Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 65623 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Theddeus Octavianus Hari Prasetyono
Jakarta: Sagung Seto, 2011
617.95 THE f
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Dini Widiarni Widodo
Jakarta: UI Publishing, 2024
617.95 DIN f
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Tara Sadwika P.J.
"Latar Belakang: Tujuan dari manajemen luka bakar adalah untuk menginiasi penutupan luka dini atau epitelisasi, dan untuk mencegah komplikasi akibat sepsis. Namun, dari praktik harian kami, diagnosis dini, terutama dalam menentukan kedalaman luka bakar pada fase akut, cukup sulit karena proses luka bakar terus berlangsung. Pengukuran objektif merupakan metode tambahan yang baik untuk membantu dokter mengevaluasi kedalaman luka bakar, misalnya pencitraan termal FLIR ONE. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi validitas FLIR ONE termografi sebagai alat untuk menilai kedalaman luka bakar, dan keandalan evaluasi klinis dan FLIR ONE yang dilakukan oleh ahli konsultan ahli luka bakar bedah plastik dan senior residen bedah plastik. Metode: Studi diagnostik yang dilakukan dari November 2019 - April 2020 di pusat kami. Dengan kriteria inklusi disebutkan kami melakukan pengamatan dua kali berdasarkan evaluasi klinis dan juga alat bantu FLIR ONE termografi pada luka bakar superfisial dan mid-dermal dalam waktu 48 jam pascalukabakar, dan hari 3-5 pascalukabakar, dengan outcome yaitu evaluasi klinis yang dilakukan oleh ahli bedah plastik konsultan luka bakar berpengalaman di hari ke 7. Data dikumpulkan dan menganalisis validitas dan realibilitas. Hasil: 43 sampel yang diambil dari laki-laki 15 (53,6%) dan perempuan 13 (46,4%), usia rata-rata 41,82 ± 13,52 tahun. Sebagian besar sampel adalah dari wajah 14 (32,6%), dan ekstremitas atas 11 (25,6%). Realibitas: ICC adalah T1 0,95 dan T3 0,98, menunjukkan angka baik hingga hari ke 7 hari pascalukabar. Kesenjangan evaluasi klinis antara kedua pengamat (konsultan luka bakar bedah plastic berpengalaman dan residen bedah plastik senior) di T1 adalah 6,9% dan di T3 adalah 9,3%. Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam penilaian klinis baik di T1 (p = 0,82) dan T3 (p = 0,51) dan tidak ada perbedaan yang signifikan dalam pengukuran menggunakan alat FLIR ONE antara dua pengamat baik di T1 (p = 0,25) dan T3 (p = 0,91 ). Validitas: AUC dihitung pada T1 adalah 0,72 (95% CI: 0,563 - 0,880) p = 0,014 dengan titik batas T1 pada -0,8 ° C, menunjukkan diskriminasi moderat antara kategori penyembuhan yang re-epitelisasi <= 7 hari dan > 7 hari (sensitivitas 62,5%; spesifisitas 78,9%). Kami menggabungkan evaluasi klinis dan T1 dalam waktu 48 jam setelah luka bakar, penggunaan Flir ONE sebagai alat tambahan meningkatkan sensitivitas menjadi 58,33%, spesifisitas 98% dari evaluasi klinis saja. Probabilitas re-epitelisasi temuan klinis kedalaman luka superfisial dengan nilai T1 > -0,8 C memiliki probabilitas tertinggi (90,94%) untuk re-epitelisasi dalam waktu kurang dari sama dengan 7 hari. Kesimpulan: Penelitian ini menunjukkan validitas dan reliabilitas yang baik dari evaluasi klinis saja dan evaluasi klinis dengan FLIR ONE termografi dalam menilai kedalaman luka bakar. Titik potong kami dalam menentukan kedalaman luka bakar adalah -0,8 ° C, dengan hasil probabilitas yang baik untuk membedakan hasil epitelisasi berulang. Penelitian ini juga memberi tahu kami bahwa program residensi bedah plastik di rumah sakit pendidikan kami telah berhasil membangun kompetensi modul yang baik, dan reisden memiliki paparan yang cukup terhadap kasus luka bakar.

