Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 204678 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Danu Kurnianto
"Pendidikan masyarakat adat merupakan salah satu media artikulasi hak-hak masyarakat adat. Beragam persoalan akibat pembangunan di berbagai wilayah adat dianggap meminggirkan posisi masyarakat adat dan mengancam keberlangsungan hidup mereka. Sejumlah organisasi masyarakat sipil selama ini menyuarakan perlunya entitas pendidikan masyarakat adat yang mampu berpihak bagi kepentingan masyarakat adat. Tesis ini, memberikan perhatian pada konsep artikulasi (ekspresi pengucapan untuk menunjukan posisi dan identitas kelompok) yang dapat memiliki efek berbeda ketika digulirkan sebagai suatu program. Penelitian ini menunjukan bahwa artikulasi melalui pendidikan masyarakat adat oleh sejumlah LSM di tingkat nasional, tidak selamanya berkesesuaian dengan program pendidikan masyarakat adat yang mereka garap di tingkat lokal. Penelitian ini juga menunjukan adanya keragaman perbedaan artikulasi yang dilakukan oleh beragam aktor yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan masyarakat adat di tingkat nasional, regional dan lokal. Berbagai persoalan penyelenggaraan pendidikan masyarakat adat di lapangan terkadang bekerja tidak sejalan dengan kepentingan yang diartikulasikan secara nasional oleh banyak LSM. Penelitian etnografis ini dilakukan dengan membandingkan dua bentuk penyelenggaraan pendidikan masyarakat adat yang dikoordinasikan oleh dua LSM yang berbeda wilayah Banten Kidul, Kabupaten Lebak. Komparasi dilakukan terhadap aktivitas penyelenggaraan Sekolah Adat Birawa dan pendidikan masyarakat adat Kisancang untuk melihat bagaimana artikulasi-artikulasi yang ada mengalami gejolak di lapangan. Berdasarkan persoalan pembangunan yang terjadi di sekitar wilayah adat, didapatkan fakta bahwa pendidikan masyarakat adat menggunakan strategi yang berbeda untuk penyelenggaraan aktivitas mereka. Penulis berpendapat bahwa terdapat dinamika artikulasi dalam penyelenggaraan pendidikan masyarakat adat dapat dipengaruhi oleh perbedaan strategi dan pendekatan metode yang ada dalam materi-materi pembelajaran di kedua komunitas tersebut.  Perbedaan artikulasi yang ada di tingkat lokal tersebut juga menunjukan adanya perbedaan posisi, dan cara mereka mengidentifikasi diri ketika menghadapi persoalan masing-masing yang bergantung pada konteks sejarah dan lansekap yang berbeda.

Education of indigenous peoples is one of the media for articulating the rights of indigenous peoples. Various problems resulting from development in various traditional areas are considered to marginalize the position of indigenous peoples and threaten their survival. A number of civil society organizations have been voicing the need for indigenous community education entities that are able to side with the interests of indigenous communities. This thesis pays attention to the concept of articulation (pronunciation expressions to show group position and identity) which can have different effects when rolled out as a program. This research shows that the articulation of indigenous peoples' education by a number of NGOs at the national level is not always in accordance with the indigenous peoples' education programs that they work on at the local level. This research also shows the diversity of different articulations carried out by various actors related to the implementation of education for indigenous peoples at the national, regional and local levels. Various problems in implementing education for indigenous peoples in the field sometimes work not in line with the interests articulated nationally by many NGOs. This ethnographic research was carried out by comparing two forms of implementation of indigenous community education coordinated by two different NGOs in the Banten Kidul area, Lebak Regency. A comparison was made of the activities of implementing the Birawa Traditional School and the education of the Kisancang traditional community to see how the existing articulations experienced turmoil in the field. Based on development issues that occur around customary areas, the fact is that indigenous community education uses different strategies to organize their activities. The author believes that there are dynamics of articulation in the implementation of indigenous community education which can be influenced by differences in strategies and method approaches in learning materials in the two communities. The differences in articulation at the local level also show differences in positions and the way they identify themselves when facing their respective problems which depend on different historical contexts and landscapes."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irena Lucy Ishimora
