Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 67573 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Logan Gunadi Wirawan
"Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan fenomena mahasiswa sebagai korban pinjol ilegal dan mengidentifikasi aspek kehidupan akademis yang mendorong mahasiswa menjadi pengguna pinjol ilegal. Pegumpulan data dilakukan melalui wawancara terstruktur kepada tujuh mahasiswa korban pinjol ilegal. General strain theory digunakan untuk menjelaskan bagaimana lingkungan akademis menghasilkan tekanan yang mendorong mahasiswa menjadi pengguna pinjol ilegal. Analisis strain digunakan untuk mengkaji eksploitasi finansial, teror, dan intimidasi yang dialami mahasiswa selama dan setelah menjadi korban pinjol ilegal. Penelitian ini menemukan bahwa mahasiswa mengalami strain dalam menjalani kehidupan akademis, berupa konflik peran dan kegagalan memenuhi tanggung jawab sebagai mahasiswa dan tanggung jawab sebagai anak di dalam keluarga. Biaya pendidikan yang terus meningkat mahasiswa tidak memiliki akses penghasilan yang stabil karena keterbatasan pengalaman dan waktu menciptakan tekanan finansial. . Sementara beasiswa dan keringanan biaya akademis pada umumnya memiliki syarat yang terlalu rumit untuk diakses, sehingga tidak dapat membantu semua mahasiswa. Strain yang dialami membuat mengalami gangguan mental seperti stres, kecemasan, dan paranoia. Dalam kondisi strain mahasiswa terdorong untuk mencari solusi cepat dengan cara apapun, termasuk pinjol ilegal, sehingga mengabaikan risiko dan bahaya dari solusi tersebut.

This research means to explain the growing phenomena of students as victims of illegal online lending and to identify aspects of academic living that push students to take on illegal debt. This research utilizes structured interviews to obtain data from seven student victims of illegal online lending. General strain theory is used to explain how academic environments create pressures on students that causes disturbances among students that lead to illegal online loan use. Strain analysis is used to gauge how students experience victimization from the financial exploitation, terror, and intimidation they undergo while or after using illegal online loans. This research's findings identify two main sources of strain among students. First is the social pressure for students to perform academically, causing students who fail to uphold social expectations to experience strain. Second is the rising price of academic participation, with rising tuition costs and high costs associated with maintaining academic presence. Students are also found to have very minimal ways to obtain a stable income because of their lack of experience and time. Scholarships and fee waivers are found to have too many complicated requirements to be able to reach all students who are suffering from financial problems. All those issues found cause students to experience strain that disturbs students and causes mental distress in the form of stress, anxiety, and paranoia. Under strain, students are pushed to utilize any solution available to them, including illegal online lending, causing them to ignore any risks and dangers associated with aforementioned solutions."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ryesfa Umamy
"Tugas karya akhir ini membahas mengenai financial technology peer-to-peer lending atau pinjaman online ilegal sebagai bentuk kejahatan yang difasilitasi teknologi yang terjadi di ruang siber. Studi ini melakukan melakukan analisis terhadap data dari akun @PinjolLaknat, yang memperlihatkan adanya viktimisasi terhadap konsumen aplikasi pinjaman online ilegal. Menggunakan teori aktivitas rutin, diidentifikasi adanya pelaku yang termotivasi melakukan kejahatan yaitu pemilik aplikasi pinjaman online ilegal yang melakukan kejahatan pencurian identitas. Sasaran atau suitable target dari pelaki adalah anggota masyarakat atau konsumen yang memiliki data sebagai jaminan. Identifikasi selanjutnya adalah adanya ketidakmampuan untuk melakukan penjagaan oleh pemerintah. Pemerintah memiliki peran penting untuk memastikan keamanan data masyarakat serta akses untuk pemberian pinjaman. Dari tiga identifikasi teori aktifitas rutin, bisa menjelaskan bagaimana proses viktimisasi yang terjadi pada korban. Dari tulisan ini menghasilkan bahwa korban selain mengalami kondisi viktimisasi, juga mereka mengalami digital divide atau ketimpangan dalam kemampuan untuk mengakses internet. Tidak adanya tanggung jawab formal dari lembaga negara, memunculkan adanya kontrol sosial informal dengan bentuk digital activism yaitu @PinjolLaknat.

