Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 111023 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sodiqur Rifqi
"Trombolisis merupakan pengobatan baku untuk IMA masa kini. Keberhasilan trombolisis berkisar 50-85%, berarti sekitar 15-50% gagal trombolisis. Kejadian reperfusi berkaitan dengan turunnya morbiditas, mortalitas dan dipertahankannya fungsi ventrikel global maupun regional/segmental. Baku emas penilaian reperfusi adalah pemeriksaan angiografi koroner yang memerlukan teknologi tinggi, invasif, kurang praktis, mahal dan berisiko. Sementara penilaian klinis dengan menilai berkurangnya sakit dada, menurunnya ST elevasi dan adanya aritmia reperfusi kurang akurat. Petanda reperfusi dini pada penderita IMA yang non invasif, praktis, relatif murah dan memiliki sensitifitas dan spesifisitas tinggi menjadi harapan para klinisi. Dari beberapa studi, mioglobin yang dapat meningkat dengan cepat pada jam pertama reperfusi tampaknya dapat memenuhi harapan tersebut. Tetapi manfaat klinis penilaian keberhasilan reperfusi dini pada IMA dengan Mioglobin dalam hubungannya perbaikan fungsi regional dinding ventrikel kiri belum pernah diteliti hingga kini.
Penelitian ini bertujuan untuk menilai keberhasilan reperfusi dini pada IMA yang dinilai dengan mioglobin dalam hubungannya dengan perbaikan fungsi segmental dinding ventrikel kiri secara ekokardiografis. Penelitian ini bersifat cross sectional dengan sampel 30 penderita IMA pertama kali, dengan keluhan sakit dada < 12 jam, yang memenuhi 2 dari 3 kriteria IMA sbb: 1. Sakit dada terus menerus > 30 menit, 2. EKG menunjukkan peningkatan segmen ST> 1 mm pada sandapan ekstremitas dan atau > 2 mm pada sandapan dada, 3. Peningkatan enzim CK dan CKMB > 2 kali nilai normal. Penderita mendapat terapi trombolisis (tPA atau Streptokinase). Penelitian dilakukan di RS Jantung Harapan Kita Jakarta. Kriteria pengeluaran : adanya riwayat trauma otot dalam 6 jam sebelumnya (termasuk suntikan IM, kerokan, mendapat renjatan arus searah), gagal ginjal, penyakit jantung katup tingkat sedang-berat. Seluruh subyek penelitian diambil darah vena 3 kali untuk pemeriksaan Mb, pertama sebelum diberikan trombolisis (Mb0), kemudian 30 (Mb30) dan 60 menit (Mb60) setelah mulai trombolisis. Rasio kadar Mb60/Mb0 atau Mb30/Mb0 > 2,4 sebagai petanda berhasil reperfusi terapi trombolisis. Sedangkan kadar MbO> 820 mg/ml dan menurun pada Mb30 atau Mb60, serta rasio kadar MbO/CKO > 5, digunakan sebagai petanda terjadinya reperfusi sebelum terapi trombolisis diberikan (otoreperfusi). Pemeriksaan ekokardiografi dilakukan 2 kali, pertama, dalam 24 jam pertama (0,5 - 24 jam, rata-rata 13,9 jam) pasca trombolisis dan kedua, pada hari ke 6 atau lebih (6 -192, median 10 hari). Semua subyek penelitian berjenis kelamin lelaki, usia antara 35-68 tahun (rata-rata 48,9 ± 8,9 tahun). Hasil penelitian menunjukkan, 18 (60%) memenuhi kriteria reperfusi berhasil, 4 (13%) otoreperfusi dan 8 (27%) gagal reperfusi. Kenaikan kadar Mb dalam 60 menit setelah mulai trombolisis menunjukkan korelasi linier dengan perbaikan WMSI (-0,58). Kejadian reperfusi (termasuk otoreperfusi) yang dinilai dengan mioglobin menunjukkan hubungan sangat bermakna dengan perbaikan WMSI (p<0,007). Apabila perbaikan WMSI yang adekuat (>0,22) saja yang diuji terhadap kejadian reperfusi, hubungan tersebut tetap bermakna (p<0,02). Jumlah segmen yang membaik juga berbeda bermakna antara yang berhasil dan gagal reperfusi (3,91 ± 2,14 vs 1,5 ± 1,5 segmen, p<0,002). Uji multivariat dengan logistik regresi atas beberapa variabel pengaruh terhadap perbaikan WMSI menunjukkan bahwa hanya reperfusi berhasil yang menunjukan hubungan bermakna (p<0,05), sedangkan variabel lain seperti waktu (p=0,32), usia (p-0,81) maupun lokasi infark (p=0,40) tidak menunjukkan perbedaan bermakna. Kesimpulan: Kejadian reperfusi dini yang dinilai dengan Mb pada penderita IMA yang mendapat trombolisis kurang dari 12 jam, menunjukkan perbaikan WMSI yang bermakna dibandingkan yang gagal reperfusi."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T57298
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Beny Rilianto
"Latar Belakang: Trombolisis merupakan terapi definitif pada stroke iskemik hingga saat ini. Efektivitas trombolisis sangat bergantung waktu pemberian. Salah satu faktor yang memengaruhi luaran trombolisis pada stroke iskemik akut adalah waktu door to needle. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mencari faktor-faktor yang memengaruhi waktu DTN pada penderita yang mendapat terapi trombolisis.
