Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 99746 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Annisa Aulia Firdaus
"Fenomena korupsi dengan respons netralisasi menjadi hal yang masih sering terjadi dalam lingkungan pemerintah di Indonesia. Dalam merespons korupsi yang dilakukan sering kali pelaku justru merasionalisasi kejahatannya. Oleh karena itu, studi ini berusaha untuk menjelaskan respons pelaku korupsi menggunakan teori teknik netralisasi Kaptein dan Helvroot (2019) yang merupakan penyempurnaan atas teknik netralisasi yang telah dikenal lama melalui karya Sykes dan Matza (1957). Objek yang digunakan dalam penulisan ini adalah studi kasus pelaku korupsi pengadaan dana proyek BTS 4G yang diusung oleh BAKTI Kominfo. Menggunakan metode analisis isi kualitatif, ditemukan bahwa terdapat teknik netralisasi yang digunakan oleh pelaku dalam merasionalisasi kejahatannya juga peran profesi pelaku dalam melakukan korupsi.

The phenomenon of corruption with a neutralization response is something that still frequently occurs in government circles in Indonesia. In responding to corruption, perpetrators often rationalize their crimes. Therefore, this study attempts to explain the response of corruption perpetrators using the neutralization technique theory of Kaptein and Helvroot (2019) which is a refinement of the neutralization technique that has been known for a long time through the work of Sykes and Matza (1957). The object used in this writing is a case study of perpetrators of corruption in procuring funds for the BTS 4G project promoted by BAKTI Kominfo. Using qualitative content analysis methods, it was found that there were neutralization techniques used by perpetrators to rationalize their crimes as well as the role of the perpetrator's profession in committing corruption."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Inastuhayu Paramagarjjita R.
"Tugas Karya Akhir ini membahas korupsi pengadaan barang/jasa dengan menggunakan studi kasus Djoko Susilo. Tulisan ini akan menganalisis tipologi korupsi dan faktor penyebab terjadinya korupsi dari studi kasus. Data diambil dari Putusan Kasasi Nomor: 537 K/Pid.Sus/2014 yang didapatkan dari website putusan.mahkamahagung.go.id dan hasil wawancara Majalah Tempo edisi 23 April 2012 yang berjudul “Simsalabim Simulator SIM”. Djoko Susilo yang saat itu menjabat sebagai Kakorlantas melakukan korupsi pada proyek pengadaan Driving Simulator SIM bersama dengan Budi Susanto dan rekan-rekan sesama polisi lainnya di Korlantas Polri. Kejahatan ini termasuk dalam jenis kejahatan procurement fraud dan juga dapat dikategorikan sebagai korupsi polisi jenis direct criminal activity serta korupsi politik atau tingkat tinggi. Berdasarkan Fraud Diamond Theory, procurement fraud dalam kasus ini terjadi karena adanya pressure dari teman dan juga obedience pressure dari atasan. Selain itu, peluang (opportunity) juga tercipta dari buruknya kontrol Itwasum Mabes Polri dalam proses audit. Rasionalisasi (rationalization) juga dilakukan oleh para pelaku. Kapabilitas (capability) dari Djoko Susilo yang memiliki jabatan dan pangkat yang tinggi juga menjadi faktor penting terjadinya fraud. Selain itu, berdasarkan Rational Choice Theory, para pelaku sudah menimbang keuntungan dari suap dan kerugian potensi tertangkap sebelum melakukan kejahatan fraud ini. Pelaku juga menggunakan teknik netralisasi untuk membenarkan tindakannya.

