Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 211617 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Irfan
"Latar belakang: Pasien dengan Penyakit Ginjal Tahap Akhir (PGTA) yang menjalani hemodialisis dilaporkan adanya penurunan pendengaran. Beberapa studi mengatakan adanya hubungan antara hemodialisis dengan penurunan pendengaran. Penurunan pendengaran yang terjadi juga diduga adanya faktor risiko lain seperti usia, hipertensi, diabetes melitus dan riwayat/lamanya dilakukan hemodialisis. Beberapa penelitian, dikatakan masih kontroversi sehingga dibutuhkan penelitian lebih lanjut.
Metode: Penelitian potong lintang pre dan post ini melibatkan 50 subyek penelitian yang sesuai kriteria inklusi dan ekslusi. Pemeriksaan dilakukan dengan menilai pemeriksaan otoskopi, dilanjutkan dengan pemeriksaan timpanometri, audiometri nada murni dan DPOAE (Disortion Product Otoacoustic Emissions). Pemeriksaan fungsi pendengaran dilakukan secara pre post hemodialisis. Pengolahan data dilakukan dengan uji t berpasangan dan Wilcoxon Signed Ranks Test, P-value.
Hasil: Pada penelitian ini didapatkan adanya hubungan bermakna (p<0,001) antara perubahan rerata ambang dengar dan SNR (Signal to Noise Ratio) dengan terapi hemodialisis pada pasien PGTA.
Kesimpulan: Hemodialisis dapat menurunkan ambang dengar dan perubahan SNR terutama pada frekuensi tinggi. Pada penelitian ini perubahan ambang dengar dan SNR bersifat reversibel, diperlukan penelitian lanjutan untuk mengetahui perubahan ambang dengar dan SNR yang bersifat irreversibel.

Introduction: Patients with End Stage Renal Disease (ESRD) undergoing hemodialysis reported hearing loss. Several studies suggest a relation between hemodialysis and hearing loss. The decrease in hearing that occurs is also suspected to be due to other risk factors such as age, hypertension, diabetes mellitus and history/length of hemodialysis. Some research is said to be still controversial so further research is needed.
Methods: This cross-sectional pre and post study involved 50 research subjects who met the inclusion and exclusion criteria. The examination is carried out by assessing the otoscopic examination, followed by tympanometry, pure tone audiometry and DPOAE (Disortion Product Otoacoustic Emissions) examinations. Hearing function examination is carried out pre-post hemodialysis. Data processing was carried out using the paired t test and Wilcoxon Signed Ranks Test, P-value.
Results: In this study, it was found that there was a significant relationship (p<0.001) between changes in the average hearing threshold and SNR (Signal to Noise Ratio) with hemodialysis therapy in ESRD patients.
Conclusion: Hemodialysis can reduce hearing thresholds and changes in SNR, especially at high frequencies. In this study, changes in hearing threshold and SNR are reversible, further research is needed to determine whether changes in hearing threshold and SNR are irreversible.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prihatina Anjela
"Latar belakang: Penyakit ginjal tahap akhir (PGTA) menjadi sorotan global dengan prevalens yang meningkat. Data di Indonesia tahun 2018 menunjukkan prevalens PGTA pada kelompok usia ≥15 tahun sebesar 19,3%. Anak dengan PGTA yang menjalani dialisis, menghadapi risiko mortalitas tinggi. Kemajuan teknologi dialisis telah meningkatkan kesintasan, tetapi terdapat beberapa faktor yang memengaruhi mortalitas.
Tujuan: Mengetahui faktor yang memengaruhi kesintasan pasien PGTA pada anak yang menjalani dialisis. Dengan intervensi terhadap faktor tersebut, diharapkan dapat meningkatkan kesintasan pasien anak dengan PGTA.
Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif berbasis analisis kesintasan 3 tahun terhadap pasien anak dengan PGTA yang menjalani dialisis di RSCM, serta faktor yang memengaruhinya. Data diperoleh melalui penelusuran rekam medis di Instalasi Rekam Medis RSCM, dengan rentang waktu rekam medis dari 1 Januari 2016 hingga 31 Oktober 2020. Populasi terjangkau adalah pasien anak usia <18 tahun dengan PGTA yang menjalani dialisis di RSCM. Sampel penelitian merupakan bagian dari populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, dengan eksklusi terkait rekam medis yang tidak lengkap. Data dianalisis secara deskriptif dan menggunakan metode Kaplan-Meier untuk analisis kesintasan pasien secara keseluruhan. Analisis multivariat cox regression dilakukan untuk variabel yang memiliki nilai p < 0,250 pada uji bivariat.
Hasil: Penelitian ini melibatkan 207 subjek anak dengan PGTA. Proporsi jenis kelamin terdiri dari 52,7% lelaki, dengan usia dominan ≥ 5 tahun (92,3%). Sindrom nefrotik menjadi etiologi terbanyak (29%), diikuti oleh nefritis lupus (16,4%) dan hipoplasia ginjal (15,9%). Hemodialisis menjadi modalitas dialisis inisial utama (90,8%), dengan 77,8% subjek memiliki status gizi baik. Hipertensi dijumpai pada 65,5% subjek, dan anemia pada 93,7%. Sepsis menjadi penyebab kematian utama (38%). Kesintasan tiga tahun pasien mencapai 56,5%. Hasil analisis menunjukkan bahwa inisiasi dialisis pada usia <5 tahun [HR 3,26 (1,69-6,28)], etiologi glomerular [HR 2,02 (1,26-3,24)], dan gizi kurang/buruk [HR 1,59 (1,03-2,46)] berhubungan dengan risiko kematian yang signifikan.
Kesimpulan: Angka kesintasan 3 tahun pasien PGTA pada anak dengan dialisis di RSCM adalah 56,5%. Faktor yang memengaruhi kesintasan pasien PGTA anak di RSCM adalah inisiasi dialisis pada usia <5 tahun, etiologi glomerular, dan gizi kurang/buruk.

