Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 43124 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Yamin
"Balloon Mitral Valvuloplasty (BMV) telah terbukti sebagai salah satu alternatif terapi pada pendenta dengan MS yang simptomatis Mengetahu prediktor keberhasilan jangka panjang akan membantu para klinisi dalam menentukan risiko penderita yang akan dilakukan prosedur tersebut. Dilakukan penelitian observasional, retrospektif di Rumahsakit Jantung Harapan Kita dari bulan Januari 1994 sampai dengan Desember 1996 Tiga ratus tujuh puluh tiga penderita mitral stenosis yang dilakukan prosedur BMV cara Inoue dan semua pendenita diamati sampai bulan Desember 1997 Delapan belas (4,3%) pendenta dikeluarkan dari penelitian karena meninggal dunia di rumah sakit (n-6), komplikasi regurgitasi mitral derajat dua atau lebih (n=5), terdapat kelainan penyerta regurgitasi aorta derajat tiga atau lebih (n-4), stroke dengan sekuele menetap (n-2), dan kelainan koroner (n=1) Dua puluh empat (5,8%) orang hilang dan pengamatan sehingga jumlah pengamatan rata-rata adala 25,5±37,1 bulan dan meliputi 8859 bulan orang Dua puluh dua vanabel yaitu dua variabel demografik, empat variabel klinis, tujuh vanabel ekokardiografi, dan sembilan vanabel hemodinamik diuji untuk mencari variabel prediktor jangka panjang pasca BMV Estimasi survival 4 tahun adalah 94,5 ± 1,8 %, sedangkan estimasi "event-free survival" 4 tahun ( persentase penderita yang tidak mengalami operasi penggantian katub, BMV ulang, kematian kardiak, dan penurunan fungsional klas menjadi NYHA III atau IV) adalah 60,8±4,4%. Berdasarkan uji multivariat (Cax regression model) maka vanabel prediktor independen keberhasilan jangka panjang BMV adalah kalsifikasi berdasarkan ekokardiografi (RR=3,85, CI-1,33-11,17, p-0,01) dan LVEDP pasca BMV (RR=2,19, Cl-1,00-4,79) p-0,04) Pendenta dengan tanpa faktor risiko yaitu nilai kalsifikasi <2 dan LVEDP pasca BMV < 9 mmHg dengan event-free survival rate" 91,5±4,0 %, sedangkan pasien dengan faktor nsiko adalah nilai kalsifikasi 2 2 dan LVEDP pasca BMV 2 9 mmHg dengan "event-free survival rate" sekitar 38,8±8,9% Kesimpulan BMV sebagai salah satu pengobatan bagi pendenta MS Prediktor independen memberikan hasil jangka panjang yang cukup baik tentang hasil jangka panjang tindakan BMV adalah kalsifikasi katub ng berdasarkan ekokardiografi dan LVEDP pasca BMV."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1998
T57306
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Augustine Purnomowati
"Beberapa peneliti telah berusaha menentukan penderita mitrai stenosis yang “ideal” untuk
BMV tetapi belum ada keseragaman pendapat mengenai variabel prediktor keberhasilan
dini BMV; sedangkan kepustakaan di Indonesia mengenai hal ini masih sedikit.
Untuk mengetahui variabel-variabel prediktor keberhasilan dini BMV, diteliti ulang hasil
dini BMV pada 228 penderita stenosis mitrai yang menjalani BMV selama periode tahun
1993 dan 1994.
Mereka terdiri dari 74.6% perempuan dan 25.4% laki-laki, berusia rata-rata 36.8 tahun
dengan lama gejala rata-rata 23.7 bulan ( median 12 bulan ).
Hipertensi pulmonal terdapat pada 95% kasus, 51,3% diantaranya menunjukkan
hipertensi pulmonal berat.
Fungsi jantung NYHA kias 1,11,III dan IV berturut-turut ditemukan pada 4.4%, 58,3%,
32,9% dan 2.2%.
Gambaran EKG menunjukkan irama sinus normal pada 54.8% dan 45.2% fibrilasi atrium.
Skor mitrai 8 terdapat pada 67.8% (97 dari 143 penderita) dan > 8 pada 32.2 % ( 46
dari 143 penderita ).
Sesuai dengan kriteria penelitian, sebanyak 52.6% kasus menunjukkan hasil dini BMV
optimal, sub-optimal pada 46% dan gagal pada 1.3% kasus.
Pencapaian hasil dini BMV optimal adalah sebanding dengan peneliti lain bila memakai
kriteria sesuai peneliti yang bersangkutan.