"ABSTRACT
Penelitian ini membahas mengenai perempuan adat Kasepuhan Cirompang dalam konstelasi pengelolaan sumber daya alam di wilayah adat mereka. Penetapan dan perluasan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak TNGHS yang tidak melibatkan dan mempertimbangkan eksistensi masyarakat adat Kasepuhan Cirompang terutama pengalaman perempuan adat berdampak secara signifikan dalam pemenuhan hak-hak perempuan adat. Selain itu hukum adat yang masih patriarkis memberi dukungan terhadap kondisi pengekangan perempuan adat untuk berpendapat dan berpartisipasi dalam pembangunan. Penulis menggali pengalaman para perempuan adat Kasepuhan Cirompang melalui wawancara mendalam dengan mereka dan menganalisisnya menggunakan beberapa teori seperti ekofeminisme, akses terhadap keadilan dan pluralisme hukum. Hal ini dilakukan untuk mempertegas bagaimana penetapan dan perluasan kawasan TNGHS telah mereduksi hak atas akses terhadap sumber daya alam yang dimiliki oleh perempuan adat. Kegiatan ini melanggar berbagai instrumen hukum internasional dan nasional yang telah melindungi kesetaraan antara perempuan dan lakilaki dalam hal akses terhadap sumber daya alam, tanah, berpendapat dan berpartisipasi dalam pembangunan.

ABSTRACT
This thesis examines the constelation of Cirompang Indigenous Women on natural resources management. The assignation and expansion of Mount Halimun Salak National Park that do not involve and consider the existence of indigenous people Kasepuhan Ciromopang especially the indigeous women rsquo s experience regarding natural resources management, has been significantly impacting the fulfillment of the indigeous women rsquo s rights. Moreover, the adat law that rsquo s still patriarchal support the condition in which women are restricted from expressing their opinion and participating on development. The writer explored the experience of Cirompang indigenous women through indepth interviews with them and analyzed it with several theories such as ecofeminism, woman rsquo s access to land and legal pluralism. This is important to show how the assignation and expansion of the National Park reduced the rights of access to land, natural resources, expressing an opinion, and participating on development.Keywords Cirompang indigenous women, Mount Halimun Salak National Park, ecofeminism, women access to land, indigenous women rsquo s rights."
2017
S68481
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nitis Kinasih
"Ilustrasi merupakan salah satu unsur penting dalam sebuah buku bacaan untuk para anak-anak yang baru belajar membaca. Buku Pim en Mien (1925) karya Jan Ligthart dan Hindericus Scheepstra adalah salah satu buku yang digunakan sebagai bahan bacaan pada masa Hindia Belanda. Dalam buku tersebut terdapat ilustrasi-ilustrasi masyarakat pribumi yang digambar oleh Cornelis Jetses, seorang ilustrator terkenal di kalangan buku anak-anak pada masa Hindia Belanda. Penelitian ini membahas sosok pribumi dalam ilustrasi-ilustrasi karya Jetses dalam buku Pim en Mien (1925) dengan fokus pada peran dan posisi sosok pribumi. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode sejarah dengan pendekatan poskolonial. Hasil dari penelitian ini adalah terdapat tujuh dikotomi oposisi biner yang terdapat pada ilustrasi-ilustrasi tersebut. Selain itu, peran pribumi yang digambarkan oleh Jetses adalah sebagai pembantu yang bekerja untuk keluarga Eropa. Sosok pribumi juga hanya dijadikan figuran dalam ilustrasi karya Cornelis Jetses dalam buku Pim en Mien (1925). Penelitian ini menyimpulkan meskipun buku belajar membaca ini untuk anak-anak namun melalui ilustrasi dan narasinya tidak lepas dari ideologi dan praktik kolonial. Selain itu, anak-anak juga diperkenalkan dengan sosok-sosok pribumi yang merupakan bagian dari rumah tangga bangsa Eropa (Belanda) di Hindia Belanda.