Background: End-Stage Renal Disease (ESRD) has garnered global attention with increasing prevalence. In Indonesia, ESRD prevalence in 2018 among individuals aged ≥15 years was 19.3%. Children with ESRD, particularly those undergoing dialysis, face a heightened risk of mortality. Technological advancements in dialysis have improved survival rates, yet several factors significantly influence mortality.
Objective: To identify factors that influence survival of children with ESRD undergoing dialysis. Intervention to these factors may improve the survival of children with ESRD.
Method: This study adopts a retrospective cohort design based on a 3-year survival analysis of pediatric patients with ESRD undergoing dialysis at RSCM, along with influencing factors. Data were obtained through the retrieval of medical records from the RSCM Medical Record Installation, covering the period from 1 January 2016 to 31 October 2020. The population comprised children under 18 years old with ESRD who are undergoing dialysis at RSCM. The study sample represents a subset of the accessible population meeting inclusion and exclusion criteria, with exclusions related to incomplete medical records. Descriptive analysis and Kaplan- Meier methods were employed for overall patient survival analysis. Multivariate Cox regression analysis was conducted for variables with a p-value < 0.250 in bivariate tests.
Results: The study involved 207 pediatric ESRD subjects. Gender distribution was 52.7% male, with the majority aged ≥ 5 years (92.3%). Nephrotic syndrome was the most prevalent etiology (29%), followed by lupus nephritis (16.4%) and renal hypoplasia (15,9%). Hemodialysis was the predominant initial dialysis modality (90.8%), with 77.8% of subjects having good nutritional status. Hypertension was found in 65.5% of subjects, and anemia in 93.7%. Sepsis emerged as the leading cause of death (38%). Three-year survival reached 56.5%. Analysis results indicated that initiation of dialysis at age <5 years [HR 3.26 (1.69-6.28)], glomerular etiology [HR 2.02 (1.26-3.24)], and moderate/severe malnutrition [HR 1.59 (1.03-2.46)] were associated with a significant risk of mortality.
Conclusion: Three years survival of children with ESRD undergoing dialysis at RSCM was 56.5%. Factors that influence the survival were initiation of dialysis at age <5 years, glomerular etiology, and moderate/severe malnutrition.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ihsan Soemanto
"Latar belakang: Penyakit ginjal tahap akhir (PGTA) masih menjadi permasalahan nasional dan internasional, salah satu faktor penyebabnya adalah Diabetes Melitus tipe 2 (DM). Hemodialisa menjadi pilihan terbanyak terapi pengganti ginjal bagi para pasien PGTA, dengan fistula arteriovenosa autogen (FAV) menjadi pilihan terbaik akses karena rendah angka komplikasi dan intervensi. Penentuan maturasi dan waktu kanulasi FAV masih bervariasi dan masih banyak dipelajari. Salah satu faktor utama keberhasilan maturasi FAV adalah feeding arteri. Rekomendasi KDOQI penggunaan FAV yaitu “rule of 6”, dan rekonstruksi FAV bracchiocephalica untuk kasus PGTA dengan komorbid DM. Penelitian ini diharapkan bahwa parameter arteri brachialis sebagai feeding artery menggunakan USG linear dapat menjadi prediktor maturasi FAV.
Subjek dan metode: seluruh pasien PGTA dengan DM tipe 2 yang menjalani operasi FAV brachiocephalica. Dengan menggunakan data sekunder dilihat parameter sebelum operasi berupa diameter, peak systole (PS), volume flow (VF), dan Intimal Medial Thickness (IMT) arteri brachialis yang akan dilakukan anastomosis, dan penilaian maturasi pada minggu 1,2,4,6,8 pasca operasi.  Penilitian ini menggunakan analisis komparatif kategorik 2 kelompok tidak berpasangan dengan uji hipotesis T test. Nilai perbedaan rerata (mean difference) dan p dipresentasikan. nilai p=0.05 menunjukkan terdapat hubungan bermakna secara statistik.
Hasil: 64 pasien masuk dalam penelitian, jumlah maturasi pada minggu 1,2,4,6,8 pasca operasi: 6 (9,37%), 12 (18,75%), 20 (31,25%), 37 (57,81%), dan 47 (73,43%). Dari keseluruhan variabel bebas yang di teliti tidak ada yang menunjukan hubungan bermakna terhadap maturasi FAV. Ditemukan VF dan PS yang selalu konsisten lebih tinggi pada kelompok matur di setiap waktu pemeriksaan.
Kesimpulan: parameter VF, PS dan IMT arteri brachialis sebelum operasi belum dapat menjadi prediktor untuk keberhasilan maturasi pada pasien PGTA dengan DM tipe 2. Diperlukan penelitian lanjut menilai parameter lain termasuk faktor outflow dan faktor lainnya dengan sampel lebih besar.

