Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 200872 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Florianti Kurnia Sjaaf
"ABSTRAK
Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik dan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya mengizinkan negara untuk melakukan penggusuran paksa selama memenuhi tolok ukur yang diberikan. Skripsi ini akan membahas secara komprehensif tolok ukur penggusuran paksa yang diatur oleh kedua kovenan hak asasi manusia internasional tersebut beserta aplikasinya di dalam yurisprudensi Komite Hak Asasi Manusia dan Komite Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Tolok ukur tersebut kemudian akan turut diaplikasikan di dalam kasus penggusuran paksa yang dilakukan di Bukit Duri, Jakarta Selatan, pada tahun 2016. Berdasarkan hasil studi pustaka dan wawancara yang telah dilakukan, negara dapat menjustifikasi penggusuran paksa jika memenuhi tolok ukur lsquo;lawful rsquo; dan lsquo;non-arbitrary. Penggusuran paksa di Bukit Duri tidak memenuhi kedua tolok ukur tersebut.

ABSTRACT
The International Covenant on Civil and Political Rights and the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights allow states to conduct forced eviction as long as it is carried out within the given boundaries. This study will comprehensively elaborate each standards given by the two international human rights covenants as well as the implementation of those standards in the cases of Human Rights Committee and Committee on Economic, Social and Cultural Rights. The standards will then be applied to analyze the case of forced eviction in Bukit Duri, South Jakarta, in the year of 2016. Based on the literature review and the interviews that have been conducted, it can be concluded that states can justify their action of forced eviction if it fulfills the standards of lsquo lawful rsquo and lsquo non arbitrary rsquo . The Bukit Duri forced eviction did not fulfill those standards."
2017
S68117
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasian, Siagian Bramy Vicky Chiefo
"Berdasarkan prinsip hak asasi manusia, negara memiliki kewajiban untuk melindungi, menghormati, dan memenuhi berbagai jenis hak asasi manusia, salah satunya adalah hak atas tempat tinggal yang layak. Namun, pada kenyataannya upaya pemenuhan hak atas tempat tinggal yang layak menemui permasalahan, yaitu fenomena penggusuran paksa di berbagai wilayah Indonesia. Tugas Karya Akhir ini mencoba untuk menjabarkan bagaimana pola, penyebab, dan dampak penggusuran paksa yang berfokus pada kasus yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia dalam periode tahun 2016 sampai 2023. Penulisan ini menggunakan teknik analisis isi berdasarkan sumber data sekunder, seperti berita, laporan penelitian dan publikasi yang diterbitkan oleh Non Governmental Organization (NGO), artikel jurnal, dan kanal berita di youtube. Hasilnya menemukan bahwa penguasaan tanah oleh negara telah membuka ruang untuk perkembangan pembangunan infrastruktur dan tata ruang wilayah yang menimbulkan penggusuran paksa permukiman warga. Penggusuran paksa yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia diinisiasi oleh negara, sedangkan korban penggusuran paksa adalah warga negara, khususnya masyarakat kelas bawah. Oleh karena itu, telah terjadi viktimisasi struktural terhadap para korban penggusuran paksa, yaitu penderitaan dan kerugian yang dialami berdasarkan posisi mereka yang tidak menguntungkan dalam struktur masyarakat.

Based on human rights principles, states have an obligation to protect, respect and fulfill various types of human rights, one of which is the right to adequate housing. However, in reality, efforts to fulfill the right to adequate housing have encountered problems, namely the phenomenon of forced evictions in various regions of Indonesia. This final project tries to describe the patterns, causes and impacts of forced evictions, focusing on cases that occurred in various regions of Indonesia in the period 2016 to 2023. This writing uses a content analysis method based on secondary data sources, such as news, research reports and publications by Non Governmental Organization (NGO), journal articles, and news channels on Youtube. The results found that land control by the state has opened up space for the development of infrastructure development and spatial planning which has the potential to lead to forced evictions of residential areas. The forced evictions that occurred in various regions of Indonesia were initiated by the state, while the victims of forced evictions were citizens, especially lower class people. Therefore, there has been structural victimization of the victims of forced eviction, namely the suffering and losses experienced based on their disadvantageous position in the structure of society."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nastitie Kusuma Anggraini
"Seluruh warga negara Indonesia berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, tidak terkecuali penyandang disabilitas. Sebagai upaya untuk meningkatkan peluang perbaikan kesejahteraan bagi penyandang disabilitas, disusunlah Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang memuat berbagai pengaturan tentang hak penyandang disabilitas dan kewajiban Negara dalam upaya pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas. Terkait dengan aspek ketenagakerjaan, dalam Pasal 53 ayat (1) undang-undang tersebut mengamanatkan jumlah keterwakilan minimum tenaga kerja penyandang disabilitas sebesar 2% (dua persen) pada berbagai institusi maupun perusahaan, salah satunya Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Penelitian ini membahas kondisi pemenuhan ketentuan tersebut khususnya terkait aspek persamaan kesempatan kerja penyandang disabilitas dalam ruang lingkup industri perbankan BUMN. Hasil penelitian ini menunjukkan banyak faktor yang dapat menghambat optimalisasi pemenuhan ketentuan tersebut, baik dari sisi penyandang disabilitas, pemberi kerja dan pemerintah. Penelitian ini juga merumuskan tindakan-tindakan apa saja yang dapat dilakukan oleh negara sebagai upaya peningkatan pemenuhan hak penyandang disabilitas atas persamaan kesempatan kerja pada sektor formal, khususnya pada industri perbankan BUMN.

