Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 187509 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nasution, Keren Esterlita
"Latar Belakang : Ketakutan dan kecemasan dental (KKD) orang tua dapat menghambat perawatan gigi pada anak. KKD orang tua dapat menyebabkan kunjungan perawatan yang ireguler, perilaku menghindar dari perawatan, hingga transmisi KKD pada anak. Salah satu perawatan gigi yang paling banyak menyebabkan KKD adalah injeksi intraoral dengan prevalensi sekitar 11,7% - 91%. Metode Cognitive Behavioural Therapy (CBT) merupakan gold standard manajemen ketakutan dan kecemasan saat ini. Metode ini dikembangkan untuk memberi akses yang lebih mudah bagi orang yang membutuhkan yakni melalui CBT bantu diri yang dapat dilakukan secara mandiri melalui berbagai media. Alat bantu diri CBT diketahui mampu mengatasi KKD. Salah satu media yang paling unggul adalah aplikasi seluler yang menyediakan audiovisual yang interaktif. Tujuan : Menganalisis perbedaan antara tingkat KKD terhadap injeksi intraoral sebelum dan sesudah menggunakan aplikasi “Siap ke Dokter Gigi” sebagai alat bantu diri dengan prinsip CBT. Hasil : Terdapat perbedaan bermakna antara tingkat KKD terhadap injeksi intraoral sebelum dan sesudah menggunakan aplikasi “Siap ke Dokter Gigi” (p<0,05) dengan penurunan rerata skor tingkat KKD terhadap injeksi intraoral sebelum dan sesudah menggunakan aplikasi yakni 40,5 dan 28,97 secara berurutan Kesimpulan : Aplikasi “Siap ke Dokter Gigi” mampu menurunkan tingkat KKD terhadap injeksi intraoral pada orang tua pasien anak.

Backgrounds : Parental dental fear and anxiety (DFA) can hinder dental care in children. Parental fear and anxiety can lead to irregular treatment visits, treatment avoidance behavior, and transmission of fear and anxiety to the child. One of the most common dental treatments that cause dental fear and anxiety is intraoral injection with a prevalence of around 11.7% - 91%. Cognitive Behavioural Therapy (CBT) is the current gold standard of fear and anxiety management. This method was developed to provide easier access for people in need through self-help CBT that can be done independently through various media. CBT self-help tools are known to be able to overcome dental fears and anxiety. One of the most excellent media is a mobile application that provides interactive audiovisuals. Objective : To analyze the difference between the level of DFA towards intraoral injection before and after using the "Siap ke Dokter Gigi" application as a self- help tool with CBT principles. Results : There was a significant difference between the level of DFA towards intraoral injection before and after using the "Ready to Dentist" application (p<0.05) with a decrease in the mean score of the level of MHI towards intraoral injection before and after using the application, namely 40.5 and 28.97 respectively. Conclusion : The “Siap ke Dokter Gigi” application was able to reduce the rate DFA for intraoral injection in pediatric patient’s patient."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sita Resmi Listya Nur Amalia
"

Latar Belakang : KKD terhadap tindakan injeksi intraoral merupakan hal yang sering dialami pada kelompok anak-anak dan dapat dikaitkan dengan pengalaman yang traumatis. Adanya KKD dapat menyebabkan anak cenderung menghindari perawatan dental. Metode pendekatan perilaku Terapi Perilaku Kognitif (TPK) merupakan terapi intervensi psikologis yang menggabungkan terapi kognitif dengan perilaku dan terbukti efektif untuk mengatasi KKD terhadap tindakan injeksi intraoral. Metode TPK terdiri atas beberapa prinsip, yaitu psikoedukasi, restrukturisasi kogntif, paparan dan teknik relaksasi.Tujuan : Untuk menganalisis perbedaan tingkat KKD terhadap tindakan injeksi intraoral pada anak usia 8-12 tahun sebelum dan setelah penggunaan aplikasi bantu diri “Siap ke Dokter Gigi” yang menerapkan prinsip TPK. Metode penelitian : Penelitian eksperimental klinis dengan desain one-group pretest-posttest. Subjek penelitian diukur tingkat KKD terhadap tindakan injeksi intraoral sebelum penggunaan aplikasi “Siap ke Dokter Gigi”, lalu diberikan aplikasi “Siap ke Dokter Gigi” saat akan dilakukan tindakan injeksi intraoral. Tingkat KKD diukur kembali setelah pemberian aplikasi “Siap ke Dokter Gigi”, setelah tindakan injeksi intraoral pada kunjungan berikutnya. Hasil : Hasil uji analisis Wilcoxon berbeda bermakna bermakna secara statistik (Wilcoxon, p < 0,05) terhadap tindakan injeksi intraoral sebelum dan setelah pemberian aplikasi bantu diri “Siap ke Dokter Gigi” pada anak usia 8-12 tahun. Kesimpulan : Penerapan prinsip TPK dalam aplikasi bantu diri “Siap ke Dokter Gigi” berpotensi untuk menurunkan tingkat KKD anak usia 8-12 tahun terhadap tindakan injeksi intraoral.