Background; End stage renal disease is an increasing national and global health problem, with diabetic type 2 as one of its most common cause. Hemodialysis is still the most frequent choice for renal substitution therapy. And native arteriovenous fistula is still the best option for hemodialysis access because of the lowest number of complication and intervention. But the method for determining AVF maturation and time for cannulation still varies and need to be studied more.  One of the main factors for AVF maturation is feeding artery. KDOQI had recommend “rule of 6” as maturation condition, other recommendation stated that brachiocephalic AVF should be constructed for end renal stage disease with diabetes mellitus.  This study aim to know whether preoperative feeding artery linear duplex scan parameters can be used as a predictor for the AVF maturation.  
Subject and Methods: Subjects were patient with end stage renal disease with diabetic type 2, who had brachiocephalic AVF surgery. Subject were taken from secondary data and diameters, peak systole (PS), volume flow (VF), and intimal medial thickness (IMT) of brachial artery were collected before surgery. Maturation time was determined with draining vein examination at 1st, 2nd, 4th, 6th and 8th weeks after surgery. Data analysis was done using unpaired t-test. P value below 0.05 were considered significant.
Results: 64 patients were included in this study. The number of patients with mature AVF in 1, 2, 4, 6, and 8 weeks were 6 (9,37%), 12 (18,75%), 20 (31,25%), 37 (57,81%), and 47 (73,43%) consecutively. All independent variables showed no statistically significant difference between mature and non-mature group. We found VF and PS scores to be consistently higher at mature group compared to non-mature group in all examination time.
Conclusion: Preoperative VF, PS, IMT of the feeding artery could not predict the maturation and time to mature of brachiocephalic AVF in end stage renal disease with diabetic type 2 patients. Further research is required, especially to study other paramaters include outflow and other factors with larger sampel size.