This final work assignment discusses financial technology peer-to-peer lending or illegal online lending as a form of technology-facilitated crime that occurs in cyberspace. This study conducts an analysis of data from the @PinjolLaknat account, which shows the victimization of consumers of illegal online loan applications. Using routine activity theory, it is identified that there are actors who are motivated to commit crimes, namely owners of illegal online loan applications who commit identity theft crimes. The target or suitable target for men is members of the public or consumers who have data as collateral. The next identification is the inability to carry out security by the government. The government has an important role to play in ensuring public data security and access to lending. From the three identification theories of routine activities, it can explain how the victimization process occurs in victims. From this paper it results that victims besides experiencing victimization conditions, they also experience digital divide or inequality in the ability to access the internet. The absence of formal responsibility from state institutions has led to informal social control in the form of digital activism, namely @PinjolLaknat."
2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yuri Ananda Putri
"ABSTRAK
Perdagangan senjata ilegal bukan merupakan suatu permasalahan yang baru, namun yang menjadi perhatian saat ini adalah aktivitas tersebut yang terfasilitasi karena adanya ruang cyber. Keberadaan ruang cyber telah membantu berjalannya aktivitas perdagangan senjata ilegal dan memberikan keuntungan bagi pelaku. Tugas Karya Akhir ini membahas perpindahan aktivitas perdagangan senjata ilegal dari ruang fisik menuju ruang cyber. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk mengetahui penyebab perpindahan yang dilakukan oleh para pelaku dengan melihatnya dari konsep agent pada model for relationships in crime, teori crime triangle, dan dilengkapi dengan space transition theory. Pada tulisan ini, ditemukan bahwa perpindahan ini dipicu karena ruang cyber memberikan kesempatan bagi pelaku untuk melarikan diri dari tindakan yang dilakukan melalui anonimitas yang ditawarkan oleh ruang cyber, lemahnya pengawasan baik melalui regulasi maupun aparat penegak hukum, dan sifat spasio temporal ruang cyber yang dinamis menjadikan aktivitas yang dilakukan dapat diakses oleh siapapun dan kapanpun sehingga membantu pelaku memperluas dan mengembangkan aktivitas perdagangan senjata ilegal yang dilakukan.

ABSTRACT
Illegal weapons trading is not a new issue, but the concern now is that the activity is facilitated by the existence of cyberspace. The existence of cyberspace has helped to drive illegal weapons trade activities and provide benefits for the offenders. This final project task discusses the shifting activity of illegal arms trade from physical space to cyberspace. The purpose of this final project is to find out the causes of displacement by the offender by looking at the concept of agent on models for relationships in crime, crime triangle theory, and equipped with space transition theory. In this paper, it is found that this movement is triggered because the cyberspace provides an opportunity for the offender to escape from the their criminal act through the anonymity offered by the cyberspace, the weakness of oversight both through regulation and law enforcement officers, and the dynamic spatio temporal nature of cyberspace activities can be accessed by anyone and anytime so as to help the offenders expand and develop illegal weapons trading activities undertaken. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andri Yoga Putra
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2006
TA610
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Visilia
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2006
TA738
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Randal Sartony
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2008
S35317
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Riza Suarga
"Penelitian ini menjelaskan suatu permasalahan sosial yang ditemukan di era reformasi yaitu bagaimana proses yang terjadi ketika para pihak mulai mempersoalkan pemahaman tentang illegal logging dalam konteks pengelolaan sumber daya hutan di Indonesia khususnya temuan pada kasus Adelin Lis di Sumatera Utara, seorang pengusaha yang memiliki izin resmi namun dituntut secara pidana di dalam wilayah kerjanya sendiri, karena setelah jatuhnya rezim Orde Baru muncul pihak-pihak yang merasa tidak puas dengan sistem serta aturan pengelolaan hutan yang selama ini menjadi pedoman bersama dalam bingkai aturan perundangan negara buatan para rimbawan.
