi negatif 95.7 . Uji validasi interna dan eksterna menghasilkan nilai yang baik.
Simpulan: Proporsi disfungsi diastolik pasien LES di RSCM adalah 7.08 . Determinan diagnosis disfungsi diastolik pasien LES adalah APS dan komorbiditas. Skor ge;2 merupakan titik potong terbaik untuk menentukan bahwa pasien LES mengalami disfungsi diastolik.

Background : Systemic Lupus Erythematosus SLE is a chronic autoimmune disease involving multiorgan and multietiology. Cardiovascular complication in SLE patients is one of the highest causes of morbidity and mortality. It is known that premature atherosclerosis occurs in young SLE patients and related to diastolic dysfunction. The diagnostic of diastolic dysfunction requires a quite expensive and uneven examination at every health facilities. Therefore, it's necessary to have an accessible and inexpensive but reliable diagnostic method, such as a scoring system. Age, duration of pain, comorbidities hypertension and or diabetes mellitus and or dyslipidemia , anemia, Body Mass Index BMI , serum creatinine level, and APS are known to be associated with diastolic dysfunction and can be a determinant diagnostic of diastolic dysfunction in SLE patients.
Objective : Establish a diagnostic scoring system of diastolic dysfunction in SLE patients with determinants of age, duration of pain, comorbidities, BMI, serum creatinine level, and APS.
Methods : A cross sectional diagnostic study with 127 SLE patients in RSCM from April 2017 to May 2017. The data used are primary data such as interviews, physical examination, and transthoracic echocardiography, as well as secondary data was obtained from medical records.
Results : There were 9 7.08 subjects with diastolic dysfunction. Five from seven determinants can be used in multivariate analysis. After modeling, APS was obtained with score of 2 and comorbidities with score of 1, further it becomes a part of diagnostic scoring system of diastolic dysfunction in SLE patients. The scoring system was tested with ROC curve and obtained AUC of 80.3 95 IK 62.7 97.8 with the best cut off point was ge 2. A score of ge 2 had a sensitivity of 44 , specificity of 94.9 , positive predictive value of 60 , and negative predictive value of 95.7 . Internal and external validation test produce a good value.
Conclusions : The proportion of diastolic dysfunction in SLE patients in RSCM is 7.08 . Diagnostic determinants of diastolic dysfunction in SLE patients are APS and comorbidities. A score of ge 2 is the best cut off point for determining that SLE patients has a diastolic dysfunction.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bagus Anindito
"ABSTRAK
Latar Belakang:
Perkembangan dalam tatalaksana Lupus eritematosus sistemik (LES) telah meningkatkan
kesintasan pasien dengan LES. Kualitas hidup merupakan komponen evaluasi terapi LES dan
value based medicine. Salah satu kuesioner khusus untuk menilai kualitas hidup adalah
Lupus QoL. Saat ini di Indonesia belum ada kuesioner khusus penilaian kualitas hidup pada
pasien dengan LES. Penelitian ini bertujuan membuktikan Lupus QoL sahih dan andal dalam
menilai kualitas hidup pasien dengan LES di Indonesia.
Metode:
Penelitian ini merupakan studi potong lintang. Penelitian diawali dengan menerjemahkan
Lupus QoL ke dalam bahasa Indonesia kemudian diujicobakan pada 10 responden. Penelitian
kemudian dilanjutkan pada jumlah sampel yang lebih besar. Keandalan dievaluasi dengan
Intraclass Correlation Coefficient (ICC) pada tes dan tes ulang dan cronbach α pada
konsistensi internal. Kesahihan konstruksi dinilai dengan multi trait scaling analysis.
Kesahihan eksternal dinilai dengan menilai korelasi antara Short form 36 (SF36) dengan
Lupus QoL dan aktivitas penyakit.
Hasil:
Pengambilan data terhadap 65 pasien LES yang berobat di unit rawat jalan Ilmu Penyakit
Dalam RSCM selama bulan Oktober ? November 2015. Kesahihan eksternal Lupus QoL baik
dengan korelasi terhadap SF36 dengan r :0.38 ? 0.66 (p<0.05). Multi trait analysis scaling
menunjukkan korelasi yang baik antara nilai tiap domain dengan nilai total (r:0.46 ? 0.85)
dan antara skor tiap butir pertanyaan dan skor total domain (r:0.44 ? 0.93). Nilai ICC
(interval 7 hari) baik (ICC>0.7). Nilai cronbach α> 0.7 pada setiap domain. Korelasi Lupus
QoL terhadap aktivitas penyakit memiliki korelasi yang lemah dan tidak bermakna yang
sesuai dengan penelitian ? penelitian sebelumnya.
