Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 203383 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sri Ayu Vernawati
"Latar Belakang: Masalah infeksi HIV meningkat berkaitan dengan perilaku seks tidak aman dan penggunaan NAPZA suntik. Estimasi jumlah kasus HIV/AIDS di Indonesia sekitar 90.000 sampai 130.000. Sejak 1 Desember 2003 WHO mencanangkan program 3 by 5 dengan tujuan akses terapi untuk semua dan sejak 1 September 2004 pemerintah menyediakan ARV secara cuma-cuma. Dalam mengakses terapi ARV, konseling dan tes sukarela (Voluntary Counseling and Testing atau VCT) merupakan jalur yang esensial dan layanan di Puskesmas diharapkan menjadi tulang punggung pelayanan. Adanya akses ARV ini diharapkan meningkatkan VCT. Tujuan: Mengetahui jumlah layanan VCT, tes CD4 dan penggunaan ARV di Puskesmas Kampung Bali pasca kebijakan ARV cuma-cuma, karakteristik serta alasan-alasan yang dapat menghambat VCT selain biaya obat. Metodologi: Dilakukan pengamatan pelayanan program VCT, tes CD4 dan akses ARV dalam 5 bulan pertama pasca kebijakan serta pencatatan data sekunder sebelum kebijakan. Seluruh yang telah melakukan VCT di Puskesmas Kampung Bali dan 100 orang berisiko tinggi berusia >15 tahun yang belum VCT dipilih dengan sistem cluster dan dilakukan wawancara terpimpin. Penelitian dilakukan sejak November 2004 -Maret 2005. Hasil: Dalam 8 bulan sebelum kebijakan, jumlah VCT sebanyak 18 orang,dalam 5 bulan pasca kebijakan jumlah VCT sebanyak 27 orang. Tampak adanya peningkatan pada penggunaan ARV. Mayoritas responden adalah laki-laki berusia 20-30 tahun, berpendidikan menengah, bekerja tidak tetap dan berpenghasilan rendah. Pada 100 responden yang belum VCT 64% memiliki tingkat pengetahuan sedang, 89% masih aktif suntik dan 34% berperilaku seksual tidak aman. Alasan tidak VCT karena merasa sehat, takut diketahui HIV dan rahasia tidak terjamin. Pada 13 responden yang VCT, 12 orang memiliki tingkat pengetahun sedang, 7 orang masih aktif suntik dan 10 orang berperilaku seks tidak aman. Alasan VCT terutama karena merasa berisiko dan adanya rasa ingin tahu. Simpulan: VCT pada 8 bulan sebelum dan 5 bulan sesudah kebijakan masing-masing adalah 18 dan 27 orang. Penggunaan ARV tampak ada peningkatan. Mayoritas responden memiliki tingkat pengetahuan yang cukup namun masih aktif suntik dan berperilaku seks tidak aman. Kurangnya kesadaran dan motivasi serta kekhawatiran akan dampak sosial HIV/AIDS menghambat pemanfaatan layanan VCT."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T58444
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Ayu Vernazvati
"Latar Belakang: Masalah infeksi HIV meningkat berkaitan dengan perilaku seks tidak aman dan penggunaan NAPZA suntik. Estimasi jumlah kasus HIV/AIDS di Indonesia sekitar 90.000 sampai 130.000. Sejak 1 Desember 2003 WHO mencanangkan program 3 by 5 dengan tujuan akses terapi untuk semua dan sejak 1 September 2004 pemerintah menyediakan ARV secara cuma-cuma. Dalam mengakses terapi ARV, konseling dan tes HIV sukarela (Voluntary Counseling and Testing atau VCT) merupakan jalur yang esensial dan layanan di Puskesmas diharapkan menjadi tulang punggung pelayanan. Adanya akses ARV ini diharapkan meningkatkan VCT.
Tujuan. Mengetahui jumlah layanan VCT, tes CD4 dan penggunaan ARV di Puskesmas Kampung Bali pasca kebijakan ARV cuma-cuma, karakteristik serta alasan-alasan yang dapat menghambat VCT selain biaya obat.
Metodologi. Dilakukan pengamatan pelayanan program VCT, tes CD4 dan akses ARV dalam 5 bulan pertama pasca kebijakan serta pencatatan data sekunder sebelum kebijakan. Seluruh yang telah melakukan VCT di Puskesmas Kampung Bali dan 100 orang berisiko tinggi berusia > 15 tahun yang belum VCT dipilih dengan sistem cluster dan dilakukan wawancara terpimpin Penelitian dilakukan sejak November 2004 - Maret 2005.