Backgrounds: Dental fear and anxiety (DFA), especially in intraoral injection, are common problems in children and are associated with traumatic experiences; thus, they may act as a barrier for children to access dental treatment. The efficacy of Cognitive Behavioral Therapy (CBT) in alleviating dental fear and anxiety on intraoral injections has been studied previously. The CBT principle consists of psychoeducation, cognitive restructuring, exposure and relaxation techniques, which can be delivered using a self-help module to reduce chair time. Aims: To analyze the differences in dental fear and anxiety on intraoral injections before and after intervention with CBT principles as a self-help mobile application for children aged 8-12. Methods: A clinical experimental study was performed with a one-group pre-test and post-test design. The dental fear and anxiety levels in intraoral injection were measured in subjects who attended FKG UI Dental Hospital during their first visit (pre-test) and met the inclusion subject criteria for the current study. Afterwards, the self-help CBT mobile application “Siap ke Dokter Gigi” was given to the participants. The final measurement of dental fear and anxiety levels were determined after the intraoral injection in the subsequent visit (post-test). Results: Dental fear and anxiety levels of intraoral injection decreased significantly after the intervention using the self-help CBT mobile application “Siap ke Dokter Gigi” (Wilcoxon Test, p < 0,05) in child patients aged 8-12. Conclusion: The self-help CBT mobile application “Siap ke Dokter Gigi” could potentially reduce dental fear and anxiety in children aged 8-12 who were worried about getting intraoral injections during their dental visits."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cahya Aulia Ainani
"Latar Belakang: Kecemasan dental merupakan suatu perasaan negatif yang tidak beralasan saat berkunjung ke dokter gigi untuk melakukan perawatan gigi. Kecemasan dental ini dapat menjadi hambatan bagi pasien anak maupun dewasa dalam melakukan perawatan gigi. Pengalaman buruk dental seperti rasa sakit saat perawatan, sikap tim dokter gigi yang kurang ramah, serta adanya rasa malu yang timbul akibat kondisi gigi geligi dapat menjadi faktor yang menimbulkan kecemasan dental. Pengalaman dental tersebut dapat terjadi pada masa anak-anak, remaja, dan dewasa. Banyak penelitian yang telah dilakukan tentang hubungan kecemasan dental dengan pengalaman dental sebelumnya, salah satunya telah dibuktikan bahwa tidak adanya hubungan antara kecemasan dental dan pengalaman dental.
Tujuan: Menganalisis hubungan kecemasan dental saat ini dan pengalaman dental pada anak yang pernah berkunjung ke dokter gigi.
Metode: Data diambil secara daring dengan studi potong lintang pada siswa/i Bimbingan Belajar Nurul Fikri di seluruh wilayah DKI Jakarta menggunakan alat ukur berupa kuesioner CFSS-DS (Children’s Fear Survey Schedule-Dental Subscale) yang telah dimodifikasi urutannya dengan total subjek berjumlah 82 orang. Analisis data dilakukan dengan analisis univariat dan bivariat menggunakan SPSS.
Hasil:  Persentase terbesar tingkat kecemasan dental tinggi terdapat pada pencabutan gigi atau ekstraksi gigi sebesar 15,52% dan berdasarkan Uji Chi-square terlihat terdapat hubungan yang tidak bermakna (p > 0,05) antara kecemasan dental saat ini dan jenis perawatan dental yang pernah dilakukan.
