Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 157290 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jessica Santoso
"

Prosedur penyitaan menjadi gagasan baru yang dapat dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam upaya mengembalikan kerugian korban, khususnya dalam kasus money laundering. Umumnya, penyitaan dilakukan oleh POLRI pada tahap penyidikan. Namun, karena adanya batas waktu dalam penyidikan, maka pada prakteknya seringkali tidak efektif dalam melakukan penyitaan aset. Oleh karena itu, Jaksa Penuntut Umum dapat membantu penyitaan tersebut apabila terdapat aset yang ditemukan dan belum disita. Selain itu, penyitaan juga menjadi salah satu faktor dalam pemulihan aset. Diharapkan pemulihan aset tersebut dapat dikembalikan kepada korban. Salah satu kasus yang melakukan penyitaan pada tahap proses persidangan adalah kasus perkara Indosurya atas putusan nomor 2113K/Pid.Sus/2023. Penelitian ini dikaji dengan menggunakan metode penelitian normatif-yuridis. Lalu, penelitian ini bersifat deskriptif dengan didukung data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang dianalisis secara kualitatif. Berdasarkan analisis penelitian ini dapat ditarik beberapa kesimpulan. Pertama, penyitaan terhadap aset hasil Money Laundering tidak hanya dilakukan oleh Penyidik POLRI, namun juga dapat dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum pada saat proses persidangan. Pasal 81 UUU TPPU memberikan kewenangan aktif kepada hakim untuk memerintahkan jaksa melakukan penyitaan, tetapi pada praktiknya seringkali kurang dimanfaatkan. Kedua, putusan nomor 2113K/Pid.Sus/2023 menunjukkan isu keabsahan penyitaan oleh Jaksa Penuntut Umum, terutama ketidakmampuan POLRI dalam menyita aset. Meskipun hakim tidak menggunakan Pasal 81 UU TPPU, Jaksa tetap mengajukan penyitaan pada tahap kasasi untuk mencapai keadilan hukum. Selanjutnya, prosedur penyitaan aset selama persidangan menunjukkan pengakuan hakim terhadap langkah Jaksa Penuntut Umum yang memperjuangkan dan memberikan dasar untuk pemulihan aset korban.


The confiscation procedure is a new idea that can be carried out by the Public Prosecutor in an effort to recover victims’ losses, especially in money laundering cases. Generally, confiscation is carried out by the Indonesian National Police at the Investigation stage. However, due to time limits in investigations, in practice it is often not effective in confiscating assets. Therefore, the Prosecutor can assist with the confiscation if there are assets found that have not been confiscated. Apart from that, confiscation is also a factor in asset recovery. It is hoped that the recovery of these assets can be returned to the victims. One of the cases involving confiscation at the trial stage was the Indosurya case regarding decision number 2113K/Pid.Sus/2023. This research was studied using normative-juridical research methods. Then, this research is descriptive in nature, supported by secondary data in the form of primary, secondary, and tertiary legal materials which are analyzed qualitatively. Based on the analysis of this research, several conclusions can be drawn. First, confiscation of assets resulting from money laundering is not only carried out by POLRI investigators, but can also be carried out by the Prosecutor during the trial process. Article 81 of UU TPPU gives active authority to judges to order prosecutors to carry out confiscations, but in practice it is often underutilized. Second, decision number 2113/K/Pid.Sus/2023 shows the issue of the legality of confiscation by the Prosecutor, especially the inability of the POLRI to confiscate assets. Even though the judge did not use Article 81 of the UU TPPU, the prosecutor still proposed confiscation at the cassation stage to achieve legal justice. Furthermore, the asset confiscation procedure during the trial shows the judge’s recognition of the Public Prosecutor’s steps in fighting for and providing a basis for the recovery of the victim’s assets.

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siahaan, Nommy H.T.
