Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 115610 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Djaja Noezoeliastri
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T57260
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erna Parmawati
"Pendahuluan: C-reactive protein CRP dan procalcitonin PCT merupakan penanda diagnostik dan pemantauan sepsis neonatorum yang paling banyak digunakan. Saat ini terdapat penanda sepsis baru yaitu Soluble CD14 subtype sCD14-ST presepsin. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui manfaat pemeriksaan serial kadar presepsin, CRP dan PCT serta korelasi antara kadar presepsin dengan kadar CRP dan PCT sebagai penanda respons terapi dan prognosis pasien SNAL pada neonatus prematur.
Metode: Desain penelitian kohort prospektif. Subjek penelitian terdiri dari 40 neonatus prematur sehat dan 40 pasien neonatus prematur SNAL dan dilakukan pemeriksaan kadar presepsin, CRP dan PCT, selanjutnya dilakukan pemantauan kadar presepsin, CRP dan PCT pasien neonatus prematur SNAL hari ke-3 dan ke-6 setelah diterapi. Pasien neonatus prematur SNAL dikelompokkan menjadi 20 pasien respons terapi dan 20 pasien non respons. Mortalitas pasien neonatus prematur SNAL ditentukan pada pemantauan hari ke-30.
Hasil: Median kadar presepsin, CRP dan PCT pada neonatus prematur SNAL masing-masing adalah 1559 pg/mL 427 ndash; 4835 pg/mL, 16.35 mg/L 0.1 ndash; 245.6 dan 4.11 ng/mL 0.17 ndash; 54.18 lebih tinggi secara bermakna dibandingkan pada neonatus prematur sehat 406 pg/mL 195 ndash; 562 pg/mL, 1.22 mg/L 0.1 ndash; 3.69 dan 0.03 0.01 ndash; 0.04 dengan nilai p.

Introduction: C reactive protein CRP and procalcitonin PCT are marker of neonatal sepsis diagnostics and monitoring of the most widely used. Currently there is a new marker of sepsis that is Soluble CD14 subtype sCD14 ST presepsin. This study aims to determine the benefits of serial presepsin levels, CRP and PCT as well as the correlation between presepsin with CRP and PCT as a marker of response to therapy and prognosis of patients SNAL in premature neonates.
Methods. This was prospective cohort, from 20 healthy preterm neonates and 40 LOS preterm neonates patient. The concentration of presepsin, CRP and PCT were analysed. Presepsin, CRP and PCT measured in both group and in 3rd 6th day sepsis follow up after therapy. Therapeutic respons was done in 20 LOS preterm neonates patient and 20 preterm neonates patient was not. The mortality of LOS preterm neonates patient saw in 30th day observation.
Results: Median of presepsin, CRP and PCT in LOS preterm neonates are 1559 pg mL 427 ndash 4835 pg mL, 16.35 mg L 0.1 ndash 245.6 and 4.11 ng mL 0.17 ndash 54.18, respectively, are significantly higher than healty preterm neonates 406 pg mL 195 ndash 562 pg mL, 1.22 mg L 0.1 ndash 3.69 and 0.03 0.01 ndash 0.04, p value
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"Rapid development of biotechnology can make better life . Processing a substance to become other substance with the use of microorganism is included in simple biotechnology, for example fermentation technology that change proteins at soybeans to amino acid with the work of fungus, especially Rhizopusbsp...."
2009
570 JPB 1:1 (2009) (1)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Arief Fatkhur Rohman
"Penggunaan antibiotik yang tinggi pada pasien sepsis dapat memicu penggunaan antibiotik yang tidak rasional. Upaya untuk memaksimalkan penggunaan antibiotik yang rasional merupakan salah satu tanggung jawab apoteker. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kualitas dan kuantitas penggunaan antibiotik pada pasien sepsis di ruang rawat Intensive care unit (ICU) dengan metode Gyssens dan ATC/DDD dan mengevaluasi pengaruh intervensi apoteker dalam meningkatkan kualitas penggunaan antibiotik dan outcome terapi. Penelitian dilakukan secara prospektif selama periode Agustus-November 2018 dengan menggunakan rancangan studi pra eksperimen one grup pretest-posttest. Rekomendasi diberikan kepada penulis resep terhadap masalah ketidaktepatan penggunaan antibiotik yang ditemukan. Evaluasi kualitatif dengan metode Gyssens diperoleh hasil bahwa penggunaan antibiotik pada pasien sepsis yang rasional sebesar 85,09 % dan yang tidak rasional sebesar 14,91 %. Jenis antibiotik, jenis terapi antibiotik, jumlah antibiotik  dan lama penggunaan antibiotik berpengaruh terhadap kualitas penggunaan antibiotik. Intervensi meningkatkan ketepatan penggunaan antibiotik (0 % menjadi 64,71 %), menurunkan masalah pemilihan antibiotik (88,24 % menjadi 32,35 %), masalah lama pemberian antibiotik (5,88 % menjadi 0 %) dan masalah rute pemberian obat (5,88 % menjadi 0 %). Kualitas penggunaan antibiotik yang rasional dan yang tidak rasional berpengaruh terhadap hasil terapi. Kuantitas penggunaan antibiotik sebesar 63,84 DDD/patient-day dengan nilai terbesar pada antibiotik meropenem yaitu 32,91 DDD/patient-day.