Metode: Penelitian berupa potong lintang untuk melihat faktor klinis dan logistik yang memengaruhi waktu DTN pada penderita stroke iskemik yang mendapat terapi trombolisis periode November 2014 hingga Oktober 2018 di rumah sakit Cipto Mangunkusumo.
Hasil: Total 94 subjek didapatkan proporsi waktu DTN > 60 menit sebanyak 68(71,3%). Faktor yang secara dependen berpengaruh terhadap waktu DTN adalah: nilai NIHSS awal (OR: 0,29; CI: 0,091-0,938), penggunaan antitrombotik (OR: 0,128; IK: 0,024-0,692), dan lokasi CT scanner (OR: 0,168; IK: 0,046-0,611).
Simpulan: Nilai NIHSS awal, penggunaan antirombotik, dan lokasi CT scan berhubungan terhadap waktu DTN.

Background: Thrombolysis is the definitive therapy in ischemic stroke to date. The effectiveness of thrombolysis is very time-dependent. One of the factors that influence the outcome of thrombolysis in acute ischemic stroke is the door to needle time. The aims of this study was to look for factors that influence DTN times in patients receiving thrombolysis therapy.
Methods: A cross-sectional study to look at clinical and logistical factors that influence DTN times in patients with acute ischemic stroke who received thrombolysis therapy from November 2014 to October 2018 at Cipto Mangunkusumo Hospital.
Results: A total of 94 subjects obtained a proportion of DTN time > 60 minutes of 68 (71.3%). Factors that are dependent on DTN times are: initial NIHSS (OR: 0.29; CI: 0.091-0.938), antithrombotic use (OR: 0.128; CI: 0.024-0.692), and CT scanner location (OR: 0.168; CI: 0.046-0.611).
Conclusions: Initial NIHSS, antithrombotic use, and CT scan location are associated to DTN times.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Beny Rilianto
"Latar Belakang: Trombolisis merupakan terapi definitif pada stroke iskemik hingga saat ini. Efektivitas trombolisis sangat bergantung waktu pemberian. Salah satu faktor yang memengaruhi luaran trombolisis pada stroke iskemik akut adalah waktu door to needle. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mencari faktor-faktor yang memengaruhi waktu DTN pada penderita yang mendapat terapi trombolisis. Metode: Penelitian berupa potong lintang untuk melihat faktor klinis dan logistik yang memengaruhi waktu DTN pada penderita stroke iskemik yang mendapat terapi trombolisis periode November 2014 hingga Oktober 2018 di rumah sakit Cipto Mangunkusumo. Hasil: Total 94 subjek didapatkan proporsi waktu DTN > 60 menit sebanyak 68(71,3%). Faktor yang secara dependen berpengaruh terhadap waktu DTN adalah: nilai NIHSS awal (OR: 0,29; CI: 0,091-0,938), penggunaan antitrombotik (OR: 0,128; IK: 0,024-0,692), dan lokasi CT scanner (OR: 0,168; IK: 0,046-0,611). Simpulan : Nilai NIHSS awal, penggunaan antirombotik, dan lokasi CT scan berhubungan terhadap waktu DTN.

