Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 166356 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Adriel Sebastian Loekito
"Pneumonia merupakan salah satu penyakit menular yang sering terlihat pada pasien penyakit ginjal kronis (PGK). Antibiotik yang digunakan dalam terapi farmakologis pneumonia sering kali memerlukan pengaturan dosis akibat penurunan fungsi ginjal. Studi cross-sectional ini dilakukan untuk mengetahui ketepatan dosis antibiotik dan pengaruhnya pada luaran terapi dan durasi rawat pada pasien pneumonia dengan PGK di RSUP Persahabatan Jakarta. Data pasien diambil secara retrospektif pada periode 2021-2023 menggunakan metode total sampling. Analisis statistik dilakukan dengan metode Chi-squared untuk kesesuaian dosis dan hubungan kesesuaian dosis dengan luaran terapi dan Mann-Whitney untuk kesesuaian dosis dengan durasi rawat. Diperoleh 111 sampel penelitian yang mayoritias merupakan laki-laki dengan median usia 59 tahun dengan penyakit ginjal stadium akhir. Sefoperazon merupakan antibiotik yang paling banyak digunakan, diikuti oleh levofloksasin dan sefotaksim. Mayoritas pasien (51,4%) menerima peresepan antibiotik dengan pengaturan dosis yang tidak tepat. Ditemukan bahwa nilai laju filtrasi glomerulus (LFG) (p < 0,001; RR = 1,048) dan hemodialisis (p = 0,003; RR = 0,571) memengaruhi kesesuaian dosis. Tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara kesesuaian dosis dengan luaran terapi; faktor lain yang memengaruhi luaran terapi meliputi nilai Charlson comorbidity index (CCI) (p = 0,007; RR = 1,829), jenis terapi (p = 0,023; RR = 1,183) dan sepsis (p < 0,001; RR = 0,368). Kesesuaian dosis memengaruhi durasi rawat secara signifikan (p < 0,001) dan faktor lain yang memengaruhi durasi rawat adalah hemodialisis (p = 0,019). Temuan ini menunjukkan masih adanya ketidaksesuaian pengaturan dosis yang perlu diperbaiki dengan melibatkan apoteker dan tenaga kesehatan lain dalam pengaturan dosis antibiotik.

Pneumonia is one of the most prevalent infectious diseases in patients with chronic kidney disease (CKD). Antibiotics used in pneumonia often require dose adjustments. A cross-sectional study was conducted to determine antibiotic dose appropriateness and its impact on patients’ outcomes and length of stay (LOS) at the Persahabatan National Respiratory Hospital Jakarta. Patients’ data were retrospectively reviewed between 2021 and 2023 using the total sampling method. Statistical analyses were performed with the Chi-squared analyses for dose appropriateness and outcomes and the Mann-Whitney test for LOS. A total of 111 samples were included in the study, with the majority being males with a median age of 59 and end-stage renal disease. Cefoperazone was prescribed more than any other antibiotics, followed by levofloxacin and cefotaxime. Most patients (51,4%) received antibiotics with inappropriate dose adjustment. Low estimated glomerular filtration rate (eGFR) (p < 0,001; RR = 1,048) and haemodialysis (p = 0,003; RR = 0,571) were independently associated with inappropriate dose adjustment. No statistically significant association was found between dose appropriateness and clinical outcome; other associated factors include a high Charlson comorbidity index (CCI) score (p = 0,007; RR = 1,829), type of therapy (p = 0,023; RR = 1,183), and sepsis (p < 0,001; RR = 0,368). Inappropriate dose adjustments were associated with a longer LOS (p < 0,001). Other associated factors include haemodialysis (p = 0,019). These findings indicate substantial dose adjustment inappropriateness that requires immediate attention and collaboration by pharmacists and other healthcare professionals to ensure appropriate adjustment."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khairunnisa Salsabila Lutfi