Kesimpulan: Pada penelitian ini ditemukan bahwa terdapat hubungan yang tidak bermakna pada hubungan antara kecemasan dental saat ini dan pengalaman dental pada siswa/i Bimbingan Belajar Nurul Fikri di seluruh wilayah DKI Jakarta.

Background: Dental anxiety is an unreasonable negative feeling when visiting the dentist for dental treatment. Dental anxiety can be an obstacle for pediatric and adult patients in performing dental care. Bad dental experiences such as pain during treatment, the unfriendly attitude of the dental team, and the embarrassment that arises due to the condition of the teeth can be factors that cause dental anxiety. These dental experiences can occur in childhood, adolescence, and adulthood. Many studies have been conducted on the correlation between dental anxiety and previous dental experiences, one of which has proven that there is no correlation between dental anxiety and dental experience.
Objective: To analyze the correlation between current dental anxiety and dental experience in children who have visited the dentist.
Methods: Data were collected online by cross-sectional study on Nurul Fikri Tutoring students throughout DKI Jakarta using a measuring instrument in the form of a CFSS-DS (Children's Fear Survey Schedule – Dental Subscale) questionnaire which has been modified in order with a total of 82 subjects. Data analysis was performed by univariate and bivariate analysis using SPSS.
Results: The largest percentage of high dental anxiety levels was found in tooth extraction by 15.52% and based on Chi-square tests, it was seen that there was a non-significant correlation (p > 0.05) between current dental anxiety and types of dental treatment ever performed.
Conclusion: In this study, it was found that there was a non-significant correlation between current dental anxiety and dental experience in Nurul Fikri Tutoring students throughout DKI Jakarta.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Devina Maharani
"Latar belakang : Pelaksanaan penjaringan sebagai tindakan pencegahan karies gigi melalui identifikasi faktor risiko dan deteksi dini memiliki kendala seperti keterbatasan waktu dan tenaga kesehatan. Di sisi lain, kamera intraoral dengan resolusi yang baik, integrasi penyimpanan, dan konektivitas nirkabel mulai dimanfaatkan di komunitas dan kegiatan penjaringan. Tujuan: Untuk mendapatkan informasi sikap dan kepuasan siswa serta sikap dan penerimaan operator terhadap penggunaan kamera intraoral dalam penjaringan karies gigi. Mengetahui perbedaan sikap dan kepuasan siswa dengan berbagai karakteristik. Metode: Studi pre-experimental dengan instrumen kuesioner terhadap 191 siswa kelas enam sekolah dasar negeri di Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan serta pada 26 Mahasiswa Profesi Kedokteran Gigi Universitas Indonesia sebagai operator. Hasil: Mayoritas siswa memiliki sikap yang positif dan merasa puas setelah pemeriksaan. Operator memiliki sikap dan penerimaan yang positif. Berdasarkan uji Chi-Square, didapatkan perbedaan proporsi yang bermakna (p <0,05) antara wilayah sekolah dasar dengan sikap awal siswa dan jenis kelamin dengan kepuasan siswa. Kesimpulan: Mayoritas siswa belum pernah diperiksa dengan kamera intraoral sebelumnya. Kamera intraoral diterima dengan positif untuk penjaringan karies gigi. Mayoritas operator belum pernah menggunakan kamera intraoral sebelumnya. Penggunaan alat ini dapat diperkenalkan lebih luas kepada mahasiswa kedokteran gigi. Penelitian selanjutnya dapat mencoba ke tenaga kesehatan lain atau non tenaga kesehatan.

