Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 230876 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ikam Gading Fajar Romadhon
"Studi ini berupaya untuk menganalisis bagaimana persepsi masyarakat terhadap wacana anggota militer aktif untuk mengisi jabatan strategis di kementerian/lembaga di Indonesia. Studi sebelumnya menjelaskan bahwa secara historis militer dan sipil di Indonesia memiliki hubungan yang erat, terutama era orde baru. Studi-studi sebelumnya turut memperlihatkan bahwa terdapat sentimen dan pengaruh atas persepsi masyarakat terhadap militer. Selain itu, terdapat persepsi bahwa tokoh militer merupakan salah satu alternatif sebagai pemimpin, dan memiliki pengaruh dalam pemerintahan. Peneliti memiliki argumentasi bahwa persepsi masyarakat terkait dengan rencana pemerintah Indonesia untuk memperbolehkan anggota militer aktif untuk mengisi jabatan strategis di kementerian/lembaga akan menuai respon negatif dari setiap generasi yang ada, baik generasi Z, generasi milennial, dan generasi X akan cenderung memandang hal tersebut sebagai re-implementasi dwifungsi ABRI. Namun, peneliti memiliki keyakinan bahwa terdapat perbedaan cara pandang dari setiap generasi dalam melihat rencana kebijakan tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat persepsi yang bersifat negatif dan positif dari wacana kebijakan pemerintah tersebut, di mana generasi terdapat cara pandang yang berbeda yang ditunjukkan oleh Generasi X dalam menilai wacana kebijakan tersebut dibandingkan Generasi Z dan Generasi Y. Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif deskriptif yang akan mencari tahu bagaimana persepsi masyarakat dari setiap generasi yang berbeda melalui wawancara mendalam.

This study analyzes the public perception about the plan to let the active military to get the strategic position on ministry/government institution. Previous studies explain that Indonesia has a historical relationship with civil-military relations, especially in the new era. The previous studies also explained any sentiment of public perception about the military and how the public perception can influence the military and policy decisions. Besides that, the previous study also explained that the military figure can be the alternative leader and has an influence in government. Researcher has an argument that public perception about the to let active military members occupy strategic positions will get the negative responses from the public and think if it is the reimplementation of Dwifungsi ABRI. However, researcher is sure that the generation gap contributes to the different point of view from every generation to analyze that plan. The result of this research shows there are negative and positives public perception about the government plan, and the result also shows that any different point of view mechanism from Gen X than Gen Z and Y.   This research used descriptive qualitative research that will find out how the public perception from different generations through in-depth interviews."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ikhsan Yosarie
"Reformasi TNI telah mengamanatkan TNI kembali ke barak sebagai upaya memfokuskan TNI dengan tugas utamanya sebagai alat negara di bidang pertahanan, setelah sebelumnya pada masa Orde Baru militer terlibat aktif pada urusan sosial-politik. Sejumlah Peraturan Perundang-Undangan, di antaranya Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia menjadi payung hukum untuk memastikan reformasi TNI berjalan semestinya. Akan tetapi, nyatanya pascareformasi perluasan posisi militer pada jabatan sipil justru kembali terjadi. Penelitian ini menggunakan tipe penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus (case study). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penempatan prajurit TNI pada jabatan sipil di luar ketentuan UU TNI yang terjadi pascareformasi secara nyata kontradiktif dengan upaya reformasi TNI. Tiga faktor yang teridentifikasi menjadi penyebabnya adalah: (1) faktor kepemimpinan, (2) faktor struktur negara, dan (3) faktor organisasi militer. Melalui penempatan tersebut pemerintah membuka kembali keterlibatan TNI pada ruang-ruang sosial-politik, serta merupakan bentuk kontrol sipil subjektif sebagaimana dijelaskan Huntington (2003). Penempatan militer aktif pada sejumlah jabatan sipil tersebut bukan lagi bentuk intervensi militer, tetapi justru pejabat sipil yang menariknya kembali.