High use of antibiotics in sepsis patients can lead to irrational use of antibiotics. Pharmacist has responsibility to improve appropriate antibiotics usage. This study was proposed to evaluate quality and quantity of antibiotics usage in sepsis patients in the Intensive care unit (ICU) ward with the Gyssens and ATC/DDD methods and evaluate whether intervention of pharmacy can improve quality of antibiotics usage and therapy outcome. The study was conducted prospectively during the period August - November 2018 using pre experiment one grup pretest-posttest design. Recommendations were given to prescribers to solve the problems of inappropriate antibiotics usage. Qualitative evaluation using that about 85.09 % antibiotic prescriptions were appropriate, and 14.91 % were inappropriate. Type of antibiotics, type of antibiotic therapy, total and duration antibiotics used by patients have effect on quality and quantity antibiotics usage. Intervention of pharmacist improve appropriateness of antibiotics (0% to 64.71 %), decrease drug choice problems (88.24 % to 32.35 %), duration problems (5.88 % to 0 %) and route of administration problems (5.88 % to 0 %). Appropriate used of antibiotics had significant different effect to outcome therapy compare with inappropriate used of antibiotics. The quantity of antibiotic use is 63.84 DDD/patient-day with the greatest value on meropenem antibiotics is 32.91 DDD/patient-day."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2019
T53678
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Andini Putri
"Latar belakang: PPAB (Pedoman Penggunaan Antibiotik) merupakan panduan pemberian antibiotik empiris yang dibuat sesuai pola kuman dan resistensi antibiotik setempat. Pemberian antibiotik yang rasional untuk infeksi saluran kemih (ISK) mendukung proses kesembuhan, mencegah komplikasi, dan mencegah resistensi antibiotik.
Tujuan: Mengetahui apakah terapi yang direkomendasikan PPAB memberikan kesembuhan yang tinggi, mengevaluasi penggunaan antibiotik dengan alur Gyssens, dan mengetahui faktor risiko yang memengaruhi kesembuhan ISK.
Metode: Penelitian deskriptif dengan desain potong lintang yang dilakukan secara retrospektif pada pasien anak dengan ISK yang dirawat di RSCM.
Hasil: Sebanyak 196 subyek memiliki karakteristik sebagian besar berusia balita (32%), berstatus gizi malnutrisi (53%), memiliki komorbiditas (77%), menderita ISK simpleks (80%), berupa ISK simtomatik (88%), dan memiliki proporsi yang seimbang antara jenis kelamin lelaki dan perempuan. Antibiotik yang paling sering diberikan adalah sefotaksim, seftazidim, dan seftriakson. Alur Gyssens menunjukkan antibiotik diberikan rasional pada 53% pasien. Etiologi bakteri tersering adalah Escherichia coli, Enterococcus faecalis, dan Klebsiella pneumonia. Kesembuhan ISK berhubungan dengan pemberian antibiotik sesuai rekomendasi PPAB dibandingkan dengan pasien yang diberikan antibiotik lain (88% vs 74%, p = 0,05). Faktor risiko yang terbukti memengaruhi kesembuhan ISK adalah jenis kelamin laki-laki (p=0,04, adjusted OR 2,1 (IK 95% 1,03-4,30)) dan kondisi pasien tanpa komorbiditas (p<0,01, adjusted OR 5,7 (IK 95% 1,64-20,05)).
