Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 118082 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Junaidi Baharudin
"Telah dilakukan penelitian untuk memperpanjang efek analgesia pasca operasi dengan memakai obat neostigmin 50 yang dicampurkan kedalam bupivakain 0,5% isobarik dan disuntikkan kedalam rongga subarakhnoid pada operasi abdominal bagian bawah, dalam hal ini operasi saesar, operasi hernia dan operasi appendiks di Instalasi Gawat Darural dan Instalasi Bedah Pusat Rumah Sakit Ciptomangunkusumo Jakarta Pusat. Pasien yang diteliti sebanyak 40 penderita dan dibagi menjadi 2 kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 20 penderita Kelompok satu mendapat bupivakain 0,5% isobarik dan kelompok dua mendapat bupivakain 0,5% isobarik yang ditambah neostigmin 50p. Dari hasil perbandingan kedua kelompok didapatkan hasil dimana nyeri pasca operasi yang timbul sesuai dengan skala visual analog 6 pada kelompok dua lebih lambat daripada kelompok satu dan secara statistik berbeda bermakna. Efek samping dari neostigmin seperti mual, muntah pada kelompok perlakuan tidak dijumpai. Efek penurunan tekanan darah, frekuensi nadi ditemukan perbedaan diantara kedua kelompok, namun secara statistik perbedaan ini tidak bermakna. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1998
T57278
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wulung, Navy Gerard Humphrey Matasak Lolong
"Latar belakang : Suatu penelitian menyatakan bahwa penambahan klonidin 45 pg pada bupivakain plus fentanil intratekal menurunkan tekanan darah dan tidak menambah durasi analgesia persalinan. Penelitian lainnya menyatakan bahwa penambahan bupivakain hiperbarik segera setelah fentanil intratekal dapat meningkatkan durasi analgesia. Kami membandingkan penambahan bupivakain 2,5 mg hiperbarik dengan penambahan klonidin 45 μg pada campuran bupivakain 2,5 mg 0,1 % dan fentanil 25 μg.
Metode : Sebanyak 34 ibu bersalin dengan pembukaan serviks z3 sm dirandomisasi ke dalam 2 grup. Grup pertama menerima campuran bupivakain 2,5 mg 0,1% dan fentanil 25 pg diikuti oleh bupivakain 2,5 mg 0,5% hiperbarik (grup BH, n=17). Grup kontrol menerima campuran bupivakain 2,5 mg 0,1% plus fentanil 25 μg plus klonidin 45 μg diikuti oleh NaCl 0,9% (grup K, n=17). Dari posisi duduk saat penyuntikan obat, pasien dibaringkan dengan posisi 30° sepanjang sisa persalinan. Dilakukan pencatatan durasi analgesia, skor VAPS, skor Bromage, efek samping, lama persalinan, jenis persalinan, skor APGAR dan tingkat kepuasan ibu bersalin.
Hasil : Ibu bersalin dalam grup K memiliki durasi analgesia yang lebih lama (Tara-rata 168 menit, kisaran 140-240 menit) daripada ibu bersalin dalam grup BH (rata-rata 126 menit, kisaran 105-150 menit) (p<0,001). Grup BH juga memiliki lebih banyak ibu bersalin yang mengalami blok motorik (p=0,003). Efek samping lainnya seimbang di antara kedua grup, dengan catatan bahwa tidak ada kejadian mual-muntah pada kedua grup, dan hanya 1 kejadian hipotensi pada grip BH.
Kesimpulan : Penambahan klonidin 45 μg pada bupivakain 2,5 mg 0,1% dan fentanil 25 μg menghasilkan durasi analgesia yang lebih lama dibandingkan penambahan bupivakain 2,5 mg 0,5% hiperbarik segera setelah bupivakain 2,5 mg 0,1% dan fentanil 25 μg.

Background : One study reported that the addition of clonidine 45 pg to intrathecal bupivacaine and fentanyl reduced blood pressure and did not increase the duration of analgesia. In another study, the addition of hyperbaric bupivacaine right after intrathecal fentanyl increased the duration of analgesia. We compared the duration of analgesia of intrathecal hyperbaric bupivacaine 2,5 mg right after intrathecal bupivacaine 2,5 mg 0,1 % and fentanyl 25 μg with that of intrathecal bupivacaine 2,5 mg 0,1% and fentanyl 25 μg and clonidine 45 μg.