TNI reform has mandated that the TNI return to barracks in an effort to focus the TNI on its main task as an instrument of the state in the defense sector, after previously, during the New Order era, the military was actively involved in socio-political affairs. A number of laws and regulations, including Law No. 34 of 2004, concerning the Indonesian National Armed Forces, have become the legal umbrella to ensure TNI reform runs as it should. However, in fact, after the reformation, the expansion of military positions into civilian positions has reoccurred. This study uses a type of qualitative research with a case study approach. The results of this study indicate that the placement of TNI soldiers in civilian positions outside the provisions of the TNI Law that occurred post-reform is clearly contradictory to efforts to reform the TNI. Three factors were identified as the cause: (1) the leadership factor, (2) the state structure factor, and (3) the military organizational factor. Through this placement, the government reopened TNI involvement in socio-political spaces, which was a form of subjective civilian control, as explained by Huntington (2003). The placement of the active military in a number of civilian positions is no longer a form of military intervention; instead, civilian officials are withdrawing them."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Faiz Nur Abshar
"

Jabatan gubernur merupakan jabatan yang penting dan tidak boleh sekalipun dibiarkan kosong, sehingga saat seorang gubernur dan wakilnya telah habis masa jabatannya sebelum ada gubernur definitif, maka diangkat seorang penjabat (pj) gubernur yang akan melaksanakan fungsi dan tugas gubernur sampai gubernur definitif baru terpilih melalui pilkada. Dalam beberapa peristiwa, tidak jarang penjabat yang diangkat tersebut berasal dari kalangan TNI dan Polri. Namun, diantara semua penjabat yang berasal dari kalangan TNI dan Polri tersebut, hanya pengangkatan Mochamad Iriawan yang telah menimbulkan polemic, karena yang bersangkutan masih berstatus sebagai anggota Polri ketika diangkat sebagai penjabat (pj) gubernur. Oleh karena itu pengaturan mengenai prosedur pengangkatan penjabat (pj) gubernur dari kalangan TNI dan Polri serta legalitasnya menjadi latar belakang skripsi ini. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yuridis normatif dengan menggunakan tipe penelitian evaluatif dan tipe penelitian problem focused research. Sementara itu jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis data sekunder yang dianalisis menggunakan metode penelitian kepustakaan dan dilengkapi dengan wawancara sebagai konfirmasi dan keoptimalan analisa. Untuk bahan-bahan hukum dalam penelitian ini menggunakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Berdasarkan fakta-fakta yang telah diuraikan dalam kasus, diketahui bahwa Mochamad Iriawan masih berstatus sebagai anggota Polri saat dirinya dilantik. Hal ini berbeda dengan kasus-kasus pengangkatan Penjabat (Pj) Gubernur dari kalangan TNI dan Polri lainnya. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, penjabat (pj) gubernur diangkat dari kalangan jabatan pimpinan tinggi madya dan bagi anggota Polri dan TNI berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, harus mengundurkan diri terlebih dahulu untuk menduduki jabatan gubernur. Mengenai legalitasnya, setiap anggota TNI dan Polri tetap tunduk pada Undang-Undang yang mengatur instansinya masing-masing sekalipun mereka sudah menduduki jabatan pimpinan tinggi madya. Oleh karena itu agar tidak terjadi lagi polemik yang serupa, Pemerintah perlu mengikuti prosedur pengangkatan penjabat (pj) gubernur sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku serta lebih transparan dalam pengambilan suatu keputusan agar masyarakat lebih memahami alasan serta motivasi Pemerintah.


The position of governor is an important position and must not be left vacant, so that when a governor and his deputy have completed their term before a definitive governor is elected, an acting governor must be appointed to carry out the functions and duties of the governor until a new definitive governor is elected through the elections. In some occasion, the position of acting governor would be held by the appointees from the Armed Forces or Police. However, among all the officer who have been appointed for the position from the Armed Forces and Police, only the appointment of Mochamad Iriawan had caused a polemic since the latter was still a member of the national police force. Therefore the regulations regarding the procedure for appointing the acting governor from the Armed Forces and Police as well as it's legality is the background of this research. The research method used in this study is a normative juridical research method using evaluative research types and problem focused research types. Meanwhile the types of data used in this study is secondary data which will be analyzed using library research methods as well as interviews to confirm and optimize the analysis. For legal materials used in this study are primary legal materials, secondary legal materials, and tertiary legal materials. According to the facts in the case, Mochamad Iriawan was still a member of the National Police when he was appointed as the Acting Governor. Unlike the other appointed Acting Governors from the Armed Forces and Polri circles. Based on Regional Election Law, the acting governor was to be appointed from Jabatan Pimpinan Tinggi Madya holder and for members of the Police dan Armed Forces according to National Police Law and Armed Forces Law were to resign from their membership in order to take up the position of governor. Regarding its legality, each member of the Armed Forces and Police must to abide by the Law that regulates their respective institutions even though they have held the position of Jabatan Pimpinan Tinggi Madya. Therefore, in order to avoid a similar polemic, the Government needs to follow the procedure for appointing the acting governor according to the regulations and also needs to be more transparent in making decisions so that the public will have better understanding behind the reasons and motivations of the Government’s act.