Kesimpulan: Terapi yang direkomendasikan PPAB memberikan angka kesembuhan yang lebih tinggi dibanding terapi antibiotik lain, evaluasi Gyssens menunjukkan pemberian antibiotik rasional hanya diberikan pada 53% pasien, dan faktor yang meningkatkan peluang kesembuhan ISK yaitu jenis kelamin lelaki dan kondisi tanpa komorbiditas

Background: Standard treatment guideline used to guide empirical antibiotic use based on local microorganism patterns and antibiotic susceptibility. Rational use of antibiotic for urinary tract infection (UTI) promotes disease recovery, prevents complications, and prevent antibiotic resistance.
Objectives: To know whether patients treated with standard treatment guidelines gives better recovery rates, to evaluate rational use of antibiotic using Gyssens flowchart, and to know factors related to disease recovery.
Method: Descriptive study with cross-sectional design that conducted retrospectively on UTI pediatric patients hospitalized in RSCM.
Results: This study included 196 children, mostly toddlers (32%), malnourished (53%), having comorbidities (77%), uncomplicated UTI (80%), symptomatic UTI (88%), and has a balanced proportion between sexes. The antibiotics mostly prescribed were cefotaxime, ceftazidime, and ceftriaxone. Gyssens plot showed antibiotics were administered rationally in 53% of patients. The most common bacterial etiology is Escherichia coli, Enterococcus faecalis, and Klebsiella pneumonia. UTI recovery was significantly associated with antibiotics according to guideline recommendations compared with other antibiotics (88% vs 74%, p = 0.05). Risk factors associated with UTI recovery were male gender (p=0.04, adjusted OR 2.1 (95% CI 1.03-4.30)) and condition without comorbidities (p<0.01, adjusted OR 5.7 (95% CI 1.64-20.05)).
Conclusion: Patients treated according to standard treatment guidelines had better recovery rates, Gyssens flowchart showed antibiotic were rationally used in 53% patients, and factors that proved to increase recovery rates were male gender and conditions without comorbidities.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dinda Bestari Sutantoputri
"Data Indonesia Antimicrobial Surveillance System (INASS) tahun 2019 menunjukkan tingginya tingkat resistensi bakteri penghasil extended-spectrum beta-lactamase (ESBL) terhadap sefalosporin generasi ketiga dan fluorokuinolon. Untuk menekan angka resistensi, diusung program penatagunaan antibiotik yang mencakup evaluasi penggunaan antibiotik dan pemberian antibiotik berdasarkan klasifikasi Acces, Watch, Reserve (AWaRe). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi penggunaan antibiotik data pasien rawat inap non-intensif di RSUI yang berusia ≥ 18 tahun yang menggunakan antibiotik pada periode 1 Januari–31 Desember 2022 berdasarkan klasifikasi AWaRe dan metode Anatomical Therapeutic Chemical/Defined Daily Dose (ATC/DDD). Penelitian deskriptif analitik dengan desain studi cross-sectional ini memperoleh sampel dengan teknik total sampling dan diolah menggunakan Microsoft Excel. Data pasien dengan data rekam medis nihil, data pasien yang menggunakan antibiotik rute topikal, serta antibiotik yang tidak memiliki nilai standar DDD dari WHO dieksklusi dari penelitian. Hasil penelitian menunjukkan total penggunaan antibiotik sebesar 258,37 DDD/100 pasien-hari dengan sefiksim (60,63 DDD/100 pasien-hari) sebagai antibiotik dengan penggunaan tertinggi. Persentase penggunaan antibiotik berdasarkan klasifikasi AWaRe dari WHO, yaitu klasifikasi Access (14,80%), Watch (85,01%), Reserve (0,19%). Antibiotik golongan sefalosporin generasi ketiga (sefiksim, seftriakson), fluorokuinolon (levofloksasin, siprofloksasin), dan makrolida (azitromisin) termasuk ke dalam segmen 90%.