Background: The aim of the management of burn wound is to initiate early wound closure or epithelization, and to prevent sepsis complication. However, from our daily practice, early diagnosis especially in determining the depth of burn wound in acute phase, is quiet difficult as burn wound process is running. Objective measurement may be great adjunct methods to to help clinician evaluating burn wound depth, as an example of FLIR ONE thermal imaging. The objective was to evaluate the validity of FLIR ONE thermal imager as an adjunct tool to assess burn wound depth, and reliability of clinical evaluation and FLIR ONE performed by senior resident of plastic surgery and experienced burn consultant plastic surgeon. Methods: This is a diagnostic study conducted from November 2019 – April 2020 in our center. With inclusion criteria mentioned we did observation twice based on clinical visual and also FLIR ONE thermal imaging on superficial and mid dermal burn within 48 hours post burn, and post burn day 3-5, outcome by clinical evalution done by experienced burn consultant plastic surgeon on day 7. Data were collected and analyze validity and realibility. Result: We had 43 samples taken from male 15 (53,6%) and female 13 (46.4%), average age 41.82 ± 13.52 years. As facial 14(32.6%), and upper extremities 11 (25.6%) as most samples use. Reliability: ICCs were T1 0.95 and T3 0.98, indicating excellent reliability up to 7 days after burn. The gap of clinical evaluation between both observers (experienced burn consultant and senior plastic surgery resident) at T1 is 6.9 percent and at T3 is 9.3 percent. There were no significant difference in clinical assessment both in T1 (p=0.82) and T3 (p=0.51) and no significant difference in measurements using FLIR ONE between two observers both in T1 (p=0.25) and T3 (p=0.91). Validity: the area under the curve was calculated at T1 was 0.72 (95% CI: 0.563 – 0.880) p = 0.014 with a cut-off point of T1 at -0.8°C, shows a moderate discrimination between healing categories re-epithelialization <= 7 days and > 7 days (62.5% sensitivity; 78.9% specificity). We combined clinical evaluation and T1 within 48 hours post burn, the use of Flir One as an adjunct tool increased the sensitivity to 58.33%, specificity 98% of clinical evaluation solely. the probability of re-epithelialization of clinical finding of superficial wound depth with T1 value of >-0.8oC had the highest probability (90.94%) to re-epithelialized in less equal to 7 days. Conclusion: This research showed good validity and reliability of clinical evaluation alone and clinical evaluation adjunct with FLIR ONE thermal imaging in assessment of burn wound depth. Our cut off point in determining the burn wound depth was -0.8° C, with good probability result to differentiate re-epithelialization outcome. This research told us that plastic surgery residency program of our teaching hospital had successfully established a good module competency, and resident had enough exposure to the burn cases."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Risa Crisanti
"[ABSTRAK
Pendahuluan :
Fraktur Midface merupakan fraktur yang sering terjadi dapat dapat memberikan efek baik dari segi estetik dan fungsi. Fraktur Midface yang tidak ditangani dengan baik akan merubah bentuk wajah menjadi tidak proporsional, salah satunya wajah yang menjadi lebih lebar dan panjang, terdapat depresi malar. Tata laksana dengan reposisi segmen fraktur dan fiksasi interna merupakan pilihan utama.
Metode :
Data yang diambil dari status estetik dengan menggunakan studi cross sectional pada pasien dengan fraktur midface sebelum operasi ORIF didapatkan di rekam medis, dan data setelah opeasi ORIF didapatkan dari follow up (4 years), kemudian dilakukan pengukuran dari proyeksi vertical, horizontal dan warm?s view .
Hasil :
Berdasarkan analisis fotografi dari proyeksi vertikal didapatkan 3 pasien memiliki proporsi muka yang baik, 3 pasien memiliki proporsi wajah yang baik dikarenakan perbedaan rata-rata. Berdasarkan analisis fotografi dari proyeksi horizontal didapatkan 3 pasien memiliki panjang muka yang berbeda, 2 pasien memiliki dystopia, 1 pasien memiliki enophtalmus. Berdasarkan analisi fotografi dari proyeksi worm?s eye didapatkan 4 pasien memiliki depresi malar eminensMengenai hasil estetika, didapatkan 4 pasien (66,6 %) puas dengan simetrisitas wajah setelah operasi. 2 pasien (33,3 %) mengeluhkan tidak puas dengan penampilan akhir setelah operasi
Kesimpulan :
Untuk dapat mengevaluasi hasil operasi ORIF di Divisi Bedah Plastik Rumah Sakit Ciptomangunkusumo. Tidak hanya dibutuhkan registrasi data awal yang baik, tetapi juga dibutuhkan sarana dan fasilitas untuk mendapatkan evaluasi jangka panjang pada pasien terutama lokasi pasien yang jaraknya jauh dari lokasi rumah sakit.