Jakarta: jala penerbit, 2008
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Juni Sjafrien Jahja
Jakarta : Visimedia, 2012
345.023 JUN m
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Yunus Husein
"Money Laundering it considered as a transnational organized crime. T he logic of elimination money laundering it to omit the criminal motivation to enjoy their proceed of crime. The efforts to eliminate money laundering is much related to the issues of national jurisdiction. Thus, it requires international cooperation among countries, where international law is needed Even though there is still no specifyc convention about money laundering, but regulation about money laundering is* partially arranged in some conventions such os Wanna Convention l988 and in UN Convention on Transnational Organized Crimes 2000. ,indonesia has enected a regulation about money laundering that is' UU no. I5 year of.2000, which is amended by no. 25 year of 2003. This article will describe the implementation of international law on money laundering in Indonesia and the reason why Indonesia it still included in the list of non-cooperatives countries and territories (NCCI)."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
JHII-1-2-Jan2004-342
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Dita Yunisa
"Penelitian ini merupakan studi tentang penerapan pendekatan follow the money dalam investigasi kejahatan money laundering di Indonesia. Kejahatan money laundering sulit untuk dilacak keberadaannya karena para pelaku menyembunyikan atau mengaburkan harta kekayaan ilegal mereka dengan memanfaatkan sistem keuangan. Sehingga pengungkapan kejahatan money laundering membutuhkan pendekatan dengan mentrasir proses penyembunyian asal usul dana hasil kejahatan. Peneliti mencoba mendeskripsikan bagaimana mana proses investigasi kejahatan money laundering secara umum serta bagaimana penerapan pendekatan follow the money dalam proses investigasi tersebut. Metode penelitian yang digunakan yaitu dengan pendekatan kualitatif deskriptif, dimana pengumpulan data dilakukan dengan wawancara informan dan studi literatur. Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa pendekatan follow the money merupakan bagian dari proses investigasi, yaitu pada tahap penyelidikan. Pendekatan follow the money ini berguna membantu bagaimana membuktikan adanya aliran dana dalam rekening pelaku yang berasal dari kegiatan kriminal, untuk selanjutnya dijadikan bukti di pengadilan. Namun masih ada kendala yang dihadapi oleh pihak Subdit Money Laundering, Direktorat II Eksus Bareskrim Polri selama proses investigasi dengan pendekatan follow the money. Salah satunya adalah laporan transaksi keuangan mencurigakan (LTKM) yang tidak bermutu, serta minimnya jumlah personel penyidik di Subdit Money Laundering, Direktorat II Eksus Bareskrim Polri.

This research is a study about implementation of the approach ?follow the money in Indonesia money laundering investigation. Money laundering is difficult to be tracked because the perpretators hide their illegal wealth by utilizing financial system. Thus, the disclosure of money laundering concealment need an approach that can trace the origins of the crime. The conclusion of this study is that the approach of follow the money was part of investigation. Follow the money approach is useful to help help in proofing the existence of the funds flow in the account which comes from the perpetrators off criminal activity. It can be used as evidence in the court. But there are still obstacles that faced by Subdit Money Laundering, Direktorat II Eksus Bareskrim Polri during the process of investigation with follow the money approach. A Suspicious Transaction Record (STR) which not qualified, as the inadequate number of personnel in Subdit Money Laundering, Direktorat II Eksus Bareskrim Polri."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Refki Saputra
"Kriminalisasi aktivitas pencucian uang, pada dasarnya merupakan respon atas sulitnya mengungkap kejahatan terorganisir. Hal ini dilakukan karena pelaku menggunakan teknik-teknik pencucian uang untuk menyembunyikan harta kekayaan yang diperoleh dari kejahatan tersebut. Melalui pendekatan anti-pencucian uang, proses penegakan hukum diarahkan tidak hanya sekedar menemukan pelaku kejahatan, melainkan juga mencari harta kekayaan hasil kejahatan. Rezim anti-pencucian uang kemudian dianggap sebagai strategi baru dalam memberantas kejahatan dengan merampas hasil kejahatannya. Tatkala para pelaku kejahatan dihalangi untuk menikmati hasil kejahatannya, maka diharapkan motivasi untuk melakukan kejahatan juga menjadi