Thrombolysis is the definitive therapy in ischemic stroke to date. The effectiveness of thrombolysis is very time-dependent. One of the factors that influence the outcome of thrombolysis in acute ischemic stroke is the door to needle time. The aims of this study was to look for factors that influence DTN times in patients receiving thrombolysis therapy. Methods: A cross-sectional study to look at clinical and logistical factors that influence DTN times in patients with acute ischemic stroke who received thrombolysis therapy from November 2014 to October 2018 at Cipto Mangunkusumo Hospital. Results: A total of 94 subjects obtained a proportion of DTN time > 60 minutes of 68 (71.3%). Factors that are dependent on DTN times are: initial NIHSS (OR: 0.29; CI: 0.091-0.938), antithrombotic use (OR: 0.128; CI: 0.024-0.692), and CT scanner location (OR: 0.168; CI: 0.046-0.611). Conclusions: Initial NIHSS, antithrombotic use, and CT scan location are associated to DTN times."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bayu Agung Alamsyah
"Latar Belakang: Deep Vein Thrombosis (DVT) adalah salah satu penyakit penyebab mortalitas jangka pendek dan morbiditas jangka panjang. Kasus DVT akan meningkat seiring bertambahnya usia. Pada pasien dengan keganasan, risiko DVT meningkat hingga 4,1 kali lipat karena kondisi hiperkoagulasi. Penatalaksanaan DVT antara lain pemberian antikoagulan dan kompresi eksterna. Penelitian ini bertujuan membandingkan luaran antropometrik tungkai pasien DVT dengan keganasan dan non-keganasan yang diterapi heparin.
Metode: Kohort retrospektif menggunakan rekam medis di RS Cipto Mangunkusumo. Variabel bebas adalah status keganasan pada pasien DVT sedangkan variabel terikatnya adalah pengukuran antropometrik lingkar tungkai sebelum terapi heparin, 4 hari, dan 7 hari. Analisis statistik menggunakan SPSS versi 25, nilai p<0,05 menunjukkan kemaknaan secara statistik.
Hasil: Sebanyak 63 subjek penelitian, didapatkan subjek DVT dengan keganasan sebanyak 33 subjek (52,4%) dan DVT non keganasan sebanyak 30 subjek (47,6%). Pada awal terapi, tidak terdapat perbedaan ukuran antropometrik antara DVT keganasan dan non keganasan. Pada hari ke-4 dan ke-7 terapi, terdapat perbedaan perbaikan ukuran antropometrik di mid femur, distal femur, dan mid cruris, dimana perbaikan klinis lebih tampak pada DVT non keganasan (p<0,05). Subjek DVT keganasan memiliki dosis heparin maintenance teraputik yang lebih tinggi (p=0,000), dan mencapai waktu kadar APTT terapeutik yang lebih lama (p=0,000).
Kesimpulan: Subjek DVT keganasan menunjukkan perbaikan klinis yang lebih kecil dibandingkan DVT non keganasan. Selain itu, memerlukan dosis heparin maintenance terapeutik yang lebih tinggi, dan mencapai waktu kadar APTT terapeutik yang lebih lama.

Background: Deep Vein Thrombosis (DVT) is a disease that causes short-term mortality and long-term morbidity. DVT cases will increase with age. In patients with malignancy, the risk of DVT increases up to 4.1-fold due to the hypercoagulable state. Treatment for DVT includes anticoagulants and external compression. This study aims to compare the anthropometric outcomes of the limbs of DVT patients with malignancy and non-malignancy treated with heparin.
Method: Retrospective cohort study using medical records at Cipto Mangunkusumo Hospital. The independent variable is malignancy status in DVT patients while the dependent variable is anthropometric measurements of leg circumference at first day, 4 days and 7 days heparin therapy. Statistical analysis using SPSS version 25, p<0.05 showed statistical significance.
Results: Of the 63 study subjects, 33 subjects (52.4%) had DVT with malignancy and 30 subjects (47.6%) had non-malignant DVT. At the start of therapy, there was no difference in anthropometric measures between malignant and non-malignant DVT. On the fourth and seventh days of therapy, there were differences in anthropometric size improvement in the mid femur, distal femur, and mid cruris, whereas clinical improvement was more evident in nonmalignant DVT (p<0.05). Malignant DVT subjects had higher therapeutic maintenance heparin doses (p=0.000), and achieved longer therapeutic APTT levels (p=0.000).