Simpulan:
Kuesioner Lupus QoL Indonesia sahih dan andal dalam menilai kualitas hidup pada pasien
dengan LES di Indonesia

ABSTRACT
Background:
The development in Systemic Lupus Erythematosus treatment has led into the increasment of survival.
Quality of life has become a component to evaluate therapy ini SLE and value based medicine. One
spesific questionnaire to asses quality of life is Lupus Quality of Life (Lupus QoL). Currently in
Indonesia there has not been spesific questionnaire to asses quality of life in SLE patients. This study
aims to prove that Lupus QoL is valid and reliable to asses the quality of life in SLE patients in
Indonesia.
Methods:
This study is cross sectional study. This study began with the translation the Lupus QoL into
indonesian language then tested in 10 respondents. After that,this study continued with a larger
sample size. The intraclass coefficient correlation was used to evaluate test and re test reliability, the
cronbach alpha was used to evaluate internal consistency. Construct validity evaluated using multi
trait scaling analysis and the extrenal validity evaluated using the correlation between domains in
short form 36 (SF 36) with Lupus QoL and with disease activity. Results:Data collection were done
on 65 SLE patients in Oktober ? November 2015 in RSCM. The external validity with SF 36 was good
with r:0.38-0.66(p<0.05). The construct validity is good with r > 0.4 (0.44 ? 0.93). The ICC value in
one week >0.7 and Cronbach α was >0.7 in each domain. The correlation with disease activity was
weak and consistent with another studies.
Conclusion:
Lupus QoL questionnaire is valid and reliable to asses quality of life in SLE patients in Indonesia."
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Anisah M. Saleh
"Latar belakang. Penilaian aktivitas penyakit lupus eritematosus sistemik (LES) dengan skor Systemic Lupus Erythematosus Disease Activity Index (SLEDAI) berperan penting dalam pemantauan atau follow up aktivitas penyakit LES pada anak. Saat ini belum ada data mengenai aktivitas penyakit LES anak dengan menggunakan skor SLEDAI setiap 3 bulan di Indonesia.
Tujuan. Memantau aktivitas penyakit LES anak dengan skor SLEDAI setiap 3 bulan selama satu tahun pengamatan.
Metode. Studi deskriptif untuk memantau aktivitas penyakit LES anak di Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo secara retrospektif menggunakan data rekam medis dari bulan Juli 2005 hingga Juli 2013.
Hasil penelitian. Jumlah subjek pada penelitian ini sebanyak 30 pasien. Mayoritas penderita LES adalah perempuan. Rerata usia awitan 11,23 (SD 2,88) tahun dan rerata usia saat diagnosis ditegakkan 11,79 (SD 2,69) tahun, terbanyak didiagnosis di atas usia 10 tahun dan tidak ada yang di bawah usia 5 tahun. Median (rentang) waktu antara timbulnya gejala sampai diagnosis ditegakkan adalah 3 (1–84) bulan dan terbanyak pada jarak kurang dari 5 bulan. Terapi inisial yang paling banyak diberikan adalah kortikosteroid dalam bentuk metilprednisolon. Manifestasi klinis awal tersering adalah artritis, rash, dan demam, sedangkan untuk laboratorium adalah peningkatan dsDNA dan komplemen darah yang rendah. Perbedaan skor SLEDAI terutama terlihat antara pengamatan bulan ke-0 dengan bulan ke-3. Skor SLEDAI yang dinilai setiap 3 bulan menunjukkan perubahan aktivitas penyakit LES yang bermakna, dengan mayoritas high activity pada awal pengamatan menjadi no activity pada akhir pengamatan.
Simpulan. Penilaian skor SLEDAI setiap 3 bulan dapat digunakan untuk memantau aktivitas penyakit LES anak.

Background. Assessment of disease activity in pediatric systemic lupus erythematosus (SLE) with SLEDAI scoring system has an important role in monitoring or follow up disease activity of pediatric LES. Currently no available data that assess disease activity in pediatric SLE with SLEDAI scoring system every 3 months in Indonesia.
Objective. To assess disease activity in pediatric SLE with SLEDAI scoring system every 3 months for one year observation.