"Penyakit ginjal kronis (PGK) berkaitan dengan perburukan dan kematian akibat COVID-19. Pasien COVID-19 dengan PGK yang menjalani rawat inap banyak diberikan antivirus dan/atau antibiotik yang memerlukan penyesuaian dosis. Penyesuaian dosis dianalisis berdasarkan laju filtrasi glomerulus (LFG) pasien yang diestimasi dengan metode CKD-EPI. Studi cross-sectional ini bertujuan untuk mengevaluasi penyesuaian dosis antivirus dan/atau antibiotik pada pasien COVID-19 dengan PGK terhadap luaran terapi dan durasi rawat inap di RSUD Pasar Minggu Jakarta periode Januari hingga Desember 2021. Penelitian ini menggunakan teknik total sampling.  Hasil menemukan 70 pasien (51,1%) dari 137 pasien menerima dosis antivirus dan/atau antibiotik yang tidak sesuai anjuran pedoman. Hasil uji Chi-square menunjukkan bahwa pasien dengan dosis sesuai memiliki kecenderungan sebesar 2,236 kali lebih tinggi untuk mencapai luaran terapi perbaikan dibandingkan pasien dengan dosis tidak sesuai (p = 0,032). Faktor lain yang memengaruhi luaran terapi adalah usia (p = 0,000) dan derajat keparahan COVID-19 (p = 0,000). Hasil uji Mann-Whitney U menunjukkan tidak ada hubungan antara kesesuaian dosis dan durasi rawat inap (p = 0,303). Faktor lain yang memengaruhi durasi rawat inap pasien COVID-19 dengan PGK adalah derajat keparahan COVID (p = 0,020), stage PGK (p = 0,020), komorbid selain PGK (p = 0,062), dan luaran terapi (p = 0,001).

Chronic kidney disease (CKD) is associated with worsening and death from COVID-19. COVID-19 patients with CKD who are hospitalized are often given antivirals and/or antibiotics that require dose adjustments. Dose adjustment can be analyzed based on the patient's glomerular filtration rate (GFR) estimated by the CKD-EPI method. This cross-sectional study aims to evaluate the dose adjustment of antiviral and/or antibiotic and analyze its relation with therapeutic outcomes and length of stay of COVID-19 patients with CKD at Pasar Minggu Hospital, Jakarta from January to December 2021. This study used a total sampling technique. Results found that 70 patients (51.1%) of 137 patients received inappropriate doses. Results of Chi-square test showed that patients with appropriate doses had a tendency of 2,236 times higher to achieve improved therapeutic outcomes than patients with inappropriate doses (p = 0.032). Other factors that influenced therapeutic outcomes were age (p = 0.000) and severity of COVID-19 (p = 0.000). Results of Mann-Whitney U test showed no relationship between dose adjustments and length of stay (p = 0.303). Other factors that influenced length of stay were the severity of COVID (p = 0.020), CKD stage (p = 0.020), comorbidities other than CKD (p = 0.062), and therapeutic outcomes (p = 0.001)."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jaswin Dhillon
"Latar belakang dan tujuan: Dari berbagai literatur, salah satu penyebab kegagalan respons klinis pasien pneumonia komunitas adalah akibat pemberian terapi antibiotik yang tidak tepat. Pemberian terapi antibiotik yang tidak tepat dapat meningkatkan risiko kematian dan resistensi antibiotik di kemudian hari. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi ketepatan penggunaan antibiotik dengan menggunakan metode Gyssens yang merupakan alat penilaian kualitatif yang dipakai oleh PPRA di Indonesia serta membandingkannya dengan luaran pasien pneumonia komunitas.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kohort retrospektif di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan. Data diambil dari rekam medis pasien berusia di atas 18 tahun yang didiagnosis pneumonia komunitas dan dirawat inap selama periode Januari- Desember 2019. Penelitian ini menganalisis pemberian antibiotik empiris pada saat pasien pertama kali didiagnosis pneumonia komunitas.