Conclusion: Malignant DVT subjects showed less clinical improvement than non-malignant DVT. In addition, it requires higher therapeutic maintenance heparin doses, and achieves a longer therapeutic APTT level time.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Heru Prasetyo
"Latar belakang: Kanker ovarium khususnya jenis epitelial merupakan salah satu kanker tersering yang diderita oleh perempuan dengan angka mortalitas dan morbiditas yang tinggi. Hingga saat ini, beberapa penelitian telah meneliti berbagai faktor prognostik pada kanker ovarium, khususnya trombosit yang secara patofisiologi memiliki hubungan dengan berbagai marker inflamasi pada kanker. Tujuan: (1) Membuktikan bahwa trombositosis sebagai faktor prognosis pada pasien kanker ovarium jenis epitelial (2) Membuktikan angka OS selama 3 tahun pada pasien kanker ovarium jenis epitelial dengan trombositosis lebih buruk dibandingkan tanpa trombositosis. Metode: Penelitian ini menggunakan studi kohort retrospektif menggunakan data rekam medis pasien kanker ovarium epitelial yang terdaftar pada cancer registry Departemen Obstetri dan Ginekologi Divisi Onkologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada tahun Januari 2014- Juli 2016. Pengamatan dilakukan saat subjek pertama kali didiagnosis kanker ovarium hingga terjadi peristiwa hidup, meninggal, atau hilang dari pengamatan dalam waktu 3 tahun. Hasil: Didapatkan 220 subjek penelitian yang merupakan populasi terjangkau dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Dari 220 subjek penelitian, 132 (60%) dari 220 subjek penelitian merupakan pasien dengan kanker ovarium stadium lanjut (Stadium II/III/IV). Trombositosis didapatkan pada 94 orang subjek penelitian (42,7%). Pasien dengan kanker stadium lanjut memiliki risiko trombositosis yang lebih tinggi dibandingkan subjek pada stadium awal (p=0,005;OR=2,329). Meski begitu, ada atau tidaknya trombositosis secara statistik tidak bermakna pada OS selama 3 tahun (p=0,555). Terdapat mean time survival yang lebih rendah pada pasien dengan trombositosis tetapi tidak ada perbedaan hazard ratio yang bermakna antara subjek dengan atau tanpa trombositosis (p=0,399). Pada penelitian ini, didapatkan faktor prognostik yang bermakna pada OS selama 3 tahun antara lain adalah ada tidaknya asites (HR=3,425; p=0,025), stadium (HR=9,523; p=0,029) dan residu tumor ≥ 1 cm (HR=4,137; p=0,015) dengan stadium kanker ovarium merupakan faktor independen (HR=9,162; p=0,033). Sensitivitas dan spesifisitas trombositosis terhadap kanker ovarium stadium lanjut didapatkan sebesar 50,75% dan 69,32%. Kesimpulan: Trombositosis sebagai faktor prognostik pada pasien kanker ovarium jenis epitelial tidak dapat dibuktikan dan angka OS selama 3 tahun pada pasien dengan trombositosis dibandingkan dengan pasien tanpa trombositosis tidak bermakna secara statistik.

Background: Ovarian cancer, especially, epithelial ovarian cancer is one of the most common cancer in women with high rate of mortality and morbidity. Some studies have found that some biological factors that can be used as a prognostic factor for epithelial ovarian cancer, particularly, thrombocytes which pathophysiologically correlates with inflammation markers in cancer. Aim: (1) To determine thrombocytosis as a prognostic factor for epithelial ovarian cancer. (2) To determine that 3-year overall survival in epithelial ovarian cancer with thrombocytosis is significantly shorter than patients without thrombocytosis. Method: This study is a retrospective cohort study using medical record of patients with epithelial ovarian cancer which are registed in the cancer registry of Oncology Division in Obstetric and Gynecology Department, Cipto Mangunkusumo Hospital from January 2014 until July 2016. Datas were collected when subjects were first diagnosed with epithelial ovarian cancer until diseases outcomes (survive, death, or loss to follow up) were identified in 3 years. Result: Out of 220 subjects, 132 (60%) were patients with advanced stage epithelial ovarian cancer (stage II/III/IV). 94 (42,7%) subjects had thrombocytosis. Patients with advanced stage of disease had higher risk of having thrombocytosis than the ones with earlier stage (p=0,005;OR=2,329). Correlation between thrombocytosis and 3-year overall survival was known to be insignificant (p=0,555). There was shorter mean time survival between patients with thrombocytosis and the ones without but the there was no significant difference in hazard ratio between the two groups. In this study, several prognostic factors of epithelial ovarian cancer were identifed such as ascites (HR=3,425; p=0,025), stage of disease (HR=9,523; p=0,029), and post-operative residual tumor ≥ 1 cm (HR=4,137; p=0,015) with stage of disease being the independent prognostic factor (HR=9,162; p=0,033). Sensitivity and specificity of thrombocytosis to advance stage of epithelial ovarian cancer were found to be 50,75% and 69,32%, respectively. Conclusion: Thrombocytosis as a prognostic factor in patients with epithelial ovarian cancer cannot be proven statistically. There is also no significant difference of 3-year overall survival between patients with or without thrombocytosis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58866
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Aulia Fanani
"Latar Belakang: Hipertrofi ventrikel kiri VKi merupakan adaptasi kardiak pada hipertensi dan meningkatkan risiko gagal jantung diastolik. Hipertrofi VKi sering ditemui pada gagal jantung diastolik, namun hubungan hipertrofi VKi dengan kapasitas fungsional dan parameter disfungsi diastolik masih kontroversi.