All Indonesia’s citizens have the right to work and get a decent standard of living, including people with disabilities. To enhance the opportunities for enhancing the well-being of individuals with disabilities, the legislative measure known as Law No. 8/2016 on Persons with Disabilities was formulated. This law encompasses a range of additional provisions of the rights of individuals with disabilities and the responsibilities of the State in its endeavours to satisfy these rights. Regarding the matter of employment, Article 53 Paragraph 1 of Law Number 8/2016 on Persons with Disabilities presented a minimum representation of 2% (two percent) of workers with disabilities in various institutions and companies, including State-Owned Enterprises (SOEs). This study examined the factors contributing to satisfying these provisions, explicitly focusing on equitable employment possibilities within the SOEs banking industry for people with disabilities. This study found that there was numerous factors impeded the effective fulfilment of these provisions, encompassing barriers encountered by individuals with disabilities, employers, and governmental entities. This study is anticipated to serve as a valuable resource for informing the State on potential measures that may be implemented to enhance the fulfilment of equitable employment opportunities for individuals with disabilities rights in the formal sector, with a particular focus on the banking industry within SOEs."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Nibras Fadhlillah
"Penelitian ini mengkaji tentang gerakan advokasi yang dilakukan oleh organisasi non-pemerintah terhadap penyelesaian isu kerja paksa dan perdagangan manusia yang terjadi di sektor perikanan tangkap Thailand dan Indonesia. Adanya laporan investigasi oleh beberapa media internasional telah mengungkap sisi gelap dari sektor perikanan tangkap Thailand dan Indonesia terkait dengan isu praktek kerja paksa dan perdagangan manusia di atas kapal penangkapan ikan. Tidak terselesaikannya permasalahan kerja paksa dan perdagangan manusia tersebut membuat organisasi non-pemerintah (NGO) di Thailand dan Indonesia melaksanakan berbagai gerakan advokasi dalam mendorong penyelesaian permasalahan kerja paksa dan perdagangan manusia. Meskipun begitu belum banyak penelitian yang membahas gerakan advokasi organisasi non-pemerintahan yang ada di Thailand dan Indonesia terkait isu perbudakan modern. Melihat hal tersebut, muncul pertanyaan tentang bagaimana gerakan advokasi yang dilakukan NGO di Thailand dan Indonesia dalam mendorong diselesaikannya permasalahan perbudakan modern di sektor perikanan tangkap. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penelitian ini akan menggunakan teori jaringan advokasi transnasional oleh Keck dan Sikkink (1999), dengan menggunakan metode penelitian kualitatif. Dalam analisis, peneliti menemukan adanya berbagai bentuk gerakan dalam advokasi transnasional yang dilakukan NGO untuk mendorong adanya perubahan kebijakan pemerintah dalam menyelesaikan isu perbudakan modern. Penelitian ini menyimpulkan bahwa dalam gerakan advokasi transnasional untuk mendorong penyelesaian isu mengenai kerja paksa dan perdagangan manusia, NGO Thailand dan Indonesia telah melakukan pembingkaian tentang isu tersebut yang kemudian disebarluaskan kepada publik dan organisasi lainnya agar terbentuk sebuah gerakan advokasi yang masif. Bersamaan dengan itu, NGO di Thailand dan Indonesia juga melakukan pendekatan-pendekatan kepada para aktor-aktor yang memiliki kuasa lebih, seperti pemerintah negara-negara importir produk perikanan maupun agensi-agensi PBB, untuk dapat memberikan dorongan kepada kedua pemerintah agar mengadopsi berbagai aturan internasional sebagai upaya untuk menyelesaikan dan menghentikan praktek kerja paksa dan perdagangan manusia di sektor perikanan tangkap.