ABSTRACT
Background :
Midface fracture is a fracture that often occurs may be able to give a good effect in terms of aesthetics and functionality. Midface fracture that is not handled properly will change the shape of the face become disproportionate, one of which face becomes wider and longer, there is a malar depression. The management of the segment repositioning fracture and internal fixation is the main option.
Methods:
Data taken from the status aesthetic using cross sectional study in patients with fractures midface before surgery ORIF obtained in medical records, and the data after opeasi ORIF obtained from follow-up (4 years), then the measurement of the projected vertical, horizontal and warm's view.
Result:
Based on the photographic analysis of the vertical projection obtained 3 patients have a good proportion of the face, 3 patients had good facial proportions due to differences in average. Based on the photographic analysis of horizontal projection obtained 3 patients had a different face long, 2 patients had a dystopia, 1 patient had enophtalmus. Based on the photographic analysis of the worm's eye projection obtained 4 patients had a malar depression eminens.
Regarding the aesthetic results, obtained four patients (66.6%) are satisfied with simetrisitas face after surgery. 2 patients (33.3%) complained of is not satisfied with the final appearance after surgery
Conclusions:
To be able to evaluate the results of ORIF surgery in the Division of Plastic Surgery Hospital Ciptomangunkusumo. Not only the data registration needed a good start, but also the infrastructure and facilities needed to obtain a long-term evaluation of the patients, especially the location of patients that were located far from the location of the hospital, Background :
Midface fracture is a fracture that often occurs may be able to give a good effect in terms of aesthetics and functionality. Midface fracture that is not handled properly will change the shape of the face become disproportionate, one of which face becomes wider and longer, there is a malar depression. The management of the segment repositioning fracture and internal fixation is the main option.
Methods:
Data taken from the status aesthetic using cross sectional study in patients with fractures midface before surgery ORIF obtained in medical records, and the data after opeasi ORIF obtained from follow-up (4 years), then the measurement of the projected vertical, horizontal and warm's view.
Result:
Based on the photographic analysis of the vertical projection obtained 3 patients have a good proportion of the face, 3 patients had good facial proportions due to differences in average. Based on the photographic analysis of horizontal projection obtained 3 patients had a different face long, 2 patients had a dystopia, 1 patient had enophtalmus. Based on the photographic analysis of the worm's eye projection obtained 4 patients had a malar depression eminens.
Regarding the aesthetic results, obtained four patients (66.6%) are satisfied with simetrisitas face after surgery. 2 patients (33.3%) complained of is not satisfied with the final appearance after surgery
Conclusions:
To be able to evaluate the results of ORIF surgery in the Division of Plastic Surgery Hospital Ciptomangunkusumo. Not only the data registration needed a good start, but also the infrastructure and facilities needed to obtain a long-term evaluation of the patients, especially the location of patients that were located far from the location of the hospital]"
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Hayati
"Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran dalarn beberapa dekade belakangan
ini berkembang sangat pesat, terutarna sejak berakhirnya Perang Dunia ke-2. Diantara
kemajuan di bidang kedokteran yang saat ini banyak diminati orang adalah bidang bedah
plastik (plastic surgery). Menurut Ensiklopedi Indonesia, bedah plastik adalah cabang
ilmu bedah yang mempelajari cara melakukan perbaikan bentuk organ tubuh yang tidak
sempurna (hal.269-270). Oleh sebab itu tujuan dati ilmu yang di Indonesia dikembangkan
pertama kali oleh Prof Moenadjat Wiraatmaja adalah untuk peningkatan fungsi organ
tubuh yang tidak/kurang sempurna serta mengurangi kecacatan yang mengganggu.