Background: The implementation of screening as a preventive measure for dental caries through risk factor identification and early detection has constraints such as time constraints and lack of health workers. On the other hand, intraoral cameras with good resolution, storage integration, and wireless connectivity are starting to be used in communities and screening programs. Objective: To describe the attitudes and satisfaction of students, the attitudes and acceptance of operators towards the use of intraoral cameras in dental caries screening. To find out the significant differences ini attitudes and satisfaction of students with various student characteristics. Methods: Preexperimental study using questionnaire for 191 sixth grade students of public elementary schools in Central Jakarta and South Jakarta and 26 dental professions students of Universitas Indonesia as operators. Results: The majority of students had a positive attitude and were satisfied after the examination. Operators had positive attitudes and acceptance. Based on the Chi-Square test, there was a significant difference in proportion (p < 0.05) between elementary school region and students’ initial attitude, gender and students’ satisfaction. Conclusion: The majority of students had never been examined with an intraoral camera before. The intraoral camera was positively accepted for dental caries screening. The majority of operators had never used an intraoral camera before. The use of this tool can be introduced more widely to dental students. Future research can try this method to other health workers or non-health workers"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marianti Enikawati
"Latar Belakang : Trauma di rongga mulut memiliki prevalensi yang tinggi, terutama pada anak-anak. Avulsi gigi merupakan kasus trauma di rongga mulut yang paling berat dan sering terjadi di sekolah. Sekitar 64,5% kasus avulsi gigi tidak mendapatkan penanganan yang tepat karena kurangnya pengetahuan guru sekolah terhadap pertolongan pertama avulsi gigi. Oleh karena itu, guru sekolah membutuhkan edukasi untuk meningkatkan prognosis perawatan pada anak. Salah satu media edukasi yang dapat digunakan yaitu poster. Penelitian mengenai pengaruh poster edukasi terhadap perubahan tingkat pengetahuan guru sekolah dasar mengenai pertolongan pertama mandiri avulsi gigi belum pernah dilakukan sebelumnya di Indonesia. Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbedaan tingkat pengetahuan guru sekolah dasar sebelum dan sesudah membaca poster edukasi “Pertolongan Pertama Mandiri Gigi Avulsi pada Anak” Metode Penelittian : Penelitian ini dilakukan di 13 sekolah dasar negeri di Jakarta Pusat, dengan total 54 guru yang memenuhi kriteria inklusi. Setelah mengisi informed consent, pengetahuan awal diukur dengan menggunakan kuesioner kemudian guru membaca poster edukasi mengenai pertolongan pertama avulsi gigi. Setelah membaca poster, guru mengisi kembali kuesioner yang berisi pertanyaan yang sama. Perbedaan total skor pengetahuan sebelum dan sesudah membaca poster edukasi diuji secara statistik. Hasil : Nilai median total skor sebelum membaca poster adalah 5 sedangkan nilai median setelah membaca poster adalah 10. Hasil uji Wilcoxon menunjukkan nilai p=0.000 yang menandakan terdapat perbedaan signifikan antara tingkat pengetahuan guru sekolah dasar sebelum dan sesudah membaca poster edukasi Kesimpulan : Terdapat perbedaan tingkat pengetahuan guru sekolah dasar sebelum dan sesudah membaca poster edukasi “Pertolongan Pertama Mandiri Gigi Avulsi pada Anak” yang menandakan poster edukasi merupakan media edukasi yang efektif. 

Background : Oral trauma has a high prevalence, especially in children. Dental avulsion is the most severe type of oral trauma and school is the common place where dental avulsion occurs. Arround 64.5% of dental avulsion cases did not get proper treatment due to inadequate teachers’ knowledge about first aid management of dental avulsion; therefore, teachers need education to improve the prognosis of treatment. One of the educational media that can be used is poster. Research on educational poster’s effect on the knowledge of elementary school teachers regarding first aid management of dental avulsion has never been done in Indonesia. Objective: The purpose of this study is to analyse the difference of level on the knowledge of Elementary School Teachers Before and After Reading Educational Posters “First Aid Management Of Dental Avulsion on Children” Methods : This study was conducted in 13 public primary schools in central Jakarta, with a total of 54 teachers who met the inclusion criteria. After filling out the informed consent, initial knowledge was measured using a questionnaire, then the teacher read an educational poster about the first aid management of dental avulsion. After reading the poster, the teachers answered the questionnaire, which included the same questions as the first questionnaire. The difference between total knowledge scores before and after reading the educational poster was statistically counted. .Results : The median of total score before reading the poster was 5 while the median of total score after reading the educational poster was 10. The Wilcoxon test showed a significant difference (p=0.000) between the level of knowledge of elementary school teachers before and after reading the educational poster. Conclusion : There is a difference in the level of knowledge of elementary school teachers before and after reading the educational poster "Independent First Aid for Children's Avulsion Teeth" which indicates that the educational poster is an effective educational tool. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hasti Raissa
"Latar Belakang: Karies gigi merupakan penyakit gigi dan mulut yang terbanyak di Indonesia dan dapat dicegah dengan cara menjaga kebersihan mulut salah satunya menyikat gigi yang dapat menurunkan bakteri Streptococcus mutan. Bakteri ini akan membentuk plak dan menghasilkan asam yang dapat menyebabkan demineralisasi jaringan keras gigi.