Tugas Karya Akhir ini membahas korupsi pengadaan barang/jasa dengan menggunakan studi kasus Djoko Susilo. Tulisan ini akan menganalisis tipologi korupsi dan faktor penyebab terjadinya korupsi dari studi kasus. Data diambil dari Putusan Kasasi Nomor: 537 K/Pid.Sus/2014 yang didapatkan dari website putusan.mahkamahagung.go.id dan hasil wawancara Majalah Tempo edisi 23 April 2012 yang berjudul “Simsalabim Simulator SIM”. Djoko Susilo yang saat itu menjabat sebagai Kakorlantas melakukan korupsi pada proyek pengadaan Driving Simulator SIM bersama dengan Budi Susanto dan rekan-rekan sesama polisi lainnya di Korlantas Polri. Kejahatan ini termasuk dalam jenis kejahatan procurement fraud dan juga dapat dikategorikan sebagai korupsi polisi jenis direct criminal activity serta korupsi politik atau tingkat tinggi. Berdasarkan Fraud Diamond Theory, procurement fraud dalam kasus ini terjadi karena adanya pressure dari teman dan juga obedience pressure dari atasan. Selain itu, peluang (opportunity) juga tercipta dari buruknya kontrol Itwasum Mabes Polri dalam proses audit. Rasionalisasi (rationalization) juga dilakukan oleh para pelaku. Kapabilitas (capability) dari Djoko Susilo yang memiliki jabatan dan pangkat yang tinggi juga menjadi faktor penting terjadinya fraud. Selain itu, berdasarkan Rational Choice Theory, para pelaku sudah menimbang keuntungan dari suap dan kerugian potensi tertangkap sebelum melakukan kejahatan fraud ini. Pelaku juga menggunakan teknik netralisasi untuk membenarkan tindakannya."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nurlaila Oktariana
"ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang permasalahan hukum dengan penggunaan diskresi
yang dilakukan oleh Pejabat Pemerintah. Dalam menggunakan diskresi, Pejabat
Pemerintah memiliki potensi didakwa dengan Undang-undang Tindak Pidana
Korupsi. Sehingga diperlukan perlindungan hukum bagi Pejabat Pemerintah, agar
dapat menggunakan diskresi tanpa khawatir akan didakwa dengan tindak pidana
korupsi. Ruang lingkup permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana
seorang Pejabat dapat didakwa dengan tindak pidana korupsi, bagaimana
perlindungan hukum bagi Pejabat Pemerintah dalam melakukan wewenang
diskresi dan apakah Pejabat Pemerintah dapat dikenakan pertanggungjawaban
pidana ketika melakukan diskresi. Metode penelitian yang digunakan adalah
penelitian yuridis normatif. Pendekatan yang dipakai menggunakan dua
pendekatan yaitu pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Datadata
yang diperoleh akan dideskripsikan untuk kemudian dianalisa secara
kualitatif dan diuraikan secara sistematis. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa
Pejabat Pemerintah dapat didakwa tindak pidana korupsi karena melanggar
prosedur yang seharusnya ditempuh ketika menggunakan diskresi. Perlindungan
Hukum diwujudkan dengan melakukan pengujian kebijakan pemerintah melalui
mekanisme administrasi. Prosedur pengujian melalui mekanisme administrasi
diatur dalam Undang-undang No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan. Pejabat Pemerintah dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana
apabila tindakan Pejabat tersebut memenuhi unsur kecurangan (fraud), adanya
benturan kepentingan (conflict of interest), ada perbuatan melawan hukum
(ilegality), maupun mengandung kesalahan yang disengaja (gross negligence)
sehingga konsekuensi yang timbul merupakan tanggung jawab pribadi.

ABSTRACT
This thesis discusses the legal issues with the use of discretion by Government
Officials. In using discretion, Government Officials have the potential to be
charged with the Corruption Act. So legal protection is required for Government
Officials, in order to use discretion without fear of being charged with corruption.
The scope of the problem in this study is how an Officer can be charged with a
criminal act of corruption, how the legal protection for Government Officials in
exercising discretionary powers and whether Government Officials may be
subject to criminal liability when conducting discretion. The research method
used is normative juridical research. The approach used using two approaches is
the approach of legislation and case approach. The data obtained will be described
to be analyzed qualitatively and systematically described. The results concluded
that Government Officials can be charged with corruption for violating the
procedure that should be taken when using discretion. Legal Protection is realized
by conducting government policy testing through administrative mechanisms. The
testing procedure through the administrative mechanism is regulated in Law no.
30 of 2014 on Government Administration. Government Officials may be liable to
criminal liability if the Official's action meets the element of fraud, the existence
of a conflict of interest, any illegal act, or contains gross negligence so that the
consequences are the responsibility personal."