Dalam perkembangannya, ternyata ilmu bedah plastik ini juga dipergunakan untuk
mempercantik diri, memperbaiki penampilan fisik yang dirasa kurang sempurna meski
tidak cacat. Melalui pemaduan dengan ilmu kecantikan, maka lahirlah ilmu bedah kosmetik
(cosmetic surgery). Tindakan-tindakan dalam bidang bedah plastik biasanya barn dapat
dikatakan berhasil bila pasien puas setelah tindakan itu dilakukan. Namun hila yang terjadi
sebaliknya, pasien merasa tidak puas akan hasilnya maka besar kemungkinan hal ini akan
menjadi masalah hukum. Narnun mungkinkah hila pasien tidak puas itu berarti ada
kesalahan dokter? Tentu perlu ditelaah lebih jauh lagi, misalnya apakah tindakan dokter
sudah sesuai dengan Standar Profesi? Memang kasus tuntutan terhadap kegagalan operasi
menunjukkan peningkatan bila kita baca di surat kabar belakangan ini. Hal ini karena
dalam tindakan bedah plastik terdapat banyak aspek hukumnya. Salah satu aspek
hukumnya adalah bahwa hubungan dokter dengan pasien dalarn bidang bedah plastik ini
termasuk Inspanningverbintenis dan bukan Resultaatverbintenis. Artinya bahwa dok1er
tidak dapat menjamin hasil dari setiap tindakan bedah plastik tetapi hanya akan berupaya
semaksimal mungkin. Juga perihal kewenangan yakni dokter apa yang berwenang untuk
melakukan tindakan bedah plastik itu? Menurut UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan
selain Dokter Spesialis Bedah Plastik, yang berwenang juga Dokter Spesialis THT,
Dokter Spesialis Mata dan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin. Tentunya kewenangan
tersebut tergantung pada bidang spesialisasinya. Juga seorang dokter yang melakukan
tindakan bedah plastik harus tetap memperhatikan hak-hak pasien, khususnya penerapan
hak atas informed consent. Dengan informasi itu diharapkan pasien tidak akan mempunyai
harapan yang berlebihan akan hasilnya, tapi juga tidak merasa takut yang tidak wajar pula.
lni akan banyak memberi manfaat kepada pasien maupun dokternya serta dapat menghindari dati tuntutan malapraktek medis. Hal yang disebutkan di atas hanyalah
sebagian kecil dari masalah-masalah hukum yang timbul dari tindakan bedah plastik
disarnping masalah lain seperti bagaimana tanggung jawab dokter dan rumah sakit bila
terjadi malapraktek, bagaimana aturan hukum yang ada mengenai penyelenggaraan
bedah plastik yang mempunyai keunikan dan kekhususan dibanding tindakan bedah lain.
Oleh sebab itu menarik penulis untuk mengungkap lebih jauh hal itu dalam skripsi ini.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1995
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meutia Rifa Rahadina
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas tentang inspanningverbintenis dan resultaatverbintenis dalam praktik bedah plastik serta kaitannya dengan tanggung jawab hukum dokter yang melakukan praktik diluar kompetensinya. Pembahasan dilakukan melalui studi kasus pada putusan No.1207/Pid.S/1992/PN.SBY dan No. 944/Pid.Sus/2015/PN.JKT.SEL, serta wawancara dengan ahli bidang hukum kesehatan. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan bentuk penelitian yuridis normatif. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa antara inspanningverbintenis dan resultaatverbintenis, keduanya dapat diterapkan dalam praktik bedah plastik. Inspanningverbintenis dapat diterapkan pada bedah plastik rekonstruksi, sedangkan resultaatverbintenis dapat diterapkan pada bedah plastik estetik. Tindakan bedah plastik haruslah dilakukan oleh dokter yang kompeten di bidangnya, apabila seorang dokter terbukti melakukan pelanggaran disiplin profesi, maka dapat dikenakan sanksi disiplin.

ABSTRACT
This thesis discusses inspanningverbintenis and resultaatverbintenis in the practice of plastic surgery and its relation to the legal responsibility of doctors who practice outside of its competence. The study was conducted through case studies on the decision number 1207 Pid.S 1992 PN.SBY and number 944 Pid.Sus 2015 PN. JKT.SEL, as well as interviews with the experts in the field of medical law. This research is a qualitative research in the form of normative juridical study. The results of this study concluded that between inspanningverbintenis and resultaatverbintenis, both of which can be applied in the practice of plastic surgery. Inspanningverbintenis can be applied to reconstructive plastic surgery, while resultaatverbintenis can be applied to aesthetic plastic surgery. Plastic surgery should be performed by doctors who are competent in their fields, if a doctor was guilty of violation of professional discipline, he or she could be subjected to the disciplinary sanctions."