Method : Thirty-four parturients with a cervical dilation 3 cm were randomized into 2 groups. The first group received intrathecal bupivacaine 2,5 mg 0,1% and fentanyl 25 μg which followed immediately by hyperbaric bupivacaine 2,5 mg 0,5% (group BH, n=17). The second group received intrathecal bupivacaine 2,5 mg 0,1% and fentanyl 25 μg and clonidine 45 μg followed immediately by NaCl 0,9% 0,5 ml (group K, n=17). After the administration of the drugs, the position of the patient was changed from sifting to supine with 30° elevation of torso. We collected the data of duration of analgesia, VAPS score, Bromage score, other side effect, duration of labor, type of labor, APGAR score and the maternal satisfaction.
Results : The duration of analgesia of group K (mean 168 minutes, range 140-240 minutes) is longer than group BH (mean 126 minutes, range 105-150 minutes) (p<0,001). There was more patient with motoric block in group BH than in group K (p=0,003). The other side effects are equal ini both groups. We noted that there was no nauseaNomiting in both group, and there was only one patient BH got hypotension which treated easily.
Conclusion : The addition of clonidine 45 μg to intrathecal bupivacaine 2,5 mg 0,1% and fentanyl 25 pg results in longer duration of analgesia compared with the addition of hyperbaric bupivacaine 2,5 mg 0,5% right after bupivacaine 2,5 mg 0,1% and fentanyl 25 μg.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ikhsan Amran
"Latar Belakang : Penanganan nyeri pascabedah merupakan tantangan bagi dokter anestesi dan merupakan penyebab tersering pemanjangan lama rawatan pasien di ruang rawat. Pemantauan oleh tim Acute Pain Service (APS) dan penggunaan metoda analgesia modern sudah terbukti dapat mengurangi kejadian nyeri pascabedah. Masalah baru manajemen nyeri pada masa peralihan analgesia dari metoda modern ke analgesik dasar. Peningkatan nyeri akibat kesenjangan pada periode transisi ini disebut dengan analgesia gap. Saat ini faktor resiko kejadian analgesia gap belum jelas. Peneliti ingin mengetahui pengaruh jenis operasi, lama pemberian epidural, jenis obat analgesik dan kepatuhan pemberian obat analgesik sebagai faktor risiko terjadinya analgesia gap pada pasien pascabedah di RSCM.
Metode : Penelitian ini uji kohort prospektif prediktif pada pasien pasca-APS di RSCM. Subjek penelitian 220 sampel. Semua sample diambil data kejadian analgesia gap, selain itu dicatat status data demografis, jenis operasi, lama pemberian epidural, jenis obat analgesik yang diberikan dan kepatuhan pemberian obat berdasarkan waktu pemberian.
Hasil : Angka kejadian analgesia gap di RSCM sebesar 26.6%. Faktor jenis operasi dan lama pemberian epidural tidak memiliki hubungan bermakna terhadap kejadian analgesia gap (p 0.057 dan p 0.119). Faktor jenis obat analgesic yang diberikan dan kepatuhan waktu pemberian obat analgesic di ruangan bermana secara statistic bermakna secara statistik terhadap kejadian analgesia gap (p 0.016 dan p 0.00). Pemberian gabungan opioid dan OAINS/asetaminofen dapat menurunkan kejadian analgesia gap. Pemberian obat analgesik sesuai waktu pemberian dapat menurunkan kemungkinan terjadinya analgesia gap sebesar 4,5x dibandingkan dengan tidak diberikan obat (RR 0.22) dan menurunkan sebesar 3,33x dibandingkan dengan tidak diberikan obat (RR 0.3).
Simpulan : Angka kejadian analgesia gap di RSCM sebesar 26.6%. Jenis obat analgesik dan kepatuhan waktu pemberian obat analgesik di ruang rawat berhubungan terhadap kejadian analgesia gap. Pemberian obat analgesik sesuai waktu pemberian dapat menurunkan terjadinya analgesia gap sebesar 4,5x dibandingkan dengan tidak diberikan obat dan menurunkan sebesar 3,33x dibandingkan dengan tidak diberikan obat.