Dalam merangkai penjelasan berdasarkan temuan-temuan yang diperoleh maka penelitian ini bertujuan untuk pertama memahami bagaimana para pihak melakukan perang wacana tentang illegal logging sehingga kemudian illegal logging tersebut bisa memiliki definisi ganda yaitu ia merupakan sebuah pelanggaran administratif tapi juga bisa diinterpretasikan sebagai pelanggaran pidana, sehingga untuk itu pulalah penelitian ini kemudian memilih rimbawan dan pihak-pihak lain yang berbeda konsep sebagai subyek kajian. Kedua, kehidupan berbangsa di Indonesia dalam 14 (empat belas) tahun terakhir pasca reformasi diwarnai dengan proses transisi demokratisasi yang memberikan ruang teramat luas bagi kebebasan berekspresi serta masuknya pengaruh global ke dalam segala aspek termasuk sektor kehutanan, pengelolaan sumber daya hutan dan tata aturan pengelolaan hutan yang selama ini menjadi pedomannya. Untuk itu dalam penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bahwa dalam penerapan konsep-konsep wacana yang berideologikan pengaruh global sebagaimana diungkapkan di atas ternyata memiliki muatan persaingan kepentingan yaitu utamanya kepentingan persaingan usaha yang bermotifkan ekonomi. Ketiga, perkembangan spesialisasi ilmu dalam ilmu Antropologi semakin berkembang dan dinamis, salah satunya adalah penggunaan teori analisa diskursus.
Analisa diskursus merupakan alternatif yang semakin populer belakangan ini karena mampu menggelar proses argumentatif secara scientific terhadap proses-proses legitimasi kekuasaan metode masa kini yang lebih mengedepankan proses penyebaran informasi melalui media. Asumsi dasar dari perkembangan teori diskursus belakangan ini adalah karena sejarah dan manusia ditentukan oleh adanya knowledge production (pengetahuan yang diproduksi) dan pemahaman atas berbagai hal yang terjadi di dunia yang diinterpretasi secara kolektif (Arts dan Buizer, 2009: hal. 340). Dalam sebuah ?pertarungan? sosial, antropologi mampu menyajikan proses konstruksi para pihak ketika mereka berkompetisi secara holistik, bukan sekedar membuktikan siapa pihak yang menang atau yang kalah. Analisa diskursus menyajikan proses konstruksi argumentatifnya dengan cara yang lebih runut serta rinci.
Dalam penelitian ini ingin memperlihatkan bagaimana pentingnya Antropologi terhadap spesialisasi analisa diskursus, dan begitu pula sebaliknya bagaimana pentingnya analisa diskursus terhadap Antropologi secara umum. Keempat atau terakhir, adalah tujuan praktis dalam pembentukan maupun pertarungan wacana persoalan illegal logging ke depan. Penelitian ini ingin menunjukkan bahwa perdebatan serta variasi pemahaman para pihak tentang illegal logging ini sesungguhnya memiliki makna kepedulian masyarakat dunia tentang lingkungan yang lebih besar. Masing-masing pihak memiliki intensi atau niat yang baik yaitu mereka peduli tentang masa depan dunia yang lebih baik sehingga untuk itu dibutuhkan pengelolaan lingkungan khususnya sumber daya hutan yang lebih bertanggung jawab demi kepentingan bersama. Seperti yang telah diungkapkan lebih awal, konsep-konsep yang membentuk tinjauan konseptual dalam penelitian ini adalah konsep analisa wacana dan konsep legitimasi diskursus yang memiliki muatan ideologi neoliberalisme.
Adapun pemahaman prinsipiil yang saya mengerti dari kedua konsep tersebut adalah bagaimana memecahkan suatu topik yang kompleks atau substansi menjadi beberapa bagian yang lebih kecil dan detail demi mendapatkan pemahaman yang lebih baik (Arts dan Buizer, 2009: hal. 341), kemudian menjalankan suatu tindakan melalui rangkaian proses yang telah dianggap mantap dan seringkali rutin ketika mencoba mengkonversi suatu pemaknaan dari satu bentuk menjadi bentuk yang lainnya (Sokal dan Bricmont, 1998 dalam Humphreys, 2009: hal. 319), dan memasukkan unsur norma serta nilai dalam kategori relatifisme moral untuk mendalami bagaimana sesungguhnya diskursus tetap diklaim atau dianggap etis oleh kelompok tertentu tanpa perlu memiliki dasar ilmiah sebagaimana lazim dilakukan pada klaim pengetahuan yang bersifat epistemik (Humphreys, 2009: hal.320). Kedua pokok pemahaman atas konsep di atas merupakan kriteria data yang saya butuhkan untuk mempelajari dan memahami analisis wacana dan legitimasi diskursif.
