Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 135134 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aliftya Tjakra Susanto
"Tulisan ini menganalisis bagaimana pengikatan jaminan kebendaan terhadap pesawat di Indonesia berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dilaksanakan dan bagaimana urgensi pembentukan lembaga pendaftaran jaminan kebendaan terhadap pesawat di Indonesia. Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal. Pesawat merupakan benda bergerak berdasarkan sifat dan hakikatnya di pasal 509 KUHPerdata. Sebagai benda bergerak, pesawat dapat dibebankan jaminan kebendaan sebagai jaminan pelunasan utang. Namun, dalam pelaksanaannya, pesawat sukar untuk dijaminkan dengan gadai mengingat bobot dan ukurannya yang lebih besar dibanding ukuran rata-rata benda bergerak lainnya. Pasal 12 ayat (1) UU Penerbangan 1992 telah mengatur lembaga jaminan terhadap pesawat melalui hipotik. Namun, aturan pelaksanaan hipotik terhadap pesawat tersebut masih belum disahkan hingga keberlakuan UU Penerbangan 2009 yang mencabut keberlakuan UU Penerbangan 1992. Ketentuan yang ada di UU Penerbangan 2009 tidak mengatur secara jelas lembaga jaminan yang dapat dibebankan terhadap pesawat. Ketidakjelasan pengaturan terhadap jaminan pesawat ini menjadikan belum adanya lembaga pendaftaran jaminan kebendaan pesawat di Indonesia sehingga jaminan terhadap pesawat tidak dapat lahir. Sementara itu, aktivitas penerbangan sipil dan kebutuhan akan pesawat udara yang semakin meningkat mengakibatkan kebutuhan akan jaminan dalam pembiayaan pengadaaan pesawat juga semakin meningkat. Agar jaminan yang dibebankan atas pesawat ini dapat lahir dan memiliki kekuatan hukum diperlukan suatu lembaga pendaftaran jaminan kebendaan terhadap pesawat. Oleh karena itu, pembentukan lembaga pendaftaran jaminan terhadap pesawat menjadi hal yang penting untuk memberikan kepastian hukum terhadap perlindungan hak kreditur dan pelaksanaan eksekusi terhadap pesawat.

This paper analyzes how the binding of collateral for aircraft in Indonesia based on applicable and implemented laws and regulations in Indonesia and how urgent it is to establish an agency for registering collateral for aircraft in Indonesia. This article was prepared using doctrinal research methods. Aircraft are movable objects based on their nature and essence in Article 509 of the Civil Code. As a movable object, an aircraft can be subject to material collateral as collateral for debt repayment. However, in practice, it is difficult to pledge aircraft as collateral considering their weight and size are greater than the average size of other movable objects. Article 12 paragraph (1) of the 1992 Aviation Law regulates the institution of guarantees for aircraft through mortgages. However, the regulations for implementing mortgages on aircraft have not yet been ratified until the 2009 Aviation Law comes into force, which revokes the 1992 Aviation Law. The provisions in the 2009 Aviation Law do not clearly regulate the collateral institutions that can be imposed on aircraft. This lack of clarity in the regulations regarding aircraft guarantees means that there is no institution for registering aircraft material guarantees in Indonesia so that guarantees for aircraft cannot be issued. Meanwhile, civil aviation activities and the increasing need for aircraft have resulted in the need for collateral in financing aircraft procurement also increasing. For the guarantee imposed on this aircraft to be valid and have legal force, an agency for registering material collateral for the aircraft is required. Therefore, the establishment of an agency for registering collateral for aircraft is important to provide legal certainty regarding the protection of creditors' rights and the execution of aircraft."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Siregar, Syamsiruddin
"Pada Pasal 12 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 Tentang Penerbangan dikatakan bahwa pesawat terbang dan helikopter yang mempunyai tanda pendaftaran dan kebangsaan Indonesia dapat dibebani hipotek sedangkan ketentuan pembebanan hipotek diatur Iebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. Berdasarkan amanah itulah Badan Penelitian dan Pengembangan Perhubungan Udara telah melakukan menyusun konsep dan naskah akademis Rancangan Undang-Undang Tentang Hipotek Pesawat Udara yang oleh penulis coba melakukan analisis apakah rancangan undang-undang tersebut sudah memenuhi kebutuhan masyarakat industri penerbangan. Penulis selain membahas hipotek yang merupakan pokok kajian dalam tesis ini juga membahas penggolongan pesawat udara terutama terkait dengan belum jelasnya penggolongan benda sesuai KUHPerdata dari perspektif pesawat udara itu sendiri, belum tersedianya lembaga jaminan dan belum Iengkapnya peraturan-peraturan pelaksana.