This study examines the advocacy movement of NGOs to enforced the settlement of forced labour and human trafficking issues in Thailand and Indonesia capture fisheries sector. The publications of investigation reported by some international medias revealed the dark side of Thailand and Indonesia fisheries sector regarding forced labour and human trafficking practices towards fishing workers on the fishing boats. The unresolved of forced labour and human trafficking issues has led NGOs in Thailand and Indonesia to carry out various advocacy movements in enforcing the settlement of forced labour and human trafficking issues. Nonetheless, there are still lack of studies exploring the advocacy movement of NGO in combating forced labour and human trafficking practices. Hence, the research question of this study is how the advocacy movement of NGOs in Thailand and Indonesia in enforcing the settlement of forced labour and human trafficking issues on the capture fisheries sectors. In this study, the author used transnational network advocacy theory by Keck dan Sikkink (1999), as well as qualitative research method. In the analysis, this study found various type of activities of NGOs transnational advocacy movement to enforce the improvement of governments policies to end forced labour and human trafficking practices in fisheries. This study concluded that in the transnational advocacy movement to enforce the settlement of forced labour and human trafficking issues, Thailand and Indonesian NGOs have framed the issues which was then shared to public and other organizations, in order to form a massive advocacy movement. At the same time, NGOs in Thailand and Indonesia also approached other actors who had more power, such as the government of the fisheries importing country and UN agencies, to enforce those two governments to adopt various international regulation as an effort to resolve and diminish the forced labour and human trafficking practices in catch fisheries sector."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
T54511
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tawakal Abdi Utomo
"ABSTRAK
Konflik tata ruang di wilayah perkotaan mdash;yang bisa berujung pada konflik lahan mdash;tidak hanya melibatkan antar masyarakat saja, tetapi juga antara masyarakat dengan pemerintah. Pada praktiknya, pemerintah seringkali menggunakan penggusuran paksa sebagai strategi untuk menertibkan lahan-lahan ilegal mdash;seperti tempat berjualan informal dan pemukiman kumuh mdash;agar peruntukannya sesuai dengan rencana tata kota. Melihat hal ini, terdapat dua pola yang terlihat pada studi-studi yang membahas penggusuran paksa. Pertama, pemerintah dan rulling group yang ada melihat bahwa pemanfaatan ruang kota harus secara legal dengan mengikuti rencana tata kota. Kedua, masyarakat miskin kota melihat bahwa ruang kota merupakan tempat yang dapat dan boleh dimanfaatkan oleh seluruh elemen masyarakat. Kedua pandangan yang saling berlawanan ini tidak pernah menemui titik temu yang solutif, oleh karenanya penulis berargumen bahwa dibutuhkan suatu lembaga mediasi untuk menjembatani kepentingan di antara keduanya agar tidak timpang. Menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode wawancara mendalam, peneliti ingin melihat lebih jauh bagaimana konflik lahan yang berujung penggusuran paksa ini terjadi antara masyarakat miskin kota dengan pemerintah daerah. Selain itu, artikel ini juga ingin melihat lebih jauh peran LSM dalam kasus penggusuran paksa. Temuan dari artikel ini menunjukan bahwa LSM memiliki peranan penting tidak hanya sebagai mediator, tetapi juga sebagai pembangun kesadaran ruang masyarakat dalam konflik ruang yang terjadi antara pemerintah dan masyarakat.