Tujuan: Menilai korelasi IMVKi dengan kapasitas fungsional, perubahan parameter diastolik, dan global longitudinal strain GLS pada pasien hipertensi laki-laki asimptomatik dengan hipertrofi VKi.
Metode: Pasien hipertensi laki-laki asimptomatik dengan IMVKi>115 gr/m2 tanpa masalah koroner, aritmia, penyakit jantung bawaan, dan penyakit jantung katup masuk kriteria studi. Uji latih ergocycle menggunakan protokol ramp. Akuisisi IMVKi pada awal uji dan pengukuran parameter diastolik E/A, E/e rsquo;, IVRT dan GLS pre dan puncak uji.
Hasil: Terdapat 41 subjek dengan usia 55 32-64 tahun. Median nilai IMVKi subjek 129 116-319 gr/m2, dengan rerata kapasitas fungsional 5,7 1 METs. parameter diastolik pre dan puncak uji latih beban tidak berbeda bermakna. Rerata GLS pre uji rendah namun berbeda bermakna pada puncak uji latih pre vs puncak: -15,4 vs 18,5 ; p

Backgrounds: Left Ventricular Hypertrophy LVH is an adaptation on hypertension and increases diastolic heart failure risk. LVH are common in diastolic heart failure. Prior studies showed various results on correlation Left ventricular mass index LVMI, with functional capacity and diastolic parameters.
Objectives: To assess correlations of LVMI with functional capacity, diastolic parameters changes, and global longitudinal strain GLS in male asymptomatic hypertensive patients with LVH.
Methods: Male asymptomatic hypertensive patients with LVMI 115 gr m2 without history of CAD, arrhythmia, congenital, and valvular heart disease are recruited. Stress test use ramp protocol. Initial LVMI is acquired, and diastolic parameters E A, E e, IVRT and GLS are acquired at pre and peak stress test.
Results: Forty one patients were recruited aged 55 32 64 years old. The median of LVMI was 129 gr m2 and mean functional capacity was 5,7 METs. Pre and peak stress test diastolic parameter values were insignificant. Pre stress test GLS mean was low but increased at peak pre vs peak 15,4 vs 18,5 p
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hendro Darmawan
"Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai perubahan area katup mitral (AKM) dan respon hemodinamik dengan Doppler ekokardiografi (DE) pada stenosis katup mitral (SKM) yang dilakukan uji latih baring. Menilai perubahan gradien tekanan (MVPG) dan aliran katup mitral (MVF) dalam penerapannya terhadap rumus Gorlin. Perekaman dilakukan pada istirahat dan akhir uji latih. Penelitian dilakukan pada 20 penderita SKM (18 SKM murni dan 2 SKM+Insufisiensi katup mitral).
Parameter hemodinamik yang dinilai adalah AKM, dimensi atrium kiri, denyut jantung (DJ), curah jantung (CJ), isi sekuncup (IS); MVPG, MVF dan rasio ∆ MVPG/∆ MVF. Berdasarkan derajat stenosis penderita dibagi atas SKM ringan (AKM >1,5 cm2), SKM sedang (AKM 1-1,5 cm2) dan berat (AKM <1,0 cm2). Membuat korelasi AKM Doppler dengan kateterisasi, menilai perubahan AKM dengan uji latih dan menilai berbagai respon hemodinamik dengan AKM.