An illustration is one of the essential elements in a reading book for children just learning to read. The book Pim en Mien (1925) by Jan Ligthart and Hindericus Scheepstra is one of the books used as reading material during the Dutch East Indies. The book contains illustrations of indigenous people drawn by Cornelis Jetses, a famous illustrator among children's books during the Dutch East Indies. This research discusses the figure of the native in the illustrations by Jetses in the book Pim en Mien (1925), focusing on the role and position of the native figure. This research is qualitative research using historical methods with a postcolonial approach. The result of this research is that there are seven binary opposition dichotomies contained in the illustrations. In addition, the role of natives depicted by Jetses is as servants who work for European families. The indigenous figure is also only used as an extra in the illustrations by Cornelis Jetses in the book Pim en Mien (1925). This research concludes that although this learning-to-read book is for children, through its illustrations and narrative, it cannot be separated from colonial ideologies and practices. In addition, children are also introduced to indigenous figures who are part of European (Dutch) households in the Dutch East Indies."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nia Ramdhaniaty
"ABSTRAK
Studi ini menunjukkan bahwa perempuan adat non elit telah diekslusi secara berlapis dari proses perjuangan hak kewarganegaraan masyarakat adat atas hutan adat. Keberadaan masyarakat adat secara global maupun di Indonesia belum sepenuhnya mendapatkan pengakuan atas tanah dan sumber daya alamnya. Hutan adat yang terdapat di wilayah adatnya dinyatakan sebagai hutan negara. Penetapan hutan adat secara legal berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 merupakan upaya perwujudan hak konstitusional kewarganegaraan masyarakat adat atas tanah dan sumber daya alamnya. Namun dalam proses perjuangannya perempuan adat non elit tidak pernah terlihat dan terlibat. Studi ini bertujuan untuk menelusuri kompleksitas eksklusi berlapis yang dialami perempuan adat non elit dalam proses perjuangan hak kewarganegaraan masyarakat adat atas hutan adat. Studi kualitatif yang dilakukan dengan pendekatan life her story pada lima perempuan adat non elit ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara proses eksklusi berlapis perempuan adat non elit dengan perjuangan hak kewarganegaraan masyarakat adat atas hutan adatnya. Dengan mengadopsi teori power of exclusion yang dikembangkan oleh Derek Hall, Philip Hirsch, dan Tania Li, teori feminist political ecology dari Rebecca Elmhirst, dan teori feminis tentang kewarganegaraan dari Anupama Roy, argumentasi pada studi ini adalah 1 bahwa ketidakterlibatan perempuan adat non elit dalam proses perjuangan hak kewarganegaraan masyarakat adat atas hutan adat karena perempuan adat telah dieksklusi secara berlapis, dan 2 untuk itu penetapan hutan adat memiliki beragam limitasi yang memunculkan keberagaman dilema perempuan adat non elit dalam pengelolaan lahan dan sumber daya alam lainnya.

ABSTRACT
This study show that non elite indigenous women had been excluded in multi layered from the process of citizenship rights struggle over customary forest. The existence of indigenous people globally as well as in Indonesia had not fully got its recognition over its land and natural resources. Customary forest which located in their community area declared as the state forest. The customary forest legal determination based on Constitutional Court Decree No. 35 PUU X 2012 was an embodiment effort of inidigenous people citizenship constitutional rights over their land and natural resources. However, in the struggling process, the non elite indigenous women, never been seen and involved. This study aimed to search the complexity multi layered exclusion which experienced by non elite indigenous women in the process of inidigenous people citizenship rights struggle over their customary forest. This qualitative study which performed with life her story approach in five non elite indigenous women, showed the connection between the multi layered exclusion process of non elite indigenous women with the struggle of indigenous people citizenship rights over their customary forest. By adopting the power of exclusion theory which developed by Derek Hall, Philip Hirsch, and Tania Li, feminist political ecology theory by Rebecca Elmhirst, and feminism theory on citizenship by Anupama Roy, we argue 1 that the non involvement of non elite indigenous women on the struggling process of indigenous people citizenship rights over the customary forest because the non elit indigenous women had been excluded in multi layered, therefore 2 the determination of customary forest gained various limitation that gave rise variety of non elit indigenous women rsquo s dilemmas in managing land and other natural resources."