Metode penelitian dalam penulisan ini menggunakan metode penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis normatif dan penelitian lapangan dengan menggunakan wawancara. Dewasa ini praktek pembebanan pesawat udara oleh pihak-pihak terkait ada yang melakukan dengan jaminan fidusia dan hipotek. Hal ini dikarenakan Undang-Undang Nomor 15 Tabun 1992 tidak tegas tetapi mengambangkan dengan cara mempergunakan perkataan "dapat dibebani hipotek" sebagaimana yang ditemukan pada Pasal 12 ayat (1) dan penjelasan yang memungkinkan pembebanan pesawat udara dengan hak jaminan Iainnya sesuai peraturan perundang-undangan yang beriaku.
Dari analisis yang dilakukan terhadap substansi Rancangan Undang-Undang tentang Hipotek Pesawat Udara yang terdiri dari 8 BAB dan 29 Pasal, menurut hemat penulis sudah memenuhi kebutuhan masyarakat industri penerbangan. Namun demikian terhadap lembaga yang berwenang menetapkan pendaftaran hipotek yang diatur pada Pasal 10 Rancangan Undang-Undang menetapkan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, menurut hemat penulis perlu dibentuk suatu badan atau lembaga yang bersifat independen seperti hainya Badan Pertanahan Nasional pada lembaga jaminan hak tanggungan. Demikian juga perlunya ditetapkan penggolongan hak kebendaan terhadap pesawat udara dalam Rancangan Undang-undang agar lembaga jaminan hipotek sebagaimana yang dimaksudkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 Tentang Penerbangan memiliki dasar hukum perundangundangan seperti halnya kapal laut yang mempunyai bobot mati 20 M3 digolongkan sebagai benda tidak bergerak dalam Kitab Undang-Undang Dagang. Akhirnya, sebagai konsep awai Rancangan Undang-Undang ini sudah balk secara keseluruhan namun masih memeriukan penjelasan yang Iebih konkrit, pembahasan yang Iebih mendalam sehingga nantinya memberikan suatu kepastian hukum sebagaimana yang ditunggu tunggu masyarakat industri penerbangan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T17315
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Tampaknya Garuda Indonesia tidak dapat mengikuti
jejak perusahaan penerbangan lain yang bersaing ketat
dalam menetapkan harga tiket pesawat udara, sehingga
Garuda Indonesia memerlukan tambahan modal melalui
lembaga kredit perbankan atau keuangan lainnya. Dengan
demikian dibutuhkan sebuah jaminan atas aset pesawat
udara yang dimiliki Garuda Indonesia dalam pemberian
kredit tersebut. Permasalahannya bagaimana pengikatan
jaminan atas pesawat udara Garuda Indonesia dilaksanakan
ditinjau dari ketentuan yang berlaku, bagaimana
pengikatan jaminan atas pesawat udara dilakukan
berdasarkan Rancangan Undang-Undang Tentang Hipotik Atas
Pesawat Udara, bagaimana pengikatan jaminan atas pesawat
udara bila ditinjau dari Konvensi Cape Town yang saat ini
sedang akan di ratifikasi. Metode Penelitian yang
digunakan adalah penelitian kepustakaan yang bersifat
yuridis normatif. Kesimpulannya adalah status kebendaan
pesawat udara di Indonesia adalah sebagai benda tidak
bergerak, sehingga pengikatan jaminan pesawat udara
dilakukan dengan menggunakan lembaga Hipotik. Garuda
Indonesia membatalkan rencananya untuk mengikatkan
jaminan atas pesawat udara Boeing 747-200 dan 747-400
karena belum adanya kepastian hukum yang mengatur
mengenai jaminan pesawat udara terutama dengan munculnya
Undang-Undang Fidusia. Pengikatan jaminan pesawat udara
telah diatur secara sistematis dan menyeluruh oleh RUU
Hipotik Atas Pesawat Udara namun masih terdapat beberapa
kekurangan dalam pasal yang mengatur akta hipotik dan
penyerahan Buku Kepemilikan Pesawat Udara kepada
kreditur. Lembaga pengikatan jaminan pesawat udara
menurut Konvensi Cape Town bila diratifikasi adalah
jaminan fidusia karena Konvensi tersebut mengkategorikan
pesawat sebagai benda bergerak. Saran yang diberikan
adalah sebaiknya kepastian hukum akan pengikatan jaminan
pesawat udara segera terpenuhi dengan mengesahkan RUU
Hipotik Atas Pesawat Udara menjadi Undang-Undang dan
meratifikasi sebagian pasal Konvensi Cape Town yang tidak
menyebutkan pesawat udara sebagai benda bergerak dan
menyesuaikannya dengan keadaan hukum di Indonesia."