Methods. Descriptive study to assess disease activity of pediatric SLE at Department of Child Health Cipto Mangunkusumo Hospital using medical record retrospectively from July 2005 until July 2013.
Results. Thirty patients were included in this study. Majority of SLE subjects were girls. Mean age at symptoms onset was 11.23 (SD 2.88) y.o and mean age at diagnosis was 11.79 (SD 2.69) y.o, most of them were diagnosed above 10 y.o and no one had below 5 y.o. The median of duration between symptoms onset and diagnosis was 3 (1–84) months, most of them had duration below 5 months. Majority of the subjects received corticosteroid in the form of methylprednisolone as initial therapy. Most common clinical manifestations were arthritis, rash, and fever, for laboratorium results were elevation of dsDNA and low complement level. The difference of SLEDAI score were especially obtained between the initial month with the 3rd months. SLEDAI score that assessed every 3 months showed significant disease activity changes, with majority of patients had high activity in the beginnning and became no activity in the end of observation.
Conclusions. Assesment of SLEDAI score every 3 months is useful for monitoring disease activity of pediatric SLE.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Elli Arsita
"Latar Belakang. Peran infeksi sebagai penyebab kematian telah banyak diteliti namun peran infeksi sebagai prediktor mortalitas pada pasien lupus eritematosus sistemik (SLE systemic lupus erythematosus) yang dirawat inap masih kontroversi pada penelitian luar negeri dan belum pernah diteliti di Indonesia.
Tujuan. Mengetahui peran infeksi sebagai prediktor mortalitas pasien SLE yang dirawat inap.
Metodologi. Penelitian dengan desain kohort retrospektif dilakukan terhadap 181 episode perawatan pasien SLE yang dirawat di RSCM pada kurun waktu Januari 2008 - Desember 2012. Data dikumpulkan dari rekam medik. Variabel bebas infeksi dan perancu lupus neuropsikiatri, lupus nefritis, steroid ≥ 1mg/kgBB/hari 2 minggu sebelum keluar RS, onset muda dan jenis kelamin laki-laki serta variabel tergantung mortalitas pasien SLE dianalisis bivariat dengan Chi-square. Variabel yang memiliki nilai p<0,25 dimasukkan dalam analisis multivariat regresi logistik langkah demi langkah dari variabel infeksi dan perancu sehingga didapatkan crude OR serta adjusted OR.
Hasil. Mortalitas pasien SLE yang dirawat inap 22%. Pasien SLE yang dirawat dengan infeksi 90 orang (49,7%) dan 91 orang( 50,3%) tanpa infeksi. Jenis infeksi dari yang terbanyak pada pasien SLE yang dirawat inap adalah community acquired pneumonia.(CAP) (64,4%), HAP (18,8%), HCAP (5,6%), skin and soft tissue infection (5,6%). Pasien SLE yang dirawat dengan TB paru ada 14 orang(7,7%), riwayat TB paru 7 orang (3,9%). Penyebab kematian pada 40 pasien SLE yang dirawat yaitu syok sepsis irreversible 25 (62,5%), gagal napas 9 (22,5%), dan herniasi cerebri 2 (5%). Pada analisis bivariat infeksi, lupus neuropsikiatri, lupus nefritis, dan steroid ≥ 1mg/kgBB/hari 2 minggu sebelum keluar RS memiliki nilai p<0,25 sehingga dimasukkan dalam analisis multivariat regresi logistik langkah demi langkah. Infeksi berperan sebagai prediktor mortalitas pada pasien SLE dengan adjusted OR adalah 7,4 (IK 95% 2,8 – 19,6).
Kesimpulan. Infeksi berperan sebagai prediktor mortalitas pada pasien SLE yang dirawat inap.

Background. The role of infection as a cause of death is well known but the role of infection as a predictor of mortality in hospitalized patients with systemic lupus erythematosus (SLE) is debatable due to variable results from prior studies in foreign country and never been done in Indonesia.
Objective. Investigating the role of infection as a predictor of mortality in hospitalized patients with SLE.
Methods. A retrospective cohort study was conducted in 181 hospitalization episode of patients with SLE in Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta from January 2008 until December 2012. Data was collected from medical records. The independent variable was infection, confounders such as neuropsychiatric lupus, nephritis lupus, use of steroid ≥ 1mg/kg BW/day 2 weeks before hospital discharge, young onset, and male gender. Those variables were analysed bivariately using Chi-square test with mortality as the dependent variable. Variables with p<0.25 were analysed using multivariate logistic regression step by step until we got crude OR and adjusted OR of infection.