sirna. Regulasi anti-pencucian uang di Indonesia, sejauh ini sudah cukup memberikan panduan kepada institusi yang terlibat dalam implementasi rezim anti-pencucian uang sebagai bagian dari upaya memberantas kejahatan (tindak pidana asal). Hal ini misalnya tampak dari ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan upaya penelusuran hasil kejahatan. Misalnya terkait dengan ketentuan pelaporan dan analisis transaksi keuangan, upaya mengamankan aset hasil kejahatan dalam ketentuan terkait dengan penundaan, penghentian transaksi, pemblokiran, penyitaan, hingga upaya perampasan hasil kejahatan. Agar dapat memaksimalkan pemberantasan kejahatan, maka perlu adanya kesamaan persepsi diantara penegak hukum, bahwa kriminalisasi aktivitas pencucian uang merupakan pintu masuk dalam mengungkap kejahatan. Proses pembuktian harus dilakukan secara efisien dengan menggunakan mekanisme pembuktian terbalik. Selain itu juga, proses peradilan tindak pidana pencucian uang harus selalu diarahkan untuk menemukan hasil kejahatan untuk kemudian dirampas atau dikembalikan kepada yang berhak.

The criminalization of money laundering activities, essentially a response to the difficulty of uncovering organized crime. This is done because the perpetrators use techniques of money laundering to conceal wealth obtained from the crime. Through the anti-money laundering approach, law enforcement process directed not only to find the perpetrators, but also to seek the proceeds of crime. Anti-money laundering regime is then considered as a new strategy to fight against crime by seizing the proceeds of crime. When the perpetrators are prevented from enjoying the proceeds of crime, it is expected that the motivation to commit crimes also be annihilated. Anti-money laundering regulation in Indonesia, so far is sufficient to provide guidance to the institutions involved in the implementation of anti-money laundering regime as part of efforts to combat crime (predicate offenses). It can be seen from the provisions relating to the search effort of criminal proceeds. For instance associated with the provision of financial transaction reporting and analysis, to secure the assets of criminal proceeds in the provisions relating to delays, termination of the transaction, blocking, seizure, up to confiscation of proceeds of crime. In order to maximize efforts to fight crime, we need a shared understanding among law enforcement agencies, that the criminalization of money laundering activity is an entry point to uncovering crime. Trial process must be done efficiently by using the reversal of burden of proof. In addition, the judicial process of money laundering should always be directed to locate the proceeds of crime, to be seized or returned to those entitled."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
T43825
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dastie Kanya
"Pencucian uang merupakan fenomena yang aktual di industri perbankan hingga saat ini. Tindakan yang tidak pernah terlepas dari tindak pidana asalnya ini pun telah dikriminalisasi di Indonesia. Dengan begitu berarti masyarakat mulai menyadari akan bahaya dan kerugian yang diakibatkan dari tindakan ini. Guna mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang, Indonesia telah membentuk suatu lembaga independen yang bernama Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan atau yang dikenal dengan PPATK.
Tulisan ini membahas mengenai peran dan fungsi dari PPATK dalam melakukan penegakan hukum atas adanya tindak pidana pencucian uang dengan mengambil contoh kasus pencucian uang yang diduga dilakukan oleh oknum pegawai Citibank Indonesia. Pokok permasalahan tersebut dijawab dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang meliputi studi kepustakaan dan wawancara dan kemudian menghasilkan kesimpulan bahwa peran dan fungsi PPATK dalam kasus ini lebih mengarah kepada peran yang bersifat represif yakni penanganan atas tindak pidana pencucian uang itu sendiri. Peran dari PPATK ini juga membantu aparat penegak hukum untuk membuktikan bahwa memang benar oknum pegawai Citibank tersebut dapat dijerat dengan Pasal 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Money laundering is recently an actual phenomenon in banking industry. The action that has never been apart from the predicate crime has been criminalized in Indonesia. Therefore, the society begins to recognize the danger and losses caused by this action. To prevent and expel the money laundering, Indonesia has established an independent agency called The Indonesian Financial Transaction Reports and Analysis Center known as INTRAC.