Ada 8 penderita yang mempunyai data kateterisasi. Penilaian AKM dari Doppler dengan kateterisasi mempunyai korelasi yang balk (r=0,7365,p=O,04). Hanya 12 penderita yang dapat dinilai AKM dengan uji latih. Tidak didapatkan perubahan AKM dengan uji latih (p >0,05). Terdapat korelasi antara AKM dengan delta CJ (r=0,7552,p=0,0001) dan dengan delta IS (r=0,52,p=0,02), tetapi tidak mempunyai korelasi dengan delta DJ (selisih DJ puncak uji latih dengan istirahat) dengan r=0,09 maupun dengan delta DJ yang diperoleh dari selisih DJ pada saat rekaman Doppler pada akhir uji latih dengan DJ istirahat (r=-0,05). Nilai DJ pada puncak uji latih (dari EKG) tidak sama dengan DJ pada saat rekaman Doppler pada akhir uji latih (136 ± 13 dan 108 T 19). Terdapat keterbatasan DE untuk mendapatkan rekaman pola pada puncak uji latih, disamping penentuan "slope" dari pola mempunyai pengaruh terhadap perhitungan AKM.
Perubahan gradien tekanan rata-rata {delta mMVPG) tidak mempunyai korelasi dengan AKM (r=0,01). Terdapat korelasi antara MVF dengan AKM (r=0,6692,p=0,001) begitu jugs pada rasio ∆MVPG/∆ MVF mempunyai korelasi terbalik dengan AKM (r=- 0,8247, p=0,00001). Perubahan hemodinamik ini mengikuti rumus Gorlin.
Penelitian ini menyimpulkan, bahwa pemeriksaan Doppler ekokardiografi dapat dipakai untuk menilai perubahan hemodinamik pada penderita SKM yang dilakukan uji latih. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gardjito Hardjosukarso
"Penelition ini bertuiuan untuk menilai derajat Hipertensi Pulmonal (HP) secora kwantitatif dengan pemeriksaan "Pulsed Doppler Echocardiography" (PDE). Penelition dilakukan terhadap 60 penderita HP, semua menialani kateterisasi jantung. Kelompok kelola terdiri dari 15 orang normal.
Parameter PDE dilakukan pengukuran "right ventricel pre ejection period" (RPEP), "acceleration time" (ACT), "right Ventricel ejection time" (RVEP) serta rosio RPEP/ACT, RPEP/RVET don AcT/RVET. BerdosarKan panjang fase AcT.
penderita dibagi dalom 2 kelompok, yaitu kelompok ACT < 80 ms (kelompok A) dan ACT = 80-120 ms (kelompok B). Berdasarkan "mean pulmonary artery pressure" (MPA) dari kateterisasi jantung, penderita dikelompokkan menjadi kelompok 20-40 mmHg (HP-1), 41-60 mmHg (HP-2) don >60 mmHg C HP-3 ), berturut-turut sesuai dengan deraiat ringan, sedang dan berat. Berdasarkan "pulmonary arterial resintance" ( PAR ) penderita HP karena pirau intrakardial dibagi 2, yaitu kelompok < 5HRU (PAR-1) dan > 5 HRU (PAR-2). Nilai Parameter PDE dari tiap kelompok dibandingkan dengan nilai MPA dan PAR dari hasil pemeriksaan kateterisasi jantung. penderita dibagi 2 golongan, yaitu HP hiperkinetiK don HP pasif, selonjutnya parameter PDE kedua golongon tersebut dibandingkan.
Didapatkon korelasi kuat antara AmPA masing-masing dengan RPEP ( MPA = 5.14 + 0.44 RPEP, r = 0.76, SEE = 9.34, X0.01), ACT ( MPA = 84.69 + 0.55 ACT, r =-0.78, SEE=8.99, p<0.01), dan RPEP/ACT (MPA= 18.93 + 15.90 RPEP/ACT, r=0.87, SEE= 7.07, P<0.01). Juga didapatkan korelasi kuat antara PAR dengan RPEP (PAR = -7.93 + 0.12 RPEP, r = 0.82, SEE = 2-055, P<0-01), ACT ( PAR = 17.44 - 0.15 ACT, r = -0.84, SEE = 1.89, P<0.01) dan RPEP/ACT (PAR= -1.16 + 4-24 RPEP/Ac75 r = 11.90, SEE=1.56, P<0-01). Rasio RPEP/ACT dapat membedakon kelcmpoK HP-1, HP-2 don HP-3 secara bermakna (HP-13 1.03-+0.27, dibanding HP-2, 2-02 (0.36, P<0.05 ; HP-2 dibanding HP-3, 2.82±0.423 p<0.05). Rasio RPEP/ACT 1.61 atau kurang sesuai dengan HP ringan, rasio 2.22 atau lebih sesuai dengan HP berat, rasio antara 1.61 - 2.22 sesuai dengan HP sedang. Parameter tersebut juga dapat menentukan tingginya PAR. Parameter PDE golongan HP hiperkinetik tidak berbeda bermakna dibanding HP pasif.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa RPEP, ACT don RPEP/ACT merupakan Parameter PDE yang dapat dipokai untuk menilai secora kwanitatif don kwanitatif dero,iat HP. Rasio RPEP/ACT merupakan satu-satunya parameter sensitif yang dapat digunakan untuk menentukan HP ringan, sedang dan berat. Golongan HP hiperkinetik dan HP pasif mempunyai parameter PDE soma."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alexandra Gabriella
"Latar belakang: Demam rematik dan komplikasinya masih merupakan masalah
kesehatan pada banyak negara berkembang. Katup mitral merupakan katup yang paling
sering terlibat oleh proses rematik, dengan derajat keparahan yang tinggi (60-70%
pasien), baik stenosis dan/atau regurgitasi. Tatalaksana pada pasien dengan stenosis katup
mitral berat telah digunakan sebagai modalitas terapi sejak hampir tiga dekade terakhir.