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lathifah Alphiba Dalianti
"Pegawai Negeri Sipil merupakan tulang punggung pemerintahan, reformasi birokrasi yang dihendaki merubah paradigma dan konsep dalam struktur pemerintahan, salah satunya yakni untuk menempatkan orang-orang atau aparatur yang tepat mengisi Jabatan dalam struktur pemerintahan tersebut atau sering disebut dengan istilah the right man on the right position, termasuk dalam pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) dengan sistem seleksi terbuka. Pengisian Jabatan dalam UU ASN dapat berasal dari ASN atau dari TNI/Polri Aktif untuk jabatan tertentu di Instansi tertentu. Permasalahannya adalah di Kementerian Ketenagakerjaan terdapat JPT madya yang diisi oleh Polri Aktif, serta adanya wacana Perwira TNI aktif akan mengisi JPT untuk mengatasi surplus perwira, wacana ini menimbulkan banyak pro-kontra.  Melalui metode penelitian dengan tipologi Yuridis Normatif, menggunakan pendekatan Hukum Eksplanatoris. Penulisan ini menggunakan teknik pengumpulan data dalam bentuk studi kepustakaan dan pada penelitian ini data dianalisis secara deksriptif dengan bentuk penelitian kualitatif. Berdasarkan hasil data yang diperoleh terdapat kesimpulan, legalitas dari polri aktif yang menjabat JPT di kemnaker adalah tidak tepat/ilegal, secara normatif pengaturan tentang Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi oleh TNI/Polri aktif hanya untuk 10 instansi yang disebutkan secara limitatif dalam Pasal 47 UU TNI, seharusnya polri tersebut mengundurkan diri terlebih dahulu. Selain itu ditinjau dari Pengaruh Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi oleh Tentara Nasional Indonesia/Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia aktif dilihat dari aspek sejarah menimbulkan ketidaknetran Aparatur Sipil Negara, terutama pada saat Orde Baru di mana TNI menduduki jabatan pada birokrasi. Ketidaknetralan dari Aparatur Sipil Negara mengakibatkan munculnya adanya Inefisiensi dalam bernegara, banyaknya praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, tidak tercapainya good governance, selain itu juga munculnya resiko konflik kepentingan karena menjabat dalam dua institusi yang berbeda, konflik kepentingan dapat menggerus kepercayaan publik terhadap ASN sehingga wacana mengenai TNI/Polri aktif dapat menduduki jabatan sipil perlu dipertimbangkan kembali.

Civil Servants are the backbone of government, bureaucratic reforms are required to change the paradigm and concepts in the governance structure, one of which is to place the right people or apparatus to fill positions in the government structure or often referred to as the right man on the right position , including in filling in the High Leadership Position (JPT) with an open selection system. Position filling in the ASN Law can come from ASN or from the TNI/National Police Active for certain positions in certain agencies. The problem is that at the Ministry of Manpower there is an intermediate JPT filled by Active Police, and the discourse of active TNI Officers will fill the JPT to overcome the officer surplus, this discourse raises many pros and cons. Through research methods with normative juridical typology, using explanatory legal approaches. This writing uses data collection techniques in the form of library studies and in this study the data were analyzed descriptively in the form of qualitative research. Based on the results of the data obtained there are conclusions, the legality of active police officers serving JPT in the Ministry of Manpower is illegal, normative arrangements regarding the filling in of High Leadership positions by the TNI/Polri are active only for 10 institutions which are stated limitedly in Article 47 of the TNI Law. resign first. In addition, in terms of the influence of the filling of the High Leadership Position by the Indonesian National Army/Members of the Republic of Indonesia National Police, it was seen from the historical aspect that it caused the irregularities of the State Civil Apparatus, especially during the New Order where the TNI occupied the bureaucracy. The neutrality of the State Civil Apparatus resulted in the emergence of Inefficiencies in the state, the many practices of Corruption, Collusion and Nepotism, the failure to achieve good governance, besides the risk of conflict of interest because of serving in two different institutions, conflicts of interest could undermine public trust in the ASN so that discourse regarding active TNI/Polri can occupy civilian positions need to be reconsidered."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T54282
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gusta Ardianto
"Birokrasi pemerintah di Indonesia saat ini masih kurang dipercaya oleh publik sebagai penopang keberlanjutan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hal ini tentu diperlukan aksi nyata dari Pemerintah dengan memperkuat dan membangun kepercayaan masyarakat kembali terhadap Birokrasi pemerintah. Perkuatan birokrasi di Indonesia hanya dapat dicapai apabila Pemerintah memiliki komitmen yang kuat untuk melakukan Reformasi Birokrasi.