Background : Post-operative pain management has been a challenged for anesthesiologist for decades and causes prolonged hospital stays for patients. The monitoring by acute pain service team and use of advanced analgesia clearly can reduce of analgesia pain. New challenge of post-operative pain managements is the management transition from advanced analgesic support to analgesic drugs. Increased pain during transition from post-epidural analgesia to oral analgesic, is defined as analgesic gap. Risk factors of analgesic gap are not clearly known. This study aims to observe the prediction of analgesia gap in RSCM based on type of surgery, duration of epidural, type of analgesic drugs and drugs administration adherence.
Method : This study is a predictive prospective cohort in post-APS patients in RSCM. This research subjects were 220 samples. Samples were selected based on the analgesia gap occurrence data, as well as demographic data, type of surgery, duration of epidural analgesia, type of analgesic drugs, timing of drugs administration.
Result : The Incidence of analgesic gap in RSCM is 26.6%. Types of operation and duration epidural analgesia administration are not statistically related to incidence of analgesic gap (p 0.057 and p 0.119). However, types of analgesic drugs in ward and timing of drugs administration are related to incidence of analgesic gap (p 0.016 and p.00). Combining opioid and NSAID/asetaminofen are recommended to reduce analgesic gap. Administering drugs on scheduled lowers the incidence of analgesic gaps 4.5 times un-administered (RR 0.22) and 3.3 times than if administering not on schedule (RR 0.3).
Conclusion : The incidence of analgesic gap in RSCM is 26.6%. Types of analgesic drugs and timing of drugs administration are related to incidence of analgesic gap. Combining opioid and NSAID/asetaminofen and administering drugs on scheduled lower incidence of analgesic gap.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riza Marlyne
"Pada penelitian terdahulu diketahui bahwa tanaman Rosa damascena, Rosa multiflora, Rosa canina, Rosa hybrida, memiliki efek analgesik. Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji efek analgesik ekstrak etanol 70% bunga mawar (Rosa chinensis Jacq.). Dalam penelitian ini digunakan metode Sigmund (metode geliat) pada 25 ekor mencit jantan yang telah lulus uji kepekaan, dibagi dalam 5 kelompok, yaitu kelompok I sebagai kontrol negatif diberikan CMC 0,5%, kelompok II sebagai kontrol positif diberikan asetosal, kelompok III, IV dan V diberikan ekstrak bunga mawar berturut-turut sebesar 0,005; 0,01 dan 0,02 g/20 g BB mencit. Masing-masing kelompok diberikan bahan uji secara oral, satu jam kemudian diinduksi dengan asam asetat 0,6% secara intraperitoneal, setelah sepuluh menit diamati dan dihitung jumlah geliat dengan interval lima menit selama satu jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, dosis I (0,005 g/20 g BB mencit) dan dosis II (0,01 g/20 g BB mencit) memberikan persentase proteksi berturut-turut (89,12% dan 73,69%) dan persentase efektivitas yang tinggi (98,15% dan 81,16%), dan hampir setara dengan kontrol positif yaitu asetosal dengan dosis 13 mg/20 g BB mencit yang memberikan persentase proteksi 90,80% dan persentase efektivitas 100%.

In the previous study the analgesic effect of some rose (Rosa damascena, Rosa multiflora, Rosa canina, Rosa hybrida) was investigated. The aim of this study was to investigate analgesic effect of the ethanol extract 70% of Rose (Rosa chinensis Jacq.). This study used Sigmund method (writhing method) at 25 male mice which have passed sensitivity test, divided into five groupes. Group I as negative control was administered 0,5% CMC, group II as positive control was administered acetosal, group III, IV and V was administered extract of rose at 0,005; 0,01 and 0,02 g/20 g BW. One hour before intraperitonial injection of acetic acid 0,6%, drugs were orally administered to mice. The number of writhings exhibited by each animal was counted for one hour with interval five minute beginning ten minute after acetic acid induction. The result shows that effectiveness at dose I (0,005 g/20 g BW) and dose II (0,01 g/20 g BW) had percent protection (89,12% and 73,69%) and higher percent effectiveness (98,15% and 81,16%), and almost equal with positif control, acetosal dose 13 mg/20 g BW with percent protection 90,80% and percent effectiveness 100%."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2012
S42961
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Grace Natalia
"Obat bahan alam telah digunakan dalam upaya promotif, preventif, dan rehabilitatif kesehatan manusia. Secara empiris, daun sisik naga digunakan oleh masyarakat sebagai penghilang rasa sakit atau analgesik. Penelitian ini bertujuan untuk menguji efek analgesik ekstrak etanol daun sisik naga dalam menghambat respon geliat mencit yang disebabkan oleh stimulasi kimia. Pada penelitian ini, 25 ekor mencit jantan dibagi menjadi lima kelompok. Kelompok pertama diberi CMC 0,5% sebagai kontrol negatif, kelompok kedua diberi asetosal 13 mg/20 g bb sebagai kontrol positif, kelompok ketiga sampai kelompok kelima diberi ekstrak etanol daun sisik naga dengan variasi dosis, yakni 17,125; 34,25; dan 68,5 mg/20 g bb secara oral. Satu jam setelah perlakuan, kelompok-kelompok tersebut disuntikkan asam asetat glasial 0,6% secara intraperitoneal dan dihitung jumlah geliat yang timbul pada menit ke-10 sampai menit ke-60 dengan interval 5 menit. Hasil uji menunjukkan bahwa ketiga dosis ekstrak daun sisik naga memiliki efek analgesik yang signifikan (α<0,05) ditinjau dari penurunan jumlah geliat mencit dengan persentase inhibisi geliat yang diberikan oleh dosis I, dosis II, dan dosis III berturut-turut adalah 94,27%; 86,36%; dan 84,68%.