Kedua pokok pemahaman di atas pula selanjutnya saya coba untuk kemudian memandu saya dalam merekonstruksi seputar putusan pengadilan kasus Adelin Lis sebagai entry point dalam memasuki ranah dialektika persoalan diskursus tentang illegal logging sehingga benar data yang saya ambil adalah data legitimasi diskursif. Adapun hasil dan kesimpulan penelitian ini adalah pertama, pertarungan diskursus illegal logging yang terjadi adalah antara para pihak yang menggunakan aturan perundangan negara sebagai pedoman dasar penerapan aturan serta pengelolaan sumber daya hutan yaitu memanfaatkan konsep Pembangunan Hutan Produksi Lestari serta metode Tebang Pilih Tanam Indonesia (jalur formal) dengan para pihak yang menggunakan diskursus global sebagai pedoman dasar pengelolaan hutan yaitu penerapan konsep-konsep biodiversity, sustainable development dan governance (jalur non formal).
Para pihak yang menggunakan aturan perundangan negara sebagai basis pemahaman pengelolaan hutan berpendapat kalau illegal logging adalah pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan tanpa mengantongi sehelai izinpun, sedangkan para pihak yang menggunakan basis diskursus global melihat siapapun termasuk pemilik izin apabila dianggap ?merusak? maka mereka dikatakan tetap ?liar? dan oleh karenanya tetap dianggap melakukan illegal logging. Kesimpulan kedua, dijelaskan bahwa dalam membangun diskursus illegal logging menggunakan referensi kasus Adelin Lis adalah dengan pertama mencermati, mengulas kembali serta mempelajari berbagai diskusi diskursus yang terjadi seputar proses hukum di ranah peradilan negara dan kedua mencermati, mengulas kembali serta mempelajari diskusi diskursus yang terjadi dalam konteks ditemukannya legitimasi diskursif pada berbagai diskursus yang bermuatan ideologi neoliberalisme yang sangat sarat dengan konsep-konsep globalisasi dan menggunakan moda teknologi informasi masif seperti media elektronik internet blogs yang berdaya jangkau lintas ruang dan waktu.
Kedua pihak yang berseteru dapat dikatakan membangun simulacra-simulacra yaitu sesuatu yang berdiri sendiri dan muncul tanpa memiliki konteks sejarah awalnya. Para rimbawan dalam menetapkan kawasan hutan misalnya, banyak ditemukan melakukannya hanya di atas meja tanpa melakukan penelitian lapangan sehingga banyak kawasan hutan yang ditetapkan ternyata tidak berhutan lagi atau sudah berupa perkotaan. Para pihak yang menchallenge rimbawan juga membangun simulacra dalam menyebarkan konsep illegal logging nya seperti para blogger yang bukan berlatar belakang kehutanan namun aktif berkampanye masalah lingkungan hanya berdasarkan referensi informasi digital pula meski selalu memiliki pesan-pesan humanis lingkungan yang dikemas secara rapih didistribusikan dalam media yang menggunakan teknologi informasi masa kini yang sangat masif dan berdaya sebar sangat cepat dalam jumlah yang sangat besar pula dengan biaya sangat murah di internet. Kesimpulan ketiga, adalah dengan menjelaskan kalau relasi serta koalisi para pihak terbentuk setelah mencatat dan merangkum hasil diskusi dari proses diskursus yang diangkat oleh dua pertanyaan penelitian sebelum ini, yaitu koalisi terbentuk sebagai wujud pengejawantahan dari persaingan usaha skala global dimana kedua koalisi adalah para pihak yang ingin memperebutkan akses penguasaan sumber daya hutan untuk tetap dimanfaatkan sebagai usaha berbasiskan kepentingan ekonomi.