Segera pasca-BMV terjadi perubahan hemodinamik yang sangat bermakna ( p < 0.001).
Melalui analisa logistik regresi ganda terdapat 4 variabel yang bermakna yaitu : EKG,
penebalan katup mitrai, tekanan rata-rata atrium kiri pra-BMV dan regurgitasi mitrai pra-BMV sebagai variabel prediksi keberhasilan dini BMV.
Dibandingkan peneliti-peneliti lain, terdapat beberapa persamaan dan perbedaan pendapat mengenai variabel prediktor keberhasilan dini BMV.
Segera pasca-BMV terjadi penurunan tekanan rata-rata arteri pulmonalis yang sangat
bermakna (p < 0.001 ). Analisa logistik regresi ganda menunjukkan tekanan rata-rata
arteri pulmonalis pra-BMV sebagai variabel prediktor penurunan tekanan rata-rata arteri
pulmonalis pasca-BMV. Mengenai variabel prediktor penurunan tekanan arteri
pulmonalis ini, sayang sekali belum ditemukan kepustakaan yang dapat dijadikan
pembanding.
Komplikasi yaitu regurgitasi mitrai teijadi pada 24.5% kasus, angka ini lebih rendah
dibandingkan peneliti-peneliti lain yang mendapatkan angka MR pasca-BMV sebesar 35-
46%.
Seperti halnya peneliti lain, melalui analisa logistik regresi ganda tidak ditemukan variabel
prediktor regurgitasi mitrai pasca-BMV.
Komplikasi lain yaitu udem paru akut pada 1.7% dan 1.3% tamponade jantung yang
teijadi segera setelah pungsi transeptal.
Melihat perubahan hemodinamik yang sangat bermakna pasca-BMV dan frekwensi
komplikasi yang relatif kecil, maka BMV merupakan terapi alternatif yang cukup efektif dan aman bagi penderita mitrai stenosis simtomatis tertentu.
Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui kejadian restenosis, mengevaluasi peijalanan klinik penderita dengan regurgitasi mitrai pasca BMV dan hipertensi pulmonal
yang menetap."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1995
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Robby Novianto
"Latar belakang: Operasi maze untuk mengkoreksi fibrilasi atrium atrial fibrillation, AF bersamaan dengan operasi katup mitral sudah cukup diketahui manfaatnya, akan tetapi keberhasilan operasi maze pada kasus reumatik masih diragukan. Beberapa penelitian tidak menyarankan operasi maze pada kasus reumatik, sedangkan etiologi reumatik merupakan penyebab tersering penyakit jantung katup di Indonesia. Kami mencoba melakukan penelitian untuk melihat pengaruh etiologi reumatik terhadap keberhasilan operasi maze di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita, Indonesia.
Metode: Penelitian kohort restrospektif dengan mengambil data 55 pasien yang menjalani operasi katup mitral dan maze pada Januari 2012 sampai Januari 2017 secara consecutive sampling. Etiologi penyakit katup mitral dikelompokkan menjadi reumatik 33 sampel dan degeneratif 22 sampel. Kemudian dicatat irama pada 7 hari, 1 bulan, dan 3 bulan pascaoperasi, serta faktor perancu dan karakteristik dasar sampel.
Hasil: Tidak terdapat perbedaan bermakna angka bebas AF pada kedua grup p>0,05 . Perbedaan bermakna ditemukan antara rerata umur dan jenis kelamin pada kedua grup etiologi. Tidak ada perbedaan bermakna pada variabel lain.
Simpulan: Keberhasilan operasi maze sebanding pada kedua etiologi penyakit katup mitral, sehingga dapat diterapkan pada kedua jenis etiologi.

Backgrounds: The benefits of maze surgery to correct atrial fibrillation AF concomittant with mitral valve surgery is well known, but the outcome of maze surgery in rheumatic cases remains in doubt. Some studies do not recommend maze surgery in rheumatic cases, whereas rheumatic etiology is the most common etiology of valvular heart diseases in Indonesia. We are trying to do a research to see the relationship of rheumatic etiology on the outcome of maze surgery at Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita, Indonesia.
Methods: This is a restrospective cohort study. We collected from medical records of 55 patients underwent mitral and maze valve surgery from January 2012 to January 2017 by consecutive sampling. The etiology of mitral valve disease are grouped into 33 rheumatic samples and 22 degenerative samples. Then we recorded the heart rhythm on 7 days, 1 month, and 3 months postoperatively, as well as confounding factors and basic characteristics of the sample.