Natural medicines have been used in promotive, preventive, and rehabilitative of human health. Empirically, sisik naga leaves used as analgesic. This study aimed to observe the analgesic effect of ethanol extract of sisik naga leaves in inhibiting writhing respon in mice caused by chemical stimulation. In this study, 25 mice were used and divided into five groups. First group received CMC 0,5% as negative control group, second group received acetosal 13 mg/20 g bw as positive control group, third group until fifth group received ethanol extract of sisik naga leaves with doses 17,125; 34,25; and 68,5 mg/20 g bw per oral. One hour afterward, the groups induced by intraperitoneal injection of glacial acetic acid 0,6% and the writhing that occured at 10 minute until 60 minute counted with interval 5 minute. The result showed that ethanol extract of sisik naga leaves have analgesic effect significantly (α<0,05) reviewed from reduction of writhing number in mice with the writhing inhibition for dose I, II, and III are 94,27%; 86,36%; and 84,68% respectively."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2012
S43077
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Endang Hanani
"Anacardium Occidentale L atau yang lebih dikenal masyarakat Indonesia dengan nama daerah jambu mede, jambu mente, merupakan salah satu tumbuhan multiguna, karena selain dapat dimanfaatkan sebagai obat tradisional, bagian biji dapat dimakan sebagai makanan kecil, bagian buah sebagai buah segar atau sari buah dan bagian daun muda untuk lalap ( sayur mentah ).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek analgetik hasil fraksinasi sari metanol daun jambu mede yang diberikan secara oral pada hewan coba mencit putih yang diberi asam asetat sebagai pembangkit rangsang nyeri.
Penelitian dilakukan menurut metode writhing test atau test peritoneal, menggunakan pembanding asam asetil salisilat ( asetosal ). Bahan uji diberikan secara oral dalam bentuk suspensi dalam larutan CMC 0,5 %, diberikan tiga puluh menit sebelum pemberian asam asetat. Pengamatan jumlah geliat dilakukan 10 menit setelah penyuntikan asam asetat, selang waktu 5 menit selama 30 menit.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sari etil asetat dosis 47 mg/20 g berat badan dan sari butanol dosis 26 mg/20 g berat badan mempunyai efek analgetik yang secara statistik tidak berbeda bermakna dengan efek yang ditimbulkan oleh asam asetil salisilat dosis 1,30 mg/20 g berat badan. Sari air dan residu tidak menunjukkan efek analgetik. Ketiga macam dosis sari etil asetat yaitu 31, 47 dan 71 mg/20 g berat badan memberikan efek analgetik tetapi peningkatan dosis ini tidak diikuti dengan peningkatan efek."
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 1998
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Maruanaya, Samuel
"Latar Belakang: Manajemen nyeri yang adekuat memiliki peran penting dalam mendukung ambulasi dini setelah operasi Total Knee Arthroplasty (TKA). Analgesia multimodal adalah salah satu modalitas untuk menurunkan Penggunaan morphine dan mengatasi nyeri pasca operasi. Penggunaan kombinasi parasetamol dan injeksi ibuprofen diharapkan dapat mengurangi total penggunaan morfin setelah dilakukan tindakan TKA.