Hasil. Dalam 8 bulan sebelum kebijakan, jumlah VCT sebanyak 18 orang,dalam 5 bulan pasca kebijakan jumlah VCT sebanyak 27 orang. Tampak adanya peningkatan pada penggunaan ARV. Mayoritas responden adalah laki-laki berusia 20-30 tahun, berpendidi3ran menengah, bekerja tidak tetap dan berpenghasilan rendah. Pada 100 responden yang belurn VCT 64% memiliki tingkat pengetahuan sedang, 89% masih aktif suntik dan 34% berperilaku seksual tidak aman. Alasan tidak VCT karena merasa sehat, takut diketahui HIV dan rahasia tidak terjamin. Pada 13 responden yang VCT, 12 orang memiliki tingkat pengetahun sedang, 7 orang masifi aktif suntik dan 10 orang berperilaku seks tidak aman. Alasan VCT terutama karena merasa berisiko dan adanya rasa ingin tahu.
Simpulan. VCT pada 8 bulan sebelum dan 5 bulan sesudah kebijakan masing-masing adalah 18 dan 27 orang. Penggunaan ARV tampak ada peningkatan. Mayoritas responden memiliki tingkat pengetahuan yang cukup namun masih aktif suntik dan berperilaku seks tidak aman. Kurangnya kesadaran dan motivasi serta kekhawatiran akan dampak sosial HIV/AIDS menghambat pemanfaatan layanan VCT.

Background. Problem of HIV infection is increased related to unsafe sex behavior and usage of NAPZA injection. Estimation of HIV/AIDS cases in Indonesia was around 90.000 to 130.000. Since December 01, 2003 WHO has implemented the 3 by 5 program with the purpose of therapy access for all and since September 01, 2004 government has provided ARV for free. In accessing ARV therapy, Voluntary Counseling and HIV Testing (VCT) is an essential way and service in basic level (e.g. Society Health Center/Puskesmas) has to be the backbone of the service. It is hoped that numbers of VCT will increase in line with the guarantee of ARV access.
Objective. To know numbers of VCT services, CD4 and usage of ARV in Puskesmas Kampung Bali after the implementation of free ARV policy, characteristics and reasons that could hinder the high risk group for VCT beside dugs cost
Methodology. Research on VCT program services, test CD4 and ARV access was conducted for 5 months. All people who have done VCT in Puskesmas Kampung Bali and 100 high-risk people aged > 15 years who haven't done VCT , chosen with cluster system and met the inclusion criteria, were participated in the research conducted on November 2004 - Maret 2005 and went through guided interview.
Result. In 8 months before the implementation of the policy, there were 18 peoples and then in 5 months after the policy implementation there were 27 peoples have done VCT. There's increase of ARV usage. Majority of respondent who haven't and have done VCT, are male aged 20-30 years, mid level education, no permanent job and low income. Out of 100 respondents who haven't done VCT, 64% has mid level knowledge, 48% knows the availability of free ARV, 89% has routine injection and 34% practice unsafe sex behavior. The reason for not having VCT is feeling healthy, afraid of being known to have HIV and unsafe secret show the lack of awareness and motivation. Reason of cost of treatment 1 transportation in general was not ensured yet. Out of 13 respondents who has done VCT, 12 people has mid level of knowledge, 7 has still routine injection and 10 has unsafe sex behavior. Reason for having VCT is knowing the risk.
Summary. Numbers of VCT 8 month prior and 5 month after the implementation of the policy were 18 and 27 peoples.The ARV usage is also increases. Knowledge on HIV/AIDS and availability of free ARV is enough but majority has still active having injection and practice unsafe sex behavior. Lack of awareness, motivation and afraid of HIV/AIDS social consequences are reasons that could hinder VCT.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T21442
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ainum Jhariah Hidayah
"Penyakit infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) sampai sekarang masih menjadi masalah kesehatan di dunia termasuk di Indonesia. Progresivitas penyakit pada pasien HIV/AIDS dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain faktor usia, genetik, penyakit infeksi lain seperti tuberkulosis dan hepatitis, faktor gizi, status imunologi dan lain-lain. Adanya pengobatan ARV belum mampu menyembuhkan penyakit namun mampu mengontrol progresivitas penyakit HIV dan AIDS dengan menekan replikasi virus, mengurangi timbulnya infeksi oportunistik. Walaupun program ini telah dilaksanakan, namun kematian akibat HIV tetap saja terjadi terutama pada tahun pertama pengobatan ARV.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui prediktor yang berhubungan dengan kematian pada pasien HIV-AIDS yang mendapatkan terapi ARV di RS dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor Tahun 2008-2012. Desain studi yang digunakan adalah kohort retrospektif dengan menggunakan data register ART dan Rekam Medik. Sampel berjumlah 396 pasien HIV yang menggunakan ARV. Analisis data dilakukan dengan menggunakan Regresi Cox.