 

Keywords: AVF maturation, feeding artery, duplex scan

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yohana Gowara
"Kelainan regio orofasial pada GGT pasien gagal ginjal terminal (GGT) yang menjalani hemodialisis. Beberapa kelaian orofasial pada pasien gagal ginjal terminal yang menjalani hemodialisis telah dilaporkan. Namun, sampai saat ini, terutama di Indonesia, data yang ada tentang hal tersebut masih sangat terbatas.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kelainan orofasial pada pasien GGT yang menjalani hemodialisis di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Indonesia.
Metode: Desain penelitian adalah studi observasi potong lintang. Subjek penelitian dipilih berdasarkan metode consecutive sampling. Sebanyak 93 pasien yang memenuhi kriteria inklusi merupakan subjek penelitian ini. Subjek berpartisipasi dalam wawancara menggunakan kuesioner yang menanyakan tentang adanya keluhan subjektif, pemeriksaan klinis dan pengukuran saliva.
Hasil: Serostomia (82,8%), dysgeusia (66,7%), rasa metal (57%), rasa baal perioral (24,7%) merupakan gejala yang sering ditemukan. Temuan klinis meliputi tongue coating (100%), deposit kalkulus (97,8%), mukosa mulut yang pucat (94,6%), sialosis (75,3%), bau uremik (40,9%), bercak hemoragik (39,8%), angular keilitis (37,7%), perdarahan gingival (15,1%), dan kandidiasis oral (3,2%). Perubahan saliva terkait peningkatan viskositas (86%), pH (80,6%), kapasitas dapar (76,3%). Selanjutnya terjadi pengurangan tingkat hidrasi mukosa (79,6%) dan laju alir saliva tanpa stimulasi (22,6%) dan dengan stimulasi (31,2%).
Simpulan: Temuan kelaianan orofasial pada penelitian ini membutuhkan perhatian dan penanganan yang menyeluruh untuk meningkatkan kualitas hidup pasien dengan gagal ginjal terminal GGT.

Several orofacial disorders in patients with end stage renal disease (ESRD) undergoing hemodialysis have been reported. However, up to the present, particularly in Indonesia, such data still limited.
Objective: the purpose of this study was to assess the orofacial disorders in patients with ESDR undergoing hemodialysis at Cipto Mangunkusumo Hospital, Indonesia.
Methods: The study was conducted through observation using a cross-sectional design. The subjects were selected by consecutive sampling. Ninety-three patients fulfilled the inclusion criteria and enrolled in this study. They participated in the structural interview-using questionnaire assessing subjective complaints; clinical examinations; and salivary measurements.
Results: Xerostomia (82.8%) dysgeusia (66.7%), metal taste (57%), perioral anesthesia (24.7%) were the common symptoms. Clinical findings consisted of tongue coating (100%), calculus deposits (97.8%), pallor of oral mucous (94.6%), sialosis (75.3%), uremic odor (40,9%), haemorrhagic spot (39.8%), angular cheilitis (37.7%), gingival bleeding (15.1%), and oral candidiasis (3.2%) were also found. Salivary changes showed the increase of salivary viscosity (86%), pH (80.6%), buffer capacity (76.3%) whereas decrease of mucous hydration level (79.6%) and the flow rates of unstimulated (22.6%) and stimulated (31.2%) whole saliva were observed.
Conclusion:
The findings of orofacial disorders required attention and further comprehensive management to enhance the quality of life of patients with ESDR.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2014
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Iffatul Faizah
"Anak End-Stage Kidney Disease (ESKD) dapat mengalami berbagai komplikasi yang diantaranya berupa gangguan tidur. Umum diketahui bahwa tidur memiliki peran penting dalam pertumbuhan serta perkembangan anak. Sayangnya data terkait gangguan tidur pada anak ESKD yang menjalani continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD) masih sangat sedikit yang menjadi alasan mengapa penelitian ini dilakukan. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui profil tidur anak ESKD yang menjalani terapi CAPD di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. (RSCM). Seluruh pasien anak ESKD yang menjalani CAPD dimasukkan menjadi subjek untuk dievaluasi sesuai kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi adalah menjalani CAPD minimal selama 1 bulan. Kriteria Eksklusi adalah konsumsi obat antikejang, antihistamin, antiansietas dan obat lain yang memiliki efek kantuk selama 3 hari sebelum pengisian kuesioner Skala Gangguan Tidur untuk Anak (SDSC). Gangguan tidur diidentifikasi pada 11 dari total sampel 20 pasien. Jenis gangguan tidur terbanyak berupa gangguan memulai serta mempertahankan tidur. Uji bivariat dilakukan dan tidak didapatkan hubungan bermakna antara usia, jenis kelamin, etiologi penyakit ginjal kronis (PGK) durasi CAPD, dan status gizi dengan skor total SDSC. Kesimpulan yang dapat diambil adalah prevalensi gangguan tidur anak ESKD yang menjalani CAPD di RSCM sebesar 55% serta belum ditemukan faktor bermakna terhadap gangguan tidur pada populasi anak tersebut.