Metode: Setelah persetujuan etik dan penanda-tanganan informed consent, tiga puluh enam pasien berusia 50-75 tahun yang akan menjalani TKA di RSUPN Cipto Mangunkusumo dan RSUP Fatmawati dilibatkan dalam penelitian ini. Semua subjek dibagi menjadi tiga kelompok. Kelompok I akan menerima Paracetamol 1 gr iv dan Ibuprofen 800 mg iv, Kelompok II akan menerima 1 gr Paracetamol iv dan 100 ml normal saline, Kelompok III akan menerima 800 mg Ibuprofen iv dan 100 ml normal saline. Obat diberikan sepuluh menit sebelum operasi selesai. Total penggunaan morfin, skor nyeri (pada fase istirahat, fase berjalan, fase fleksi lutut), rentang gerak sendi lutut (ROM) dan 2MWT diukur dalam jam ke-24, 48, dan 72 pasca operasi. Kami juga membandingkan 6MWT, skor WOMAC dan SF-12 (PCS-12 dan MCS-12) pada masing-masing kelompok pada hari ke 32 pasca operasi. Data kemudian dianalisis dengan SPSS 16.0.
Hasil: Median total penggunaan morfin antara tiga kelompok masing-masing adalah 7,5 (3,0-36,0) vs 15,0 (4,5-28,5) vs 9,0 (0,0-24,0) tanpa perbedaan (p 0,391). Mean skor nyeri pada fase berjalan masing-masing adalah 4,8 ± 0,5 vs 7,3 ± 1,2 vs 5,6 ± 0,5 (jam ke-24, p 0,000), 4,8 ± 0,9 vs 8,3 ± 1,5 vs 5,9 ± 0,2 (jam ke-48, p 0,000), 4,6 ± 0,7 vs 7,3 ± 0,6 vs 6,4 ± 2,4 (jam ke-72, p 0,001). Median ROM pada ekstensi masing-masing adalah 10,0 (0-20) vs 7,5 (0-15) vs 10,0 (10-20) (jam ke-24, p 0,137), 10,0 (0-15) vs 10,0 (10-10) vs 10,0 (10-10) (jam ke-48, p 0,050), 0,0 (0-15) vs 10,0 (10-10) vs 10,0 (0-15) (jam ke-72, p 0,105). Median 2MWT masing-masing adalah 6,0 (2-16) vs 0,0 (0-4) vs 0,0 (0-4) (jam ke-24, p 0,000), 9,0 (2-16) vs 0,0 (0-10) vs 2,0 (0-8,4) (jam ke-48, p 0,000), 9,0 (8-16) vs 3,0 (0-12) vs 2,5 (0-8,4) (jam ke-72, p 0,001). Median 6MWT pada hari 32 pasca operasi masing-masing adalah 77,5 (18-124) vs 108,5 (50-138) vs 107,0 (47-172) (p 0,011).
Kesimpulan: Kombinasi Paracetamol dan Ibuprofen secara statistik tidak signifikan, namun jumlah total penggunaan morfin lebih rendah pada kelompok kombinasi dibandingkan dengan kelompok lain yang hanya diberikan Parasetamol atau Ibuprofen saja. Kombinasi Paracetamol dan Ibuprofen dapat mempercepat ambulasi dini pada pasien TKA.

Background: Adequat pain management has an important role in supporting early ambulation after the Total Knee Arthroplasty (TKA). Multimodal analgesia is one of the modalities of overcoming postoperative pain. The use of combination Paracetamol and Ibuprofen injection is expected to reduce total morphine consumption after TKA.
Methods: After ethical approval and informed consent thirty-six patient aged 50-75 years old who would undergo TKA in Cipto Mangunkusumo Hospital and Fatmawati Hospital were included in this study. All subject was divided into three groups. Group I will recived Paracetamol 1 gr and Ibuprofen 800 mg, Group II will be received 1 gr Paracetamol iv and 100 ml normal saline, Group III will be received 800 mg Ibuprofen iv and 100 ml normal saline, ten minutes before end of surgery. Total morphine consumption, pain score (resting phase, walking phase, knee flexion phase), range of motion (ROM) and 2-Minute Walking Time (2MWT) were measured in hour 24, 48, and 72 post operatively. We also compared 6-Minute Walking Time (6MWT), WOMAC score and SF-12 (PCS-12 and MCS-12) on each group in day 32 post operatively. Data was analyzed with SPSS 16.0.