Results. Mortality of hospitalized patients with SLE is 22%. Infection was found in 90 patients (49.7%). The most common infection was community acquired pneumonia (64.4%). The most common cause of death was irreversible septic shock. Bivariate analysis showed that infection, neuropsychiatric lupus, nephritis lupus, and use of steroid ≥ 1mg/kg BW/day 2 weeks before hospital discharge had p<0.25. Multivariate analysis showed that infection had crude OR 8.60 (CI 95% 3.39 – 21.83) and adjusted OR 7.4 (CI 95% 2.8 – 19.6).
Conclusion. Infection is a predictor of mortality in hospitalized patients with SLE.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mala Hayati
"Latar Belakang: Anti dsDNA merupakan salah satu faktor risiko aterosklerosis yang berasal dari LES dan belum ada penelitian yang melihat hubungan antara kadar anti dsDNA dengan ketebalan tunika intima-media arteri karotis. Penelitian ini bertujuan untuk melihat korelasi antara anti dsDNA dengan ketebalan tunik intima-media arteri karotis.
Metode: Penelitian ini adalah penelitian potong lintang, melibatkan 84 pasien LES dengan kriteria inklusi adalah pasie LES yang memenuhi kriteria diagnosis sesuai dengan ACR 1997 atau SLICC 2012, dan kriteria eksklusi adalah bila terdapat variasi anatomi pembuluh darah yang tidak dapat dilakukan pengukuran. Anti dsDNA diperiksa dengan menggunakan ELISA dan USG Doppler dilakukan pada pasien untuk mengukur ketebalan maksimal tunika intima media arteri karotis (max-IMT). Analisa statistik dilakukan dengan uji parametrik Pearson dan bila tidak memenuhi syarat dilakukan uji non parametrik Spearman.
Hasil: Delapan empat responden (82 perempuan dan 2 laki-laki) dilakukan analisa. Rerata usia pasien 35,5±8,9 tahun dengan 64,3% berusia di bawah 40 tahun, median anti dsDNA 38,9 IU/L(0,9 ? 750 IU/L) dan Median max-IMT adalah 581 μm (385-1800 μm). Terdapat 43 (51,2 %) pasien dengan ketebalan pada tunika intima-media arteri karotis, 36 (42,9%) pasien dengan ketebalan saja, 6 (7,1%) pasien dengan ketebalan pada tunika intimamedia dan plak dan 1 (1,2%) pasien dengan plak di near wall bulbus kiri tanpa disertai dengan ketebalan pada tunika intima-media. Plak terutama ditemukan pada bulbus karotis kanan dan kiri. Berdasarkan uji korelasi speraman's tidak terdapat korelasi antara ati dsDNA dengan ketebalan maksimal tunika intima media arteri karotis. (r = 0,073, p= 0,520).
Kesimpulan: Tidak terdapat korelasi antara anti dsDNA dengan ketebalan tunika intima-media arteri karotis pada pasien LES.

Background: Anti dsDNA is considered as one of SLE-related risk factors for atherosclerosis. The evaluation of Carotid intimal-media thickness has recently became one of the surrogate markers for atherosclerosis. Until now, there hasn't been any study relate the level of anti dsDNA antibody with Carotid intimal-media thickness. This study is conducted to determine the correlation between anti dsDNA and Carotid intima-Media Thickness.
Methods: This is a cross sectional study, 84 SLE patients were included. Patients diagnosed as SLE according to ACR 1997 or SLICC 2012 criteria were included in the study, while SLE patients with anatomical variation which difficult to measured were excluded from this study. Doppler ultrasound was carried out for patients and max-IMT was measured. Anti dsDNA was measured with ELISA.
Study results: Eighty four subjects (82 female, 2 male) were included. Mean age was 35,5 ±8,9 years old, 64,3 % between 18-39 years old, median anti dsDNA level 38,9 IU/L (0,9 - 750 IU), and median max-IMT value was 581 μm. There were 43 (51,2 %) patients Carotid intima-media thickness, 36 (42,9%) patients with increased IMT only, 6 (7,1%) patients with increase IMT and Plaque, and 1 (1,2%) patient with plaque in near wall left bulbus without increased IMT. Based on spearman's correlation test there are no correlation between anti dsDNA and max-IMT (r=-0,073, p= 0,520).
Conclusion: There are no correlation between anti dsDNA level and Carotid intimal-media thickness this study.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>