Children with End-Stage Kidney Disease (ESKD) can experience various complications, including sleep disturbances. It is commonly known that sleep has important roles in the growth and development of children. Unfortunately there is limited data regarding sleep disturbances in ESKD children undergoing continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD) which is the reason why this study was conducted. The purpose of this study was to determine the sleep profile of ESKD children undergoing CAPD at Cipto Mangunkusumo Hospital. (RSCM). All ESKD pediatric patients undergoing CAPD were included as subjects. The inclusion criteria were undergoing CAPD for at least 1 month. Exclusion criteria were anticonvulsants, antihistamines, antianxiety drugs consumption or other drugs with drowsy effect for 3 days before filling out the Sleep Disturbances Scale for Children (SDSC) questionnaire. Sleep disturbance was identified in 11 of the total sample of 20 patients. The most common type of sleep disturbances is disturbance in initiating and maintaining sleep. Bivariate tests were carried out and found no association between age, sex, etiology of chronic kidney disease, duration of CAPD, and nutritional status with SDSC total score. Conclusion, the prevalence of sleep disorders in ESKD children undergoing CAPD at RSCM is 55% and no significant factors have been found for sleep disturbances in this population "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Athira Marsya Khairina
"Gangguan tidur umum ditemukan pada pasien end-stage kidney disease (ESKD) anak yang menjalani hemodialisis. Jumlah dan kualitas tidur berperan penting dalam pertumbuhan seorang anak. Penelitian ini bertujuan mengetahui persentase gangguan tidur dan hubungannya dengan usia, jenis kelamin, status gizi, etiologi, dan durasi hemodialisis pada pasien ESKD anak yang menjalani hemodialisis. Desain penelitian ini adalah cross-sectional dengan populasi pasien ESKD anak berusia 4-18 tahun yang menjalani hemodialisis di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM). Penilaian gangguan tidur menggunakan kuesioner sleep disturbance scale for children (SDSC) bahasa Indonesia. Pasien yang mengonsumsi obat antikejang, antihistamin, dan antiansietas selama 3 hari sebelum pengambilan data tidak diikutsertakan dalam penelitian. Didapatkan 88,9% dari total 27 pasien ESKD anak yang menjalani hemodialisis di RSCM mengalami gangguan tidur dengan jenis terbanyak (59,3%) gangguan memulai dan mempertahankan tidur. Analisis bivariat menunjukkan tidak ada hubungan signifikan (p>0,05) antara usia, jenis kelamin, status gizi, etiologi, dan durasi hemodialisis dengan gangguan tidur. Sebagai kesimpulan, gangguan tidur banyak ditemukan pada pasien ESKD anak yang menjalani hemodialisis di RSCM. Usia, jenis kelamin, status gizi, etiologi, dan durasi hemodialisis tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan gangguan tidur pada pasien ESKD anak yang menjalani hemodialisis di RSCM.