Indonesia Antimicrobial Surveillance System (INASS) data in 2019 shows increased resistance of extended-spectrum beta-lactamase (ESBL)-producing bacteria to third-generation cephalosporins and fluoroquinolones. The antimicrobial stewardship programs to suppress resistance rates are an evaluation of antibiotic use also the antibiotic administration based on the Access, Watch, Reserve (AWaRe) classification. This study aimed to evaluate the use of antibiotics among non-intensive inpatients' data aged ≥ 18 years who were taking antibiotics at RS Universitas Indonesia between 1st January–31st December 2022 based on AWaRe classification and the ATC/DDD method. This cross-sectional descriptive analytic study was conducted using total sampling and processed using Microsoft Excel. Meanwhile, patients' data with zero medical record data, patients' data who were using topical antibiotics, and antibiotics that did not have a WHO standard DDD value were excluded in this study. The total antibiotic utilization was 258,37 DDD/100 patient-days. The antibiotic with the highest use was cefixime (60,63 DDD/100 patient-days). Access (14,80%), Watch (85,01%), Reserve (0,19%) are the percentages of antibiotic usage based on the WHO AWaRe classification. Third-generation cephalosporins (cefixime, ceftriaxone), fluoroquinolones (levofloxacin, ciprofloxacin), and macrolides (azithromycin) belong to the 90% segment."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Patricia Amanda
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara asupan karbohidrat, protein dan lemak dengan kadar C-Reactive Protein pada pasien kanker paru stadium IIIB-IV. Progresivitas kanker paru dipengaruhi oleh sistem kekebalan tubuh, faktor genetik dan respon inflamasi. CRP sebagai salah satu marker inflamasi dapat diandalkan sebagai salah satu parameter untuk memprediksi perkembangan kanker. Subjek didapatkan melalui consecutive sampling yang melibatkan 49 subjek kanker paru stadium IIIB ndash; IV yang tidak sedang menjalani terapi di RS Kanker 'Dharmais'. Hasil penelitian didapatkan rerata usia 55,82 12,26 tahun, sebanyak 63,3 berjenis kelamin laki-laki. Nilai median CRP yaitu 23,82 0,30 - 207,29 mg/L. Pada penelitian ini tidak ditemukan adanya korelasi yang bermakna antara asupan karbohidrat dengan kadar CRP serum p = 0,919 , asupan protein dengan kadar CRP serum p = 0,257 dan asupan lemak dengan kadar CRP serum p = 0,986 . Kesimpulan: pada penelitian ini tidak didapatkan korelasi antara asupan karbohidrat, protein dan lemak dengan kadar CRP serum sebagai penanda perkembangan kanker.

The aim of the study was to determine the correlation between carbohydrate, fat and protein intake with the serum C Reactive Protein level in lung cancer patients stage IIIB ndash IV. The progression of lung cancer is influenced by immune system, genetic factors and inflammatory response, therefore CRP can be relied as one of the parameters for predicting cancer cell growth. Subjects were recruited by consecutive sampling, 49 subjects with lung cancer stage IIIB IV who currently not receving any treatment in Dharmais Cancer Hospital participating in this study. The mean age of subject was 55,82 12,26 years old and 63,3 were male. The median value of CRP was 23,82 0,30 207,29 mg L. This study did not showed significant correlation between carbohydate, protein and fat intake with serum CRP value p 0,919 p 0,257 p 0,986, respectively. In conclusion, there is no correlation between carbohydrate, protein and fat intake with serum CRP level in lung cancer stage IIIB ndash IV."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jaswin Dhillon
"Latar belakang dan tujuan: Dari berbagai literatur, salah satu penyebab kegagalan respons klinis pasien pneumonia komunitas adalah akibat pemberian terapi antibiotik yang tidak tepat. Pemberian terapi antibiotik yang tidak tepat dapat meningkatkan risiko kematian dan resistensi antibiotik di kemudian hari. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi ketepatan penggunaan antibiotik dengan menggunakan metode Gyssens yang merupakan alat penilaian kualitatif yang dipakai oleh PPRA di Indonesia serta membandingkannya dengan luaran pasien pneumonia komunitas.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kohort retrospektif di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan. Data diambil dari rekam medis pasien berusia di atas 18 tahun yang didiagnosis pneumonia komunitas dan dirawat inap selama periode Januari- Desember 2019. Penelitian ini menganalisis pemberian antibiotik empiris pada saat pasien pertama kali didiagnosis pneumonia komunitas.