Hasil analisis multivariat menunjukkan prediktor kematian pasien HIV-AIDS yang mendapatkan ARV adalah status fungsional baring (RR=2,34, 95% CI:1,32-4,11), kategori IO berat (RR=2,11, 95% CI:1,26-3,54), dan status anemia (RR=2,56, 95% CI:1,74-3,77). Diperlukan perhatian khusus dan pemantauan bagi pasien HIV-AIDS yang menggunakan ARV dengan status fungsional baring, anemia, dan memiliki infeksi oportunistik yang berat.

Human Immunodeficiency Virus (HIV) is still an issue in health sector in the world, particularly in Indonesia. Progression of disease is influenced by various factors including age, genetic, and other infectious diseases such as tuberculosis and hepatitis, nutritional factors, and immunological status. ARV therapy has not been able to cure the disease yet is able to control the progression of HIV/AIDS by suppressing viral replication which reduce the incidence of opportunistic infections. Although the program has been implemented, the deaths from HIV continue to occur, especially in the first year of ARV treatment.
This study aims to investigate the predictors related to death in HIV-AIDS patients with ARV therapy in Dr. H. Marzoeki Mahdi Hospital in Bogor in 2008-2012. The study design was retrospective cohort using ART registration data and Medical Record. Number of samples were 396 HIV patients with ARV therapy. Data analysis was performed using Cox Regression.
The multivariate analysis showed that the predictors of deaths in HIV-AIDS patients with ARV therapy were functional baring status (RR = 2.34, 95% CI: 1.32-4.11), heavy IO category (RR = 2.11, 95% CI : 1.26-3.54), and anemia status (RR = 2.56, 95% CI: 1.74-3.77). Special attention and monitoring are required for HIV/AIDS patients taking antiretroviral medications with functional status of baring, anemia, and having severe opportunistic infections.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2017
T48422
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Rizki Agustina
"Latar belakang. Infeksi HIV dikaitkan dengan inflamasi kronik dan risiko aterosklerosis. Ketebalan tunika intima media arteri karotis telah digunakan sebagai penanda aterosklerosis subklinis dan rasio neutrofil limfosit telah banyak digunakan sebagai penanda inflamasi serta dapat memprediksi kejadian kardiovaskular pada populasi non-HIV.
Tujuan. Mengetahui korelasi antara ketebalan tunika intima media arteri karotis dengan rasio neutrofil limfosit serta menetukan titik potong rasio neutrofil limfosit dan ketebalan tunika intima media arteri karotis sebagai penanda aterosklerosis subklinis pada pasien HIV tersupresi ARV.
Metode. Penelitian ini studi potong lintang pada pasien HIV usia 20-45 tahun dalam terapi ARV minimal 1 tahun dengan kadar virus HIV tidak terdeteksi yang berobat di POKDISUS HIV RSCM bulan Agustus-Desember 2019. Subjek penelitian tidak terdapat diabetes melitus, tidak ada infeksi oportunistik, dan tidak hamil. Penelitian ini bagian dari penelitian “Pengaruh pemberian atorvastatin terhadap aterosklerosis subklinis pada pasien HIV yang tersupresi dan seropositif CMV: sebuah uji acak tersamar ganda”. Dilakukan pencatatan data demografis, pengambilan darah untuk menilai rasio neutrofil limfosit dan ultrasonografi leher untuk menentukan ketebalan tunika intima media arteri karotis. Dilakukan analisis korelasi antara ketebalan tunika intima media arteri karotis dan rasio neutrofil limfosit.