Sleep disturbances are common in pediatric end-stage kidney disease (ESKD) patients undergoing hemodialysis. Sleep quantity and quality play an important role in child’s growth. This study aims to determine the percentage of sleep disturbances and their association with age, gender, nutritional status, etiology, and duration of hemodialysis in pediatric ESKD patients undergoing hemodialysis. A cross-sectional study was conducted with a population of ESKD patients aged 4-18 years undergoing hemodialysis at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM). Sleep disturbances were assessed using the Indonesian language sleep disturbance scale for children (SDSC) questionnaire. Patients who took anticonvulsant, antihistamine, and anti-anxiety drugs for 3 days before data collection were not included. It was found that 88.9% of the total 27 pediatric ESKD patients undergoing hemodialysis at RSCM experienced sleep disturbances with the most frequent type was disturbances in initiating and maintaining sleep (59,3%). Bivariate analysis showed no significant relationship (p>0.05) between age, gender, nutritional status, etiology, and duration of hemodialysis and sleep disturbances. In conclusion, sleep disturbances are commonly found in pediatric ESKD patients undergoing hemodialysis at RSCM. Age, gender, nutritional status, etiology, and duration of hemodialysis had no significant association with sleep disturbances in pediatric ESKD patients undergoing hemodialysis at RSCM."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Allan Taufiq Rivai
"Hipoalbuminemia merupakan komplikasi yang umum ditemui pada penyakit ginjal kronik. Hemodialisis dapat pula menyebabkan keadaan hipoalbuminemia. Kadar albumin kurang dari 4 g/dl termasuk faktor risiko utama mortalitas pada pasien hemodialisis. Penelitian bertujuan untuk mengetahui status albumin serum pasien hemodialisis di RSCM pada bulan Februari tahun 2009 dan hubungannya dengan kelompok usia, jenis kelamin dan derajat lama hemodialisis (¡Ü 1 tahun dan > 1 tahun).
Penelitian menggunakan desain potong lintang. Subjek adalah pasien yang menjalani hemodialisis di RSCM pada bulan Februari 2009. Data kadar albumin serum dibagi menjadi dua status, yakni normal dan hipoalbuminemia. Hubungan antara kelompok usia, jenis kelamin derajat lama hemodialisis dan status albumin serum diuji dengan uji chi square (p<0,05).
Dari hasil penelitian, didapatkan 108 subjek dengan umur rerata 50,48 (SD 13,44) tahun, terdiri dari 57% pria dan 43% wanita. Median lama hemodialisis 2,3 (0,3-17,5) tahun. Proporsi hipoalbuminemia (kadar albumin serum < 4 g/dl) pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis di RSCM bulan Februari 2009 sebesar 41,7%. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kelompok usia (< 50 tahun dan ¡Ý 50 tahun) ataupun jenis kelamin dengan status albumin serum (normal dan hipoalbuminemia). Terdapat hubungan yang bermakna antara derajat lama hemodialisis (¡Ü 1 tahun dan > 1 tahun) dengan status albumin serum pasien hemodialisis di RSCM pada bulan Februari tahun 2009 (OR = 2,56; CI: 1,01 ¨C 6,58). Kadar albumin serum cenderung lebih rendah pada pasien dengan lama hemodialisis satu tahun atau kurang.

Hypoalbuminemia is a common complication in chronic renal disease. Hemodialysis can also cause hypoalbuminemia. Serum albumin level less than 4g/dl is a major risk factor for mortality in hemodialysis patients. The objective of the study is to know the state of serum albumin of hemodialysis patients in RSCM on February 2009 and its relationship with group age, sex, and degree of hemodialysis duration (¡Ü 1 year and > 1 year).
The design used was cross sectional study. Subjects were patients who undergo hemodialysis in RSCM on February 2009. The data of serum albumin level was categorized into normal or hypoalbuminemia state. The association between group age, sex, and degree of hemodialysis duration with the state of serum albumin were tested using chisquare test (p<0.05).
From the study, there were 108 patients with a mean age of 50.48 (SD 13.44) years old and a median hemodialysis duration of 2.3 (0.3-17.5) years, 57% were male and 43% were female. Proportion of hypoalbuminemia (serum albumin level < 4 g/dl) in patients who undergo hemodialysis in RSCM on February 2009 is 41.7%. There are no significant relationship between group age (< 50 years old and ¡Ý 50 years old) and sex with the state of serum albumin. The relationship between degree of hemodialysis duration (¡Ü 1 year and > 1 year) and the state of serum albumin is significant (OR = 2.56, CI: 1.01 ¨C 6.58). Serum albumin level tend to be lower in patients who undergo hemodialysis for 1 year or less.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S-pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Trisha Rahmi Dian Reswara
"End-stage kidney disease (ESKD) pada anak berdampak tidak terbatas pada aspek kesehatan fisik, tetapi juga perubahan emosi dan perilaku. Namun, kondisi ini seringkali diabaikan. Di Indonesia, data mengenai gangguan emosi dan perilaku khususnya pada pasien ESKD anak yang menjalani hemodialisis (HD) jumlahnya pun terbatas. Studi potong lintang ini dilakukan untuk mengetahui prevalensi, jenis gangguan, dan asosiasi faktor-faktor yang berhubungan terhadap gangguan emosi dan perilaku pada pasien ESKD anak yang menjalani HD. Total 28 pasien ESKD anak di RSCM usia 4-18 tahun yang menjalani hemodialisis minimal 1 bulan diikutkan dalam penelitian. Skrining gangguan emosi dan perilaku diukur menggunakan PSC-17. Analisis bivariat dilakukan menggunakan uji Chi-Square/Fisher. Studi ini menemukan prevalensi gangguan emosi dan perilaku pada pasien ESKD anak yang menjalani HD di RSCM sebesar 32%, dengan persentase abnormal tertinggi pada subskala internalisasi (21,4%). Variabel jenis kelamin menunjukkan hubungan signifikan (p<0,05) terhadap gangguan emosi dan perilaku.