Reformasi birokrasi dilaksanakan salah satunya melalui reformasi dari aparatur sipil negara, karena aparatur sipil negara memiliki kedudukan dan peranan yang sangat penting dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan. Arti penting dari reformasi dari aparatur sipil negara tersebut dikaitkan dengan pengisian jabatan strategis yang diisi oleh Pegawai Negeri Sipil.
Jabatan yang sangat strategis dalam pelaksanaan reformasi birokrasi terkait aparatur sipil negara adalah Jabatan Pimpinan Tinggi Aparatur Sipil Negara. Pelaksanaan pengisian jabatan pimpinan tinggi aparatur sipil negara telah dilaksanakan dengan secara terbuka dan kompetitif di kalangan Pegawai Negeri Sipil sebagaimana prinsip transparansi sehingga Reformasi Birokrasi di Indonesia dapat terlaksana.

Bureaucracy in Indonesia still less trusted by the public as the support of sustainable development and improving people's welfare. It is certainly necessary real action from the Government to strengthen and build public confidence back to the government bureaucracy . Retrofitting bureaucracy in Indonesia can only be achieved if the government has a strong commitment to do Reforms.
Bureaucratic reforms implemented one of them through the reform of the civil apparatus , because state civil apparatus has a position and a very important role in the implementation of governmental functions . The significance of the reform of the civil apparatus associated with filling strategic positions filled by Civil Servants.
Strategic positions in the bureaucracy reform related civil apparatus is a high position of civil apparatus. The implementation of charging high positions of the Civil Apparatus at government agencies has been implemented in an open and competitive of the Civil Servants as the principle of transparency so Reforms in Indonesia can be accomplished.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
T43038
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zahrotul Munawwaroh
"Teknologi komunikasi personal telah tersebar di berbagai kelompok usia, membuat hubungan antara manusia dengan teknologi terjadi semakin mendalam. Berdasarkan orientasi teoritis apparatgeist, penelitian ini mengkomparasi persamaan dan perbedaan persepsi serta penggunaan smartphone pada pekerja migran Indonesia yang mendapatkan kehidupan krusial, dukungan sosial, serta mencapai tujuan melalui smartphone. Menggunakan paradigma positivis, pendekatan kuantitatif, metode survei terhadap 142 responden, dan menganalisis 6 variabel dependen menggunakan ANOVA serta post hoc, hasil menunjukkan bahwa tidak semua hipotesis yang diajukan dapat diterima. Dari penelitian ini didapatkan hasil bahwa persamaan dari generasi X, Y, dan Z terdapat pada variabel sikap terhadap smartphone di ruang publik dan penggunaan smartphone untuk tujuan instrumental. Generasi Z memiliki frekuensi komunikasi yang lebih intens melalui pesan serta penggunaan smartphone untuk tujuan ekspresif. Generasi Y memiliki kecenderungan paling tinggi dalam mempersepsikan smartphone sebagai barang fashion berdasarkan tampilannya dan memiliki toleransi yang paling tinggi dalam penggunaan smartphone di ruang publik. Generasi X memiliki tujuan paling kuat dalam menggunakan smartphone untuk keamanan.