This paper discusses the role and function of INTRAC in enforcing the law of money laundering by taking samples of suspected cases, carried out by individual employees of Citibank Indonesia. The principal problem is answered by using normative juridical research method, which includes literature studies and interviews. It leads to the conclusion that the role and function of INTRAC in this case is more directed to the repressive role of the handling on money laundering itself. The role of INTRAC has also helped law enforcement officials to prove that the individual employees of Citibank might be entangled with Article 3 of Law Number 8 Year 2010 concerning The Prevention and Eradication of The Crime of Money Laundering.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S555
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Aya Yahya Maulana
"Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) semakin marak dibahas karena praktiknya sudah masuk ke berbagai sektor, termasuk non perbankan seperti organisasi kemasyarakatan. Di lain sisi, wakaf uang menjadi wacana yang sangat menarik dan banyak diperbincangkan karena potensinya yang sangat besar dan fleksibilitasnya dalam memudahkan siapa saja untuk berwakaf. Akan tetapi dalam praktiknya, wakaf uang tidak luput dari adanya potensi pencucian uang. Wakaf uang yang dilakukan melalui Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU) dinilai lebih aman dari pencucian uang karena regulasi yang memadai. Di sisi lain, wakaf uang yang dilakukan secara langsung tanpa melalui bank, dan dilakukan dalam bentuk tunai memiliki potensi terjadinya pencucian uang karena belum ada aturan khusus mengenai hal ini. Dalam melakukan penelitiannya, peneliti menggunakan metode yuridis-normatif.
Peneliti melihat penting adanya aturan khusus untuk mencegah pencucian uang pada wakaf uang yang dilakukan secara langsung, seperti adanya aturan untuk mengenal pemberi wakaf, dan aturan pelaporan nazhir kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa dinilai sukses untuk mencegah terjadinya Pencucian Uang pada transaksi Wakaf uang yang dilakukan melalui perbankan. Akan tetapi, wakaf uang yang dilakukan secara langsung memiliki celah untuk disalahgunakan sebagai sarana melakukan pencucian uang. Dalam hal ini PPATK memiliki peran penting untuk mencegah terjadinya Tindak Pidana Pencucian Uang, baik dalam transaksi wakaf uang yang dilakukan melalui bank ataupun yang dilakukan secara langsung.

Money Laundering increasingly prevalent discussed because it has entered into various sectors, including non-banks, such as community organizations. On the other side, cash waqf became a very interesting discourse and a lot of discussion because its potential is huge and the flexibility makes it easier to do so. However, in practice, cash waqf is not spared from the potential for money laundering. Cash waqf made through Islamic Financial Institutions Recipients of Cash Waqf (LKS-PWU) is considered more secure from money laundering for adequate regulation. On the other side, cash waqf made directly without going through a bank, and done in cash has the potential for money laundering because there are no specific rules on this matter. In conducting the study, researcher used a method of juridical-normative.
Researcher looked at the importance of establishing specific rules to prevent money laundering in cash waqf which made directly, such as the rule to recognize donors and reporting rules to the Financial Transaction Reports and Analysis Centre (PPATK). Applying know your customers principle assessed a success in order to prevent money laundering in cash waqf transactions conducted through banks. However, cash waqf made directly have a gap to be abused as a means of money laundering. In this case, PPATK has an important role to prevent Money Laundering, in both cash waqf transactions, conducted through banks or conducted directly.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T46215
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Galuh Citra Nugraheni
"Tindak pidana pencucian uang adalah suatu kejahatan yang disamping dapat sangat merugikan masyarakat juga sangat merugikan negara karena dapat merusak stabilitas perekonomian nasional serta dapat meningkatkan berbagai kejahatan lainnya. Penegakan hukum terhadap kegiatan pencucian uang ini selain dengan telah ditetapkannya undang-undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang mana diubah dengan undang-undang No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan kemudian saat ini telah diganti dengan undang-undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, juga dilakukan dengan proses penyidikan, penuntutan dan persidangan di pengadilan yang pada akhirnya berujung pada sebuah putusan hakim. Penelitian ini adalah penelitian penelitian hukum doktrinal (normatif) dengan menggunakan analisis deskriptif kualitatif.