Children with end-stage kidney disease (ESKD) have behavioral and emotional difficulties in addition to physical health problems. But this condition is frequently disregarded. Data on emotional and behavioral issues among pediatric ESKD patients in Indonesia, especially those receiving hemodialysis (HD), is still scarce. The purpose of this cross-sectional study is to identify the prevalence, type, and correlation of variables associated with emotional and behavioral issues in pediatric hemodialysis patients. There were a total of 28 pediatric ESKD patients at RSCM, ages 4 to 18, who received hemodialysis treatment for at least one month included in this study. The children were screened for emotional and behavioral problems using PSC-17 questionnaire. Bivariate analysis was measured using Chi-Square/ Fisher test. This study discovered the prevalence of behavioral and emotional issues in children with ESKD receiving HD in RSCM is 32%, high proportion found in internalization subscale (21.4%). The risk of emotional and behavioral issues was shown to be significantly correlated with gender (p<0.05)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Agustian
"

Latar Belakang: Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah kondisi serius dengan morbiditas dan mortalitas tinggi, ditandai oleh kerusakan ginjal selama lebih dari tiga bulan. Hemodialisis adalah tatalaksana umum untuk PGK lanjut, yang dijalani oleh 19,33% pasien di Indonesia. Risiko Penyakit Kardiovaskular (PKV) pada PGK stadium 4-5 mencapai 50%, dengan 40% kematian terkait PKV. Padahal sebanyak 12,5% pasien CKD ditemukan pada pasien yang sudah memiliki penyakit kardiovaskular. Maka biomarker seperti Pentraxin-3 (PTX3) penting untuk diagnosis dan prognosis, terutama karena telah ditemukan lebih efektif daripada C-Reactive Protein (CRP) dan biomarker inflamasi lain. PTX3 juga bersifat kardioprotektif dan dapat memprediksi kejadian Major Adverse Cardiovascular Events (MACE) tetapi belum pernah ada penelitian yang memprediksi MACE pada pasien PGK. Penelitian ini termasuk dalam penelitian CARE-CKD di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan menganalisis kemampuan PTX3 dalam memprediksi MACE pada pasien PGK.

Tujuan: Mengetahui kadar, nilai potong, dan kemampuan PTX3 dalam memprediksi MACE pada pasien PGK yang menjalani HD di RSCM, dengan kalibrasi dan diskriminasi baik setelah dikontrol faktor jenis kelamin, usia, IMT dan infeksi.

Metode: Penelitian ini menggunakan desain kohort retrospektif. Data sekunder dari pasien PGK yang menjalani hemodialisis dianalisis untuk melihat hubungan kadar PTX3 dengan kejadian MACE selama satu tahun. Analisis statistik menggunakan SPSS versi 26.

Hasil:

Pada 74 pasien PGK yang menjalani HD di RSCM, kadar PTX–3 median adalah 0,9 ng/mL. Dari mereka, 11 pasien mengalami MACE dengan PTX–3 median 1,324 ng/mL. Analisis ROC menunjukkan AUC 0,630. PTX–3 dapat memprediksi MACE, dengan cut-off 1,317 ng/mL.

Simpulan: Pentraxin 3 dapat menjadi prediktor MACE pada pasien PGK yang menjalani HD yang baik setelah dikontrol oleh variable perancu.