Hasil: Jumlah sampel pada penelitian ini adalah 108 subjek. Proporsi pasien yang diberikan antibiotik empiris tidak tepat berdasarkan metode Gyssens adalah 58,3% dan yang diberikan antibiotik empiris telah tepat adalah 41,7%. Pasien yang mendapatkan terapi antibiotik empiris tidak sesuai dengan pedoman PDPI memiliki risiko meninggal sebesar 2,875 kali lipat (IK 95% 1,440 – 5,739, p=0,004). Pasien yang diberikan antibiotik empiris dalam waktu setelah 8 jam didiagnosis pnemunia komunitas memiliki risiko meninggal sebesar 3,018 kali lipat (IK 95% 1,612 – 5,650, p=0,002). Dari analisis multivariat, faktor prediktor independen yang berhubungan dengan kejadian mortalitas pasien pneumonia komunitas dalam 30 hari adalah kejadian pneumonia berat dengan risiko sebesar 7,3 kali lipat (IK 95% 2,24-23,88, p=0,001), penyakit CVD dengan risiko sebesar 5,8 kali lipat (IK 95% 1,28-26,46, p=0,023), dan ketidaktepatan pemberian antibiotik empiris dengan risiko sebesar 4,2 kali lipat (IK 95% 1,02-17,74, p=0,048).
Kesimpulan: Pada penelitian ini terdapat hubungan yang bermakna antara penggunaan antibiotik empiris tidak tepat berdasarkan metode Gyssens dengan luaran pasien yaitu kejadian mortalitas 30 hari (p=0,001).

Background and Purpose: From many literatures, one of the causes of clinical response failure in community-acquired pneumonia patients is due to the inappropriate empirical antibiotics use. Improper administration of empirical antibiotics can increase the risk of death and antibiotic resistance later in life. The purpose of this study is to evaluate the appropriateness of the empirical antibiotics use using the Gyssens method which is a qualitative assessment tool used by the antibiotic stewardship program in Indonesia and to compare it with the outcome of community-acquired pneumonia patients.
Method: This study is a retrospective cohort study at the Persahabatan General Hospital. Data is taken from the medical records of patients over the age of 18 who are diagnosed with community-acquired pneumonia and hospitalized during the January- December 2019 period. This study analyzes the administration of empirical antibiotics when the patient is first diagnosed with community-acquired pneumonia.
Results: The number of samples in this study were 108 subjects. The proportion of patients who were given empirical antibiotics incorrectly based on the Gyssens method was 58.3% and those given empirical antibiotics were appropriate was 41.7%. Patients who received empirical antibiotic therapy not in accordance with PDPI guidelines had a 2.875-fold risk of death (95% CI 1.440 - 5.739, p = 0.004). Patients who were given empirical antibiotics after 8 hours of being diagnosed by the community-acquired pneumonia had a risk of death of 3,018-fold (95% CI 1.612 – 5.650, p = 0,002). From a multivariate analysis, independent predictors related to the mortality of community- acquired pneumonia patients within 30 days were the incidence of severe pneumonia with a risk of 7.3-fold (95% CI 2.24-23.88, p = 0.001), CVD with a risk of 5.8-fold (95% CI 1.28-26.46, p = 0.023), and inappropriate empirical antibiotics use with a risk of 4.2 fold (95% CI 1.02-17.74, p = 0.048).
Conclusion: In this study there was a significant relationship between the use of inappropriate empirical antibiotics use based on the Gyssens method and the outcome of community-acquired patients, which was the 30-days mortality (p = 0.001).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fatiya Nur Afida
"Pemantauan Terapi Obat (PTO) adalah kegiatan yang bertujuan untuk memastikan keamanan, efektifitas serta kerasionalan penggunaan terapi obat pasien. Pasien geriatrik dan pasien dengan gangguan ginjal merupakan kriteria pasien yang perlu diprioritaskan untuk dilakukan PTO karena kondisi tersebut dapat meningkatkan risiko terjadinya masalah terkait obat pada pasien. Penelitian ini dilakukan untuk mengoptimalkan pemberian terapi pengobatan yang tepat, aman, dan efektif untuk pasien. Penelitian dilakukan dengan melakukan pengambilan data secara prospektif melalui catatan rekam medik pasien lalu menganalisis masalah terkait obat dan memberikan rekomendasi rencana penyelesaian permasalahan tersebut. Subjek PTO penelitian ini yaitu pasien Tn.J yang merupakan pasien geriatri dengan penyakit gangguan ginjal. Berdasarkan hasil PTO, pengobatan yang diterima pasien sudah cukup baik hanya ditemukan beberapa masalah terkait obat. Masalah terkait obat yang ditemukan yaitu adanya interaksi obat, waktu pemberian obat tidak tepat, pasien gagal menerima obat, efek samping yang mungkin terjadi, dan dosis obat yang kurang tepat.