Universitas Indonesia, 2007
S21324
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Isa Meilia
"Sebagai negara maritim yang dikelilingi oleh laut, keberadaan kapal sebagai sarana transportasi air sangat besar pengaruhnya bagi pembangunan Indonesia. Karenanya Pemerintah berupaya mamajukan dan mengembangkan armada niaga nasional. Tentunya, untuk mewujudkan harapan itu diperlukan partisipasi tidak hanya dari pemerintah tetapi juga dari perusahaan pelayaran nasional. Dalam menjalankan usaha dibidang perkapalan, khususnya bagi Perusahaan Pelayaran, sangat diperlukan suatu armada berupa kapal sebagai aset usahanya. Namun dengan adanya krisis ekonomi dan keterbatasan dana, keinginan untuk memiliki dan menguasai suatu kapal dirasakan menjadi suatu hal yang sangat sulit. Keberadaan Perusahaan Pembiayaan Sewa Guna Usaha (leasing) di Indonesia sejak tahun 1974, khususnya yang membiayai pengadaan kapal laut, dirasakan membawa angin segar dan dapat memberikan kontribusi yang positif bagi eksistensi perusahaan pelayaran nasional. Lembaga pembiayaan leasing kapal di Indonesia kehadirannya dipelopori oleh PT.(Persero) PANN MULTI FINANCE, yang merupakan badan usaha milik negara. Perusahaan pembiayaan ini menyalurkan dana dengan cara membiayai pengadaan barang modal dalam berbagai macam bentuk, namun sehubungan dengan judul tesis ini hanya menitik beratkan pada barang modal berupa kapal laut atas permintaan Perusahaan Pelayaran selaku nasabahnya. Dalam prakteknya, perusahaan pembiayaan ini menyediakan empat macam produk pembiayaan berupa:finance, lease, Operating Lease, Sale and Lease Back dan purchase on Installment. Dari keempat macam produk tersebut, hanya produk Purchase on Installment/ POI (secara harfiah dapat diartikan sebagai pembelian dengan mengangsur) saja yang dapat membebani barang modalnya berupa kapal laut dengan jaminan kebendaan hipotek. Hal itu dikarenakan, telah terjadi transfer of title (perpindahan hak) atas kapal dari PT.PANN selaku Penjual kepada Perusahaan Pelayaran selaku Pembeli, sejak penandatangan Perjanjian Belt Angsur Kapal yang diikuti dengan penyerahan dalam bentuk perbuatan batik nama oleh dan dihadapan Pejabat Pencatat dan Pendaftar Baliknama Kapal. Sejak saat itu secara yuridis Pembeli menjadi Pemilik dari kapal tersebut."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003
T19879
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gerardus Cahyo Nugroho
"Sertipikat sebagai alat bukti terkuat ternyata tidak menjamin dapat di jadikan alat bukti yang dapat secara penuh di miliki ini di buktikan dengan di batalkannya Hak Tanggungan No.5/HT/18/IV/199 oleh pengadilan. Akibat di batalkannya Akta Jual Beli Tanah yang menjadi obyek jaminan hak tanggungan sehingga menyebabkan hapusnya obyek jaminan hal ini tentu saja merugikan pihak kreditur karena pihak kreditur yang beitikad baik yang telah memenuhi segala ketentuan untuk memberi pinjaman tidak mendapatkan perlindungan karena haknya telah di cederai dengan di batalkannya hak tanggungan tersebut karena batalnya sertipikat jual beli tersebut. Sehingga dalam hal ini penulis ingin meneliti dan mengkaji bagaimana peristiwa tersebut dapat terjadi bagaimana kekuatan perjanjian yang di lakukan sebelum AJB di buat apakah mempunyai Implikasi yang besar terhadap pembatalan sertipikat kedua tanah tersebut sehingga mengakibatkan batalnya hak tanggungan. Tesis ini di buat untuk dapat mengetahui factor apa saja yang dapat membatalkan sertifikat sehingga penulis mengharapkan dapat mengklarifikasi penyebab batalnya hak tanggungan yang di sebabkan batalnya sertifikat akibat akta jual beli yang batal di masa yang akan datang.