2017
T47787
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rodliyatun Mardliyyah
"Tindak pidana korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang pelaku. Karena itu selain didakwa dengan pasal dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pelaku tindak pidana korupsi juga didakwa dengan pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yang mengatur mengenai penyertaan melakukan tindak pidana. Namun para pelaku dalam kasus yang sama dihukum dengan hukuman yang berbeda-beda.
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui terjadinya disparitas pemidanaan terhadap para pelaku turut serta melakukan (medeplegen) dalam putusan perkara tindak pidana korupsi di Indonesia, pertimbangan hakim dalam kasus, dan untuk mengetahui pengaruh pemisahan atau penggabungan berkas dakwaan terhadap beratnya hukuman para peserta tindak pidana. Penelitian dilakukan dengan metode penelitian yuridis-normatif dengan menggunakan data sekunder berupa studi dokumen dan wawancara dengan narasumber.
Berdasarkan hasil analisis dalam penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa meskipun dilakukan secara bersama-sama, sangat dimungkinkan terjadi penghukuman yang berbeda di antara para peserta. Pertimbangan hakim dalam memutus perkara didasarkan pada hukum yang berlaku, bersumber dari para Terdakwa sendiri, dan bergantung pada Majelis Hakim yang memutus perkara. Sementara tidak selalu penggabungan atau pemisahan berkas perkara punya pengaruh atau hubungan yang signifikan terhadap perbedaan penjatuhan sanksi pidana.

Corruption always involves more than one perpetrator. Therefore, not only charged with the Law on Corruption Eradication, perpetrators of corruption are also charged under Article 55 (1) Criminal Code (KUHP) regulating the inclusion of a criminal act. However, the perpetrators in the same case punished with different punishments.
This study aimed to determine the possible disparity of the sentencing for the perpetrators who take a direct part in the execution (medeplegen) corruption cases in Indonesia, consideration of the judge in the case, and to determine the effect of the separation or merger of the indictment against the severity of the punishment of the participant involved in criminal offense. Research conducted by the juridical-normative research methods using secondary data from the study documents and interviews with sources.
Based on the analysis in this study we concluded that although the criminal offense conducted jointly, it is possible that a different judgement occurs among each of the participants. Consideration of the judge in deciding the case based on the applicable law, derived from the defendant's own, and relies on the judges that deciding the case. Merging or splitting the case file does not always have influence or significant relationship to differences in criminal sanctions.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S60864
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wardhana Ardy Syahputra
"Operasi Tangkap Tangan (OTT) merupakan satu kegiatan KPK di bidang penindakan korupsi yang tersohor di kalangan masyarakat Indonesia. Kegiatan tersebut juga ditandai dengan konferensi pers yang secara garis besar menyebutkan profil tersangka dan kronologis penangkapan. Dalam melakukan tugasnya, KPK tidak dapat bekerja sendiri. Partisipasi aktif masyarakat tentu sangat membantu KPK dalam menjalankan tugasnya dengan lebih efektif dan efisien, salah satu bentuknya adalah dengan melaporkan adanya dugaan tindak pidana korupsi. Penelitian dilakukan untuk melihat bagaimana pengaruh kegiatan OTT KPK terhadap partisipasi masyarakat dalam melaporkan adanya dugaan tindak pidana korupsi. Data yang digunakan adalah data kegiatan OTT dan laporan pengaduan masyarakat KPK mulai tahun 2017 sampai dengan tahun 2021. Dengan menggunakan regresi data panel fixed effect model, penelitian ini menemukan: setiap kegiatan OTT yang dilanjutkan dengan penyebaran berita melalui konferensi pers, menjadi signal dalam meningkatkan jumlah pengaduan masyakarat ke KPK; OTT yang dilakukan di pulau Jawa memiliki andil yang cukup besar dalam meningkatkan jumlah pengaduan masyarakat dibandingkan OTT di luar jawa; analisa data tahunan menunjukkan bahwa mulai tahun 2019 hingga 2021, terjadi trend penurunan pengaduan masyarakat terutama pada tahun 2020 dan 2021. Hal ini sejalan dengan penurunan OTT yang sangat tajam dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. OTT yang dilaksanakan di tahun politik tidak berpengaruh terhadap peningkatan pengaduan masyarakat, namun sebaliknya, diluar tahun politik, OTT malah signifikan berpengaruh terhadap peningkatan pengaduan masyarakat; OTT yang dilakukan baik di tahun terjadinya pandemi Covid-19 maupun tahun sebelum pandemi, sama-sama tidak berpengaruh terhadap peningkatan jumlah pengaduan masyarakat.