Results: Median of total morphine consumption between three groups respectively were 7,5(3,0-36,0) vs 15,0(4,5-28,5) vs 9,0(0,0-24,0) with no difference (p 0,391). Mean of pain score at walking phase respectively were 4,8 ± 0,5 vs 7,3 ± 1,2 vs 5,6 ± 0,5 (hour 24, p 0,000), 4,8 ± 0,9 vs 8,3 ± 1,5 vs 5,9 ± 0,2 (hour 48, p 0,000), 4,6 ± 0,7 vs 7,3 ± 0,6 vs 6,4 ± 2,4 (hour 72, p 0,001). Median of ROM at extention respectively were 10,0(0-20) vs 7,5(0-15) vs 10,0(10-20) (hour 24, p 0,137), 10,0(0-15) vs 10,0(10-10) vs 10,0(10-10) (hour 48, p 0,050), 0,0(0-15) vs 10,0(10-10) vs 10,0(0-15) (hour 72, p 0,105). Median of 2MWT respectively were 6,0(2-16) vs 0,0(0-4) vs 0,0(0-4) (hour 24, p 0,000), 9,0(2-16) vs 0,0(0-10) vs 2,0(0-8,4) (hour 48, p 0,000), 9,0(8-16) vs 3,0(0-12) vs 2,5(0-8,4) (hour 72, p 0,001). Median of 6MWT at day 32 post operative respectively were 77,5(18-124) vs 108,5(50-138) vs 107,0(47-172) (p 0,011).
Conclusion: The combination of Paracetamol iv and Ibuprofen iv is statistically insignificant, but the total amount of Morphine consumption is lower in combination group compare with others group whose given Paracetamol only or Ibuprofen only. Combination of Paracetamol and Ibuprofen may promote early ambulation in TKA patient.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Gusno Rekozar
"Nyeri pasca bedah adalah sesuatu yang sangat mengganggu bagi pasien. Kenyamanan pasien adalah hal yang utama sehingga analgetik yang adekuat sangat dibutuhkan pada periode pasca bedah. Penatalaksanaan nyeri pasca bedah yang tidak adekuat menyebabkan terjadinya perubahan fisiologi tubuh; berupa peningkatan aktivitas simpatis, gangguan neuroendokrin dan metabolisme, mobilisasi yang terhambat, kecemasan, takut dan gangguan tidur.
The Agency for Health Care Policy and Research dari Departement of Health and Human Services Amerika Serikat mempublikasikan panduan praktis penatalaksanaan nyeri akut, di mana bila tidak didapatkan kontraindikasi, terapi farmakologi untuk nyeri pasca bedah ringan-sedang harus dimulai dengan Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drugs. NSAID menurunkan kadar mediator-mediator inflamatori pada daerah trauma, tidak menyebabkan sedasi atau depresi pernafasan, dan tidak mempengaruhi fungsi usus dan kandung kemih.
Pemberian obat untuk mengatasi nyeri dapat diberikan dalam berbagai cara seperti oral, suppositoria, transmukosa, intramuscular, intravena (intermitten atau kontinyus), dan regional analgesia, serta blok saraf perifer. Analgesia balans adalah cara pengelolaan nyeri pasca bedah yang bersifat multidrug di mana proses nyeri ditekan pada tiga tempat yaitu, transduksi dengan obat NSAID, transmisi dengan anestesi lokal dan modulasi dengan opioid.
Ketorolac adalah salah satu analgetik NSAID yang sering diberikan kepada pasien pasca operasi dengan tingkat nyeri yang tinggi. Hasil yang dicapai dengan pemberian analgetik ini memuaskan. Efek analgetik ketorolac sama baiknya dengan morfin dengan dosis yang sebanding, tanpa takut terjadinya depresi pemapasan. Hal inilah salah satu sebab dipilihnya ketorolac sebagai analgetik pasca operasi Ketorolac juga bersifat anti inflamasi sedang, Paul F White melaporkan bahwa pemberian ketorolac menurunkan tingkat kebutuhan fentanil pasta operasi sampai 32 %.