Drug therapy monitoring is an activity that aims to ensure the safety, effectiveness and rationality of patient drug therapy use. Geriatric patients and patients with kidney disorders are criteria for patients who need to be prioritized in this activity because these conditions can increase the risk of drug-related problems in patients. This research was conducted to optimize the provision of appropriate, safe and effective treatment therapy for patients. The research was carried out by collecting data prospectively through patient medical records and then analyzing drug-related problems and providing recommendations for plans to resolve these problems. The subject of this research is patient Mr. J who is a geriatric patient with kidney disease. Based on the drug therapy monitoring results, the treatment received by the patient was quite good, only a few drug-related problems were found. Drug-related problems found were drug interactions, inappropriate timing of drug administration, patients failing to receive the drug, possible side effects, and inappropriate drug doses."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Raden Roro Isti Mardiana
"Latar Belakang : Lima belas persen (15%) pasien yang terinfeksi COVID- 19 jatuh ke dalam kondisi penyakit yang berat dan memerlukan suplementasi oksigen (O2). Lima persen (5%) lainnya mengalami perburukan lebih lanjut dan jatuh ke dalam penyakit kritis dengan komplikasi. Pemberian terapi O2 dilakukan segera kepada pasien dengan atau tanpa tanda-tanda kegawatdaruratan dengan saturasi oksigen (SpO2) < 90%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara Skor Acute Physiology and Chronic Health Evaluation (APACHE) II dengan kejadian desaturasi pada pasien Pneumonia COVID-19.
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional
kohort prospektif yang dilakukan di Instalasi Gawat Darurat (IGD) dan ruang rawat inap RSUP Persahabatan periode 31 Juli 2021 – 30 September 2021. Subjek penelitian didapatkan dari pasien yang datang ke IGD RSUP Persahabatan sejak 30 Juli 2021 – 30 September 2021 dan terdiagnosis COVID-19 dari hasil pemeriksaan PCR usap tenggorok positif. Dilakukan pengumpulan data klinis, tanda vital, pemeriksaan penunjang dan Skor APACHE II sejak subjek tiba di IGD hingga masuk ruang rawat dalam 24 jam pertama. Hasil : Pada penelitian ini didapatkan 100 subjek penelitian. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara Skor APACHE II dengan kejadian desaturasi pada pasien Pneumonia COVID-19 (p 0,257). Selain itu, tidak ditemukan perbedaan bermakna skor APACHE II pada kelompok pasien dengan derajat keparahan COVID-19 yang berbeda pada PaO2 sesuai hasil pemeriksaan AGD (p 0,073) namun didapatkan hubungan yang bermakna pada penggunaan PaO2 seusai kurva disosiasi O2 (p <0,001).
Kesimpulan : Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara Skor
APACHE II dengan kejadian desaturasi pada pasien Pneumonia COVID-19.

Background : Fiftheen percents (15%) patients infected with COVID-19
falls to severe disease and require oxygen (O2) therapy and the other 5% suffered
progressive worsening to critical disease with complications. Oxygen therapy
conducted in patients with or without emergency condition with low O2 saturation
(SpO2 < 90%). This study aim to determine the correlation between Acute
Physiology and Chronic Health Evaluation (APACHE) II score with desaturation
in Pnuemonia COVID-19 patients.
Methods : A prospective cohort observational analytic study
conducted at National Respiratory Ceter Persahabatan Hospital Emergency Unit
from July 2021-September 2021. The study subjects were patients admitted to
Emergency Unit and diagnosed with COVID-19 from positive result of
nasopharing PCR swab. Clinical data, vital signs, supportive examination and
APACHE II score are collected since Emergency Unit admission to inward unit in
first 24 hours.
Results : There were 100 subjects participating in this study. The
result stated there were no significant correlation between APACHE II Score with
desaturation in Pneumonia COVID-19 patients (p-value 0,257). There was also no
significant correlation between APACHE II score with disease severity of COVID-
19 based on O2 partial pressure collected from blood gas analysis examination (pvalue
0,073) but there was a significant correlation between APACHE II score with
disease severity of COVID-19 based on O2 partial pressure referred to O2
dissociation curve (p-value <0,001).