ABSTRACT
Spatial conflict in urban areas which can lead to land conflicts involves not only inter community groups but also between communities and governments. In practice, governments often use forced evictions as a strategy to discipline illegal lands such as informal selling places and slums so that their designations are in accordance with urban planning. Looking at this, there are two patterns seen in studies that deal with forced evictions. First, the government and the existing rulling group see that the utilization of urban space must legally follow the city planning plan. Secondly, the urban poor see that city space is a place that can and can be utilized by all elements of society. These two opposing views have never met a solvent point of view, and therefore the authors argue that a mediating body is required to bridge the interests between the two in order not to be unbalanced. Using a qualitative approach with an in depth interview method, researchers wanted to see further how land conflicts that led to forced evictions occurred between the urban poor and local governments. In addition, this article also wants to see further the role of NGOs in cases of forced evictions. The findings of this article show that NGOs play an important role not only as mediators, but also as builders of spatial awareness in spatial conflict between government and society."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Mulki Makmun
"Artikel ini akan mendeskripsikan kontribusi perempuan penyintas pelanggaran hak asasi manusia dalam mendorong inisiatif keadilan transisional di tingkat lokal atau komunitas di Indonesia. Dalam posisi marginalnya, baik sebagai perempuan maupun korban pelanggaran HAM, perempuan penyintas menunjukkan keagenannya untuk menghadapi hambatan sosial, politik, budaya dan struktural. Inisiatif dan partisipasi perempuan penyintas di Provinsi Sulawesi Tengah, Aceh, dan Yogyakarta, telah berkontribusi pada munculnya model keadilan transisional di tingkat lokal, seperti permintaan maaf bagi korban, program bantuan kesehatan, beasiswa, dan pengungkapan kebenaran. Inisiatif keadilan transisional di tingkat lokal ini tidak hanya mengisi kesenjangan akuntabilitas yang seharusnya dipikul oleh negara, tetapi juga memperkuat implementasi mekanisme keadilan transisional yang diselenggarakan oleh negara atau pemerintah, baik di tingkat lokal maupun nasional."
Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2021
305 JP 26:3 (2021)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Meirina Fajarwati
"ABSTRAK
Banyaknya kasus kekerasan seksual yang terjadi pada anak dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini membuat pemerintah mengambil langkah untuk mengeluarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang, UU No 17 tahun 2016 yang mana dalam undang-undang tersebut mengatur hukuman pidana kebiri kimia yang diberikan bagi pelaku kekerasan seksual pada anak. Kebiri kimia ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 28G ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang memberikan jaminan bagi setiap orang untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia. Berdasarkan uraian diatas penulis akan menganalisis mengenai politik hukum pembentukan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 dan bagaimanakah pengaturan mengenai sanksi kebiri kimia melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 ditinjau dari perspektif HAM. Dari hasil penelitian diperoleh suatu kesimpulan bahwa; Pertama, dalam kasus ini dikeluarkannya UU No 17 Tahun 2016 dikarenakan pemerintah beranggapan kasus kekerasan seksual pada anak merupakan kejahatan luar biasa yang dapat mengancam dan membahayakan jiwa anak. Diharapkan dengan sanksi kebiri kimia ini dapat menurunkan jumlah kasus kekerasan seksual pada anak. Kedua, sanksi kebiri kimia telah mengabaikan dan bertentangan dengan substansi HAM dalam UUD NRI Tahun 1945 serta beberapa peraturan perundang-undangan lainnya. Selain itu jika dilihat dari pembentukan peraturan perundang-undangan maka dapat dikatakan jika UU No 17 Tahun 2016 telah melanggar asas kemanusiaan dan asas dapat dilaksanakan dalam UU No 12 Tahun 2011. Sanksi kebiri kimia juga akan sulit untuk diimplementasikan karena adanya penolakan dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk menjadi eksekutor dalam pelaksanaan kebiri kimia ini. Hal ini dapat menyebabkan sanksi ini menjadi tidak dapat dilaksanakan dan tidak efektif.

ABSTRACT
The number of sexual violence cases that occurs against children over the last few years has prompted the government to take steps an issue Government Regulation in law number 17 year 2016 on the enactment of Government Regulation in lieu of Law on the Republic of Indonesia Number 1 year 2016 on the Second Amendment to Law Number 23 year 2002 on Child Protection. That regulation has imposed the chemical penalty punishment for perpetrators of child sexual abuse. However, this regulation is inconsistent with the provision of Article 28G Paragraph (2) of the Constitution of the Republic of Indonesia year 1945 which guarantees everyone to be free from torture or degrading treatment of human dignity. Based on the above description, the authors will analyze the legal politics of the establishment of the Law Number 17 year 2016 and how the regulation of chemical in Law Number 17 Year 2016 from the perspective of human rights. From the research result, it can be concluded that; First, in this case the issuance in Law Number 17 year 2016 because the government considers that cases of sexual violence against children is an extraordinary crime and will be threatened and endanger the soul of the child. It is hoped that the sanction of chemical castraction can reduce the number of cases of sexual violence against children. Second, this sanction has ignored and contradicted to the human rights protection which guaranteed in the Constitution of the Republic of Indonesia year 1945 and the other of several laws and regulations. In addition, if be observed from the formulation of legislation it can be said that Law No. 17 of 2016 has violated the principle of humanity which regulated in Law No. 12 year 2011. The sanction of chemical castraction will also be difficult to implement because of the refusal of organization of Indonesian doctor to become executor of this sanction. This causes the sanction of chemical castraction can be unworkable and ineffective."