Tujuan: Mengetahui perbedaan kuantitas bakteri Streptococcus mutan pada plak gigi antara menyikat gigi sebelum dan sesudah makan terhadap subjek yang berumur 19-22 tahun.
Metode: Desain pada penelitian ini dengan menggunakan metode crossover. Pengambilan data dilakukan terhadap 20 orang subjek, yang mana dibagi secara random alokasi menjadi dua kelompok yang masing-masing akan dilakukan perlakuan menyikat gigi sebelum dan setelah makan dengan waktu washout selama seminggu.
Hasil: Analisis statistik mengunakan metode uji mann-whitney diperoleh p-value 0,598 yang menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan kuantitas bakteri Streptococcus mutan pada plak gigi yang signifikan antara menyikat gigi sebelum dan sesudah makan. Akan tetapi kuantitas bakteri Streptococcus mutan pada plak gigi dengan menyikat gigi sebelum makan yaitu 193.333 CFU/ml lebih besar di bandingkan bakteri Streptococcus mutan pada plak gigi dengan menyikat gigi setelah makan sebanyak 180.000 CFU/ml.
Kesimpulan: Kuantitas bakteri Streptococcus mutan pada plak gigi dengan perlakuan menyikat gigi setelah makan lebih sedikit dibandingkan dengan menyikat gigi sebelum makan. Akan tetapi dari analisis statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan kuantitas bakteri Streptococcus mutan pada plak yang signifikan antara menyikat gigi sebelum dan sesudah makan.

Background: Dental caries is the most dental and oral disease in Indonesia and can be prevented by maintaining oral hygiene, one way is by toothbrushing which can reduce the bacteria Streptococcus mutan. These bacteria will become dental plaque and produce acid which can causes demineralization of hard tissue.
Objective: To determine the different in the numbers of bacteria Streptococcus mutan in dental plaques between toothbrushing before and after eating in 19-22 years.
Method: The design of this study using the crossover. Data retrieval was carried out on 20 subjects, which were randomized allocation in two groups with washout time for a week.
Results: Analysis statistic using the mann-whitney test obtained p-value 0.598 that there was no significant difference between brushing teeth before and after eating. However, the number of bacteria Streptococcus mutan on dental by toothbushing before eating is 193,333 CFU/ml bigger than the number of bacteria Streptococcus mutan on dental plaque by toothbushing after eating is 180,000 CFU/ml.
Conclusion: The number of bacteria Streptococcus mutan on dental plaque by toothbrushing after eating was less than the group brushing before eating. However, the results from analysis statistic showed that there is no statistically significant difference between the numbers of bacteria Streptococcus mutan brushing teeth before and after eating.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hans Christian
"Kecemasan merupakan hambatan bagi pasien dewasa maupun anak-anak dalam melakukan kunjugan dental. Usia 8 tahun merupakan masa perkembangan anak pada tahap akhir dari middle childhood dan usia 11 tahun merupakan masa perkembangan anak pada tahap akhir dari late childhood; kedua kelompok usia tersebut memperlihatkan perkembangan fisik, sosio-emosional serta kognitif yang berbeda. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan tingkat kecemasan dental pada anak usia 8 dan 11 tahun, serta perbedaan tingkat kecemasan dental berdasarkan jenis kelamin.
Data diambil melalui wawancara pada siswa Sekolah Dasar Pelangi Kasih usia 8 dan 11 tahun pada tahun ajaran 2008-2009 menggunakan alat ukur berupa kuesioner CFSS-DS (Children?s Fear Survey Schedule ? Dental Subscale) yang telah dimodifikasi urutannya dengan masing-masing usia berjumlah 100 anak. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ersentase terbesar tingkat kecemasan dental tinggi terdapat pada anak usia 8 tahun sebesar 27% dan berdasarkan uji chi-square erlihat perbedaan tingkat kecemasan dental yang bermakna (p < 0,05) antara usia 8 dan 11 tahun. Sementara itu, berdasarkan jenis kelamin baik pada usia 8 dan 11 tahun, anak perempuan memiliki tingkat kecemasan dental yang lebih tinggi daripada anak laki-laki dengan masing-masing persentase sebesar 35,3% dan 20,8%; dan menggunakan uji chi-square terlihat perbedaan namun tidak ermakna (p > 0,05).