2017
S67310
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Luh Putu Agustini
"Dewasa ini perkembangan dunia kedokteran semakin bertambah pesat sehingga tidak saja berfungsi dalam hal penyembuhan namun juga memberikan suatu peluang yang positif terhadap dunia kecantikan. Salah satunya ialah bedah plastik. Dulu suatu tindakan bedah plastik selalu dikaitkan dengan suatu keadaan dimana pasiennya menderita suatu indikasi medis sehingga memerlukan penanganan bedah plastik. Namun dunia kedokteran kini tidak lagi hanya berfungsi apabila adanya indikasi medis, tetapi juga dapat berfungsi sebagai penambah daya tarik kecantikan seseorang. Bedah plastik mempunyai karakteristik yang khusus misalnya dalam hal bedah plastik estetik yang berbeda dengan tindakan medis lainnya. Hal ini disebabkan karena bedah plastik estetik lebih mengutamakan kepada suatu hasil kerja dari dokter bedah plastik yang bersangkutan (Resultaatverbintenis), walaupun memang bedah bedah plastik rekonstruksi merupakan bedah plastik yang lebih mengutamakan daya upaya atau usaha maksimal dari tindakan dokter (Inspaningverbintenis).
Perlindungan hukum atas hak-hak konsumen (pasien) di Indonesia, sebenarnya telah diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Begitu juga hak-hal pasien telah diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan dan Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Salah satu hak tersebut adalah untuk mendapatkan ganti kerugian atas tindakan pelaku usaha yang menyebabkan kerugian itu. Aspek hukum perlindungan konsumen (pasien) menjadi fokus penting karena tindakan dokter bedah plastik yang sering merugikan konsumen. Dalam hal bedah plastik ada beberapa permasalahan yang dapat timbul seperti tidak adanya pengaturan secara eksplisit yang mengatur mengenai dokter yang berwenang untuk melakukan tindakan bedah plastik. Hal ini menyebabkan banyak dokter yang mengklaim dirinya mampu untuk melakukan bedah plastik.Permasalahan lainnya ialah apabila seorang dokter melakukan Perbuatan Melawan Hukum maupun wanprestasi yang biasanya disebut dengan Malpraktek.
Pemberlakuan klausula-klausula yang bersifat baku sehingga konsumen (pasien) hanya bisa menerima dan tidak adanya kesempatan bernegosiasi dan terkadang klausula tersbut berisi pembebasan tanggung jawab dari pihak dokter bedah plastik. Klausula tersebut sering terdapat dalam Informed consent. Sedangkan alternatif penyelesaian sengketa antara konsumen (pasien) dengan dokter bedah plastik apabila terjadi suatu tindakan malpraktek dalam bidang Perdata, maka dapat diselesaikan baik melalui pengadilan atau di luar pengadilan yaitu dengan cara musyawarah serta dapat diajukan permasalahan kepada organisasi profesi yang terkait yaitu MKEK IDI (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran)."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T36564
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rendi Chevi Daffa Ulhaq
"Salah satu pergeseran paradigma terbesar dalam dunia kedokteran saat ini adalah pergeseran model pelayanan kesehatan dari disease-centric care menjadi patient-centric care. Bedah plastik rekonstruksi dan estetik menjadi spesialis kedokteran yang membutuhkan implementasi model tersebut, didorong oleh rendahnya tingkat konversi pasien di tahap pre-operatif, teknik operasi tanpa panduan di tahap intra-operatif, dan masih tingginya tingkat permintaan revisi operasi di tahap pasca-operatif. Saat ini, implementasi patient-centric care melalui penggunaan model spesifik-pasien, yaitu replika anatomis bagian wajah atau tubuh pasien yang dapat digunakan dokter sebagai simulator bedah dan alat visualisasi pasien, menjadi instrumen paling efektif dalam memecahkan masalah tersebut. Namun, model spesifik-pasien yang ada di pasaran saat ini masih menggunakan modalitas pemindai yang rumit, mahal, dan model spesifik-pasien masih sulit diakses khususnya untuk negara berkembang. Oleh karena itu, dalam skripsi ini penulis mengusulkan sebuah rancang bangun model spesifik-pasien yang dikhususkan pada bagian maxillofacial untuk pemandu operasi dengan metode pemindaian 3D berbasis smartphone dengan sensor TrueDepth™ dan pemodelan 3D berbasis Growing Neural Gas yang jauh lebih sederhana, murah, dan terjangkau. Akurasi model spesifik-pasien yang dirancang diukur nilai indeks similaritasnya sebesar 0,2101 terhadap topologi wajah subjek asli yang dinilai cukup akurat.