Hasil penelitian menjelaskan bahwa Putusan Pengadilan (hakim) dianggap penting bagi para pencari keadilan, masyarakat, korban, pelaku dan juga bagi negara. Dalam bidang perekonomian penegakan hukum melalui putusan Pengadilan (hakim) ini sangat berpengaruh, putusan pengadilan (hakim) yang dianggap tidak mencerminkan rasa keadilan bagi masyarakat dan para pihak dapat mempengaruhi minat para investor yang ingin menanamkan modalnya di suatu negara. Penegakan hukum melalui putusan hakim ini dibuat berdasarkan penafsiran yang berbeda-beda antara hakim yang satu dengan yang lainnya, perbedaan ini disebabkan banyaknya faktor-faktor (internal dan eksternal) yang dapat mempengaruhi hakim dalam membuat sebuah putusan, khususnya masalah tindak pidana pencucian uang.
Pada hakikatnya hakim memiliki kemandirian yang penuh dalam menjatuhkan putusan namun kemandirian tersebut haruslah dengan mengusahakan menjalankan profesinya dengan baik agar walaupun tidak dapat menciptakan suatu keadilan seratus persen mutlak tetapi setidaknya ia dapat memuaskan para pencari keadilan dengan alasan dan pertimbangan yang rasional dan bijaksana. Perbedaan penafsiran beserta faktorfaktor yang mempengaruhi hakim tersebut mengakibatkan pula terjadinya disparitas hukuman dalam putusan hakim yang mana sampai saat ini menjadi suatu permasalahan. Masalah disparitas ini tidak dapat dihilangkan, yang dapat dilakukan adalah meminimalisir disparitas tersebut agar tercipta keadilan yang dianggap serasi bagi masyarakat, pencari keadilan, korban dan pelaku itu sendiri.

Money Laundering is a crime which injures not only the society, but also injures the state interest because it could undermine the stability of national economy and could give birth to another crimes. The law enforcement on money laundering has been done by promulgating The Law No. 15 Year 2002 concerning Money Laundering, which had been revised by The Law No. 25 Year 2003 and the latest by The Law No. 8 Year 2010 concerning The Prevention and The Elimination on Money Laundering, investigating, prosecuting, and commencing trial by the court on Money Laundering which later ended up with a court decision. This research is a doctrinal (normative) research which takes qualitative-descriptive analysis.
This research concludes that court (judges) decisions are considered importantly by justice seekers, societies, victims, offenders, and also the state. In the economic sector, the law enforcement through Court (judges) Decisions are influential significantly, court decisions which are considered unreflective of the sense of justice of the society and the concerned parties could affect the pretension of the investors to invest in a country. The law enforcement through court decisions are made by varying interpretations among the judges. These variations are caused by some factors (internal and external) which can affect judge in decision making process, this also occurs in money laundering cases.
Fundamentally, a judge is at full independent when making a decision, even though his independent must be taken coherently to the noble profession of the judge so that he can satisfy the justice seekers, rationally and wisely. Different interpretation along with the judge affecting factors also constitute disparities of sentence on court decisions, which until now still remain a problem. This problem cannot be eliminated, but can be minimized so that a harmonious justice for the societies, justice seekers, victims, and the offenders themselves, can be achieved.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35433
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silitonga, Shinto Bina Gunawan
"Akhir-akhir ini sangat banyak kasus korupsi dan money laundering yang sulit dibawa ke proses pengadilan dengan menjatuhkan hukuman berat kepada para pelakunya karena kurang lengkapnya alat-alat bukti yang disajikan termasuk saksi. Di lain pihak, menurut akal sehat tidak mungkin seorang penyelenggara negara memiliki harta kekayaan dalam jumlah besar tanpa ikut melakukan korupsi. Oleh sebab itu, Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus mencoba menerapkan sistem pembuktian terbalik pada kasus dugaan korupsi dan money laundering yang dilakukan oleh Bahasyim Assifie, seorang pegawai Direktorat Jenderal Pajak.