Background: Chronic Kidney Disease (CKD) is a serious condition with high morbidity and mortality, characterized by kidney damage for over three months. Hemodialysis is a common treatment for advanced CKD, undertaken by 19.33% of patients in Indonesia. The risk of Cardiovascular Disease (CVD) in CKD stages 4-5 reaches 50%, with 40% of deaths related to CVD. Therefore, biomarkers like Pentraxin-3 (PTX3) are crucial for diagnosis and prognosis, as PTX3 has been found to be more effective than C-Reactive Protein (CRP) and other inflammatory biomarkers. PTX3 also has cardioprotective properties and can predict Major Adverse Cardiovascular Events (MACE), though no studies have yet predicted MACE in CKD patients. This research is part of the CARE-CKD study at Cipto Mangunkusumo Hospital and will analyze PTX3's ability to predict MACE in CKD patients.

Objective: To determine the levels, cut-off value, and predictive ability of PTX3 for Major Adverse Cardiovascular Events (MACE) in Chronic Kidney Disease (CKD) patients undergoing hemodialysis at Cipto Mangunkusumo Hospital, with good calibration and discrimination after controlling for gender, age, BMI, and infection factors.

Methods: This study utilized a retrospective cohort design. Secondary data from CKD patients undergoing hemodialysis were analyzed to examine the relationship between PTX3 levels and MACE occurrences over one year. Statistical analysis was conducted using SPSS version 26.

Results: In 74 CKD patients undergoing HD at Cipto Mangunkusumo Hospital, the median PTX-3 level was 0.9 ng/mL. Among them, 11 patients experienced MACE with a median PTX-3 level of 1.324 ng/mL. ROC analysis indicated an AUC of 0.630. PTX-3 can predict MACE, with a cut-off of 1.317 ng/mL.

Conclusions: Pentraxin 3 could be a predictor of MACE in CKD patients undergoing HD after calibration of confounding factors."

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tatu Meri Marwiyyatul Hasna
"ABSTRAK
Gangguan mineral tulang GMT merupakan salah satu komplikasi pada penyakitginjal kronik PGK . GMT-PGK menyebabkan gangguan sistemik padametabolisme mineral yang mengakibatkanabnormalitaskadar mineral, kelainanturn overtulang dan kalsifikasi pembuluh darah. Pada pasien PGK yang menjalanidialisis rutin GMT dapat meningkatkan angka mortalitas sebesar 20 . Penelitianini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguanmineral tulang pada pasien yang menjalani hemodialisis rutin. Desain penelitian iniadalahcross sectional, menggunakan 72 responden pasien hemodialisis rutin diRSUPN. DR. Cipto Mangunkusumo Jakarta, dipilih dengan menggunakan TeknikConcecutive sampling. Data mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengangangguan mineral tulang ini diperoleh melalui wawancara dan data rekam medikpasiendalam tiga bulan terakhir. Analisis yang digunakan adalahuji chi-square,hasil uji statistik menyatakan terdapat hubungan yang bermakna antara faktor usia,jenis kelamin, status nutrisi: obesitas, lama menjalani hemodialysis dan kepatuhanpenggunaan pengikat posfatdengan GMT p0,05 . Penelitian inimerekomendasikan kepada praktisi kesehatan untuk membuat suatu protokoluntukdeteksi dini terjadinya resiko GMTpada pasien PGKyang menjalani hemodialisisberdasarkan faktor-faktor tersebut.

ABSTRACT
Mineral and bone disorder MBD is complications which may occur in chronickidney disease CKD . CKD MBD is characterized by systemic disorder of mineralmetabolism which leads to abnormality of blood mineral level, alterationof boneturnover, and calcification blood vessels that may result in an increased morbidityand mortality. MBD may increase mortality rate of CKD patients undergoingregular hemodialysis up to 20 . This study aimed to identify factors affectingmineral andbone disorder among patients undergoing regular hemodialysis. Thestudy design wascross sectionalwith total sample of 72 patients undergoingregular hemodialysis in RSUPN. DR. Cipto Mangunkusumo selected by consecutivesampling. Data regarding factors affecting mineral and bone disorder wereobtained through interview and medical record of the past three months. The datawere analyzed by chi square test. The result suggested that there was a significantcorrelation between age, sex, nutritional status obesity, time since firsthemodialysis and adherence to phosphate binder regimen and MBD p0.05 . Developing a protocol for early detection of complications dueto bone and mineral disorder is recommended for patient with CKD undergoingregular Hemodialysis."
2017
S67990
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>