Widespread of personal communication technology across various age groups create a deeper relation between machines and humans. Based on the apparatgeist theoretical orientation, this study compares the similarities and differences in perceptions and use of smartphones among Indonesian migrant workers who obtain crucial livelihoods, social support, and achieve goals through smartphones. Using a positivist paradigm, a quantitative approach, a survey method of 142 respondents, and an analysis of six dependent variables using ANOVA and post hoc tests, the results show that not all hypotheses can be accepted. The findings suggest similarities between the X, Y, and Z generations in the variables of attitudes toward smartphones in public spaces and the use of smartphones for instrumental purposes. Generation Z has the highest frequency of communication through messages and the use of smartphones for expressive purposes. Generation Y has the highest tendency to perceive smartphones as fashion items based on their appearance and has the highest tolerance for using smartphones in public spaces. Generation X has the strongest intentions of using smartphones for safety/security."
Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Guspita Arfina
"Proses pengisian jabatan hakim konstitusi merupakan salah satu persoalan mendasar pada sistem peradilan Mahkamah Konstitusi. Seleksi yang dilakukan dapat memengaruhi kualitas, kinerja dan keputusan dari seorang hakim. Menurut, Pasal 24C ayat 3 UUD NRI 1945, Mahkamah Konstitusi memiliki sembilan orang hakim yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Presiden. Pada praktiknya, ketiga lembaga negara tersebut memiliki perbedaan dalam proses seleksi hakim konstitusi. Perbedaan terjadi karena tidak terdapat peraturan yang jelas yang mengatur standar seleksi tersebut. Penelitian ini dilakukan untuk mencari tahu aturan dan mekanisme pengisian jabatan hakim konstitusi yang dilakukan saat ini sehingga konsep yang ideal dapat diformulasikan khususnya untuk Presiden. Metode penelitian adalah yuridis-normatif yang mengacu pada norma hukum dalam peraturan perundang-undangan. Analisis berupa pembahasan mengenai kesesuaian antara penerapan prinsip transparansi, partisipasi, objektivitas dan akuntabilitas yang diatur dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dengan praktek dilakukan oleh Presiden. Ketiadaan peraturan yang jelas mendorong perumusan peraturan agar mengatur secara jelas standar seleksi hakim konstitusi melalui undang-undang yang berlaku bagi seluruh lembaga negara atau melalui peraturan presiden yang berlaku khusus untuk Presiden sebagai salah satu lembaga negara. Penelitian akan mencoba memberikan saran pelaksanaan seleksi terbuka melalui panitia seleksi guna memenuhi penerapan empat prinsip pengisian jabatan hakim konstitusi. Proses pengisian jabatan hakim konstitusi merupakan salah satu persoalan mendasar pada sistem peradilan Mahkamah Konstitusi. Seleksi yang dilakukan dapat memengaruhi kualitas, kinerja dan keputusan dari seorang hakim. Menurut, Pasal 24C ayat 3 UUD NRI 1945, Mahkamah Konstitusi memiliki sembilan orang hakim yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Presiden. Pada praktiknya, ketiga lembaga negara tersebut memiliki perbedaan dalam proses seleksi hakim konstitusi. Perbedaan terjadi karena tidak terdapat peraturan yang jelas yang mengatur standar seleksi tersebut. Penelitian ini dilakukan untuk mencari tahu aturan dan mekanisme pengisian jabatan hakim konstitusi yang dilakukan saat ini sehingga konsep yang ideal dapat diformulasikan khususnya untuk Presiden. Metode penelitian adalah yuridis-normatif yang mengacu pada norma hukum dalam peraturan perundang-undangan. Analisis berupa pembahasan mengenai kesesuaian antara penerapan prinsip transparansi, partisipasi, objektivitas dan akuntabilitas yang diatur dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dengan praktek dilakukan oleh Presiden. Ketiadaan peraturan yang jelas mendorong perumusan peraturan agar mengatur secara jelas standar seleksi hakim konstitusi melalui undang-undang yang berlaku bagi seluruh lembaga negara atau melalui peraturan presiden yang berlaku khusus untuk Presiden sebagai salah satu lembaga negara. Penelitian akan mencoba memberikan saran pelaksanaan seleksi terbuka melalui panitia seleksi guna memenuhi penerapan empat prinsip pengisian jabatan hakim konstitusi.