Conclusion : There was no significant correlation between APACHE II
Score with desaturation in Pneumonia COVID-19 patients
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fanny Fachrucha
"ABSTRAK
Latar belakang: Pneumonia komunitas merupakan penyakit yang sering terjadi dan berhubungan dengan angka kesakitan dan kematian yang tinggi. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) mengeluarkan pedoman pemberian antibiotik penanganan pasien pneumonia komunitas di Indonesia untuk mengurangi angka kematian pasien pneumonia komunitas.
Tujuan: untuk mengetahui angka kepatuhan penggunaan panduan antibiotik untuk pasien pneumonia komunitas yang di rawat inap berdasarkan panduan PDPI di RSUP Persahabatan serta pengaruhnya terhadap lama perawatan dan angka mortalitas pasien.
Metode: Penelitian observasional kohort retrospektif di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan. Data diambil dari data rekam medis pasien yang didiagnosis pneumonia komunitas, yang dirawat di ruang rawat inap Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi RSUP Persahabatan, periode Juli 2014 sampai dengan Juli 2016.
Hasil: Sampel penelitian 107 subjek, dengan karateristik pasien laki-laki 70,1% dan perempuan 29,9%. Median usia 56 tahun dengan usia minimum 18 tahun dan usia maksimum 96 tahun. Angka kepatuhan dokter terhadap penggunaan antibiotik berdasarkan pedoman penatalaksanaan pneumonia PDPI pada pasien pneumonia komunitas yang dirawat inap di RSUP Persahabatan sebesar 70,1%. Angka mortalitas pasien pneumonia komunitas berhubungan secara bermakna dengan kesesuaian pemberian antibiotik dengan pedoman PDPI dan derajat risiko PSI dengan nilai OR berturut-turut 2,93 (95%IK1,23-6,94) dan OR 3.02 (95%IK 1.25-7.29). Kesimpulan: Angka kepatuhan penggunaan antibiotik angka kepatuhan penggunaan panduan antibiotik untuk pasien pneumonia komunitas berdasarkan panduan PDPI berhubungan dengan angka mortalitas pasien.

ABSTRACT<>br>
Background: Community acquired pneumonia (CAP) is a common disease and is associated with high morbidity and mortality. Indonesian Society of Respirology has been recommended empiric antibiotic guidelines for patients with community-acquired pneumonia in 2014. These guidelines are designed to reduce the mortality rate of CAP patients. Objective: to determine the compliance rate of antibiotic guidance for inpatient community pneumonia patients based on PDPI antibiotic guidelines in Persahabatan Hospital and its effect on the length of stay and mortality rate CAP patients. Method: This is a retrospective cohort observational study inPersahabatan Hospital. Data were collected from medical records of patients diagnosed with CAP, who were admitted to the Department of Pulmonology and Respiratory Medicine during July 2014 to July 2016. Results: The sample was 107 subjects. Proportion male and female were 70.1% and 29.9%. The median age was 56 years old with a minimum age was 18 years and a maximum age was 96 years. Doctors' compliance rates on PDPI's guidelines for the management CAP patients was 70.1%. The mortality rate of CAP patients was significantly associated with the national guidelines-concordant empiric antibiotic therapy and the class risk of PSI with OR 2.93 (95% IK1,23-6,94) and OR 3.02 (95% IK 1.25-7.29) reversely. "
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ira Camelia Fitri
"Latar Belakang: Pasien penyakit ginjal kronis (PGK) memiliki risiko lebih tinggi untuk jatuh ke dalam frailty karena berbagai perubahan fisiologis terkait penyakit dan berisiko mengalami dampak kesehatan yang lebih buruk. Pemahaman mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian frailty pada pasien PGK yang menjalani hemodialisis  sangat di perlukan untuk menginformasikan pengetahuan dan mendapatkan solusi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi frailty pada pasien hemodialisis dan faktor yang berhubungan dengan terjadinya frailty pada pasien hemodialisis.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang dengan menggunakan data primer. Sembilan puluh satu pasien dari unit hemodialisis RSCM dari berbagai kelompok demografis disertakan dalam studi. Sampling menggunakan metode total sampling. Frailty dinilai dengan kuesioner Frailty Index 40 item. Riwayat medis diperoleh dari rekam medis RS dan dilakukan pemeriksaan laboratorium. Dilakukan uji bivariat menggunakan Chi-Square terhadap usia, jenis kelamin, lama dialisis, status gizi, adekuasi dialisis, hemoglobin, CRP, albumin, kalsium darah, fosfat darah, dan Charlson Comorbidity Index (CCI). Identifikasi faktor yang berhubungan dengan terjadinya frailty dilakukan dengan uji binary regression dengan metode backward stepwise regression.