Results: There was no significant difference in the freedom of AF in both groups p 0.05 . Significant differences were found between mean age and sex in both etiologic groups. There was no significant difference in other variables.
Conclusions: The outcome maze surgery is comparable in both the etiology of mitral valve disease, thus it can be applied equally to both etiologies.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Wirya Ayu Graha
"Latar belakang: Salah satu terapi fibrilasi atrium adalah ablasi bedah yang disebut Cox-maze IV yang dilakukan bersamaan dengan operasi katup mitral (concomitant cox-maze IV). Keberhasilan Cox-maze IV di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah RSJPD Harapan kita cukup tinggi yaitu 88,13%. Penelitian ini untuk menilai faktor-faktor yang berhubungan dengan keberhasilan concomitant Cox-maze IV pada pasien dengan fibrilasi atrium dan penyakit katup mitral di RSJPD Harapan Kita, Indonesia.
Metode: Desain penelitian adalah cross sectional. Pasien dengan penyakit katup mitral dan fibrilasi atrium diperiode Januari 2012 sampai Desember 2017 dilakukan operasi katup mitral dan Cox-maze IV kemudian dievaluasi irama jantung 6 bulan pasca operasi. Irama yang dinilai adalah bebas fibrilasi atrium dan dinilai faktor-faktor yang berhubungan.
Hasil: Total subjek adalah 115 pasien dengan prevalensi bebas fibrilasi atrium 6 bulan pascabedah adalah 81.5%. Pascabedah mortalitas sebanyak 7 pasien (6,1%). Diameter atrium kiri lebih dari 60 mm memiliki odds ratio 2,91 artinya, pasien dengan diameter atrium kiri lebih dari 60 mm memiliki peluang 2,91 kali irama tetap fibrilasi atrium dibanding dengan pasien dengan diameter atrium kiri kurang dari 60 mm.
Simpulan: Faktor yang berhubungan dengan keberhasilan concomitant Cox-maze IV pada pasien dengan fibrilasi atrium dan penyakit katup mitral adalah diameter atrium. Pasien dengan diameter atrium kiri lebih dari 60 mm memiliki OR 2,91 tetap FA.

Introduction: One of the therapies for atrial fibrillation is surgical ablation that is known as Cox-maze IV, that is performed together with mitral valve operation (concomitant cox-maze IV). The success rate of Cox-maze IV in RSPJD Harapan Kita is quite high, which is 88.13%. This study is aimed at understanding the factors that attribute to the success of concomitant Cox-maze IV on atrial fibrillation and mitral valve disease patients in RSJPD Harapan Kita, Indonesia.
Method: The study design is cross sectional. Patients with mitral valve disease and atrial fibrillation within the period of January 2012 to December 2017 were given mitral valve operation and Cox-maze IV, then the cardiac rhythm was evaluated for 6-months post-surgery. The examined rhythm is atrial fibrillation free and we evaluated the associating factors.
Results: Total subject was 115 patients with the prevalence of atrial fibrillation free for 6-months post-surgery was 81.5%. Post-surgery mortality rate was 7 patients (6.1%). A larger than 60 mm left atrium diameter had an odds ratio of 2.91, which meant that patients with a left atrium diameter larger than 60 mm had a 2.91 higher risk of having atrial fibrillation rhythm than those with a smaller than 60 mm left atrium diameter.
Conclusion: Factors associated with the success of concomitant Cox-maze IV on atrial fibrillation and mitral valve disease patients is atrium diameter. Patients with a left atrium diameter larger than 60 mm has an OR of 2.91 to have atrial fibrillation. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Larasati
"Latar Belakang. Pada pasien katup mitral yang disertai fibrilasi atrium (FA), bedah ablasi dapat dilakukan bersamaan dengan bedah katup mitral. Dalam penelitian ini kami melakukan evaluasi keberhasilan jangka pendek terhadap pasien-pasien katup mitral yang dilakukan bedah ablasi FA di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita Jakarta. Kami mempunyai hipotesis bahwa indeks volume atrium kiri pra-bedah dan pasca-bedah berhubungan dengan keberhasilan bedah ablasi FA jangka pendek.
Metodologi. Merupakan studi retrospektif. Semua pasien yang dilakukan bedah ablasi bersamaan dengan koreksi katup mitral dengan kriteria standard pada periode bulan Maret 2012-Januari 2015 dimasukkan dalam penelitian ini. Data pasien diambil dari catatan medik rumahsakit, termasuk data klinis, EKG, laboratorium, echocardiografi sebelum dan sesudah bedah ablasi. Evaluasi keberhasilan jangka pendek dilihat ada tidaknya FA selama masa hospitalisasi sampai 1 bulan pasca-bedah.