The process of filling the position of constitutional court justices is one of the fundamental issues in judicial system, especially the Constitutional Court. Under the provisions of Article 24C Paragraph 3 of 1945 Constitution of the Republic of Indonesia, the Indonesian Constitutional Court has nine justices, nominated by Supreme Court, People 39 s Legislative Assembly, and President. The three state institutions have differences in selecting justices because of lack of clear regulation as standard for the selection. Therefore, research is conducted to find out current regulations and mechanisms of selecting justices so that later the ideal concept can be formulated, particularly for the President. The research method is juridical normative method that refers to legal norms in legislation. Analysis is conducted by discussing the conformity between the implementation of transparency, participation, objectivity and accountability principles that have been regulated in the Constitutional Court Law with practices conducted by President. The lack of clear regulation encourages the formulation of regulation that clearly regulates standard selecting justices through applicable laws for three state institutions or presidential decree specifically for President. Furthermore, the research will try to advise the implementation of open selection through selection committee to fulfill the implementation of principles in selecting the justices.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heru Suroso
"Badan Pertimbangan Jabatan dan Golongan (BPJG) merupakan badan yang dibentuk untuk menjamin objektivitas dan kualitas proses pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian pejabat struktural unit kerja di BP Batam. Dalam pelaksanaan tugasnya, BPJG menggunakan sistem Human Resource Management (HRM) untuk mendukung proses seleksi calon pejabat, namun sistem HRM ini belum dapat menghasilkan daftar calon yang memenuhi syarat untuk diseleksi menjadi pejabat struktural secara otomatis. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menemukan pola pengisian daftar calon pejabat struktural BP Batam berdasarkan data riwayat jabatan yang ada di sistem HRM (2010-2020) menggunakan teknik data mining, sehingga diharapkan dapat mempercepat proses penyusunan daftar calon pejabat struktural BP Batam oleh BPJG dan dapat digunakan untuk mengembangkan fitur dashboard talent pool pegawai BP Batam. Tahapan penelitian ini dilakukan menggunakan metodologi CRISP-DM dan tiga algoritme data mining klasifikasi yaitu Decision Tree, Support Vector Machine (SVM), dan Naive Bayes. Model klasifikasi Decision Tree menghasilkan performa terbaik pada dua skenario eksperimen yang dilakukan, yaitu skenario class imbalanced dataset dan skenario class balanced dataset. Model klasifikasi Decision Tree menghasilkan 25 pola pengisian jabatan struktural di BP Batam dan atribut Golongan BP merupakan atribut yang paling menentukan untuk memprediksi suatu tingkat jabatan.

Badan Pertimbangan Jabatan dan Golongan (BPJG) was formed to guarantee the objectivity and quality process of promotion, mutation and dismissal structural official at BP Batam. BPJG uses the Human Resource Management (HRM) system to support the selection process for prospective officials, however this system unable to automatically produce a list of candidates who meet the requirements to be selected as official. The objective of this research is to find patterns in filling the list of candidates for structural officials based on historical data in the HRM system using data mining techniques, so it will accelerate the process of compiling a list of candidates for structural officials by BPJG and also it can help BP Batam to develop employee talent pool feature for HRM. This research were carried out using the CRISP-DM methodology and three classification algorithms namely Decision Tree, SVM, and Naive Bayes. The Decision Tree classification model yields the best performance in the two experimental scenarios, namely the class imbalanced dataset and the class balanced dataset. The Decision Tree classification model yields 25 patterns for filling the list of candidates for structural officials and Golongan BP attribute is the most decisive attribute for predicting a position level. "
Depok: Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Deni Angela