Certificate as the strongest evidence did not ensure that the evidence can be made in full to have this attested by at cancellation of Mortgage No.5/HT/18/IV/199 by the court . Due on Sale and Purchase of Land Deed canceled the object of causing collateral mortgage guarantee this object abolishment of course detrimental to the creditors because the creditors are faith both have met all the provisions to provide protection because the loan did not get in to harm the rights have been in cancellation the encumbrance certificate for the cancellation of the sale and purchase. in this case I want to examine and assess how such events can happen how the strength of the agreement will be undertaken prior to AJB is made whether to have great implications on both the soil certificate cancellation, resulting in the cancellation of mortgage. Thesis is made in order to determine what factors may cancel the certificate so that the author hopes to clarify the cause of the cancellation of mortgage that is caused due to the cancellation of the deed of sale certificate is canceled in the future."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T39105
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agung B. G. B. Indraatmaja
"Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mendukung sistem perbankan yang sehat dan stabil diperlukan penyempurnaan terhadap program penjaminan simpanan nasabah bank. Lembaga Penjamin Simpanan di Indonesia sudah terbentuk namun keberadaan lembaga ini belumlah dikenal dan dipahami oleh masyarakat secara luas, termasuk bentuk konstruksi hukum yang seharusnya dari lembaga ini. Untuk menganalisis hal tersebut dilakukan penelitian normative yang menggunakan data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder dan tersier.
Dari hasil penelitian yang dilakukan diperoleh hasil bahwa konstruksi hukum dari Lembaga Penjamin Simpanan di Indonesia tidak terlepas dari masalah penanggungan dan pertanggungan. Pembentukan Lembaga Penjamin Simpanan pada dasarnya dapat melindungi dana nasabah. Dengan adanya lembaga yang menjamin simpanan masyarakat, maka apabila bank mengalami kegagalan, lembaga tersebut yang akan mengganti dana masyarakat yang disimpan pada bank yang gagal tersebut. Dengan adanya pembayaran premi oleh bank kepada Lembaga Penjamin Simpanan maka telah terjadi peralihan risiko dari bank kepada Lembaga Penjamin Simpanan."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T18762
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sasli Rais
"Permasalahan penelitian tesis ini tentang: (1) Hubungan kondisi sosial ekonomi nasabah dengan pernah tidaknya nasabah menunggak; (2) Praktik gadai syariah; dan (3) Kontribusi jenis penerimaan gadai syariah terhadap pertumbuhan pendapatan di PULS Dewi Sartika Jakarta.
Untuk melihat hubungan kondisi sosial ekonorni nasabah dengan pernah tidaknya nasabah yang menunggak, digunakan metode binomial logic-likelihood. Praktik gadai syariah digunakan analisis perbandingan-diskriptif--ex post facto. Sedangkan kontribusi jenis penerimaan gadai syariah terhadap pertumbuhan pendapatan di PULS Dewi Sartika digunakan analisis share atau kontribusi.
Karakteristik nasabah berprofesi sebagai mahasiswa, berpendapatan rendah, berat barang jaminan emas antara 2-5 gr, dan pemanfaatan pinjaman untuk keperluan konsumtif mempunyai peluang lebih kecil pemah mertunggak di PULS Dewi Sartika.
Praktik gadai syariah yang berhubungan dengan marhun terbatas pada marhun emas saja; Penggunaan marhun bih tidak terlalu diperhatikan karena yang penting, nasabah dapat mengembalikan pinjamannya; Akad yang digunakan adalah gardhul hasan (administratif) dan Sarah (simpanan); Batasan waktu pembayaran marhun bih dan tat-if simpanan ada kecenderungan belum sesuai syariah; proses pelelangan terbatas, dan DPS masih belum dimiliki di PULS Dewi Sartika.