Hasil: Dua puluh enam (28,6%) pasien mengalami frailty. Faktor yang berhubungan dengan kejadian terhadap frailty pada pasien hemodialisis yaitu jenis kelamin perempuan (PR 1,064; IK 95% 1,064-1,065), skor CCI (PR 27,168; IK 95% 3,838-192,306), lama (vintage) hemodialisis (PR 1,227; IK 95% 1,226-1,227), hemoglobin (PR 3,099; IK 95% 1,325-7,254), albumin (PR 1,387; IK 95% 1,386-1,388), CRP (PR 1,432; IK 95% 1,431-1,433), dan fosfat (PR 1,110; IK 95% 1,110-1,111).
Kesimpulan: Prevalensi frailty pada populasi studi ini yaitu 28,6%. Jenis kelamin perempuan, peningkatan skor CCI, lama (vintage) hemodialisis, anemia, hipoalbuminemia, dan fosfat yang rendah ditemukan sebagai faktor yang berhubungan secara signifikan  terhadap kejadian frailty pada pasien hemodialisis di RSCM.

Background: Patients with chronic kidney disease (CKD) have a higher risk of falling into frailty due to various physiological changes related to the disease and are at risk for worse health impacts. Understanding the factors that correlate with the incidence of frailty in CKD patients undergoing hemodialysis is needed to inform knowledge and obtain solutions. This study aims to determine the prevalence of frailty in hemodialysis patients and predictors of frailty in hemodialysis patients.
Methods: This study is a cross-sectional study using primary data. Ninety-one patients from the RSCM hemodialysis unit from various demographic groups were included in the study. Sampling using the total sampling method. Frailty is assessed with a 40-item Frailty Index questionnaire. Medical history was obtained from hospital medical records, and laboratory examinations were carried out. A bivariate test using Chi-Square was performed on age, sex, duration of dialysis, nutritional status, dialysis adequacy, hemoglobin, CRP, albumin, blood calcium, blood phosphate, and the Charlson Comorbidity Index (CCI). The binary regression test with the backward stepwise regression method identifies factors associated with frailty.
Results: Twenty-six (28.6%) patients experienced frailty. Factors related to the incidence of frailty in hemodialysis patients were female gender (PR 1.064; 95% CI 1.064-1.065), CCI score (PR 27.168; 95% CI 3.838-192.306), duration (vintage) of hemodialysis (PR 1.227; 95% CI 1.226-1.227), anemia (PR 3.099; 95% CI 1.325-7.254), albumin (PR 1.387; 95% CI 1.386-1.388), CRP (PR 1.432; 95% CI 1.431-1.433), and phosphate (PR 1.110; CI 95% 1.110-1.111).