2018
T51126
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wilsa Naomi Wijaya
"Komunitas adat kerap termarjinalisasi dalam kehidupan bernegara. Hal ini berimplikasi pada pengabaian hak-hak komunitas adat terhadap hutan adatnya dalam praktik pembangunan dengan pandangan modernisasi yang diturunkan oleh pemerintah. Secara khusus penelitian ini berbicara tentang hak Kasepuhan Cisitu untuk melakukan kegiatan penambangan emas skala kecil (PESK) di Blok Cikidang yang berada di dalam hutan adatnya. Penelitian ini menggunakan pendekatan asumsi-asumsi teoritis dari teori standpoint yang melihat bahwa semua pengetahuan terletak dalam suatu lokasi sosial dan terdapat lokasi sosial yang lebih baik untuk dijadikan titik awal produksi pengetahuan. Pengetahuan tersebut dipahami berdasarkan pengalaman serta pemaknaan individu yang menempati lokasi sosial tersebut. Alhasil, penelitian ini akan mengeksplorasi pengalaman komunitas adat Kasepuhan Cisitu dalam kegiatan PESK dalam kaitannya dengan praktik pembangunan yang ada. Penelitian ini menggunakan strategi penelitian fenomenologi dan paradigma kritis. Penelitian ini menemukan bahwa terdapat upaya pemerintah untuk memaksakan pandangan tentang kepemilikan hutan yang dikontestasikan oleh komunitas adat Cisitu melalui upaya menempuh jalur hukum untuk mendapat pengakuan dan izin tambang dari pemerintah, keputusan untuk tetap melakukan kegiatan PESK terlepas dari pelarangan yang ada, serta tidak menjadikan pandangan tersebut sebagai kacamata utama dalam memaknai kegiatannya.

Indigenous communities are often marginalized in state life. This condition neglects the rights of indigenous communities to their customary forests in development practices that have modernization view passed down by the government. Specifically, this research talks about Kasepuhan Cisitus right to carry out small-scale gold mining activities in the Cikidang Block, which is located in their customary forest area. This research uses theoretical assumptions approach from standpoint theory that sees that all knowledge is socially located and that there is a better social location to be the starting point of knowledge production. This knowledge is explored based on the experiences and meanings of individuals who occupy this social location. Hence, this research will examine the experiences of Kasepuhan Cisitus small scale gold mining activities concerning existing development practices. This research uses a phenomenological research strategy and a critical paradigm. This study found that there was an attempt by the government to impose a view on forest ownership. However, that was contested by the Cisitu indigenous community through efforts to take legal action to obtain recognition and mining license from the government, by the decision to continue conducting small scale gold mining activities regardless of the prohibition, and by not making that view as the primary lens in interpreting it.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Jihan Ammatuz Zakiah
"Wacana gerakan masyarakat adat muncul di Indonesia seringkali dimaknai sebagai upaya untuk melakukan perlawanan dari ancaman pihak eksternal. Sebagian masyarakat memahami bahwa adat merujuk pada sebuah praktik ritual, norma, atau pun kebiasaan—sebagian juga memahami bahwa adat merujuk pada prosedur untuk menyelesaikan sengketa tenurial yang saat ini menjadi agenda LSM. Masyarakat adat di Indonesia didukung oleh pihak LSM untuk memperjuangkan hak-haknya dengan membawanya turut berperan dalam ranah legislasi. Tulisan ini mengeksplorasi bagaimana aktivitas LSM dalam mengupayakan perlindungan dan pengakuan masyarakat lokal yang memiliki klaim hak atas tanah melalui serangkaian praktik inskripsi. Penelitian ini dilakukan dengan mencakup beberapa proses kegiatan advokasi AMAN dan BRWA di beberapa wilayah IKN. Bersamaan dengan posisi saya sebagai fasilitator yang membantu kedua LSM tersebut, tulisan ini juga menjadi refleksi etnografis. Oleh karenanya, tulisan ini bertujuan untuk memperlihatkan bagaimana agenda advokasi AMAN BRWA dilakukan untuk mengidentifikasi dan merumuskan ‘wilayah adat’ serta memperlihatkan bagaimana agenda advokasi tersebut dilakukan dengan tahapan-tahapan yang sifatnya prosedural, tetapi pada kenyataannya menimbulkan serangkaian konstruksi dan negosiasi. 