The Hand Arrest Operation (OTT) is an activity by the KPK in the field of cracking down on corruption that is well-known among the Indonesian people. The activity was also marked by a press conference which outlines the profile of the suspect and the chronology of the arrests. In carrying out its duties, the KPK cannot work alone. The active participation of the community is certainly very helpful for the KPK in carrying out its duties more effectively and efficiently, one form of which is by reporting suspected corruption crimes. The study was conducted to see how the OTT activities of the KPK affect public participation in reporting suspected corruption crimes. The data used are OTT activity data and KPK public complaints reports from 2017 to 2021. By using panel data regression ‘fixed effect model’, this study finds: every OTT activity followed by news dissemination through press conferences, becomes a signal in increasing the number public complaints to the KPK; OTT conducted on the island of Java has a significant contribution in increasing the number of public complaints compared to OTT outside Java; Annual data analysis shows that from 2019 to 2021, there is a downward trend in public complaints, especially in 2020 and 2021. This is in line with the very sharp decline in OTT compared to previous years. OTT that conducted in the political year did not affect the increase in public complaints, but on the contrary, outside the political year, the OTT had a significant effect on the increase in public complaints; The OTT that was carried out both in the year the Covid-19 pandemic occurred and the year before the pandemic, both had no effect on the increase in the number of public complaints."
Jakarta: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pendi Wibison
"Pembentukan KUHP Nasional menjadi sorotan publik. Salah satunya lantaran sejumlah pasal pada KUHP yang baru itu justru memangkas hukuman bagi para koruptor. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis penanganan tindak pidana korupsi pada Dittipidkor Bareskrim Polri atas perubahan tindak pidana korupsi dalam KUHP. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif eksplanatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) Perspektif Dittipidkor Bareskrim Polri dalam melihat kekhusussan yang dimiliki oleh tindak pidana korupsi bahwa rumusan delik-delik korupsi dalam KUHP yang sifatnya telah menjadi delik umum akan melemahkan bahkan mampu menghapuskan kekuatan dan kepastian hukum yang ada dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 karena dalam prinsipnya jika ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka dapat diterapkan ketentuan yang paling menguntungkan baginya; 2) Pandangan penyidik terhadap perbedaan ketentuan yang menyimpang dari aturan hukum pidana dalam perspektif hukum pidana materil dan pidana formil dalam Undang-Undang No. 31/1999 Jo Undang-Undang No. 20/2001 dengan Undang-Undang No. 1/ 2023 (KUHP Baru) dalam penganganan tindak pidana korupsi bahwa lemahnya sanksi terhadap tindak pidana korupsi yang terdapat didalam KUHP Baru dapat melemahkan pemberantasan korupsi itu sendiri. Penyidik berpandangan bahwa sudah sepantasnya KUHP mengatur hukuman maksimal untuk pelaku tindak pidana korupsi diancam dengan pidana mati; dan 3) Pandangan penyidik terhadap beberapa pasal dari Undang-Undang No. 31/1999 Jo Undang-Undang No. 20/2001 yang dimasukkan dan menjadi delik di Undang-Undang No. 1/ 2023 (KUHP Baru) bahwa KUHP baru berpotensi menghambat proses penyidikan perkara korupsi. KUHP baru juga akan terjadi tumpang tindih kewenangan penanganan dari para penegak hukum dan juga pasal pada undang undang yang diterapkan akan menjadi debateable. Penyidik juga berpandangan bahwa ketika tindak pidana korupsi tidak lagi dianggap sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) melainkan telah dijadikan tindak pidana umum yang setara dengan delik konvensional seperti pencurian dengan kekerasan atau penggelapan, maka implikasi hukum dari kondisi ini adalah hilangnya spesialisasi kewenangan di antara lembaga penegak hukum, termasuk Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK, dalam melaksanakan tugas mereka.