Hasil. Selama periode penelitian, sebanyak 46 pasien ikut dalam penelitian ini {laki-laki 19 (41,3%) dan wanita 27 (58,7%)}.Rerata umur 42,7 ± 9,6 tahun. Lima orang meninggal segera setelah bedah ablasi (8,7%). Tiga puluh pasien tetap dalam irama sinus pada akhir bulan pertama sesudah tindakan bedah (65,2%). Rerata indeks volume atrium kiri pra-bedah pada pasien yang tetap dalam irama sinus pada akhir bulan pertama lebih kecil dibanding dengan yang tetap dalam irama FA, tetapi secara statistik tidak bermakna (156,83 ± 84,3 vs 189,4 ± 92 ml/m2, p=0,256). Rerata indeks volume atrium kiri pasca-bedah pada kelompok pasien yang tetap dalam irama sinus lebih kecil dibanding dengan pasien dalam irama FA pada akhir bulan pertama ( 95,2 ± 55,4 vs 126 ± 43,9 ml/m2, p=0,029) secara statistik berbeda bermakna. . Sembilan belas pasien menggunakan obat penyekat beta (41,3%) ternyata 3 pasien menjadi FA (15,8%) sedang yang tidak menggunakan obat penyekat beta (27 pasien, 58,7%) ternyata 13 pasien (48%) yang secara statistik bermakna (p=0,023). Analisis multivariat dengan menggunakan analisis regresi logistik menunjukkan bahwa indeks volume atrium kiri pasca-bedah adalah berpengaruh terhadap kejadian FA jangka pendek yang secara statistik bermakna (OR 1,02 (IK 95% 1,001-1,04, p=0,043)). Demikian pula penggunaan obat penyekat beta (OR 0,02 (IK 95% 0,001-0,364, p=0,008)).
Kesimpulan. Angka keberhasilan jangka pendek bedah ablasi FA pada pasien katup mitral adalah 65,2 %. Indeks volume atrium kiri pasca bedah berpengaruh terhadap keberhasilan jangka pendek bedah ablasi FA. Temuan tambahan lain dalam penelitian ini yaitu penggunaan penyekat beta pasca bedah berpengaruh terhadap keberhasilan jangka pendek bedah ablasi FA.

Background. Surgical ablation is commonly done in patients with chronic atrial fibrillation (AF) undergo mitral valve surgery. This study was designed to identify the relationship between pre-operative and post-operative left atrial volume indices (LAVi) and short term success of restoration sinus rhythm after surgical AF ablation concomitant with mitral valve surgery.
Methods. Data were collected retrospectively from our hospital medical record . These included electrocardiograms, laboratory, echocardiography before and after surgical ablation in all patients. Each patient was evaluated at the outpatient hospital clinic. The AF recurence was evaluated from the ECG recording within 1 month after surgery. Left atrial volume was calculated using modified Simpson's method. Volume was corrected by surface area.
Results: From March 2012 through January 2015, there were 46 patients who underwent surgical AF ablation concomitant with mitral valve surgery. The mean age was 42.7 ± 9,6 year-old. {males were 19 (41.3%) and females were 27 (58.7%)} Early mortality was found in 5 patients (8.7%). Sinus rhythm (SR) was restored and maintained within first month in 30 patients (65.2%) of the 46 patients. The pre-operative LAVi was smaller in patients who was successfully restored in SR compared with those who was unsuccessfully restored in sinus rhythm, but statistically insignificant (156.83 ± 84.3 vs 189.4 ± 92 ml/m2, p=0.256). However, post-operative LAVi was smaller and statistically significant in those patients who was successfully restored in SR compared with those who was unsuccessfully restored in SR (95.2 ± 55.4 vs 126 ± 43.9 ml/m2, p=0,029). Multivariate analysis using logistic regression analysis showed post-operative LAVi (OR was 1.02 (CI 95% 1.001-1.04, p=0.043) and beta blocker usage early post hospitalization (OR was 0.02 (CI 95% 0.001-0.364, p=0.008) were independent predictor of maintaining SR after surgical AF ablation concomitant with mitral valve surgery.