Hasil. Dari 80 subjek penelitian, 62,5% berjenis kelamin laki-laki. Rerata usia subjek 38,21 tahun. Sebanyak 20% subjek diketahui hipertensi dan 53,8% tidak pernah merokok. Median CD4 nadir 145,98 sel/uL Rerata rasio neutrofil limfosit 1,737±0,769 dan median ketebalan tunika intima media arteri karotis 0,475 (min-maks: 0,400-0,700) mm. Tidak didapatkan subjek yang termasuk aterosklerosis subklinis dan tidak didapatkan adanya korelasi antara ketebalan tunika intima media arteri karotis dengan rasio neutrofil limfosit.
Kesimpulan. Tidak didapatkan korelasi antara ketebalan tunika intima media arteri karotis dengan neutrofil limfosit rasio pada pasien HIV tersupresi ARV

Background. HIV infection is related with chronic inflammation and atherosclerosis. Carotid intimal media thickness (CIMT) has been used worldwide as a surrogate marker for subclinical atherosclerosis and neutrophil lymphocyte ratio (NLR) as inflammation marker has been shown to predict occurence of cardiovascular events in non-HIV population.
Objective. This research aims to study correlation between CIMT and NLR in HIV-suppressed ARV patients and to determine the NLR cut-off as subclinical atherosclerosis marker in HIV-suppressed ARV patients.
Method. This study was a cross-sectional study in HIV patient, 20-45 years old, on ARV therapy for at least 1 year with viral load undetectable and without diabetic mellitus or opportunistic infections and not pregnant at outpatient clinic POKDISUS HIV RSCM from August to Descember 2019. This study is part of another big research entitled “Effect of atorvastatin on subclinical atherosclerosis in virally-suppressed HIV-infected patients with CMV seropositivity:a randomized double-blind placebo controlled trial”. Demographic data, blood drawing for evaluating NLR and ultrasonography of carotid for evaluating CIMT were done for each patients. All data were analyzed for the correlation between CIMT and NLR..
Result. From 80 subjects, 62,5% was male. The mean age of subjects was 38,21 years. Hypertension was known for 20% subject and 53,8% had never smoked. The median CD4 nadir 145,98 cell/uL. In this study, mean of NLR was 1,737±0,769 and the median of CIMT was 0,475 (min-max: 0,400-0,700) mm. There were no subjects that included as sublinical atherosclerosis and there was no significant correlation between CIMT and NLR.
Conclusion. There was no significant correlation between CIMT and NLR in HIV-suppressed ARV patients
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Nauri Anggita Temesvari
"Konseling dan Tes HIV Sukarela (KTS) merupakan pintu masuk dalam pencegahan HIV/AIDS. Jakarta Timur menargetkan seluruh populasi kunci yang memanfaatkan KTS sebesar 20.308 orang. Namun, yang baru tercapai pada tahun 2013 sebesar 67%. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dilakukan evaluasi dengan Kerangka Kerja Logis untuk melihat pelaksanaan KTS yang telah berjalan. Dari hasil penelitian didapat bahwa keseluruhan pelaksanaan KTS telah berjalan dengan baik, kurangnya kesadaran dari populasi kunci untuk memeriksakan diri sedini mungkin, kurang akuratnya pengumpulan data, dan kurangnya sosialisasi ke populasi umum dibandingkan dengan populasi kunci menjadi permasalahan utama dalam pelaksanaan KTS. Rekomendasi dari penelitian ini adalah meningkatkan penjangkauan ke lokasi yang memungkinkan populasi kunci tersebar, termasuk di lingkungan masyarakat, pengawasan dalam pencatatan dan pelaporan, dan meningkatkan fungsi Puskesmas dalam Layanan Komprehensif Berkesinambungan (LKB).