Koalisi pertama adalah para pihak yang menganggap Adelin Lis sebagai pengusaha resmi memiliki izin sah dan hanya melakukan pelanggaran administratif karena yang didakwakan masih berada dalam wilayah kerja sesuai izinnya, sedangkan koalisi kedua tetap menganggap Adelin Lis melakukan tindak pidana illegal logging karena tetap dianggap merusak hutan yang dikelolanya. Dari perspektif Antropologis dapat disimpulkan akhirnya kalau koalisi pertama adalah pihak yang mempertahankan interest positivis legalistik, sedangkan koalisi kedua adalah pihak yang berpedoman pada interest post-konstruktivis legalistik.

This research is about a social problem where certain parties systematically challenging the existing forestry legal system in particular on illegal logging issue raised out of a legitimate and licensed businessman (Adelin Lis) being prosecuted on a case within his own concession in North Sumatera. This problem discovered in the reform era, where there are concerns and dissatisfactions among group of parties towards the existing forestry legal and management system as well as practices.
To explain the research problem clearly, the purpose of this research are first, to understand how the discourse battle on illegal logging could end up having at least two definitions; as an administrative or civil case but also as a criminal case. Then the subjects of this research are foresters and parties or inviduals that challenged them. Secondly, there are global content within the concept used by the parties that challenged the existing forestry legal system so the next purpose of the research is to find out how those global content concept that are brought up actually have economic purposes. Thirdly, the expansion of specialization of Anthropology discipline are very dynamic, one of which is discourse analysis. So another purpose of this research is to show how important Anthropology towards discourse analysis specialization, and vice versa how important is discourse analysis towards Anthropology in general. Lastly, would be the practical purpose of this research, that is how variation of illegal logging interpretation is actually an expression of good intentions by all parties involved in this battle, that people of the world are more and more concerns about environment and how forest resources in particular needs to be managed more wisely for the sake of future generations.
The two main conceptual framework are discourse analysis and discursive legitimacy which has neoliberalism ideology content (Humphreys, 2009). Understanding both concepts would be the criteria to guide me to search deeply into collecting primary data, reconstructing Adelin Lis court trial and gathering other secondary data on illegal logging by making sure that information I collected are indeed discursive legitimacy material. The research findings are, first, the illegal logging discourse battle is between those using existing forestry legal system such as Sustainable Forest Management (PHPL) and Indonesian Selective Cutting and Planting System (TPTI) that I consider as using formal scheme as their reference base, against those using global concept such as biodiversity, sustainable development and governance (Arts and Buizer, 2009) or using non formal scheme as their reference base, in managing forest resource as well as forest law enforcement.
Those using existing forest legal system as reference base strongly describe that illegal logging is strictly for illegal offenders that do not have a single license at all, while the challengers think that illegal loggers are described as for anyone who destroys forest including license holder or concession owner. Second finding is, beside in depth interviews illegal logging discourse constructions in Adelin Lis case are done through two processes, one is reconstructing court trial proceedings, and two is collecting discourses from media in particular electronic blogs.
Both parties involved in the battle constructed simulacra. Foresters for example created forest land use mapping out of a simple desktop without going into the field, therefore the reference maps used in the existing forestry legal system can be easily challenged. On the other hand, bloggers that happen to be the challengers do not have any forestry basic knowledge whatsoever, are broadcasting their discourses on webs based only on electronic references collected digitally as well. The digital discourses presented are professionally packaged filled with popular humanistic and green messages. The third or last finding is, new power relation and coalition formed from the whole research proceedings. All parties involved in the battle agreed that the entire discourse of illegal logging have economic purposes.