Conclusions: Short term success rate of the surgical AF ablation in patients with chronic AF and concomitant mitral valve surgery was 65,2%. Post-operative LAVi and post operative beta blocker therapy was independent predictor of maintaining SR after surgical AF ablation concomitant with mitral valve surgery.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila Edhiningtyas Damaiati
"Latar belakang: Stenosis mitral (SM) berat gradien rendah didefinisikan dengan mitral valve area (MVA) <1.5 cm2 dan gradien transmitral <10 mmHg. Perubahan fungsi atrium kiri merupakan salah satu mekanisme yang mendasari SM berat gradien rendah, dimana dapat dianalisis dengan strain atrium kiri. Komisurotomi Mitral Transkateter Perkutan (KMTP) adalah pilihan utama pasien dengan SM berat tanpa kontraindikasi. Tujuan: Membandingkan perubahan nilai strain atrium kiri dengan Peak Atrial Longitudinal Strain (PALS) antara pasien SM berat gradien rendah dan tinggi pasca KMTP. Metode: Pasien SM berat yang berhasil dilakukan KMTP dibagi menjadi dua kelompok, yaitu gradien rendah dan gradien tinggi. Dengan menggunakan ekokardiografi speckle tracking, nilai PALS diukur pada 24-48 jam sebelum KMTP dan 7-14 hari setelah KMTP. Kemudian nilai PALS antara kedua kelompok dianalisis menggunakan uji statistik Mann-Whitney. Hasil: Terdapat 32 pasien (46%) pada kelompok gradien rendah dan 39 pasien (54%) pada kelompok gradien tinggi. Subjek dengan SM berat gradien rendah cenderung lebih tua, memiliki irama jantung fibrilasi atrium, memiliki baseline MVA yang lebih besar, dan memiliki nilai net atrioventricular compliance (Cn) yang lebih tinggi. Nilai PALS rendah pada kedua kelompok dan mengalami perbaikan pasca KMTP [8%(2–23) vs. 11%(3–27), p<0.0001]. Tidak terdapat perbedaan antara PALS sebelum KMTP, setelah KMTP, dan perbedaannya (delta) antara kedua kelompok. Analisis subgrup pasien dengan irama jantung sinus menunjukan perbedaan nilai PALS antara kelompok gradien rendah dan tinggi pre KMTP (15±4% vs. 11±5%, p=0.030) dan post KMTP (19±4% vs. 15±4%, p=0.019). Analisis multivariat menemukan bahwa irama jantung merupakan variabel independent terkuat dalam mempengaruhi nilai PALS. Kesimpulan: Fungsi reservoir atrium kiri, yang dinilai dengan PALS mengalami penurunan pada pasien SM berat dan meningkat pasca KMTP, tanpa dipengaruhi oleh baseline MVG.

Background: Low gradient severe mitral stenosis (LGMS) is defined as mitral valve area (MVA) less than ≤ 1.5 cm2 and mitral valve gradient (MVG) < 10 mmHg. Functional changes in the left atrium (LA) are one of the mechanisms that follow LGMS, which can be assessed using strain analysis. Balloon Mitral Valvotomy (BMV) is the treatment of choice for suitable MS patients without contraindications. Objective: This study compared changes in Peak Atrial Longitudinal Strain (PALS) following BMV between low- and high-gradient severe MS patients. Methods: We included MS patients who underwent a successful BMV and divided into LGMS group and high-gradient mitral stenosis (HGMS) group. Using speckle tracking echocardiography, PALS was assessed 24–48 hours before and 7–14 days after BMV procedure. Then, the PALS values were compared between those two groups using Mann- Whitney. Results: There were 32 patients (46%) in the low-gradient MS group and 39 patients (54%) in the high-gradient MS group. Subjects with LGMS were older, had more atrial fibrillation, had a larger baseline MVA, and had higher net atrioventricular compliance (Cn). The PALS values were low in both groups and improved significantly following BMV [8%(2–23) vs. 11%(3– 27), p<0.0001]. There were no differences in PALS values before, after BMV, and its absolute changes between the groups. Subgroup analysis in subjects with sinus rhythm revealed PALS differences between low and high-gradient MS pre (15±4% vs. 11±5%, p=0.030) and post- BMV (19±4% vs. 15±4%, p=0.019). Multivariate analysis identified heart rhythm as the strongest independent variable for PALS values. Conclusion: Left atrial reservoir function, as assessed by PALS, was reduced in patients with severe MS and was increased following BMV, irrespective of their baseline MVG."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Irfiansyah Lesmana
"ABSTRAK
Pendahuluan
Keputusan untuk melakukan tindakan operasi reparasi dan replace katup mitral pada stenosis mitral masih diperdebatkan. Tujuan penelitian ini adalah mencari hubungan
antara Wilkin?s score dengan keputusan operasi reparasi dan replace katup mitral
pada stenosis mitral, serta mencari titik potong nilai Wilkins? score pada operasi
reparasi dan replace katup mitral
Metode
Penelitian adalah deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional secara
retrospektif mencakup seluruh pasien dari RS Harapan Kita Jakarta yang dilakukan
operasi stenosis mitral pada Januari 2010 ? September 2015 oleh satu orang dokter
bedah Jantung. Hubungan Wilkins? score dengan keputusan operasi serta nilai titik
potong Wilkins? score pada operasi reparasi dan replace menjadi luaran yang akan
diteliti.