Conclusion: The prevalence of frailty in this study population is 28.6%. Female gender increased CCI score, old (vintage) hemodialysis, anemia, hypoalbuminemia, and low phosphate were factors significantly related to the incidence of frailty in hemodialysis patients at RSCM.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lusi Indriani
"ABSTRAK
Penggunaan obat yang berisiko terhadap ginjal pada pasien dengan penurunan
fungsi ginjal memungkinkan terjadinya masalah terkait obat. Apoteker berperan
dalam mengidentifikasi dan mencegah terjadinya masalah terkait obat. Penelitian
ini bertujuan untuk menilai pengaruh intervensi apoteker terhadap penurunan
jumlah dan jenis masalah terkait obat pada pasien penyakit ginjal kronik di
Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati. Penelitian dilakukan
secara prospektif selama periode Januari hingga Maret 2012 menggunakan
rancangan eksperimental, pre dan post-test. Evaluasi dilakukan terhadap 377
terapi obat dari 40 orang pasien penyakit ginjal kronik. Rekomendasi diberikan
kepada dokter, perawat, dan pasien. Jumlah masalah terkait obat adalah 98
masalah (25,99% dari jumlah terapi obat yang diresepkan). Jenis masalah terkait
obat adalah efek terapi obat yang tidak optimal 62,24%, kejadian obat yang tidak
diinginkan (non alergi) 20,41%, dan kejadian obat yang tidak diinginkan (toksik)
17,35%. Penelitian ini menunjukkan bahwa intervensi apoteker dapat menurunkan
masalah terkait obat jenis efek terapi obat yang tidak optimal (62,24% menjadi
0%), jenis kejadian obat yang tidak diinginkan yang non alergi (20,41% menjadi
11.22%), dan jenis kejadian obat yang tidak diinginkan yang menimbulkan efek
toksik (17,35% menjadi 10,20%). Faktor perancu secara bermakna mempengaruhi
terjadinya masalah terkait obat yaitu penyakit penyerta (r= 0,385; p= 0,014), dan
jumlah terapi obat (r= 0,604; p= 0,000)."
2012
T31428
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Prima Belia Fathana
"Latar Belakang : Merokok masih merupakan masalah kesehatan utama di Indonesia. Merokok menjadi faktor risiko bagi penyakit kanker paru dan PPOK. Hubungan antara kanker paru dan PPOK masih terus dikaji. Komorbiditas PPOK pada kanker paru dapat mempengaruhi proses diagnostik, tatalaksana serta managemen akhir kehidupan pasien kanker paru.
Metode : Penelitian ini adalah studi potong lintang analitik yang dilakukan di poliklinik onkologi paru RSUP Persahabatan selama periode Agustus 2018 sampai dengan April 2019 terhadap pasien kanker paru kasus baru yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
Hasil : terdapat 52 subjek yang diteliti dan didapatkan 76,9% adalah laki-laki dan perokok (71,2%), jenis kanker paru yang paling banyak ditemukan ialah kanker paru karsinoma bukan sel kecil (98,1%), sebagian besar stage 4 (88%) dan tampilan klinis 1 (50%). Prevalens PPOK berdasarkan pemeriksaan spirometri menurut kriteria PNEUMOMOBILE ialah 46,2% dan prevalens emfisema berdasarkan pemeriksaan CT-scan toraks ialah 30,8%.. Subjek kanker paru yang menderita PPOK 91,7% termasuk kedalam obstruksi derajat sedang (GOLD 2) serta memiliki kelainan faal paru campuran obstruksi dan restriksi ( 70,8%). Subjek yang menderita emfisema terbanyak menderita emfisema jenis sentrilobular (43,7%). Terdapat hubungan antara letak lesi sentral terhadap beratnya obstruksi yang diukur melalalui nilai VEP1 pada subjek PPOK dan emfisema.
Kesimpulan : PPOK pada kanker paru terutama ditemukan pada laki-laki, perokok serta jenis kanker yang paling banyak diderita ialah adenokarsinoma. Emfisema yang paling banyak diderita ialah jenis sentrilobular yang secara umum banyak didapatkan pada perokok.

Background: Smoking is one of risk factors in both of lung cancer and chronic obstructive pulmonary disease (COPD). Comorbidity of COPD among lung cancer patients generally influenced outcome of their quality of life, diagnostic procedures, treatments, and end of life managements.
Methods:This analytical cross-sectional study involved newly diagnosed lung cancer cases admitted to the oncology clinics of Persahabatan Hospital Jakarta, Indonesia between August 2018 and April 2019. Patients who met the study criteria were consecutively included. Spirometric evaluation of airway obstruction and COPD was based on PNEUMOBILE and GOLD criteria. Radiological evaluation of emphysema was based on thorax CT-scan.
Results:Subjects were 52 lung cancer patients and most of them were males (76.9%) and smokers (71.2%). Most of them were diagnosed as non-small cell lung cancer (NSCLC) (98.1%), were in end-stage of the disease (88.0%) and were in performance status of 1 (50.0%). The prevalence of COPD and emphysema was 46.2% and 30.8%, respectively. Most of the COPD subjects (91.7%) experienced moderate airway obstruction (GOLD 2), along with mixed obstruction-restriction spirometric results (70.8%). Centrilobular emphysema was common (43.7%) radiological finding in this study. Degree of obstruction by spirometry (VEP1)and detection of central tumor lesion by thorax CT-scan in COPD and emphysema subjects was found to be correlated.