The regulation of the National Criminal Code is in the public spotlight. One of them was because a number of articles in the new Criminal Code actually reduce the punishment for corruptors. The aim of this research was to analyze the handling of criminal acts of corruption at the Dittipidkor Bareskrim Polri regarding changes to criminal acts of corruption in the Criminal Code. This research was a qualitative approach with an explanatory descriptive method to collect data in the field related. The results of the research show that 1) The perspective of the Dittipidkor Bareskrim Polri in looking at the specificity of criminal acts of corruption is that the formulation of corruption offenses in the Criminal Code which have become general offenses will weaken or even be able to eliminate the strength and legal certainty contained in Law no. 31 of 1999 in conjunction with Law no. 20 of 2001 because in principle if there is a change in the legislation after the act has been committed, then the provisions that are most beneficial to him can be applied; 2) The investigator's view of the differences in provisions that deviate from the rules of criminal law in the perspective of material criminal law and formal criminal law in Law no. 31/1999 Jo Law no. 20/2001 with Law no. 1/2023 (New Criminal Code) in dealing with criminal acts of corruption that weak sanctions for criminal acts of corruption contained in the New Criminal Code can weaken the eradication of corruption itself. Investigators are of the view that it is appropriate for the Criminal Code to regulate the maximum penalty for perpetrators of criminal acts of corruption which is punishable by death; and 3) The investigator's views on several articles of Law no. 31/1999 Jo Law no. 20/2001 which was included and became an offense in Law no. 1/2023 (New Criminal Code) that the new Criminal Code has the potential to hamper the process of investigating corruption cases. The new Criminal Code will also result in overlapping authority to handle law enforcers and also the articles in the law that are implemented will become debatable. Investigators are also of the view that when criminal acts of corruption are no longer considered extraordinary crimes but have become general crimes equivalent to conventional offenses such as violent theft or embezzlement, the legal implication of this condition is the loss of specialization of authority between institutions. law enforcers, including the Police, Prosecutor's Office and Corruption Eradication Commission, in carrying out their duties."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sherry Haura Istifarin
"
Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana representasi media online Liputan6 terkait perempuan pelaku korupsi dalam rentang tahun 2020-2023. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif analisis wacana kritis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberitaan Liputan6 terkait perempuan pelaku korupsi bersifat misoginis dan merendahkan perempuan yang dapat dilihat dari penyorotan aspek sensasional hingga gaya hidup pelaku. Analisis ini menggunakan radical feminism theory dan representation theory untuk melihat penyebab pemilihan narasi yang bersifat misoginis. Penelitian ini juga menemukan bahwa artikel berita yang dipublikasikan belum terbebas dari stereotip gender dan bias gender. Selain itu, tujuan dari pemberitaan yang menyorot aspek pribadi dan bersifat misoginis terhadap perempuan pelaku dilakukan untuk mengejar page view serta terdapat nilai-nilai berita yang dipertimbangkan.

This research aims to find out how Liputan6 online media represents women perpetrators of corruption in the 2020-2023 period. This research is a qualitative study using critical discourse analysis. The results showed that Liputan6's coverage of women perpetrators of corruption was misogynistic and demeaning to women, as evidenced by the sensational focus on the lifestyle aspects of the perpetrators. This analysis uses radical feminism theory and representation theory to understand the reasons behind the choice of misogynistic narratives. The research also found that the published news articles were not free from gender stereotypes and biases. In addition, the purpose of highlighting the personal and misogynistic aspects of female perpetrators is to pursue pageviews and consider certain news values."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Hidayah Putri
"Latar belakang penelitian ini adalah adanya komitmen bersama pemerintah dalam rangka pencegahan dan pemberantasan korupsi secara nasional untuk mewujudkan penyelenggaraan Negara yang bersih dan berwibawa, salah satunya melalui pelaksanaan strategi komunikasi Pendidikan dan Budaya Anti Korupsi. Strategi komunikasi melalui kampanye komunikasi ini bertujuan untuk mengembangkan budaya anti korupsi secara efektif dan efisien di lingkungan aparatur pemerintahan. Sebagai suatu kampanye perubahan sosial (ideological or cause-oriented campaign- Charles U. Larson), maka diperlukan serangkaian kegiatan komunikasi yang dirancang dan dapat diimplementasikan secara efektif sesuai dengan tujuan.