Hasil
Seratus dua puluh lima subjek dengan usia rata-rata kelompok reparasi 36,78 ± 9,37
tahun dan replace 44,49 ± 9,29 tahun. Didapatkan nilai mean Wilkins? score pada
kelompok reparasi 6,5 (4-12) dan kelompok replace 8 (4-14) dengan nilai signifikansi
p<0,001. Dengan area under curve 0,786 dan p<0,001, dapat dinilai titik potong
Wilkins? score berada pada nilai 7. Dengan memerhatikan variabel lain yang
menunjukkan adanya hubungan signifikan pada analisis bivariat yaitu usia,
regurgitasi mitral dan Euro score, dilakukan analisis multivariate dengan uji regresi
logistic didapatkan area under curve 0,946 dan p<0,001, dapat dinilai titik potong
Wilkins? score berada pada 5. Kesimpulan
Wilkins? score berhubungan dalam pengambilan keputusan tindakan operasi reparasi
dan replace katup pada subjek dengan stenosis mitral, dengan titik poin pada putusan
operasi reparasi dan replace yaitu Wilkins? score 7. Jika Wilkins? score
mempertimbangkan faktor usia, regurgitasi mitral dan Euro score titik poin pada
putusan operasi reparasi dan replace yaitu Wilkins? score 5.

ABSTRACT
Introduction
Decision on the repair and replacement of mitral valve surgery in mitral stenosis
patients is still being debated. The aim for this research is to find the relationship
between Wilkins? score and the decision between repair and replacing mitral valve in
mitral stenosis cases, and to find the cut off point for Wilkins?score in the mitral
valve repair and replacement procedure
Methods
The research is an analytic descriptive study with restrospective cross sectional
design. This research covered all patients of Harapan Kita Hospital for Heart and
Blood vessels that had mitral stenosis operations from January of 2010 until
September 2015 that is conducted by one of the surgeon in that hospital. The
relationship between Wilkin?s score and the decision to operate and the cut of point
of the Wilkins? score on the repair and replacement decision is the outcome that we
are going to study in this research.
Results
One hundred and twenty five subjects with the mean age of repair 36,78 ± 9,37 years
old and replacement age of 44,49 ± 9,29 years old. We found that the mean of
Wilkins? score in the reparation group is 6,5 (4-12) and in the replacement group is 8
(4-14) with the significance value is p <0,001. With area under the curve of 0,786 and
p<0,001 we can see that the the cut off point for Wilkins? score is 7. By seeing other
variables to show the significance between all bivariates variable such as age, mitral
regurgitation and Euro score, we conducted multivariate analysis of regression test
we found area under the curve 0,946 with p<0,001. We can assess that the cut off
point of Wilkins? score is 5 Conclusion
Wilkins score is related with decision making of valve repair and replacment
procedure in patients with mitral stenosis with poin between decision is 7. If Wilkins
score consider other factors such as age, the presence of mitral regurgitation and Euro
Score the point that determine the decision to repair and replace mitral valve is
Wilkins? score 5."