Hasil: Jumlah sampel pada penelitian ini adalah 108 subjek. Proporsi pasien yang diberikan antibiotik empiris tidak tepat berdasarkan metode Gyssens adalah 58,3% dan yang diberikan antibiotik empiris telah tepat adalah 41,7%. Pasien yang mendapatkan terapi antibiotik empiris tidak sesuai dengan pedoman PDPI memiliki risiko meninggal sebesar 2,875 kali lipat (IK 95% 1,440 – 5,739, p=0,004). Pasien yang diberikan antibiotik empiris dalam waktu setelah 8 jam didiagnosis pnemunia komunitas memiliki risiko meninggal sebesar 3,018 kali lipat (IK 95% 1,612 – 5,650, p=0,002). Dari analisis multivariat, faktor prediktor independen yang berhubungan dengan kejadian mortalitas pasien pneumonia komunitas dalam 30 hari adalah kejadian pneumonia berat dengan risiko sebesar 7,3 kali lipat (IK 95% 2,24-23,88, p=0,001), penyakit CVD dengan risiko sebesar 5,8 kali lipat (IK 95% 1,28-26,46, p=0,023), dan ketidaktepatan pemberian antibiotik empiris dengan risiko sebesar 4,2 kali lipat (IK 95% 1,02-17,74, p=0,048).
Kesimpulan: Pada penelitian ini terdapat hubungan yang bermakna antara penggunaan antibiotik empiris tidak tepat berdasarkan metode Gyssens dengan luaran pasien yaitu kejadian mortalitas 30 hari (p=0,001).

Background and Purpose: From many literatures, one of the causes of clinical response failure in community-acquired pneumonia patients is due to the inappropriate empirical antibiotics use. Improper administration of empirical antibiotics can increase the risk of death and antibiotic resistance later in life. The purpose of this study is to evaluate the appropriateness of the empirical antibiotics use using the Gyssens method which is a qualitative assessment tool used by the antibiotic stewardship program in Indonesia and to compare it with the outcome of community-acquired pneumonia patients.
Method: This study is a retrospective cohort study at the Persahabatan General Hospital. Data is taken from the medical records of patients over the age of 18 who are diagnosed with community-acquired pneumonia and hospitalized during the January- December 2019 period. This study analyzes the administration of empirical antibiotics when the patient is first diagnosed with community-acquired pneumonia.
Results: The number of samples in this study were 108 subjects. The proportion of patients who were given empirical antibiotics incorrectly based on the Gyssens method was 58.3% and those given empirical antibiotics were appropriate was 41.7%. Patients who received empirical antibiotic therapy not in accordance with PDPI guidelines had a 2.875-fold risk of death (95% CI 1.440 - 5.739, p = 0.004). Patients who were given empirical antibiotics after 8 hours of being diagnosed by the community-acquired pneumonia had a risk of death of 3,018-fold (95% CI 1.612 – 5.650, p = 0,002). From a multivariate analysis, independent predictors related to the mortality of community- acquired pneumonia patients within 30 days were the incidence of severe pneumonia with a risk of 7.3-fold (95% CI 2.24-23.88, p = 0.001), CVD with a risk of 5.8-fold (95% CI 1.28-26.46, p = 0.023), and inappropriate empirical antibiotics use with a risk of 4.2 fold (95% CI 1.02-17.74, p = 0.048).
Conclusion: In this study there was a significant relationship between the use of inappropriate empirical antibiotics use based on the Gyssens method and the outcome of community-acquired patients, which was the 30-days mortality (p = 0.001).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"Kelompok usia risiko tinggi infeksi malaria di Kulonprogo adalah 2-14 thn. Anemia merupakan kondisi umum yang terjadi akibat infeksi kronis malaria. Anemia akan makin berat bila penderita menderita kekurangan gizi dan protein. Pnelitian ini bertujuan untuk mengungkap hubungan antara asupan makanan anak terutama protein, vitamin C, zat besi terhadap kejadian anemia pada usia 7-15 tahun di daerah endemik malaria. Penelitian menggunakan rancangan cross sectional - retrospectif pada sampel terpilih. Subyek penelitian sebanyak 61 anak (kelas 4-6 sekolah dasar) berasal dari 6 dusun. Anak sehat tidak memiliki riwayat penyakit menahun selain malaria atau penyakit kongenital. Anak mengisi daftar asupan makanan selam 7 hari, setelah itu diukur berat dan tinggi badan, darah diperiksa kada Hbnya dengan metoda Sahli. Asupan makanan dianalisis dengan Food processor I, umtuk mengetahui persen asupan makanan perhari. Analisis hubungan asupan protein, vitain C, zat besi terhadap kedar hemoglobin digunakan uji korelasi perason. Hasil penelitian menujukkan rerata asupan protein, zat besi dan vitamin C berturut-turut adalah sebesar 25,064 - 10,055 gram (38,9% RDA(recommended daily alowance), 6,253 - 2,635 mg (56,33% RDA), dan 68,5% RDA. Rerata kadar hemoglobin sebesar 10,3 - 1,2 gram/dl. Hasil analisis statistik menunjukkan terdapat hubungsn linear antara asupan vitamin C dengan aupan zat besi (r-0,765) rendah berhubungan dengan kejadian anemia."