Pemilihan kandidat KMTP yang telah umum digunakan adalah dengan Skor Wilkins.
Skor Wilkins yang dinilai dari TTE memiliki beberapa kelemahan dibandingkan
modalitas TEE. Keterbatasan lain Skor Wilkins adalah terdapat variabel morfologi katup
mitral yang tidak dimasukkan dalam Skor Wilkins antara lain area katup mitral, morfologi
komisura, kalsifikasi komisura, dan area katup mitral awal. Selain itu angka keberhasilan
dini KMTP di Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan dengan negara lain di
dunia.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan morfologi katup mitral
(area katup mitral, ketebalan katup, tebal fusi komisura, tebal kalsifikasi komisura, fusi
korda) terhadap luaran keberhasilan dini KMTP.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang pada pasien stenosis mitral berat
akibat penyakit jantung rematik yang menjalani tindakan KMTP. Luaran keberhasilan
dini yang optimal adalah tercapainya ukuran area katup mitral ≥ 1,5 cm2 tanpa disertai
regurgitasi mitral sedang atau lebih yang dievaluasi paska tindakan KMTP dengan
ekokardiografi. Penilaian katup mitral dilakukan secara detil dengan TEE meliputi Skor
Wilkins dari TEE (pliabilitas, ketebalan ketup, kalsifikasi, fusi korda), area katup mitral
(AKM) 3D pra tindakan, tebal fusi komisura anterolateral dan posteromedial, tebal
maksimal kalsifikasi komisura. Semua variabel dilakukan uji statistik bivariat, dan
selanjutnya dilakukan analisis multivariat.
Hasil: Total terdapat 41 pasien yang menjalani KMTP. Sebanyak 18 (43,9%) pasien
mencapai hasil luaran dini optimal. Didapatkan rerata AKM 3D pra 0,6 cm2 pada sampel.
Dari uji analisis multivariat didapatkan AKM 3D pra dan tebal fusi komisura anterior
merupakan faktor morfolgi katup yang secara independen berhubungan dengan
keberhasilan dini KMTP.
Kesimpulan: Pada populasi dengan Skor Wilkins yang rendah, AKM pra KMTP dan
ketebalan komisura anterolateral berhubungan dengan keberhasilan dini KMTP.
Sedangkan Skor Wilkins yang rendah itu sendiri tidak lagi berhubungan dengan
keberhasilan dini KMTP.

Background: Rheumatic fever and its complication is still a major health problem in
developing countries. The mitral valve is the most commonly and severely affected (65%-70% of patients) by rheumatic process by stenosis and/or regurgitation. Percutaneous
Transcatheter Mitral Comisurotomy (PTMC) has been used for almost 3 last decades.
Wilkins Score has been used for choosing candidates for PTMC. There are several mitral
valve features that is not included in the Wilkins score. Nevertheless, the success rate of
PTMC in Indonesia still considered lower than other countries.
Aim: This study aims to know the association of mitral valve morphology (mitral valve
area, valve thickness, thickness of commissural fusion, thickness of commisure
calsification, subvalvar involvement) with immediate success of PTMC.
Methods: This is a cross-sectional study, data was taken procpectively in patients with
rheumatic heart disease whom undergone PTMC. Optimal immediate success was
defined as mitral valve area ≥ 1,5 cm2 without mitral regurgitation moderate or more,
which was evaluated after PTMC using echocardiography. Detailed assessment of mitral
valve using TEE including Wilkins Score from TEE (pliability, valve thickness,
calsification, chordal fusion), mitral valve area (MVA) 3D, thickness of anterolateral and
posteromedial commissural fusion, maximum thickness of commissural calsification
were taken before the PTMC procedure. All morphological variables undergone bivariate
analysis and whichever is eligible to multivariate analysis.