Dalam peneltian Etches disebutkan bahwa pemberian ketorolac menghilangkan nyeri dengan baik dan menurunkan tingkat kebutuhan morfin sampai 35 % dibandingkan plasebo. Terdapat suatu kepercayaan bahwa obat yang pertama kali keluar (launching), yang biaya disebut original product, adalah yang terbaik. Sebaliknya ada pula yang berpendapat obat sejenis yang dikeluarkan kemudian, me too drug, adalah yang terbaik. Di lain pihak seringkali original product jauh lebih mahal dibanding obat yang dikeluarkan berikutnya. Dalam hal ketorolac yang akan dibandingkan ini, harga ketorolac original tiga kali sampai empat kali lipat obat me too drug-nya. Untuk mengetahui apakah ada perbedaan keefektifan antara keduanya, maka penelitian ini akan menjawabnya."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Gede Eka Ari Wirawan
"Latar Belakang : Hipotensi adalah komplikasi yang paling sering terjadi pada analgesia spinal. khususnya pada pasien obstetrik. Hipotensi terjadi karena blok simpatis. Salab satu cara untuk menurunkan insiden hipotensi adalah dengan menurunkan dosis obat analgetika lokal dan kombinasi dengan opioid untuk analgesia infra dan postoperatif. Fentanil intratekal memiliki rnula kerja yang lebih cepat dibanding morfin dan memberikan analgesia postoperatif yang cukup singkat. Intratekal fentanil menurunkan ketidaknyarnanan ibu intraoperatif saat penarikan peritonium atau manipulasi uterus.
Metode : 86 ibu hamil yang akan menjalani operasi bedah sesar elektif maupun darurat dibagi secara random dalam 2 kelompok. Kelompok I diberikan 10 mg bupivakain 0.5;o hiperbarik plus 12,5 gig fentanil dan Kelompok 11 diberikan 12,5 mg bupivakain 0.5% hiperbarik. Tinggi hambatan maksimal, masa kerja dan masa pulih sensori diuji menggunakan uji pin-prick. Mula kerja, mass kerja dan masa pulih motorik dinilai dengan skala Modifikasi Bromage. Tekanan darah, frekuensi denyut nadi dan frekuensi nafas dicatat setiap 2 menit dalam 20 menit pertama. Insiden hipotensi. mual muntah_ pruritus dan depresi nafas dicatat.
Hasi1 : Data demografik dan data dasar tidak berbeda bermakna. Insiden hipotensi tidak berbeda bermakna antara kelompok fentanil dan kontrol (39,5% banding 48.8%;p>0.05). Median tinggi maksimal blok sensori tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok (T5: p>0.05). Masa kerja dan masa pulih hambatan sensori Iebih lama pada kelompok fentanil dibanding kontrol (104,21±29,199 vs 72,60±19,538 menit; 153.21±30.671 vs 124,88±21,001 menu ; p<0.05). Masa kerja dan masa pulih hambatan motorik lebih singkat pada kelompok fentanil dibanding kontrol (99.44120.466 vs 65.95=17.845 menit ; 49.60±18.611 vs 114.14±11.823 menit : p<0,05). Insiden muai muntah tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok. Tidak ada pasien pada kedua kelompok mengalami insiden depresi nafas. Insiden pruritus berbeda bermakna (p>0,05).
Kesimpulan : Insiden hipotensi tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok. Dosis bupivakain yang lebih rendah akan menyebabkan masa kerja blok motorik lebih singkat tanpa berpengaruh pada blok sensori. Penambahan fentanil- intratekai _akan memperpanjang masa kerja hambatan sensori. Insiden pruritus berbeda bermakna pada kelompok fentanil jika dibandingkan dengan kelompok bupivakain.

Backgrounds : Hypotension was the most common complication ,franc spinal analgesia. especially in obstetric patients. Hypotension developed because of svmpatlretic blockade. One method to reduced hi pnten.vwn incidence in caesarean .section was two reduced the doses of local atutlge& drugs and combined with opioul for infra and post operative analgesia. hrtratltecal lipophilic opioid had faster onset of sensory blockade than nrorfne and produced a brief post operative analgesia. Intrathecal feuitanvl decreased maternal discomfort intraoperatively when peritoneum pulled or uterus exrerioration.