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ali Ghanie
"Mitral stenosis merupakan kelainan katup yang paling sering ditemukan di bagian Kardiologi RS. M. Hoesin, Palembang, dan bukti kuat menunjukkan adanya tromboemboli pada mitral stenosis. Banyak studi melihat kontras ekho spontan (KES) yang dianggap sebagai awal kejadian tromboemboli, namun terdapat kontroversi mengenai bagaimana mencapai regresi KES ini. Uji klinik tersamar ganda dilakukan untuk membandingkan aspirin 100 mg dengan acenocoumarol (sintrom) 1 mg yang diberikan selama 4 minggu pada 22 penderita mitral stenosis. Pada akhir penelitian diperoleh regresi 100 % pada KES kelompok acenocoumarol, 40% diantaranya regresi dari KES berat menjadi ringan, sedangkan 60 % mengalami resolusi sempurna. Pada kelompok aspirin tidak satupun KES mengalami regresi. Pada kelompok acenocoumarol, 2 di antara 4 trombus menghilang, sedangkan 2 sisanya ukurannya mengecil, sedangkan pada kelompok aspirin pada akhir minggu keempat, pasien dengan thrombus bertambah dari 3 menjadi 4. Kesimpulan: Pemakaian acenocoumarol 1 mg selama 4 minggu dapat secara efektif dan aman meregresi kontras echo spontan dan thrombus pada mitral stenosis tanpa perubahan hemodinamik yang berarti. (Med J Indones 2002; 11: 202-7)

Mitral stenosis is one of the most often valvular disease in Division of Cardiology, M. Hoesin hospital, Palembang, and there was strong evidence of thromboembolic phenomenon in mitral stenosis (MS) patients. Many studies evaluated the spontaneous echo contrast (SEC) that was regarded as a precursor of thrombo embolic phenomenon. So far there were controversies regarding how to regress spontaneous echo contrast. A randomized double blind controlled study was done on 22 MS patients with positive SEC, receiving either aspirin 100 mg or acenocoumarol 1 mg and followed up after 4 weeks. There was 100 % regression of SEC in acenocoumarol group that consisted of 40% regression from severe SEC to mild, and 60% complete resolution. In aspirin group there was no resolution of SEC. In acenocoumarol group, 2 of 4 thrombus totally disappeared while the rest was reduced in size. On the other hand, in aspirin group, after 4 weeks, the patients with thrombus was increased from 3 to 4 patients. In conclusion, four week therapy with acenocoumarol 1 mg is effective and save in regressing spontaneous echo contrast and thrombus in mitral stenosis patients without any significant change in hemodynamics. (Med J Indones 2002; 11: 202-7)"
Medical Journal of Indonesia, 2002
MJIN-11-4-OctDec2002-202
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Saragih, Wendy Marmalata
"Latar Belakang: Pasien yang menjalani bedah katup mitral cenderung mengalami penurunan fungsi ventrikel kanan Vka pasca pembedahan katup. Disfungsi Vka pasca pembedahan katup dapat menetap ataupun mengalami perbaikan di kemudian hari. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi perbaikan fungsi Vka pasca operasi. Namun, belum ada studi yang menilai faktor-faktor yang dapat menjadi prediktor perbaikan fungsi Vka pasca operasi katup mitral dalam suatu studi multivariat.
Tujuan: Mengidentifikasi faktor-faktor apa saja yang dapat menjadi prediktor perbaikan fungsi Vka pada pasien dengan penyakit katup mitral yang mengalami disfungsi Vka segera setelah pembedahan katup mitral.
Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif yang dilakukan di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita RSJPDHK . Subjek penelitian adalah pasien yang menjalani operasi katup mitral di RSJPDHK sejak Januari 2016 sampai dengan Februari 2017. Data yang diambil yakni karakteristik dasar, data operasi, data obat-obatan pasca operasi, pemeriksaan ekokardiografi sebelum, segera sebelum lepas rawat, dan enam bulan pasca operasi.
Hasil penelitian: Sebanyak 100 subjek yang dinilai pada penelitian ini. Terdapat 68 68 subjek yang mengalami kenaikan fungsi Vka, dan 32 subjek 32 yang tidak. Median TAPSE sebelum lepas rawat meningkat secara signifikan enam bulan pasca operasi dari 1,1 0,6-1,5 menjadi 1,4 0,7-2,8 dengan nilai p

Background In patients undergoing mitral valve surgery, right ventricular function may decline immediately after the surgical procedure. This condition may sometimes remain, but may also improve later on. Many factors have been proposed to account for this phenomenon. As of yet, there are no studies using multivariate analysis to investigate factors that may be predictors of right ventricular function improvement after mitral surgery.
Objective This study aims to identify factors that may be predictors of right ventricular function improvement in patients with right ventricular dysfunction following mitral valve surgery.
Methods This is a retrospective cohort study, taking place at National Cardiovascular Center Harapan Kita NCCHK , Jakarta, Indonesia. Subjects are patients who underwent mitral valve surgery between January 2016 until February 2017. Data taken include basic characteristics, surgical data, drugs prescribed after surgery, and echocardiography data before surgery, predischarge, and six months after surgery.
