Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 92145 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ahmad Al Farizy
"Skripsi ini membahas mengenai masalah krisis legitimasi publik dalam Paket Undang-Undang Politik yang ditanggulangi dengan teori demokrasi deliberatif. Tujuannya adalah: (1) untuk mengetahui bagaimana checks and balances antar lembaga negara dalam meminimalisasi krisis legitimasi publik terhadap paket undang-undang politik; dan (2) dan untuk merumuskan mekanisme yang ideal terkait pelaksanaan demokrasi deliberatif untuk menguatkan legitimasi publik terhadap paket undang-undang politik. Skripsi ini menemukan bahwa terdapat anomali dalam checks and balances antar lembaga negara pada pembentukan paket undang-undang politik. Hal ini dikarenakan peta koalisi DPR dan Presiden secara mayoritas mengakibatkan persetujuan terhadap paket undang-undang politik telah terpetakan sejak awal. Alhasil, berbagai isu krusial yang dianggap menguntungkan pembentuk undang-undang masih eksis dalam paket undang-undang politik sekalipun ditolak secara masif oleh masyarakat. MK sebagai pelaksana kehakiman juga kerap terbatasi oleh kebijakan hukum terbuka pada paket undang-undang politik. Berdasarkan pendekatan teoritis, komparatif, dan telaah filosofis, teori demokrasi deliberatif oleh Jurgen Habermas sangat tepat untuk diterapkan dalam menguatkan legitimasi publik terhadap paket undang-undang politik. Penerapannya dapat dilakukan dengan membentuk forum deliberasi yang menggabungkan antara warga negara dan anggota DPD dalam melakukan diskursus atas rancangan paket undang-undang politik. DPD dapat mewujudkan hal tersebut melalui kewenangan preview yang dilakukannya pasca proses persetujuan antara DPR dan Presiden.

This thesis discusses the issue of public legitimacy crisis in the political law package, which is addressed through deliberative democracy theory. The objectives are: (1) to understand how checks and balances between state institutions can minimize the public legitimacy crisis regarding the political law package, and (2) to formulate an ideal mechanism related to the implementation of deliberative democracy to strengthen public legitimacy towards the political law package. The thesis finds anomalies in checks and balances between state institutions in the formation of the political law package. This is due to the majority coalition map of the DPR and the President resulting in the approval of the political law package being predetermined from the beginning. As a result, various crucial issues deemed favorable by the legislators persist in the political law package even when massively rejected by the public. The Constitutional Court, as the judiciary, is also often limited by the open legal policies in the political law package. Based on theoretical, comparative, and philosophical approaches, Jurgen Habermas's deliberative democracy theory is highly suitable for enhancing public legitimacy towards the political law package. Its application can be achieved by forming deliberation forums that combine citizens and DPD members in discussing the draft of the political law package. DPD can realize this through its preview authority conducted after the approval process between the DPR and the President."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rosdiana
"ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan DPR RI menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Dengan menggunakan metode penelitian Yuridis Normatif, pendekatan dengan menggunakan teori Negara Hukum, Teori Demokrasi, Teori Perwakilan, Etika, Moral, dan Kode Etik, serta Teori Pengawasan. Adapun konsep-konsep yang digunakan adalah tentang kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, dan hak imunitas Anggota DPR RI. Untuk mendapatkan kesimpulan dari tujuan penelitian, hal-hal yang disampaikan adalah terkait dengan sejarah pembentukan lembaga perwakilan di Indonesia dan pembentukan Alat Kelengkapannya, kode etik dan relevansinya terhadap Mahkamah Kehormatan Dewan, serta penjabaran mengenai tugas, fungsi, dan tata beracara Mahkamah Kehormatan Dewan sebagai lembaga penegak etik dan tata tertib DPR. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa Mahkamah Kehormatan Dewan sebagai salah satu dari Alat Kelangkapan Dewan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD merupakan lembaga penegak etik dan tata tertib bagi Anggota Dewan yang memiliki peran penting dalam menjaga dan memelihara citra dan wibawa Anggota Dewan. Namun kewenangan yang diberikan kepada Mahkamah Kehormatan Dewan dibatasi, sehingga kinerja dari lembaga ini tidak dapat maksimal meski tugas dan wewenangnya sudah dilaksanakan dengan baik. Kendala yang menyebabkan tidak maksimalnya kerja Mahkamah Kehormatan Dewan diantaranya karena keanggotaan dari Mahkamah Kehormatan Dewan berasal dari internal Anggota Dewan yang terdiri dari berbagai Fraksi, sehingga menimbulkan konflik kepentingan.