2017
T47748
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Triya Venisya Refsi Putri
"Penelitian ini membahas mengenai penerapan hukuman mati di Indonesia dalam kaitannya dengan implementasi norma HAM, dalam konteks hak untuk hidup. Kasus yang menjadi kajian dalam tulisan ini yaitu eksekusi terhadap Andrew Chan dan Myuran Sukumaran tahun 2015, yang meskipun mendapatkan banyak protes dari masyarakat internasional, eksekusi tersebut tetap dijalankan. Hal ini tidak sejalan dengan logika kepantasan terkait HAM, terlebih dikarenakan saat ini terdapat tren global untuk abolisi hukuman mati. Tujuan penelitian ini yaitu untuk memahami secara lebih mendalam alasan negara dalam menerapkan hukuman mati dan persepsi negara terhadap norma HAM dan hak untuk hidup. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan desain studi kasus. Metode pengumpulan data yang digunakan yaitu wawancara dan studi pustaka. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa implementasi norma HAM dan persepsi pemerintah sangat dipengaruhi oleh kontestasi situasi politik, sosial dan budaya setempat, serta kepemimpinan politik pada periode tersebut. Aspek-aspek tersebut dapat mengonstruksi suatu hal yang dianggap "benar" dan "pantas". Terkait HAM dan hak untuk hidup, Indonesia mempersepsikan hal ini sebagai suatu hal yang masih dapat dibatasi dengan mempertimbangkan kepentingan masyarakat, dan bahwa penerapan HAM merupakan urusan dalam negeri sehingga ada kecenderungan untuk menutup diri dari konteks internasional terkait hal ini.

This study discusses the use of the death penalty in Indonesia in relations to the implementation of human rights norms, in the context of the right to life. Case that is being used in this research is the execution of Andrew Chan and Myuran Sukumaran in the 2015, whom despite getting a lot of protest from international community, the execution keep going. This is not in line with the logic of appropriateness related to human rights, especially because there is a global trend towards abolition of the death penalty. The purpose of this research is to understand more deeply about the reasons behind the states application of the death penalty and the states perception about the human rights norms and the right to life. The results of this study indicate that the implementation of human rights and government perception is strongly influenced by the political contestation, social situations and cultures, as well as the political leadership in that period. These aspects can construct the things that is considered as "right" and "appropriate" . Related to human rights norms and the right to life, Indonesia perceives it as the thing that can be limited by considering the interests of society, and that the implementation of human rights is an internal affair so there is a tendency to close themselves off from the international context in this regard."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
S66369
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yoshi Dessiani
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan Partai Buruh
Australia untuk memprakarsai kebijakan perumahan National Affordable Housing
Agreement (NAHA) pada masa pemerintahan Kevin Rudd (2007-2010). Skripsi
ini adalah jenis penelitian kualitatif. Dengan menggunakan teori yang
dikonstruksikan oleh Katharine Dommett, penulis menegaskan bahwa tiga faktor
yang mempengaruhi keputusan Partai Buruh Australia untuk memprakarsai
kebijakan NAHA adalah (1) ideologi sosial demokrasi Partai Buruh Australia
sebagai prinsip dasar dalam proses pengambilan keputusan; (2) motivasi untuk
mewujudkan negara kesejahteraan yang dilihat berdasarkan sisi historis
karakteristik kebijakan Partai Buruh Australia; dan (3) tekanan kontekstual berupa
permasalahan keterjangkauan perumahan di Australia.
ABSTRACT
This study examines the factors affecting Australian Labor Party’s decision to
initiate National Affordable Housing Agreement (NAHA), a housing policy in the
era of Kevin Rudd’s government (2007-2010). This study is a qualitative research.
Applying the theory whose constructed by Katharine Dommett, the author
confirms that there are three factors affecting Australian Labor Party’s decision to
initiate NAHA; (1) social democratic ideology of the Australian Labor Party as a
basic principle in the decision-making process; (2) motivation to ensure the
welfare state, based on the historical characteristics of the Australian Labor
Party’s policy; and (3) contextual pressures from the housing affordability
problems in Australia."
2014
S60526
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>