The discourse of the indigenous peoples' movement emerging in Indonesia is often interpreted as an attempt to resist external forces. Some communities define adat as referring to ritual practices, norms or customs—while others define adat as a procedure for resolving tenurial disputes, which is currently on the agenda of NGOs. Indigenous peoples in Indonesia are supported by NGOs to advocate for their rights by involving them in legislation. This paper explores how NGO activities seek to protect and recognize local communities with land rights claims through a set of inscription practices. The research was conducted by covering several processes of AMAN and BRWA advocacy activities in several IKN areas. Along with my position as a facilitator assisting the two NGOs, this paper is also an ethnographic reflection. Therefore, this paper aims to explain how AMAN BRWA's advocacy agenda is to identify and formulate 'customary territories' and to illustrate how this advocacy agenda is carried out through procedural steps, but in reality leads to a series of constructions and negotiations."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Made Adhi Gunadi
"Community-based tourism (CBT) as an approach in the development of tourism can be viewed as an alternative to the development of tourism which have so far has been widely acknowledged. As a relatively new approach to tourism development, it's interesting the to study and analyze its application in a research aimed to identifying values of local wisdom of Kampung naga, and then review it using the qualitive approaches, with data collection through observation, interviews and literature review. The especially the value of togetherness, simplicity, independent, and specific pattern on spacial and agriculture, are able to encourage implementation of CBT principles in Kampung Naga."
Universitas Pancasila, 2016
790 JTDA 4:1 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Nadhila Khairina Isnan
" ABSTRAK
Jurnal ini membahas mengenai analisis kritis terhadap buku tarian bumi Bagaimana penulis buku melakukan framing mengenai realitas masyarakat adat Bali dari pandangan seorang penulis feminis yang pernah mengalami kehidupan dalam masyarakat bali yang sangat patriarkis Penulis menggunakan metode Critical Discourse Analysis milik Norman Fairclough Dalam analisis kritis ini menghasilkan bahwa buku ini berusah menjabarkan mengenai permasalahan yang ada dibalik masyarakat yang masih terkukung dalam sebuah sistem budaya yang sarat akan nilai patriarkis yang melegitimasikan subordinasi akan wanita dan juga merupakan bentuk media perlawanan dari penulis buku sendiri

ABSTRACTThis journal discusses the earth dance book on how did the author frame the reality of Bali indigenous peoples The book author captured a perspective of a feminist writer who has experienced life in Bali patriarchal society I use Critical Discourse Analysis method from Norman Fairclough Based on the critical analysis can be concluded that this book try to describe the problems that exist behind the people who are still shackled in a culture system that is full of patriarchal values which legitimized the women subordination This book reflecs the author rsquo s beliefs and also a form of media resistance from her "
[, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia], 2014
MK-PDF
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Rezti Muthia
"Penelitian ini memaparkan tentang pemaknaan self-determination yang awalnya dipahami sebagai hak untuk merdeka dan memisahkan diri melalui Declaration on the Granting of Independence to Colonial Peoples, menjadi hak untuk menentukan nasib sendiri dalam konteks HAM bagi indigenous peoples. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif interpretif, penelitian ini mengeksplorasi perdebatan pada proses penyusunan teks deklarasi indigenous rights di PBB yang dimulai pada tahun 1984-2007. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, walaupun pemaknaan pada akhirnya diterima secara resmi sebagai self-determination yang dibatasi, masih terdapat unsur-unsur ldquo;kolonialisme berlanjut rdquo; advanced colonialism yang masih berlanjut yang menyebabkan masih sulitnya negara menerima pemaknaan self-determination yang bersifat internal. Selain itu, dipaparkan pula mengenai kondisi pengakuan masyarakat adat di Indonesia sebagai refleksi atas permasalahan terhadap pemaknaan self-determination.

This study elaborates the meaning of self determination which was originally conceived as the right to independence and secession by Declaration on the Granting of Independence to Colonial Peoples, becomes the rights to self determination in the context of rights for indigenous peoples. By using qualitative interpretive approach, this study explores the debate on the process of preparing the text of the UN Declaration on Indigenous Rights from 1984 2007. The result shows that,even though the meaning is accepted formally in form of restricted self determination, there are elements of advanced colonialism that led to the difficulty for states to accept the context of internal meaning of self determination. This study also presents the condition on recognition of ldquo masyarakat adat rdquo in Indonesia as a reflection on the problems on the meaning of self determination."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
S66416
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>