Conclusion:COPD in lung cancer was found in males, smokers, and NSCLC patients. Centrilobular emphysema was commonly found in this study, particularly in smoker sub-group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57647
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anna Yusrika
"ABSTRAK
Latar belakang: Kapasitas difusi paru berdasarkan karbon ke sirkulasi pulmoner. Nilai DLCO prediksi pada asma cenderung normal atau sedikit monoksida (DLCO) didesain untuk mengukur laju perpindahan gas CO dari alveolus meningkat sedangkan pada PPOK kapasitas difusi cenderung menurun akibat emfisema. Sindrom tumpang-tindih asma-PPOK dinyatakan sebagai entitas yang unik dengan kombinasi karakteristik asma dan PPOK. Tujuan utama penelitian ini adalah mengetahui nilai DLCO pada pasien tumpang tindih asma- PPOK (TAP) di RSUP Persahabatan Jakarta.
Metode: Uji DLCO dengan metode napas tunggal dan beberapa pemeriksaan penunjang lainnya telah dilakukan pada 40 pasien yang terdiagnosis sebagai TAP. Diagnosis TAP pada subjek penelitian ditegakkan menggunakan kriteria pedoman GINA/GOLD 2017. Kriteria akseptabilitas dan reprodusibilitas DLCO napas tunggal dinilai menggunakan kriteria dari ATS/ERS 2017. Hasil uji DLCO disajikan dalam nilai mutlak dan nilai persen prediksi.
Hasil: Rerata nilai DLCO mutlak dan %DLCO prediksi yang didapatkan dalam penelitian ini adalah 17.98 ± 5.37 mL/menit/mmHg dan 84.16 ± 18.29%. Jika menggunakan persamaan penyesuaian DLCO berdasarkan kadar hemoglobin didapatkan nilai %DLCO prediksi sedikit meningkat dibanding sebelumnya, 85.17 ± 18.04%. Terdapat 10 subjek (25.0%) yang mengalami penurunan nilai DLCO. Enam diantaranya mengalami penurunan ringan dan empat lainnya mengalami penurunan sedang.
Kesimpulan : Rerata nilai DLCO pada subjek TAP di RSUP Persahabatan Jakarta dapat diinterpretasikan normal, lebih menyerupai asma dibandingkan PPOK. Hasil ini juga mengindikasikan kebanyakan pasien TAP dalam penelitian ini tidak mengalami penurunan luas permukaan alveolar yang mengganggu proses difusi.

ABSTRACT
Background: Diffusing capacity of the lung for carbon monoxide (DLCO) was designed to measure transfer rate of carbon monoxide from alveoli to pulmonary circulation. As we know, DLCO predicted value in asthma proved to be normal or slightly elevated. On contrary it decreased in COPD with emphysematous pattern. Asthma-chronic obstructive pulmonary disease overlap (ACO) declared as a unique entity with combined characteristics between asthma and COPD. The aim of the research is to find out DLCO value of ACO patient in Persahabatan Hospital, Jakarta.
Method: We have conducted single-breath DLCO and other required test to 40 patients diagnosed with ACO using GINA/GOLD 2017 guidelines. The acceptability and reproducibility of single-breath DLCO was done according to ATS/ERS 2017 criteria. The result then presented as absolute value and percent predicted value.
Results: The mean DLCO of our patient is 17.98 ± 5.37 mL/minute/mmHg with percent predicted value is 84.16 ± 18.29%. Using adjusted DLCO equation for hemoglobin, we found that the value is slightly increased, 85.17 ± 18.04%. However, we found 10 patient (25.0%) with DLCO decrease. Six of them have DLCO predicted value <75% (mild-decrease) and four of them have DLCO predicted value <60% (moderate-decrease).
Conclusion: The mean DLCO value of patient with ACO in our hospital can be interpreted as normal, similar with asthma, rather than COPD. It also indicate most of our patient did not have alveolar loss that altering diffusion process."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>