Penelitian ini bertujuan membahas tentang Evaluasi Strategi Komunikasi Kampanye Anti Korupsi di Kementerian Komunikasi dan Informatika. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif. Dalam penelitian ini dibahas tentang bagaimana perencanaan kampanye komunikasi dilakukan untuk mendukung kegiatan Pendidikan dan Budaya Anti Korupsi dengan unit kerja pilot project Direktorat Operasi Sumber Daya. Unit kerja ini memiliki layanan perizinan yang dianggap rentan terhadap praktik korupsi.
Berdasarkan evaluasi tahap formatif dan pelaksanaan ditemukan fakta bahwa pesan yang disampaikan dalam kampanye dianggap mampu mempersuasi khalayak untuk menghindari tindakan korupsi, khususnya menghindari gratifikasi dan suap. Namun di sisi lain, pesan yang diangkat ini tidak sesuai dengan rencana strategi komunikasi yang ingin mengangkat nilai disiplin dan keterbukaan. Penggunaan media komunikasi interpersonal seperti kegiatan tatap muka dinilai dapat menjadi pelengkap (supplementation) dalam kampanye perubahan sosial, sehingga akan sukses.

The background of this research is the shared commitment of the government in preventing and eradicating corruption nationally to actualize the implementation of clean and respectable country, through the implementation of communication strategy of The Anti-Corruption Education and Culture. Strategic communication through communication campaign aims to develop a culture of anti-corruption effectively and efficiently in the government agency. As a social change campaign (ideological or cause-oriented campaign- Charles U. Larson), it would require a series of communication activities designed to be effectively implemented in order to achieve certain goals.
This study aims to discuss the Evaluation of Strategic Communication Implementation on Anti-Corruption Campaign at the Ministry of Communication and Information Technology. This research is a descriptive qualitative research. This study discussed how communication campaign planning undertaken to support the activities of the Anti-Corruption Education and Culture pilot project with the working unit of the Directorate of Radio Frequency Spectrum Resources Operation. The work unit was chosen because it has a licensing service that is considered vulnerable to corruption.
Based on the evaluation and implementation of the formative phase, it was discovered that the messages conveyed in the campaign is considered able to persuade the public to avoid corruption, especially to avoid gratification and bribery. But on the other hand, the message does not correspond with the communication strategy planned in raising the value of discipline and openness. The use of interpersonal communication media such as face-to-face activities is considered to be complementary/supplementation in social change campaigns, so it will be a success.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tesalonika
"Penulisan ini membahas mengenai proporsionalitas penghukuman dalam kasus korupsi di Indonesia. Korupsi merupakan pelanggaran hak asasi berupa hak sosial dan ekonomimasyarakat. Sehingga korupsi dipandang sebagai kejahatan luar biasa yang memerlukanpenanganan secara luar biasa pula. Penanganan yang diharapkan adalah hukuman yangdirasa adil. Dalam kasus korupsi, keadilan tersebut diharapkan dapat dirasakan olehmasyarakat karena pelaku korupsi telah merugikan negara dan dampak dari korupsidapat dirasakan baik secara langsung maupun tidak langsung oleh masyarakat. Untukdapat mendapatkan hukuman yang adil maka hukuman tersebut seharusnyaproporsional. Penulis mengambil data dari laporan yang dibuat ICW yangmenunjukkan bahwa penghukuman dalam kasus korupsi masih belum proporsionalkarena masih banyak terdapat disparitas pemidanaan. Penulis menggunakan dua konsepdalam menentukan hukuman yang proporsional yaitu faktor keseriusan kejahatan danfaktor individu pelaku. Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana hukumanyang seharusnya diterapkan agar hukuman tersebut proporsional melalui dua konseptersebut dan masyarakat merasakan keadilan.