"Tulisan ini menganalisis penempatan TNI aktif dalam jabatan sipil berdasarkan peraturan perundang-undangan beserta dampak penerapan hukum atas penempatan TNI aktif dalam jabatan sipil pasca pengesahan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023. Penempatan TNI aktif dalam jabatan sipil merupakan terobosan baru dalam UU ASN No. 20 Tahun 2023, yakni penempatan secara timbal balik hubungan TNI aktif dalam jabatan sipil tertentu dan pegawai ASN di ranah TNI sebagaimana di atur di dalam Pasal 19 UU ASN No. 20 Tahun 2023. Normativitas pasal tersebut dihubungkan dengan UU TNI dan UU ASN terbaru yang juga mempunyai konsep masing-masing penempatan TNI aktif dalam suatu jabatan sipil dan militer. Penemuan atas suatu friksi yang menimbulkan dampak atas penerapan hukum dan analisa dari aspek kebijakan, kelembagaan, kompetensi dan budaya hukum antara TNI dengan jabatan ASN sangat melekat pada pokok permasalahan. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitis dengan pendekatan yang bersifat doktrinal. Penelitian menempatkan hukum sebagai sistem norma dan menekankan kepada objek kajian hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau kaidah. Penelitian jenis ini merupakan penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti data sekunder dan bahan Pustaka. UU Nomor 20 Tahun 2023 terlihat ada masalah dalam hubungan jabatan timbal-balik (resiprokal), karena tidak adanya batasan jabatan yang dapat diduduki TNI aktif pada jabatan sipil, hal ini barakibat perluasan jabatan TNI aktif dalam jabatan sipil, sementara penempatan sipil pada jabatan TNI hanya memperbolehkan sipil menduduki jabatan-jabatan non manajerial untuk jabatan yang besinggungan dengan komando sipil tidak diperbolehkan untuk menempatinya. Perkembangan normatif terhadap penempatan TNI aktif dalam jabatan sipil sudah tidak lagi mencerminkan apa yang diamanatkan oleh UU Nomor 34 Tahun 2004 Tentang TNI. Dampaknya terlihat dari adanya disharmonisasi peraturan terlihat dari bagian konsideran yang menjadi pokok pikiran sebuah undang-undang, yang mana TNI dalam anggapan UU TNI menilai secara fungsional sebagai alat pertahanan negara dan berada dalam tugas mengatasi ancaman militer serta ancaman bersenjata, sedangkan UU ASN sendiri berada dalam orientasi yang mengarah pada pelayanan publik. Tidak seragamnya arah dan pokok pikiran peraturan juga sedemikian rupa terlihat dari pasal penempatan jabatan sipil oleh TNI yang dibatasi setidaknya dalam UU TNI, yang mana setidaknya masih dalam irisan pertahanan negara. Hal ini mengancam lahirnya dwifungsi ABRI seperti yang terjadi pada zaman orde baru serta ketidakseragaman budaya birokrasi dari struktur hierarkis dan prinsip komando. Pemerintah melalui Dewan Perwakilan Rakyat harus melakukan reformulasi terhadap UU ASN yang jelas telah bertentangan dengan semangat reformasi membatasi jabatan sipil, sehingga harus menyelaraskan dengan UU TNI dengan beberapa pengecualian di bidang posisi sebagaimana Pasal 47 UU TNI.

This paper analyzes the placement of active TNI in civilian positions based on legislation and the impact of legal application on the placement of active TNI in civilian positions after the ratification of Law Number 20 of 2023. The placement of active TNI in civilian positions is a new breakthrough in ASN Law Number 20 of 2023, namely the reciprocal placement of active TNI relations in certain civilian positions and ASN employees in the TNI realm as regulated in Article 19 of ASN Law No. 20 of 2023. The normativity of the article is linked to the TNI Law and the latest ASN Law which also have their respective concepts of placing active TNI in a civilian and military position. The discovery of a friction that has an impact on the application of law and analysis from the aspects of policy, institutions, competence and legal culture between the TNI and ASN positions is very much attached to the main problem. The research method used is descriptive analytical with a doctrinal approach. The research places the law as a system of norms and emphasizes the object of legal studies that are conceptualized as norms or rules. This type of research is legal research conducted by examining secondary data only and library materials. Law Number 20 of 2023 shows that there are problems in reciprocal position relationships, because there are no restrictions on positions that can be occupied by the active TNI in civilian positions, this has resulted in the expansion of active TNI positions in civilian positions, while civilian placement in TNI positions only allows civilians to occupy non-managerial positions for positions that intersect with civilian commands are not allowed to occupy them. Normative developments towards the placement of active TNI in civilian positions no longer reflect what is mandated by Law Number 34 of 2004 concerning TNI. The impact can be seen from the disharmony of regulations seen from the preamble which is the main thought of a law, where the TNI in the assumption of the TNI Law assesses functionally as a means of national defense and is in the task of overcoming military threats and armed threats, while the ASN Law itself