Results: Forty-one patients undergone PTMC procedure. Eighteen patients (43,9%)
achieved optimal immediate result. Mean MVA by 3D echo before PTMC was 0,6 cm2.
After multivariate analysis, MVA 3D and thickness of anterolateral commisure were the
only morphological features which independently associated with early success of
PTMC.
Kesimpulan: In population with low Wilkins score, the score is no longer associated
with the immediate optimal outcome of PTMC. Instead, MVA 3D pre-PTMC and
thickness of anterolateral commissure are associated with immediate optimal outcome of
PTMC."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Reyhan Eddy Yunus
"Stroke merupakan penyebab utama kematian dan kecacatan di Indonesia. Mengingat sempitnya jendela waktu pengobatan stroke iskemik hiperakut dan potensi komplikasi yang terkait dengan intervensi trombolisis, prognostikasi yang akurat esensial dalam memastikan terapi yang cepat dan tepat. Penelitian ini memanfaatkan pembelajaran mesin, khususnya Random Forest (RF), bertujuan untuk mengembangkan model yang mampu memprediksi hasil klinis (Δ NIHSS) pasien stroke iskemik hiperakut setelah trombolisis, berdasarkan CT scan otak, data klinis, dan nilai laboratorium. Klasifikasi Δ NIHSS menggunakan tiga skenario berbeda —CT, CT + Data klinis, dan CT + Data klinis + Data lab— dan dikategorikan menjadi 2 dan 3 kelas yang akan digunakan dalam pemantauan model prediksi mana yang memberikan performa paling optimal. Pengumpulan data studi kohort ini diperoleh saat kedatangan awal pasien, terdiri dari data klinis, laboratorium, dan data CT otak non-kontras dari rekam medis dan Picture Archiving Communication System (PACS) Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta dengan periode 10 tahun sejak November 2014 hingga Februari 2023 dan total 145 pasien. Arsitektur dari Bacchi et al.1 yakni convolutional neural network (CNN) dan model pembelajaran mesin konvensional lainnya juga dianalisis sebagai pendekatan alternatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa algoritma RF (2 kelas) menggunakan data validasi dan skenario CT + Data klinis + Data lab menampilkan akurasi tertinggi (75%) dan unggul dalam sensitivitas dan spesifisitas (0,61 dan 0,59). Performa metrik juga menunjukkan tren peningkatan dari setiap skenario. Model ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi penatalaksanaan stroke iskemik hiperakut dengan memberikan informasi tambahan kepada klinisi dalam pengambilan keputusan terkait intervensi trombolisis.

Stroke is the leading cause of both mortality and disability in Indonesia. Given the narrow time frame for treating acute ischemic stroke and the potential complications associated with thrombolysis intervention, accurate prognostication is essential to ensure a prompt and appropriate treatment. The National Institutes of Health Stroke Scale (NIHSS) can be utilized to identify individuals who may benefit from reperfusion therapy. The data for this cohort study acquired during the initial presentation, comprising clinical, laboratory, and non-contrast brain CT data from the medical records and Picture Archiving Communication System (PACS) of Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta. The study included 145 patients who experienced acute ischemic stroke and received thrombolysis treatment from November 2014 to February 2023. Currently, there is no clinical outcome prediction model for hyperacute ischemic stroke using data from Indonesia. By utilizing machine learning, specifically Random Forest, the author aims to develop a model capable of predicting the clinical outcome (Δ NIHSS) of hyperacute ischemic stroke patients following thrombolysis, based on brain CT scans, clinical data, and laboratory values. The classification of Δ NIHSS used three distinctive scenarios —CT, CT + Clinic, and CT + Clinic + Lab— and is categorized by 2 and 3 classes will be used in monitoring which prediction model gives optimal performance. Architecture derived from the research conducted by Bacchi et al.1 employed a convolutional neural network (CNN) and other conventional machine learning models were also analyzed as alternative approach. Result revealed that RF algorithm (2 classes) using data validation and CT + Clinic + Lab scenario displays the highest accuracy (75%) and excels in sensitivity and specificity (0,61 and 0,59). The performance metrics show continuous improvement, indicating that this model can enhance hyperacute ischemic stroke management by providing clinicians with additional decision-making support for thrombolysis intervention."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>