Results There are 100 subjects who fulfilled the criteria to participate in this study. There are 68 68 cases of right ventricular function improvement and 32 32 cases without improvement. The median of predischarge TAPSE increases significantly six months after surgery, from 1,1 0,6 1,5 to 1,4 0,7 2,8 with p value.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Rahmat
"Operasi perbaikan regurgitasi mitral konvensional pasien anak dapat menyisakan regurgitasi residual. Untuk mengatasi masalah tersebut, diperlukan suatu teknik untuk mengurangi regurgitasi residual sehingga dirancang teknik elevasi anulus posterior. Tujuan penelitian ini untuk menilai efektivitas teknik tersebut dalam mengurangi regurgitasi residual pasca-operasi perbaikan katup mitral pada anak. Penelitian ini menggunakan desain randomized controlled trial dan dilakukan di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Nasional Harapan kita, Jakarta, pada bulan Juli 2020 hingga Juni 2022. Subjek adalah pasien anak dengan regurgitasi mitral berusia 1 hari hingga 18 tahun yang menjalani operasi perbaikan katup mitral dibagi dua kelompok yaitu perlakuan yang diberikan teknik elevasi anulus posterior setelah perbaikan katup konvensional dan kelompok kontrol, yang menjalani teknik perbaikan katup konvensional saja. Evaluasi dilakukan pada hari ke-0, ke-5, 2 minggu, dan 3 bulan pasca-operasi.
Regurgitasi mitral residual, panjang dan indeks koaptasi diperiksa dengan ekokardiografi. Data luaran klinis diperoleh dari rekam medis berupa waktu ventilator, skor inotropik, lama rawat ICU, lama rawat inap, Major Adverse Cardiovascular Events (MACE), dan Low Cardiac Output Syndrome (LCOS). Metabolik gagal jantung diukur dengan pemeriksaan NTproBNP dan Laktat darah. Penanda hemolisis diukur dengan pemeriksaan Haptoglobin, Lactate Dehydrogenase (LDH) dan Fragmented Erytrocyte.
Sebanyak 64 subjek dengan median usia 12,72 (1,31–18,90) tahun dibagi dua kelompok sama banyak. Kelompok perlakuan menunjukkan penurunan bermakna pada regurgitasi mitral residual dibandingkan kelompok kontrol secara konsisten. Analisis pada 3 bulan pasca-operasi, diperoleh RR= 0,31; CI:0,18–0,54; p < 0,001 menunjukkan teknik elevasi anulus posterior dapat menjadi faktor protektif yang menurunkan kemungkinan regurgitasi residual dibandingkan kontrol. Panjang dan indeks koaptasi juga lebih tinggi bermakna pada kelompok perlakuan (p < 0,001).
Luaran klinis, metabolik gagal jantung, dan penanda hemolisis tidak menunjukkan perbedaan bermakna antara kedua kelompok. Disimpulkan teknik elevasi anulus posterior efektif mengurangi regurgitasi mitral residual dan memperbaiki area koaptasi serta berpotensi meningkatkan hasil bedah jangka panjang pada anak dengan regurgitasi mitral.

The current technique used in severe mitral regurgitation in children can occasionally lead to residual regurgitation. To address this issue, the posterior annulus elevation technique was developed to enhance coaptation and reduce residual lesions. This study aims to evaluate the effectiveness of the posterior annulus elevation technique in reducing residual regurgitation during mitral valve repair in children.
A randomized controlled trial was conducted in National Cardiovascular Centre Harapan Kita, Indonesia, from July 2020 to June 2022. Subject was Pediatric mitral regurgitation patients aged 1 day to 18 years undergoing mitral valve repair surgery were included. The patients were divided into two groups: the intervention group, which received the posterior annulus elevation technique after conventional repair, and the control group, which underwent conventional repair techniques only. Various parameters, including residual mitral regurgitation, coaptation length and index, clinical outcomes, and metabolik markers, were measured on day 0, 5, 2 weeks and 3 months after surgery.
The study included 64 subjects with median of age of 12,72 (1,31–18,90) years. They were divided into two groups equally. On each time of evaluation, the intervention group showed significant reduction in residual mitral regurgitation compared to the control group consistently. At 3 months after surgery, we found that the use of this technique could be protective factor that reduce the chance of residual regurgitation compared to control (RR = 0,31; CI: 0,18–0,54; p < 0.001). Coaptation length and index were also found to be significantly higher in the intervention group (p < 0.001).
Clinical outcomes, metabolik markers, and hemolysis marker did not show any significant differences between the two groups. The posterior annulus elevation technique demonstrated effectiveness in reducing residual mitral regurgitation and improving coaptation area in pediatric mitral valve repair. This technique shows potential for improving the long-term surgical outcomes in children with mitral regurgitation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>