One of the biggest paradigm shifts in medicine today is the shift in health care models from “disease-centric care” to “patient-centric care”. Plastic and aesthetic surgery become one of the medical field who urgently need this model implementation, driven by the low conversion rates of patients in pre-surgery phase, unguided surgery technique encountered in intra-operative phase, and high surgery revision demand in postoperative phase. Currently, patient-centric care implemented through patient-specific models, which is an anatomical replica of the patient's face or body which surgeons can use as a surgical simulator and patient visualization tool, this instrument proven to be the most effective in solving those mentioned problems. However, patient-specific models on the market today still use complex and expensive scanning modalities and the patient-specific models that are still difficult to access, especially in developing countries. Therefore, in this research the author propose a patient-specific model prototype for surgical guidance in maxillofacial region with 3D scanning methodology which utilized smartphone with TrueDepth™ sensor and Growing Neural Gas-based 3D modelling methodology which more simple, low-cost, and accessible. The accuracy of patient-specific model measured in similarity index against the subject’s real face topology resulted in the amount of 0,2101 which sufficiently accurate."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia , 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Galuh Aretnaningtyas Septiani
"Background: Pada program pelatihan residensi bedah Plastik, pengukiran framework untuk telinga luar pada prosedur mikrotia masih terbatas pada sistem magang. Menurut model berbasis simulasi, residen dapat dilatih sebelum menghadapi pasien sebenarnya. Penelitian ini akan menilai efisiensi dari program pelatihan pengukiran framework telinga luar untuk residen Bedah Plastik Rekonstruksi dan Estetik.
Materials and Methods: 14 residen bedah plastik masuk dalam penelitian ini, terbagi menjadi dua grup. Grup I, terdiri dari residen yang pernah mengikuti prosedur mikrotia lebih dari 1 kali sebagai asisten atau pengukir sementara grup II beum pernah. Grup II akan mendapat program pelatihan yang terdiri dari kuliah dan video, dilanjutkan dengan pengukiran dengan subtitusi kartilago dalam bimbingan. Hasil akhir akan dinilai oleh 2 orang konsultan ahli bedah Mikrotia dalam hal presisi anatomi dan ukuran serta kecepatan pengukiran.
Result: Penelitian menunjukkan terdapat peningkatan bermakna dalam hal kecepatan pengukiran dengan p=0.003 (p<0.005) antara 2 grup. Sementara dalam presisi anatomi, terdapat peningkatan bermakna pada tinggi tragus dengan p=0.003 (p<0.005) serta penurunann tinggi antitragus dengan p=0.000 (p<0.0005), dan pada nilai lain tidak terdapat perbedaaan yang signifikan diantara 2 grup.
Conclusion: Dari penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa kecuali tinggi anti tragus, hasil ini menunjukkan efektivitas program pelatihan antara mereka yang belum pernah mengikuti operasi mikrotia dengan mereka yang sudah berpengalaman.

Background: In Plastic Surgery residency training program, cartilage carving of external ear reconstruction for Microtia's procedure was limited to traditional apprenticeship model. Under simulation based training, resident could be groomed before facing the real patient. This study will be evaluate the efficacy training program for cartilage carving of external ear framework for resident of Aesthetic Reconstructive Plastic Surgery.
Materials and Methods: 14 plastic surgery resident will be enrolled in this study, separated into two group. Group I, consisted of resident had experience in Microtia's procedure more than once asisstant or carver meanwhile group II hadn't. Group II will had training program comprised of lecture and video then carving of cartilage substitute under guidance. A week later, both group would carve external ear cartilage framework without guidance. The final result will be assesed by two consultant of Microtia's surgeon in term of anatomical, size appearance of external ear and speed of carving.
Result: Study showed that there was improvement in term of speed of carving with p = 0.003 (p<0.005) between both group. Meanwhile, in term of anatomical precision, there was improvement in tragal height with p=0.003 (p<0.005) and decline antitragal height with p=0.000 (p<0.0005), though in other points there was no significant differences between both team.