610 MUM 10:2(2010)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Sintia Pamela
"Penggunaan antibiotika yang tidak tepat dapat menimbulkan berbagai masalah kesehatan dan keamanan pasien. Upaya untuk memaksimalkan penggunaan antibiotika yang rasional merupakan salah satu tanggung jawab apoteker. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kualitas penggunaan antibiotika di ruang kelas 3 infeksi Departemen Ilmu Kesehatan Anak (IKA) RSCM dengan metode Gyssens dan mengevaluasi pengaruh intervensi apoteker dalam meningkatkan kualitas penggunaan antibiotika dan outcome terapi. Penelitian dilakukan secara prospektif selama periode Januari ? April 2011 dengan pendekatan deskriptif-korelatif. Rekomendasi diberikan kepada penulis resep terhadap masalah ketidaktepatan penggunaan antibiotika yang ditemukan. Penggunaan antibiotika di ruang Kelas 3 infeksi sebesar 78,82% dari 170 pasien. Evaluasi kualitatif dengan metode Gyssens mendapatkan bahwa penggunaan antibiotika yang rasional sebesar 60,4% sedangkan yang tidak rasional sebesar 39,6%. Lama rawat, asal ruangan pasien, jumlah obat dan jumlah antibiotika yang digunakan pasien berpengaruh terhadap kualitas penggunaan antibiotika. Intervensi meningkatkan ketepatan penggunaan antibiotika (0% menjadi 67,1%), menurunkan masalah waktu pemberian (32,9% menjadi 0%), ketidaktepatan dosis (27,4% menjadi 19,2%), ketidaktepatan lama pemberian (5,5% menjadi 2,7%), masalah pemilihan obat (32,9% menjadi 11%) dan masalah indikasi (1,4% menjadi 0%). Kualitas antibiotika yang tidak rasional dengan intervensi tidak begitu berbeda pengaruhnya terhadap outcome terapi dibandingkan tanpa intervensi. Berdasarkan hasil penelitian diketahui intervensi apoteker dapat meningkatkan kualitas penggunaan antibiotika. Disarankan untuk meningkatkan kerjasama antar profesi kesehatan termasuk apoteker dan merevisi panduan penggunaan antibiotika di rumah sakit untuk meningkatkan penggunaan antibiotika yang rasional.

Inappropriate use of antibiotics lead problems in health and patient safety. Pharmacist has responsibility to improve approppriate antibiotic usage. This study was proposed to evaluate quality of antibiotics usage in Class 3 Infection Ward, Department of Child Health, Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital and to evaluate whether intervention of pharmacy can improve quality of antibiotics usage and therapy outcome. This is prospective study using descriptive-correlative approach from January to April 2011. Recomendations were given to prescribers to solve the problems of inappropriate antibiotics usage. A high proportion (78,82%) of 170 patient received antibiotics. Qualitative evaluation using Gyssens methode had result that about 60,4% antibiotic prescriptions were appropriate; and 39,6% were inappropriate. Length of stay, origin room, total medicine and total antibiotics used by patient have effect on quality antibiotics usage. Intervention of pharmacist improve appropriateness of antibiotics (from 0% to 67,1%), decrease timing problems (from 32,9% to 0%), dosage problems (from 27,4% to 19,2%), duration problems (from 5,5% to 2,7%), drug choice problems (from 32,9% to 11%) and indication problems (1,4% to 0%). Inappropriate used of antibiotics with intervention had no significant difference effect to outcome therapy compared with inappropriate used of antibiotics without intervention. From the result of study, it could be concluded that intervention of pharmacy can improve quality of antibiotics usage. Researcher suggests to improve teamwork of healthcare provider include pharmacy and to revise antibiotic usage guideline in order to improve approppriate antibiotic usage."
Depok: Universitas Indonesia, 2011
T29348
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>