HIV Voluntary Counseling and Testing (VCT) is the entry point of preventing HIV/AIDS. East Jakarta targeted 20.308 of key population could visit VCT in 2013, but it’s just reached 67%. Thus, as researcher i would like to evaluate the implementation of VCT. Tool which is used in this research is Logical Framework Analysis (LFA). The result is that the overall implementation of VCT has gone well. However, the lack of awareness of key populations to visit healthcare centre as early as possible, the lack of accurate data collection, and the lack of socialization to the general population compared to key populations are the barriers of the implementation. Recommendations from this research are to improve outreach of key population; include in the community, to monitor all of data recording and reporting, and to improve the function of primary healthcare as Sustainable Comprehensive Services (LKB)."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2015
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elvan Abdi Fajriansyah
"Lelaki yang Seks dengan Lelaki (LSL) berada pada posisi yang rentan untuk tertular dan menularkan HIV melalui hubungan seksual berisiko.Di Indonesia, LSL menyumbang persentase sekitar 44,93% dari keseluruhan kasus baru di 2019. Meskipun akses terhadap Voluntary Counseling and Testing (VCT) sudah dibuka lebar namun pemaanfaatannya masih tergolong rendah. Terdapat banyak faktor yang dapat memengaruhi perilaku periksa VCT pada kalangan LSL. Melalui studi potong lintang ini diteliti hubungan antara faktor-faktor berpengaruh diantaranya usia, tingkat pendidikan, status pekerjaan, status hubungan, pengetahuan tentang HIV/AIDS, Stigma terkait HIV, dan dukungan sosial serta hubungannya dengan perilaku periksa VCT. Jumlah sampel yang digunakan pada penelitian ini sebanyak 100 responden dengan metode pengumpulan snowball sampling. Penelitian ini menggunakan beberapa kuesioner diantaranya kuesioner perilaku periksa VCT yang dibuat dan dimodifikasi sendiri, HIV-KQ-18, HIV-Anticipated Stigma, serta Multidimensional Scale of Perceived Social Support (MSPSS). Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara pengetahuan terhadap HIV/AIDS dengan perilaku periksa VCT (p = 0,032; α = 0,05). Selain itu, ditemukan terdapat hubungan bermakna antara stigma terkait HIV dengan perilaku periksa VCT (p = 0,014; α = 0,05). Tidak ditemukan hubungan bermakna antara usia, tingkat pendidikan, status pekerjaan, status hubungan, dan dukungan sosial terhadap perilaku periksa VCT (p > 0,05).

Men who have sex with men (MSM) are in a vulnerable position to contracting and transmitting HIV through risky sexual intercourse. In Indonesia, MSM accounted for around 44.93% of all new cases in 2019. Even though access to Voluntary Counseling and Testing (VCT) has been widely opened, its utilization is still relatively low. There are many factors that can influence VCT checking behavior among MSM. This cross-sectional study examined the relationship between influential factors including age, education level, employment status, relationship status, knowledge of HIV/AIDS, HIV-related stigma, and social support and its relationship with VCT checking behavior. The number of samples used in this study were 100 respondents with the snowball sampling method. This study used several questionnaires including self-modified VCT checking behavior questionnaires, HIV-KQ-18, HIV-Anticipated Stigma, and the Multidimensional Scale of Perceived Social Support (MSPSS). The results of the bivariate analysis showed that there was a significant relationship between knowledge of HIV/AIDS and VCT checking behavior (p = 0.032; α = 0.05). In addition, it was found that there was a significant relationship between HIV-related stigma and VCT checking behavior (p = 0.014; α = 0.05). No significant relationship was found between age, education level, employment status, relationship status, and social support on VCT checking behavior (p > 0.05)."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rindy Agustina
"Salah satu infeksi yang harus dideteksi selama kehamilan adalah infeksi HIV pada ibu karena berpotensi tertular pada bayi yang akan dilahirkannya yaitu sekitar 30. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sikap ibu hamil terhadap Provider Initiated Test and Counseling PITC di Puskesmas Kecamatan Pasar Rebo tahun 2017. Jenis penelitian ini bersifat kuantitatif dengan desain cross sectional. Dalam penelitian ini teknik sampling yang digunakan adalah metode simple random sampling sehingga didapat sampel sebanyak 70 orang. Dari hasil analisis multivariat pada penelitian ini didapatkan faktor-faktor yang mempengaruhi sikap ibu hamil terhadap PITC adalah keterpaparan informasi melalui media cetak p=0,002, keterpaparan informasi melalui media elektronik p=0,008, keaktifan dalam kegiatan keagamaan p=0,021 dan dukungan keluarga p=0,038.