Dental anxiety is an inhibitor for adults and children patients to make a dental visit. A 8-year-old is the last stage of middle childhood in child development phase and a 11-year-old is the last stage of late childhood in child developmemt phase. These 2 groups show the difference of physical, social-emotional, and cognitive development. The aim of this study is to know the difference of dental anxiety on 8 and 11 years old children and it is based on the children?s gender.
The data is taken through the interview from Pelangi Kasih Primary School students period 2008-2009 at the age of 8 and 11 years old using measurement tool in questionnaire form called CFSS-DS (Children?s Fear Survey Schedule ? Dental Subscale) and the arrangement has been modified. The questionnaire is given out to 100 children for each age. This study is a qualitative study with descriptive design.
The study results show that 8 years old children have the greatest percentage in high level dental anxiety which is 27% and from chi-square test shows a significant difference (p < 0.05) in dental anxiety between 8 and 11 years old. Meanwhile, based on the gender, girls have higher dental anxiety than boys for both 8 and 11 years old children with each percentages are 35.3% and 20.8%; and from chi-square test shows differences but not ignificant (p > 0.05).
"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rizka Safira Ramadani
"Latar belakang: Kegawatdaruratan gigi dan mulut merupakan kondisi pada gigi dan mulut yang dapat mengancam nyawa dan membutuhkan perawatan segera, meliputi perdarahan yang tidak terkontrol, nyeri akibat infeksi, selulitis atau abses yang disertai pembengkakan intraoral dan ekstraoral yang dapat membahayakan jalan napas, serta trauma dental. Anak dalam rentang usia 3-6 tahun cenderung aktif dan banyak bergerak sehingga rentan mengalami trauma. Adanya pandemi COVID-19 yang dapat ditransmisikan melalui droplet dan aerosol menyebabkan adanya risiko penularan COVID-19 di lingkungan praktik dokter gigi, sehingga perawatan yang dapat dilakukan terbatas hanya untuk kegawatdaruratan gigi dan mulut. Pengetahuan mengenai kondisi kegawatdaruratan gigi dan mulut anak diperlukan oleh orang tua agar dapat menentukan tindakan yang tepat untuk mengatasi kondisi tersebut, karena sebagai caregiver anak, orang tua sering kali menjadi yang pertama kali merespon terhadap kondisi kegawatdaruratan. Oleh karena itu, diperlukan komunikasi, informasi, dan edukasi kepada orang tua mengenai kegawatdaruratan gigi dan mulut anak.
Tujuan: Mengetahui perbedaan pengetahuan orang tua mengenai kegawatdaruratan gigi dan mulut anak pada masa pandemi COVID-19 sebelum dan setelah diberikan komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) menggunakan media audiovisual secara daring.
Metode Penelitian: Dilakukan penelitian secara daring dengan desain studi eksperimental. Sebanyak 53 orang tua dari anak berusia 3-6 tahun yang bersekolah di TK dan RA pada kecamatan Setiabudi, Jakarta Selatan yang dipilih secara acak diminta untuk mengisi kuesioner sebelum dan setelah diberikan KIE menggunakan media audiovisual berupa video animasi melalui aplikasi video conference dengan durasi 2 menit.
Hasil: Analisis data menggunakan uji komparatif non-parametrik Wilcoxon menunjukkan bahwa terdapat peningkatan signifikan secara statistik (p < 0,05) pada tingkat pengetahuan orang tua setelah diberikan KIE menggunakan media audiovisual secara daring.
Kesimpulan: Terdapat peningkatan pengetahuan orang tua mengenai kegawatdaruratan gigi dan mulut anak pada masa pandemi COVID-19 setelah diberikan KIE menggunakan media audiovisual secara daring.