The first coalition describes Adelin Lis, a legitimate licensed businessman, only conducted an administrative offense since the case against him were carried out within the boundary of his concession. While the second coalition describes Adelin Lis conducted a criminal offense, eventhough he is a licensed businessman but he is destroying the forest. In an Anthropological prespective, the first coalition is considered to be the positive-legalist interests, while the second coalition is the post constuctive-legalist interests.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
D1331
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmadiani
"perikanannya di Indonesia. Maka dari itu, tidak heran bahwa banyak kapalkapal asing yang berlomba-lomba masuk ke perairan ini untuk melakukan penangkapan ikan, baik secara legal maupun ilegal. Pada penelitian ini berfokus pada bagaimana praktik illegal fishing dilakukan di kawasan perairan ini selama periode tahun 2004 hingga 2011 dengan berbagai modus dan juga adanya keterlibatan agen negara. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif yakni dengan wawancara dan observasi serta didukung dengan data sekunder. Pisau analisis yang digunakan adalah kejahatan transnasional, white collar crime, corporate crime, dan organized crime.
Hasil menunjukkan bahwa terdapat empat bentuk illegal fishing yang terjadi di daerah ini yakni penangkapan dengan jaring yang tidak sesuai SIPI, penangkapan tanpa dokumen yang sesuai, penangkapan yang tidak sesuai fishing ground, dan penangkapan tanpa pelaporan ke pelabuhan pangkalan. Selain itu juga ditemukan bahwa terdapat praktik penegakkan hukum yang tidak bersih oleh Angkatan Laut karena mereka membebaskan banyak kapal pelaku illegal fishing di perairan ini.
Aru and Arafura seas are one of the richest seas in Indonesia in term of the fishing resources. Thus, many vessels from outside the country come to these sea to catch fish, whether legally or illegally. This research focuses on illegal fishing practice in these seas in 2004 until 2011 with different modus and the involvement of nation agent. The method used in this research is the qualitative approach, which includes interview, observation, and supported by secondary data. These illegal fishing cases are analyzed using several concepts, which are transnational crime, white collar crime, corporate crime, and organized crime.
The result shows that there are four types of illegal fishing happened in this area, namely catching fish without proper net according to SIPI regulation, catching fish without the required documents, offending the fishing ground, and catching fish without reporting to the port. Additionally, this research also found that there is a corrupt law enforcement by the navy because they set free the illegal fishing offender in Aru and Arafura seas.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
S56388
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akbar
"Nilai regangan merupakan salah satu indikator kondisi beton. Salah satu cara pengukuran nilai regangan ini sendiri saat ini dilakukan dengan menggunakan suatu alat bernama strain gage. Akan tetapi penggunaan strain gage ini sendiri memerlukan suatu teknik dan perhatian khusus, dan sedikit merepotkan dikarenakan dibutuhkannya ketelitian yang sangat tinggi dalam pemasangan strain gage tersebut. Tujuan dari penelitian smart concrete ini adalah menggantikan peranan dari strain gage tersebut dengan memberikan bubuk karbon ke dalam beton. Sifat karbon yang konduktif ini memberikan sifat baru kepada beton tersebut, dimana beton tersebut menjadi lebih konduktif atau memiliki tahanan listrik yang lebih kecil, dan sebaliknya memiliki sensitifitas tahanan listrik yang lebih besar, dalam arti apabila pada beton tersebut terjadi regangan, nilai tahanan listriknya akan berubah cukup berarti untuk dapat dianalisa. Penggantian fungsi strain gage dengan karbon di dalam beton ini seolah-olah pada beton tersebut telah ditempelkan strain gage, sehingga kapan saja nilai regangan yang terjadi pada beton tersebut akibat pembebanan yang terjadi, baik beban jangka pendek maupun beban jangka panjang, akan dapat diketahui dengan cepat hanya dengan mengukur nilai dari perubahan tahanan listrik pada beton tersebut. Untuk mendeteksi dan mendapatkan nilai perubahan tahanan listrik ini, beton pintar tersebut dipasang sebagai salah satu lengan dari rangkaian Jembatan Wheatstone yang sangat cocok untuk mengukur perubahan tahanan listrik dalam jumlah yang kecil."