Sistem pembuktian terbalik memang belum bisa diterapkan di Indonesia pada karena keterbatasan perangkat aturan yang memberi payung hukum dalam penerapannya. Akan tetapi, dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang kemudian diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, sistem pembuktian terbalik dapat diterapkan pada dugaan tindak pidana korupsi dan money laundering yang dilakukan oleh Bahasyim Assifie.
Penerapan sistem pembuktian terbalik pada kasus Bahasyim Assifie ini merupakan sejarah dalam penegakan hukum di Indonesia, karena baru pertama sekali diterapkan dalam perkara tindak pidana korupsi dan money laundering. Penerapan sistem pembuktian terbalik dalam persidangan perkara Bahasyim Assifie merupakan kreativitas dari majelis hakim sebagai cerminan integritas moral untuk memberikan putusan yang memenuhi rasa keadilan.
Perkara Bahasyim Assifie pada tanggal 3 Februari 2011 telah divonis dengan pidana penjara 10 tahun dan perampasan harta kekayaan miliknya senilai sekitar Rp. 64 milyar, dan bahkan telah dikuatkan pula oleh Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dengan menambah masa hukuman menjadi 12 tahun penjara. Putusan ini mendapat apresiasi dari publik, dengan harapan bahwa sistem pembuktian terbalik dapat diterapkan pada persidangan tindak pidana korupsi dan money laundering lainnya, karena selain efektif untuk merampas harta kekayaan para pelaku tindak pidana korupsi dan money laundering, sistem pembuktian terbalik juga efektif memberi penjeraan bagi para pelaku dengan putusan pemidanaan badan dengan masa penjara yang cukup lama.

Lately so many cases of corruption and money laundering is difficult to be brought into litigation by imposing severe punishment to the perpetrators because the complete lack of evidence presented, including witnesses. On the other hand, according to common sense is not possible for a state apparatus has a large amount of wealth without being corrupt. Therefore, the Directorate of Criminal Investigation Special Investigator to try to apply the system of proof in cases of alleged corruption and money laundering committed by Bahasyim Assifie, an employee of the Directorate General of Taxation.
The system of proof is not yet applicable in Indonesia on due to the limitations set of rules that give legal protection in its application. However, by Act No. 31 of 1999 which was then amended in Law No. 20 Year 2001 on Combating Criminal Acts of Corruption, and Law No. 15 of 2002 as amended in Act No. 25 of 2003 on Crime Money Laundering, the latest by Law Number 8 Year 2010 on the Prevention and Combating Money Laundering, the system of proof can be applied to allegations of corruption and money laundering committed by Bahasyim Assifie.
Implementation of the system of proof in this case Bahasyim Assifie is history in law enforcement in Indonesia, because the first one applied in cases of corruption and money laundering. Implementation of the system of proof in court cases Bahasyim Assifie is the creativity of the judges as a reflection of the moral integrity to give a verdict that sense of fairness.
Case Bahasyim Assifie on February 3, 2011 has been sentenced to imprisonment for 10 years and confiscation of his property valued at around Rp. 64 billion, and has even been confirmed also by the Jakarta High Court decision to increase the sentence to 12 years in prison. This ruling is received appreciation from the public, with the hope that the system of proof can be applied in the trial of corruption and money laundering others, because in addition to effectively seize the wealth of the perpetrators of corruption and money laundering, an effective system of proof also gives penjeraan for offender with the sentencing decision of the body with the prison long enough.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2011
T29635
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>