PULS Dewi Sartika selama setahun operasionalnya telah mendapatkan pemasukan Rp 282.540.700, di mana penerimaan dari jenis iiarah cukup dominan, Rp 250.146.600 (88,53 %), dengan rata-rata tingkat pertutubultan 240,03 %, lebih tinggi dari tingkat rata-rata pertumbuhan total pendapatan, yang hanya 44,11 %.

The research matters are regarding: (1) Correlation between customer's social economic condition with the occurrence of customer's arrears; (2) Islamic mortgage practice; and (3) Contribution from type of Islamic mortgage revenue into growth of earnings in Dewi Sartika Islamic Outlet Pawnshop of Jakarta.
In order to analyze the con-elation between customer's social economic condition with the occurrence of customer's arrears, it is used binomial logic-likelihood method. On the other hand, analysis of ex post facto-descriptive-comparative is used to review Islamic mortgage practice. Meanwhile, analysis of share or contribution is used to probe the contribution from type of Islamic mortgage revenue into growth of earnings in Dewi Sarnia Islamic Outlet Pawnshop of Jakarta.
Characteristics of customers are students, low income, weight of gold collateral is about 2 - 5 grams, and loan performance for consumptive purposes has smaller chances to be in an-ears in Dewi Sartika Islamic Outlet Pawnshop of Jakarta.
Islamic mortgage practice which is related to marina: (collateral) is limited to only gold mat-hurt; marhun bih performance Is not to be the main connem since the important thing is the ability of customers to paid off their loan; it uses qardhul hasan (administrative) and ijarah (deposit) covenants; while for time limit for marhun bih and deposit rate payment there is a deviation tendency from its Islamic guidance; confined auction process, and there is no DPS in Dewi Sartika Islamic Outlet Pawnshop of Jakarta.
Dewi Sartika Islamic Outlet Pawnshop of Jakarta has obtained its earnings of Rp 282,540,700 during its one operational year, in which revenue from Ijarah type is quite dominant of Rp 250,146,600 (88.53 %), on the growth rate average of 240.03 %, higher than its growth rate average of total income that is only 44.11 %.
"
2004
T14909
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Claudia Inggrid Hartanto
"Gadai yang diatur pada Pasal 1150-1160 KUH Perdata merupakan jaminan kebendaan bagi benda bergerak, hal mana dengan ini dapat digunakan untuk saham yang berkedudukan sebagai benda bergerak berdasarkan Pasal 60 ayat (1) Undang- Undang Perseroan Terbatas. Keberadaan jaminan mendorong pemberian kredit, dan pemberian kredit berpotensi meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran negara. Meskipun demikian, seiring dengan kemajuan masyarakat dewasa ini, pengaturan gadai dalam KUH Perdata sudah berusia lebih dari 100 tahun. Ditemukan juga bahwa pelaksanaan eksekusi jaminan di Indonesia per tahun
2019 cukup rendah, hanya 6% lelang eksekusi dari total non-performing loan perbankan, hal mana eksekusi ini masih didominasi oleh Hak Tanggungan. Di sisi lain, Singapura yang kerap kali menggunakan saham sebagai objek jaminan memperoleh nilai tertinggi dalam indikator penilaian “enforcing contracts” Doing Business yang dikeluarkan oleh World Bank pada tahun 2020. Penulis dengan ini bertujuan membandingkan pengaturan gadai saham dengan mortgage over shares dan melihat apakah Indonesia dapat mencontoh pengaturan Singapura.