Background: Dental emergencies are potentially life-threatening oral conditions that demand immediate treatment, including uncontrolled bleeding, severe pain, cellulitis or any bacterial infection in soft tissue causing intraoral or extraoral swelling, and dental trauma. Dental trauma is more frequent among children because they tend to be more active, which makes them more vulnerable to dental injuries. COVID-19 pandemic, which is primarily transmitted through droplets and aerosols, causes dental practice to provide emergency-only dental services. The knowledge of dental emergencies are needed by parents in order to determine the appropriate action to treat these conditions, because as caregivers, parents are often the first to respond to children’s dental emergency conditions. Therefore, dental health education to parents regarding dental emergencies in children are needed.
Objectives: The purpose of this study was to analyze the difference of parental knowledge before and after education using online audio-visual media regarding dental emergency in children during COVID-19 pandemic.
Methods: The design of this study is an experimental study. A total of 53 parents of children aged 3 to 6 years old from randomly selected kindergartens at Setiabudi, South Jakarta were asked to fill out the questionnaire before and after online education using audio-visual media of a 2-minute duration via a video conference platform.
Results: Data analysis using the Wilcoxon comparative test showed that there was a statistically significant increase (p < 0.05) in knowledge of parents after watching the audio-visual media.
Conclusion: Online education using audio-visual media can improve the knowledge of parents on dental emergency in children during COVID-19 pandemic.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bagus Muhammad Satriyo
"Gangguan dan penyakit yang paling umum ditemukan pada gigi dan mulut antara lain caries, (gigi berlubang), gangren pulpa, kalkulus (karang gigi), dan gingivitis (radang gusi). Untuk mendiagnosa gangguan gigi tersebut, dilakukan pemeriksaan klinis kondisi intraoral dengan peralatan standar, yang sangat bergantung pada kemampuan fisik dokter gigi terutama indera penglihatan. Hal ini dapat menyebabkan pengamatan kondisi dalam mulut pasien mungkin tidak sepenuhnya tepat. Di sisi lain, saat ini tindakan penambalan gigi pada caries tidak hanya memperhatikan kualitas kekuatan tambalan, tetapi juga faktor estetis. Untuk itu, pada penambalan gigi, banyak digunakan material resin komposit yang hanya dapat terpolimerasi oleh energi dari cahaya dengan rentang panjang gelombang 460 - 480 nm.
Pada skripsi ini akan dilakukan rancang bangun sistem intraoral monitoring dan dental curing light. Karakterisasi PiCamera sebagai kamera intraoral, dilakukan dengan pengambilan citra di dalam simulator rongga mulut dengan bantuan cahaya lampu LED putih yang dialiri arus 20 mA. Kinerja dental curing light dengan memanfaatkan high power LED 460 – 470 nm berdaya 3 Watt, diuji dengan cara menyinari material komposit untuk kondisi di ruang terbuka dan di dalam simulator rongga mulut. Hasil pengujian menunjukkan perangkat kamera mampu memperlihatkan dan mengambil citra kondisi di dalam simulator rongga mulut dengan jelas secara real time. Demikian pula perangkat dental curing light mampu memancarkan cahaya dengan intensitas 1718 mW/cm2, sehingga memicu polimerisasi material komposit hingga berhasil memadat dalam waktu 30 detik.

Intraoral disorders and diseases most commonly found are caries (cavities), gangrene of the pulp, calculus (tartar), and gingivitis (gum inflammation). To diagnose this condotion, clinical examinations should be carried out with standard equipment. This proceses are highly dependent on the physical ability of the dentist, especially the sense of their sight. On the other hand, nowadays, in dental fillings we should not only pay attention to the material quality, but also the aesthetic factor. Hence, in dental fillings, resin composite material are widely used. This material can only be polymerized by using high energy light source with wavelength range of 460-480 nm.
In this undergraduate thesis, an intraoral monitoring system and a dental curing light have been developed. Characterizations of PiCamera as an intraoral camera were carried out by taking the images inside the oral cavity simulator by means of three white LEDs drawing 20mA current. Performace of the dental curing light that utilizes 3 Watt LED 460-470 nm, was tested by irradiating various mass of composite materials in oral cavity simulator at 27 ⁰C. Experiment results show that intraoral monitoring system is able to display and capture the intraoral conditions in real time. While dental curing light is able to radiate light with intensity of 1718 mW / cm2 for composite material polymerization successfully within 30 seconds.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2016
S63543
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ali Nina Liche Seniati
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1991
S2317
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>