One of the infections that should be detected during pregnancy is HIV infection in pregnant women, because of the potential for infected at birth to the baby about 30. This study aimed to determine the attitude of pregnant women to Provider Initiated Test and Counseling PITC at Pasar Rebo Distric Health Center in 2017. This research type is quantitative with cross sectional design. In this research the sampling technique used is simple random sampling method so that get the sample counted 70 people. From the result of multivariate analysis in this research, the factors that influence the attitude of pregnant mother to PITC are the exposure of information through print media p 0,002, the exposure of information through electronic media p 0,008, the activity in religious activity p 0,021 and family support p 0,038.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2017
S67507
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cintavhati Poerwoto
"Bimbingan dan Konseling merupakan hal yang relatif baru di Perguruan Tinggi di Indonesia, dan hingga kini belum banyak dilaksanakan sebagaimana mestinya oleh berbagai Perguruan Tinggi, meskipun penataran-penataran mengenai Bimbingan dan Konseling sudah banyak dilaksanakan tahap demi tahap bagi dosen-dosen yang umumnya juga menjadi Pembimbing Akademik. Dengan lain perkataan Bimbingan dan Konseling belum membudaya di kalangan Perguruan Tinggi Negeri maupun Swasta.
Secara ideal, setiap fakultas mempunyai wadah Bimbingan dan Konseling yang dikelola dan dilaksanakan oleh tenaga-tenaga yang profesional - dalam hal ini psikolog-psikolog. Tetapi karena tenaga profesional tersebut tidak mencukupi, maka diadakan penataran-penataran mengenai Bimbingan dan Konseling dengan harapan agar para dosen yang menjadi konselor fakultas dan pembimbing akademik dapat melaksanakan tugas mereka dengan baik.
Sangat ideal pula bahwa Bimbingan dan Konseling yang ada di fakultas-fakultas merupakan bawahan dari suatu Badan Bimbingan dan Konseling yang ada di tingkat universitas, dan yang benar-benar dikelola oleh tenaga-tenaga profesional seperti para psikolog dan psikiater, sehingga masalah-masalah yang tidak dapat dituntaskan di tingkat fakultas dapat diacu ke tingkat universitas. Di samping itu para dosen petugas konselor dan para pembimbing akademik dapat mempunyai kesempatan untuk berkonsultasi kepada tenaga profesional tersebut. Dengan demikian koordinasi antara-Bimbingan dan Konseling di tingkat fakultas dan di tingkat universitas tetap terpelihara.
Bimbingan dan konseling di Perguruan Tinggi jelas merupakan kegiatan yang sangat dibutuhkan setelah sistem pengajaran menjadi sistem kredit semester, yang mengharuskan mahasiswa menyusun dan merencanakan sendiri program pengambilan kreditnya.setiap semester seefektif mungkin."
Depok: Universitas Indonesia, 1994
Makalah-4
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Desy Surya Aning Lestari
"ABSTRAK
Remaja yang berada di lembaga pembinaan khusus anak merupakan kelompok yang rentan untuk melakukan perilaku berisiko HIV. Hasil skrinning HIV di LPKA menunjukkan bahwa sebagian remaja pernah melakukan hubungan seksual, tato, tindik, dan narkoba suntik. Peer education merupakan cara yang efektif serta efisien untuk mencegah penularan HIV/AIDS di penjara karena dapat berkelanjutan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh peer education yang dilaksanakan bulan Mei sampai Juni 2017 terhadap pengetahuan dan niat untuk mengurangi perilaku berisiko HIV. Penelitian menggunakan desain quasi experimental without control dengan kuesioner pretest-posttest. Hasil penelitian terhadap 39 responden menunjukkan bahwa terdapat peningkatan bermakna pada pengetahuan HIV berdasarkan indikator MDGs p=0,015 , pengetahuan HIV total p=0,000 , niat hanya berhubungan seksual dengan satu pasangan setia p=0,05 , dan niat melakukan tes HIV p=0,02 . Namun demikian, tidak ada peningkatan secara bermakna pada niat abstinance p=0,317 dan niat menggunakan kondom 0,206.

ABSTRACT
Adolescents in prisons are vulnerable to perform HIV risk behaviors. Results of HIV screening from LPKA, showed that some adolescent had had sexual intercourse, tattoos, piercing, and injecting drugs. Peer education is the most effective and efficient program to prevent HIV transmission in prisons because its sustainability. The research aims to know the effect of peer education on May until June 2017 on knowledge and intent to reduce HIV risk behavior. The research used quasi experimental without control design with pretest posttest questionnaires. The results showed that there was a significant increase in HIV knowledge based on the MDGs indicator p 0.015 , total HIV knowledge p 0,000 , intention to only have sexual intercourse with one faithful partner p 0.05 , and intention to test HIV p 0.02 . But, there was no significant increase in intention to abstinance p 0.317 and intention to using condom 0.206. "
2017
S69801
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>