is in an orientation that leads to public services. The non-uniformity of the direction and subject matter of the regulations is also in such a way that it can be seen from the article on the placement of civilian positions by the TNI which is limited at least in the TNI Law, which is at least still in the intersection of national defense. This threatens the birth of ABRI's dual function as happened during the New Order era as well as the non-uniformity of the bureaucratic culture of hierarchical structures and command principles. The government through the House of Representatives must reformulate the ASN Law which has clearly contradicted the spirit of reform to limit civilian positions, so that it must harmonize with the TNI Law with several exceptions in the field of positions as in Article 47 of the TNI Law."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sidauruk, Averin Dian Boruna
"Tulisan ini menganalisis penyimpangan teori kontrol sipil dalam pengisian kekosongan jabatan penjabat kepala daerah dan bagaimana idealnya pengangkatan penjabat kepala daerah tersebut harus mengutamakan supremasi sipil. Tulisan ini disusun menggunakan metode penelitian doktrinal. Teori kontrol sipil melihat bagaimana hubungan sipil-militer dalam penyelenggaraan pemerintahan di suatu negara. Akan bersifat subjektif apabila terjadi pelemahan fungsi militer atau politisasi militer dan akan bersifat objektif apabila militer menjadi institusi yang professional. Perwujudan negara hukum yang demokratis terlihat dari implementasi kontrol sipilnya. Kewenangan militer yang terbatas pada pertahanan dan keamanan negara mendesak mereka menjadi sebuah institusi yang harus mengutamakan profesionalisme.Supremasi sipil terwujud apabila negara mampu memberikan batasan kewenangan militer atas pemerintahan sipil. TAP MPR No. VII/MPR/2000 menegaskan selain TNI dilarang untuk terlibat dalam kehidupan politik dan kegiatan politik praktis, TNI hanya diperbolehkan untuk menduduki jabatan sipil apabila telah pensiun atau mengundurkan diri. UU No. 34 Tahun 2004 membuka jalan keterlibatan TNI aktif menduduki jabatan sipil diikuti dengan Putusan MK No. 15/PUU-XX/2022 yang memperbolehkan TNI/Polri menjadi penjabat kepala daerah. Pengangkatan Penjabat Bupati Kabupaten Seram Bagian Barat pada tahun 2022 yang lalu bertentangan dengan teori kontrol sipil karena menempatkan militer akif menduduki jabatan sipil yang cenderung bersifat politis karena kewenangan yang melekat padanya. Pengisian jabatan penjabat kepala daerah seharusnya lebih mengutamakan supremasi sipil dan TNI harus mengedepankan profesionalisme institusinya dengan membatasi keterlibatannya dalam pemerintahan sipil karena cakupan kewenangan TNI ialah sebagai alat pertahanan dan keamanan negara.

This article analyzes deviations from the theory of civil control in filling vacancies in the position of acting regional head and how ideally the appointment of acting regional heads should prioritize civilian supremacy. This article was prepared using doctrinal research methods. Civil control theory looks at how civil-military relations play out in the administration of government in a country. It would be subjective if there is a weakening of military functions or politicization of the military and it would be objective if the military becomes a professional institution. The realization of a democratic rule of law could be seen from the implementation of civilian control itself. The military's constrained mandate for national defense and security necessitates its transformation into an institution that prioritizes professionalism. Civil supremacy is occured if the state is able to limit military authority over civilian government. Decree of MPR No. VII/MPR/2000 emphasized that apart from the TNI being prohibited from being involved in political life and practical political activities, the TNI were only allowed to hold civilian positions if they had retired or resigned. Law No. 34 of 2004 paved the way for the active TNI involvement in civilian positions followed by Constitutional Court Decision No. 15/PUU-XX/2022 which allows the TNI/Polri becomes acting regional heads. The appointment of the Acting Regent of West Seram Regency in 2022 runs counter to the principle of civilian control, as it involves placing active military personnel in civilian roles that often have political implications due to the associated authority. Filling the position of acting regional head should prioritize civilian supremacy and the TNI must prioritize the professionalism of its institutions by limiting its involvement in civilian government because the scope of the TNI's authority is as a means of state defense and security."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>