Pledge, as regulated under Article 1150-1160 of Indonesian Civil Code, is a type of security interest available for movable property. Shares, indicated as a movable property by the Article 60 paragraph (1) Law No. 40 of 2007 as amended by Law No. 11 of 2020, is therefore applicable for pledge. The existence of security encourages the provision of credit, and the provision of credit has the potential to increase economic growth and prosperity of a country. However, in contrast to the progress of today’s society, the arrangement of pledge in the Indonesian Civil Code is more than 100 years old. In addition to that, the execution of security rights as of 2019 can also be said to be low, only 6% of the execution auction of all the nonperforming bank loans, of which is still dominated by Mortgage. Singapore, on the other hand, recognize shares as a collateral object and also received the highest score in the Doing Business “enforcing contracts” assessment indicator issued by the World Bank in 2020. The author hereby aims to compare the arrangement of pledged shares of Indonesia with mortgage over shares of Singapore and see if Indonesia can emulate the Singapore arrangements."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raissa Lareka Putri
"Dalam jaminan atas tanah, terdapat lembaga khusus yang mengatur ketentuan mengenai jaminan hak atas tanah, yaitu lembaga Hak Tanggungan dan telah diatur dalam suatu perundang - undangan khusus, yaitu Undang - Undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996. Adanya lembaga khusus tersebut beserta peraturan yang ada berfungsi untuk melindungi kreditur sebagai pemegang Hak Tanggungan agar mempunyai kedudukan yang kuat. Namun karena semakin tingginya persaingan bank, sehingga bank sudah kurang memperhatikan, tidak mematuhi dan mengikuti lagi peraturan - peraturan yang ada. Untuk meminimalisir biaya yang harus dikeluarkan oleh nasabah selaku debitur dalam proses pemberian kredit, terutama kredit kecil atau kredit mikro, dalam penjaminan hak atas tanah, bank meniadakan pembuatan Surat Kuasa Membebankan Hak tanggungan (SKMHT) dan Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT).
Tesis ini mengangkat pokok permasalahan, seperti bagaimana penjaminan tanah tanpa dibuatnya SKMHT maupun APHT dalam proses perkreditan, serta bagaimanakah penyelesaiannya apabila terdapat kredit macet dengan jaminan tanah yang tidak dibuatkan SKMHT maupun APHT. Untuk menjawab pokok permasalahan tersebut, tesis ini menggunakan tipe penelitian yuridis normatif, dimana penelitian dilakukan terhadap hukum positif tertulis dalam suatu perundang - undangan, untuk mengetahui kesesuaian terhadap praktek yang di lapangan mengenai penjaminan tanah dalam proses perkreditan mikro terkait dengan peraturan di dalam Undang - Undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996.
Dari penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa praktek yang dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan - ketentuan yang diatur dalam Undang - Undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996, dengan tidak melaksanakan peraturan yang ada jelas bank tidak memanfaatkan perlindungan yang telah diatur dalam Undang - Undang Hak Tanggungan. Begitu pula mengenai terjadinya kredit macet, bank tentunya kesulitan untuk melakukan pencairan jaminan hak atas tanah, terlebih apabila nasabah tidak lagi kooperatif. Karena belum dibuatnya SKMHT maupun APHT, sehingga tentunya berakibat tidak dapat dilakukan pendaftaran Hak Tanggungan, sehingga secara otomatis tidak terbitnya sertifikat Hak Tanggungan, yang mengakibatkan bank tidak menjadi kreditur preferen.

In relation to this, a special institution celled the Mortgage Agency (Lembaga Hak Tanggungan) has been established which is regulated by a special law namely Law Number 4 of 1996 on Mortgage Rights. The main purpose of this institution and related regulations is to protect the creditors as the holder of Mortgage Right, thus giving them a strong legal basis. However, highly intense competition between banks forces them to disregard those regulations. To keep the costs a debtor has to spend to get a loanat a minimum, particularly for small and micro enterprises, when using land as a collateral, some banks no longer issue a Power of Attorney to Charge for the Rights of Land Mortgage (SKMHT) and Deed of Grant of Mortgage (APHT).
This thesis analyzes the process of obtaining bank loans which involves the practice of making land mortgages without issuing SKMHT or APHT. This thesis also identifies the bank’s strategies to settle bad loans involving land mortgages made without SKMHT or APHT. To analyze those problems, this thesis applies juridical-normative approach, in which a codified positive law is examined to measure the relevance between the applicable law and the real practice of land mortgage in the loan process with reference to Law Number 4 of 1996 on Mortgage Right.
Results show that loan practices are not in compliance with the regulations stated in Law Number 4 of 1996 on Mortgage Rights. By not abiding to the applicable law, the bank denies itself the protection provided by the Mortgage Right Law. If bad loans do occur, which requires them to apply for Mortgage Rights first, especially when the debtor is no longer cooperative. The absence of both SKMHT and APHT prevents the bank from appliying the Mortgage Rights, which effectively prevents them from obtaining the Mortgage Right certificate. This will certainly risk the bank’s reputation as a credible creditor.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T39109
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>