This writing discusses the proportionality of punishment on corruption cases inIndonesia. Corruption i a violation of human rights in the form of social and economicrights of society. Because of that, corruption is seen as a extraordinary crime thatrequires extraordinary handling as well. The expected treatment is a punishment that isfair. In the case of corruption, justice is expected to be perceived by the society becauseof the perpetrators of corruption have been detetrimental to the State and the impacts ofcorruption could be felt directly and or indirectly by the community. To be able to get afair punishment then the punishment should be proportionate. The author retrieve datafrom a report by ICW that shows the punishment on corruption cases is still notproportional because there are still many dsiparities in punishment. The author uses twoconcepts in determining the punishment that is proportional to the seriousness of crimeand individual factors of the perpetrator. This writing aims to find out how thepunishment should be applied so that the punishment is proportional through the twoconcepts and the public can feel justice through a proportional punishment."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ineke Indraswati
"Hutan merupakan modal pembangunan nasional yang memiliki manfaat nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi, secara seimbang dan dinamis. Untuk itu hutan hares diurus dan dikelola, dilindungi dan dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, baik generasi sekarang maupun yang akan datang. Kerusakan hutan di Indonesia terjadi karena berbagai sebab, salah satunya adalah kerusakan hutan akibat perambahan oleh manusia secara tidak benar sehingga menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan ataupun banjir. Kasus perambahan hutan di Indonesia masih kerap terjadi walaupun telah ada Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Kasus-kasus ini masih terjadi karena penegakkan hukum yang belum berlangsung secara maksimal. Pada tahun 2005, Kejaksaan Agung R.I. menyidik suatu kasus perambahan hutan yang dilakukan oleh Darianus Lungguk Sitorus di Kawasan Hutan Register 40 di Sumatera Utara. Kasus ini sudah lama akan tetapi belum berhasil dibawa ke Pengadilan oleh aparat yang berwenang. Kejaksaan Agung R.I., dalam hal ini JAMPIDSUS, milakukan penyidikan atas kasus ini dengan menyangkakan ketentuanketentuan dalam tindak pidana korupsi terhadap kasus tersebut. Penyidikan dan penuntutan atas perkara ini didasarkan pada fakta bahwa tindakan yang dilakukan oleh Darianus Lungguk Sitorus adalah merambah kawasan hutan yang merupakan milik negara dan menimbulkan kerugian negara sehingga terhadap Darianus Lungguk Sitorus didakwa dengan ketentuan-ketentuan tindak pidana korupsi dan tindak pidana kehutanan. Akan tetapi dalam putusan tingkat pertama dan tingkat kasasi, tindak pidana yang terbukti adalah tindak pidana kehutanan. Hal ini dikarenakan adanya berbagai kendala yang dihadapi oleh Kejaksaan yaitu mengenai asas lex specialis derogat legi generasi dan definisi kerugian negara itu sendiri. Dengan demikian penerapan ketentuan tindak pidana korupsi dalam kasus perambahan hutan khususnya kasus Darianus Lungguk Sitorus belum dapat digunakan.

Forest is one of the national development potential which have real benefit to Indonesia, such as ecological benefit, social cultural and economic. Therefore forest should be taking care of and organized, protected, and continuation usable to Indonesian welfare. The damage of forest in Indonesia happened because a lot of reasons, one of them is the cleared away by human that cause environmental pollution and flood. Such clear away forest cases in Indonesia still happened even though there are Law No. 41, 1999. These cases still happened because the law enforcement is not maximized. In 2005, Attorney General Office investigated a clear away forest by Darianus Lungguk Sitorus in Area 40 in North Sumatera. Its been years, yet it still can not be brought to the court. Attorney General Office investigated the case based on the accusation of anti corruption. The investigation and prosecution on this case based on facts that Darianus Lungguk Sitorus act to cleared away the forest which belong to Indonesia government impact on the lost of capital, hence it convicted with anti corruption. On the first verdict and cessation, the crime that proved is the Forest Law and not Anti Corruption. These happened because several problems faced by the Attorney General such as lex specialis derogate legi generali and the difference definitions of state lost capital. Therefore the implementation of anti corruption can not be use in the clear away forest cases especially case of Darianus Lungguk Sitorus."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
T19311
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>