Conclusion: From study, we concluded that except for antitragal height point, this result successfully demonstrated the effectiveness of the training program between those who had never experienced microtia's procedure before than those who had."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Indri Aulia
"Latar Belakang: Pergeseran dominasi antara laki-laki dan perempuan pada dunia kedokteran terjadi dari waktu ke waktu di berbagai belahan dunia, termasuk di bidang bedah plastik di Indonesia. Profesi yang semula didominasi oleh laki-laki, saat ini didominasi perempuan. Pergeseran dominasi perempuan ini memungkinkan terjadinya masalah-masalah yang berpengaruh pada pendidikan dan pelayanan bedah plastik. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi fenomena dominasi perempuan pada pendidikan spesialis di Indonesia. Metode: Penelitian ini bersifat kualitatif berupa studi fenomenologi. Penelitian dilakukan pada 3 program pendidikan dokter spesialis bedah plastik rekonstruksi dan estetik di Indonesia. Penelitian dimulai pada bulan Januari 2020. Populasi penelitian terdiri dari 4 kelompok, yaitu peserta didik, dosen, pengelola program studi, dan pengguna lulusan. Responden penelitian dipilih menggunakan metode maximum variation sampling. Setiap responden mendapatkan informed consent, seluruh informasi yang diberikan sifatnya rahasia dan tidak memengaruhi proses pendidikan responden. Metode pengumpulan data berupa studi dokumen, Focus Group Discussion (FGD), dan In-Depth Interview. Data penelitian yang diperoleh dari berbagai metode diatas, kemudian dianalisis dan diolah lebih dalam secara tematik. Hasil: Peneliti membagi tema berdasarkan garis waktu proses pendidikan, yaitu: prapendidikan, intra-pendidikan, dan pascapendidikan. Masing-masing proses memiliki tema yang saling memengaruhi proses pendidikan. Pada masa prapendidikan terdapat karakter personal yang dipengaruhi oleh persepsi positif maupun negatif dari masyarakat. Sedangkan iklim lingkungan kerja, dampak dominasi perempuan, dan dimensi budaya memengaruhi kelancaran intra-pendidikan. Pasca pendidikan dan memasuki dunia kerja, peserta didik menginginkan suatu kondisi lingkungan kerja yang ideal dan terdapat preferensi tempat bekerja tertentu untuk mencapai kondisi well-being. Kesimpulan: Dampak dominasi perempuan selama pendidikan hanya akan berpengaruh pada dinamika kehidupan antar peserta didik dan antara peserta didik dengan dosen sebagai mentor. Namun dominasi ini tidak akan memengaruhi kualitas pendidikan dan beban kerja yang diberikan. Pada penelitian ini juga didapatkan fenomena kesenjangan kepemimpinan tidak terjadi selama pendidikan tetapi terjadi pada pascapendidikan. Namun kesenjangan kepemimpinan bukanlah akibat tekanan dalam komunitas, melainkan kecenderungan dari pribadi perempuan pada umumnya di kelompok masyarakat feminim.

Introduction: Shifting in gender dominance between men and women in the medical field has occurred from time to time globally, including in Indonesia’s plastic surgery. The profession, which was initially dominated by men, is currently dominated by women. This shift in female dominance might allow problems that affect the education and clinical settings of plastic surgery. This study aims to explore the phenomenon of women's dominance in medical residency education in Indonesia. Method: This study is a qualitative study of phenomenology. It was conducted on 3 medical residency programs specializing in reconstructive and aesthetic plastic surgery in Indonesia. The study began in January 2020. The research population consisted of 4 groups, namely students, lecturers, study program managers, and graduate users. Research subjects were selected using the maximum variation sampling method. Each respondent was provided with informed consent, all information given was confidential and did not affect the educational process of the respondent. Data collection methods include document study, Focus Group Discussion (FGD), and In-Depth Interview. Research data obtained from various methods above was analyzed and processed thematically. Results: The themes were categorized based on the educational process timeline, namely: pre-education, intra-education, and post-education. Each timeline had several themes which mutually influenced the educational process. During pre-education there were personal characters which were affected by positive and negative perceptions from society. Whereas the work environment atmosphere, the impact of women's dominance, and the cultural dimension affected the intra-educational process. After graduating from residency program and entering the career life, students expected an ideal working environment and had certain workplace preferences to achieve their well-being. Conclusion: The impact of women's dominance during education affected the daily dynamics among students and their interaction with lecturers as mentors. However, this dominance did not affect the quality of education and workload. We also found that the phenomenon of leadership disparity did not occur during education but occurred in post-education setting. This leadership disparity was not resulted by pressure in the community, but due to the tendency of the women’s personality in general among the feminine community."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>