Depok: Universitas Indonesia, 2001
S34983
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fira Janice Natasha Sinuraya
"Dalam perjanjian utang piutang, Penjamin dilibatkan untuk menjamin utang Debitur. Selain daripada itu, Penjamin juga diminta untuk melepaskan hak istimewanya, khususnya Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”). Dengan dilepaskannya hak tersebut, Kreditur dapat langsung menagih Penjamin jika Debitur Utama lalai dalam melaksanakan kewajibannya dan Penjamin dianggap sebagai Debitur akibat Penjamin secara tanggung renteng mengikatkan dirinya dengan Debitur Utama. Dari landasan inilah, banyak Kreditur memohonkan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“PKPU”) atas Penjamin dengan Debtur secara bersamaan ketika Debitur Utama lalai melaksanakan kewajibannya. Akan tetapi, di Pengadilan Niaga, terdapat diskursus mengenai bisa tidaknya Penjamin dilibatkan sebagai salah satu Termohon PKPU bersamaan dengan Debitur Utama sebagaimana dimuat di dalam Putusan Nomor 212/Pdt.Sus-PKPU/2019/PN.Niaga.Jkt.Pst. dan Putusan Nomor 57/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN.Niaga.Jkt.Pst. Oleh karena itu, skripsi ini akan membahas mengenai akibat hukum pelepasan hak istimewa oleh Penjamin, pertimbangan hakim dalam Studi Kasus Putusan Nomor 212/Pdt.Sus-PKPU/2019/PN.Niaga.Jkt.Pst. dan Putusan Nomor 57/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN.Niaga.Jkt.Pst., dan analisis bisa tidaknya Penjamin yang melepaskan hak istimewa ditarik sebagai salah satu Termohon PKPU (Pasal 1832 KUHPer dan Pasal 254 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UUK-PKPU”)). Lebih lanjut, metode penelitian yang digunakan bersifat doktrinal, dimana pokok permasalahan akan dianalisis dan diteliti berdasarkan bahan pustaka guna memberikan penjelasan dan menarik kesimpulan terkait permasalahan tersebut. Setelah melakukan penelitian, Penulis memperoleh kesimpulan bahwa dengan dilepasnya hak istimewa Penjamin (Pasal 1831 KUHPer), Penjamin berkedudukan sebagai Debitur dan Penjamin dapat menjadi salah satu Termohon PKPU bersamaan dengan Debitur karena Pasal 1832 KUHPer serta Pasal 254 UUK-PKPU tidak menjadi penghalang ditariknya Penjamin dalam forum PKPU.

In a debt and credit agreement, the Guarantor is engaged to guarantee the Debtor's debt. Other than that, the Guarantor is also required to waive its privilege, in particular Article 1131 of the Civil Code (“KUHPer”). By waiving the privilege, the Creditor can directly collect the Guarantor if the Principal Debtor defaults in performing its obligations and the Guarantor is considered as the Debtor as the Guarantor is jointly and severally bound with the Principal Debtor. From this basis, many Creditors file a Suspension of Debt Payment Obligation ("PKPU") against the Guarantor and the Debtor simultaneously when the Main Debtor fails to perform its obligations. However, in the Commercial Court, there is a discourse on whether or not the Guarantor can be involved as one of the PKPU Respondents together with the Main Debtor as contained in Decision Number 212/Pdt.Sus-PKPU/2019/PN.Niaga.Jkt.Pst. and Decision Number 57/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN.Niaga.Jkt.Pst. Therefore, this thesis will discuss the legal consequences of the waiver of privilege by the Guarantor, the judge's consideration in Case Study of Decision Number 212/Pdt.Sus-PKPU/2019/PN.Niaga.Jkt.Pst. and Decision Number 57/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN.Niaga.Jkt.Pst., and analysis of whether or not the Guarantor who waives its privilege can be withdrawn as one of the PKPU Respondents (Article 1832 of KUHPer and Article 254 of Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Suspension of Debt Payment Obligations ("UUK-PKPU")). Furthermore, the research method used is doctrinal, where the subject matter will be analyzed and researched based on library materials in order to provide explanations and draw conclusions related to these issues. After conducting the research, the author concludes that with the release of the Guarantor's privilege (Article 1831 KUHPer), the Guarantor has the status of a Debtor and the Guarantor can be one of the PKPU Respondents together with the Debtor because Article 1832 KUHPer and Article 254 UUK-PKPU do not prevent the withdrawal of the Guarantor in the PKPU forum. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>