Methods : 86 parturients undergoing elective or emergency cesarean section were randomized into one of 2 groups. In group I, spinal analgesia bras performed with 111 mg 0,5% hyperbaric hupivacaine plus /2,5 pg fenianyl and in Group 11 with 12,5 mg 0,5% hyperbaric hupiracain. the max/man season. blockade, duration of analgesia and recovery time were test using pin-prick test. Onset, duration and recovery of motor block were assessed using modified 1lromage scale. Blood pressure. heart rate and respiration rare were recorded even' 2 minute in f rst 20 minutes. The incidence of hypotension, nausea vomiting. pruritus and respiratory depression were recorded.
Results : "There were no significant differences in demographic and baseline value. Incidence of hypotension did not significantly different between fentanyl group and control (39,5% versus 48,8%: p-° 0.115). Tire median maximum block height did not significantly different between two groups (75 ; p 0.05). Duration of analgesia and sensory recovery time was significantly longer in fentonvl group compared to control (104,21-29.199 vs 72.60=19,538 minute 153,21=30.67I vs 124,88=21,001 minute : p<0,05). Onset of motor blockade did not significantly different between two groups. Duration and recovery time of motor blockade was more, shorter in fentanyl group compared to control (99,44=20,466 vs 65,95=17,845 minute ; 49,60,18,611 vs 114,14 -11.823 minute p<0,05). Incidence of nausea and vomiting did not significantly different between two groups. None of the patient in hnt11 groups had respiratory depression episode. Pruritus incidence significantly different (p. (1,05).
Conclusion : Incidence of hypotension did not significantly different between two groups. Smaller doses of bupivacaine results--more shorter time of-motor-blockade with no effect on sensory block. Adding fenianyl intrathecally will prolong the duration of analgesia. Pruritus incidence signifcanl/y different with intrathecal fentanyl when compared with bupivacaine alone.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nismaya Sari Dewi
"Tujuan : Dilakukan penelitian untuk membandingkan keefektifan dan derajat pruritus morfin 0,05 mg intratekal dengan morfin 0,1 mg intratekal untuk mencegah nyeri pasca ortopedi ortopedi dengan analgesia spinal bupivakain hiperbarik 0,5% 15 mg.
Disain : Uji klinis acak tersamar ganda
Metoda : 32 pasien yang menjalani operasi ortopedi tungkai bawah di bagi kedalam dua kelompok Kelompok A sebanyak 16 orang mendapat morfin 0,1 mg pada suntikan bupivakain hiperbarik 0,5% 15 mg dan kelompok B sebanyak 16 orang mendapat morfin 0,05 mg pada suntikan bupivakain hiperbarik 0,5% 15 mg. Selanjutnya dilakukan pemantauan nyeri dan derajat pruritus menggunakan VAS pada jam ke 2, 4,6,8,12 dan 24 jam pasca operasi dan ada tidaknya mual dan muntah 24 jam pasca operasi.
Hasil : KeIompok yang mendapat morfin 0,1 memberikan analgesia yang lebih baik daripada yang mendapat. morfin 0,05 mg intratekal dengan efek samping pruritus yang ditimbulkan tidak berbeda pada kedua kelompok tersebut. Kekerapan mual dan muntah tidak berbeda pada kedua kelompok
Kesimputan : Morfin intratekal 0,1 mg menghasilkan analgesia yang lebih baik dengan efek samping yang tidak berbeda bermakna dibandingkan dengan morfin intratekal 0,05 mg.

Objective : This study was conducted to compare the effectiveness of 0,1 mg intrathecal morphine with 0,05 mg intrathecal morphine for postoperative pain control after lower extremity orthopedic operations with 15 mg of hyperbaric bupivacain 0,5%
Design : Double blind, randomized clinical study.
Methods : 32 pollens who underwent lower extremity orthopedic operations were divided into two groups. 16 Patients got 0,1 mg intratechal morphine at injection of] 5 mg hyperbolic bupivacain 0,5%. Another 16 patients got 0,05 mg mg intratechal morphine at injection of 15 mg hypebarik bupivacain 0,5%. All patients were observed and evaluated for the first 24 hours: The effectiveness of analgesia and level ofpruritus raring VAS.
Result : The group who got 0,1 mg intrathecal morphine had better analgesia compared with group who got 0,05 mg morphine_ There is no difference in level of pruritus, the incidence of nausea and vomiting, between the two groups. There is no patients suffer from respiratory depression.
Conclusion : Intratechal morphine 0,I mg provides a better analgesia compare to intrathecal morphine 0,05 mg, with the same quality ofpruritus.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18166
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>