ABSTRACT
This thesis discusses the authority of the Committee on Ethics of the Parliament according to Law Number 17 Year 2014 on the MPR, DPR, DPD and DPRD. By using normative juridical research methods, approaches using the theory of the State of Law, Theory of Democracy, Representation Theory, Ethics, Moral, and the Code of Conduct, as well as the Theory of Control. The concepts used are about the authority of the Conduct Council, Law Number 17 Year 2014 on the MPR, DPR, DPD and DPRD, and the right of immunity Member of Parliament. To get the conclusions of the research objectives, things delivered is related to the history of the establishment of representative institutions in Indonesia and the establishment of complementary Organs of DPR, code of ethics and its relevance to the Committee on Ethics, as well as the elaboration of the duties, functions and procedures of litigation the Conduct Council as an institution enforcement of ethics and rules of procedures. The result showed that the Committee on Ethics as one of DPR permanent organs stipulated in Law No. 17 Year 2014 on the MPR, DPR, DPD and DPRD an enforcement agency of conduct and rules of procedures for the Members have an important role in maintaining and maintain the image and authority of the Members. But the authority given to the Committee on Ethics is limited, so that the performance of these institutions can not be maximal even though its duties and powers already implemented. Obstacles that have not maximal work of the Committee on Ethics such as the composition and membership of the Conduct Council Members come from internal sources consisting of various factions, giving rise to a conflict of interest. "
2017
T46994
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"The DPD does not have power to pass legislation.It can only introduce or gives advices on a certain range of bills in the DPR. With this limited power,DPD acts only as a sub-ordinate of DPR...."
JUILPEM
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
R.M.S. Surjaningprodjo
Jakarta: Nahdatul Ulama, 1956
342.05 SUR u
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Haniatunnisa
"Tesis ini membahas mengenai Kewenangan dan keikutsertaan DPD didalam Proses pembahasan penetapan RUU Perppu menjadi UU di DPR. salah satu RUU yang dibahas untuk mendapat persetujuan bersama oleh DPR dan Presiden ialah RUU tentang Penetapan Perppu menjadi Undang-Undang.Namun, Selama ini, DPD tidak pernah dilibatkan dalam pembahasan RUU tersebut. Padahal, materi muatan Perppu adalah materi muatan undang-undang. Di sisi lain, ada beberapa Perppu yang mengatur mengenai otonomi daerah, antara lain seperti: Perppu tentang Kawasan Ekonomi Khusus Batam, Bintan, dan Karimun; Perppu tentang Otonomi Khusus Papua, perppu tentang penanganan Permasalahan hukum dalam rangka rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah dan kehidupan masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan kepulauan Nias Provinsi Sumatra Utara perppu tentang pilkada, perpu tentang pemerintahan daerah Dalam penetapan RUU perppu selama ini tidak pernah melibatkan DPD hanya DPR dan Pemerintah di dalam pembahasannya. Berdasarkan UUD 1945 pasal 22D , UU No. 17 tahun 2014 tentang MD3 , UU Nomor 12 tahun 2011 tentang P3 tahun, dan tatib DPR RI tahun 2014 serta tatib DPD tahun 2009, dengan menyamakan mekanisme RUU penetapan perppu sama dengan mekanisme pembahasan RUU biasa yang diajukan dari pemerintah. Paska Putusan Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 92/PUU-X/2012 telah mengembalikan kewenangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sehingga kewenangan dan keikutsertaan DPD disempurnakan dengan disahkannya UU No. 17 tahun 2014 tentang MD3 dan tatib DPR RI 2014. RUU perppu merupakan RUU yang diusulkan oleh pemerintah, Hierarki perppu adalah setingkat/sama dengan Undang-Undang."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T43103
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sikumbang, Sony Maulana
"Perubahan ketatanegaraan yang terjadi akibat perubahan-perubahan yang dilakukan oleh MPR atas UUD 1945 antara lain adalah pernbentukan lembaga-lembaga negara baru. Salah satunya adalah Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Keberadaan DPD dilatarbelakangi oleh gagasan demokratisasi dan akomodasi. kepentingan daerah demi terjaganya integrasi nasional. Berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945 pasca perubahan keempat, maka DPD sebagai perwakilan rakyat dalam konteks kedaerahan dengan orientasi kepentingan nasional dapat disebut sebagai kamar kedua dalam sistem parlemen bikameral. Dengan demikian, keberadaan DPD mernbawa implikasi, antara lain pacta kewenangan pernbentukan undang-undang. Kewenangan mana sebelumnya dipegang dan dilaksanakan hanya oleh DPR sebagai satu-satunya kamar yang ada dalam parlemen. Namun, ruang lingkup maupun pengaruh kewenangan DPD dalam pembentukan undang-undang sangat terbatas. Berdasarkan perbandingan kewenangan relatif yang dimiliki oleh masingmasing kamar dalam pernbentukan undang-undang dan berdasarkan kedekatan kesamaan yang dimiliki oleh kekuasaan DPD dan House of Lords dapat disebutkan, bahwa berdasarkan klasifikasi Andrew Ellis parlemen Indonesia adalah parlemen bikameral dengan klasifikasi bicameral lunak (soft bicameral), mengingat kewenangan relatif yang diberikan oleh konstitusi kepada DPD dalam pernbentukan undang-undang adalah lebih lemah dibandingkan dengan DPR. Di samping DPR dan DPD sebagai kamar pertama dan kedua parlemen, keberadaan MPR sebagai lernbaga permanentersendiri dengan kewenangan yang berbeda menjadikan parlemen Indonesia tidak dapat diklasifikasikan sebagai parlemen bikameral, melainkan trikameral."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Universitas Indonesia, 2008
S25440
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009
S5948
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Syamsiati D.
"Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 24 ayat (2a) perubahan ketiga UUD 1945, kekuasaan kehakiman diselenggarakan oleh sebuah Mahkamah Agung (MA) dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Dari empat kewenangan Mahkamah Konstitusi, salah satunya adalah melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Kewenangan pengujian undang-undang terhadap konstitusi yang dimiliki Mahkamah Konstitusi merupakan perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga negara. Sebagaimana hukum acara pada umumnya, hukum acara pengujian undang-undang pada Mahkamah Konstitusi memiliki proses-proses yang harus dilalui. Dari sekian proses tersebut, pengujian mengenai kedudukan hukum (legal standing) dari Pemohon, merupakan tahapan yang paling penting untuk dapat beracara di Mahkamah Konstitusi.
Dalam praktik, hakim Mahkamah Konstitusi menerapkan dua persyaratan yang harus dipenuhi pemohon agar memiliki legal standing, yaitu harus menyatakan termasuk empat kualifikasi Pemohon sebagaimana ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) UUMK< kemudian menjelaskan bahwa Pemohon memiliki hak konstitusional yang diberikan UUD 1945, hak konstitusional tersebut dirugikan oleh berlakunya undang-undang, kerugian tersebut harus spesifik aktual maupun potensial, adanya hubungan kausalitas antara kerugian dengan berlakunya undang-undang, dan kemungkinan dengan dikabulkannya permohonan tersebut kerugian tidak akan terjadi lagi.
Dalam penulisan skripsi ini penulis juga membahas hal yang masih terkait dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji undang-undang yaitu dalam mengenai ketiadaan norma sebagai obyek pengujian dalam Mahkamah Konstitusi sebagai bagian dalam hukum acara di Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan ketentuan dalam pasal 51 ayat (3) huruf b UUMK, mewajibkan pemohon dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 untuk menguraikan dengan jelas materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang- undang yang dianggapnya bertentangan dengan UUD 1945. Dalam dalam praktek, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan perkara pengujian undang-undang dalam hal ketiadaan norma. Hal tersebut mungkin saja terjadi karena pembentukan UUMK sendiri dilakukan sangat singkat dan cakupan masalah yang dirumuskan dalam kaidah-kaidah yang dikandungnya masih sangat sederhana. Sehingga Mahkamah Konstitusi berusaha mengatur masalah-masalah yang dihadapi dalam praktek dengan membentuk Peraturan Mahkamah Konstitusi.

Based on the provisions in Article 24, paragraph (2a) changes the third of the 1945 Constitution, judicial power is held by a Supreme Court (MA) and the judicial body that is located underneath the environment in general, the religious environment, the military environment, the environment administration of justice, and by a Constitutional Court. Four of the authority of the Constitution Court, one of which is to test the laws of the 1945 Constitution. The authority of the laws of the constitution of the Constitutional Court is the protection of constitutional rights of citizens. As the law in general, the law of the law on the Constitutional Court have the processes that must be passed. Of the process, the position of the law (legal standing) from the applicant, is the most important stages to be able to be in session in the Constitutional Court.
In practice, the judge Constitutional Court to apply the two requirements that must be fulfilled so that the applicant has legal standing, the claim must include the four applicant qualifications as specified in Article 51, paragraph (1) UUMK then explained that the applicant has a constitutional right given to the 1945 Constitution, constitutional rights are disadvantaged by the introduction of the law, damages must be specific and actual potential, the relationship between loss causalities with the introduction of laws, and possibly with the application to be granted loss will not occur again.
In writing this essay author also discusses the things that are related to the Constitutional Court the authority to test the law in the absence of norms as a test object in the Constitutional Court as the law in the Constitutional Court in the event. Based on the provisions in article 51 paragraph (3) letter b UUMK, require the applicant in the application of laws against the 1945 Constitution to construe the clear material in the cargo clause, article, and/or part of the law deems contrary to the 1945 Constitution.
In practice, the Constitution Court grant the application of the law in the absence of norms. This may happen because the establishment of their own UUMK is very short and the scope of the problem formulated in the convention to be contain the rule is very simple. So that the Constitutional Court seeks to set up the problems faced in practice with the Constitutional Court Rules form. Keywords: Constitutional Court, Legal Standing, Object Testing."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
S22591
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>