Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 200572 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dotto Koyage Philipo
"Makalah penelitian ini menggali peningkatan efektivitas arbitrase dan penyelesaian sengketa alternatif (ADR) dalam sistem hukum Indonesia. Dengan menganalisis kerangka hukum yang ada, kapasitas kelembagaan, dan faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan metode ADR, studi ini mengidentifikasi tantangan dan hambatan utama yang dihadapi oleh praktisi dan pengguna. Berdasarkan model sukses dari yurisdiksi seperti Singapura, Prancis, Hong Kong, dan Swedia, makalah ini menawarkan rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan efisiensi, aksesibilitas, dan efektivitas mekanisme arbitrase dan ADR secara keseluruhan di Indonesia. Melalui pendekatan penelitian kualitatif dan pemeriksaan menyeluruh terhadap praktik terbaik internasional, penelitian ini bertujuan untuk berkontribusi pada kerangka hukum yang kuat dan dukungan kelembagaan untuk ADR di Indonesia, yang pada akhirnya mempromosikan lingkungan bisnis yang menguntungkan, akses terhadap keadilan, dan mengurangi beban peradilan.

This research paper delves into enhancing the effectiveness of arbitration and alternative dispute resolution (ADR) in Indonesia's legal system. By analysing the existing legal framework, institutional capacity, and factors influencing acceptance of ADR methods, the study identifies key challenges and obstacles faced by practitioners and users. Drawing upon successful models from jurisdictions like Singapore, France, Hong Kong, and Sweden, the paper offers policy recommendations to improve the efficiency, accessibility, and overall effectiveness of arbitration and ADR mechanisms in Indonesia. Through a qualitative research approach and a thorough examination of international best practices, the research aims to contribute to a robust legal framework and institutional support for ADR in Indonesia, ultimately promoting a favourable business environment, access to justice, and reducing the burden on the judiciary."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyumurti Setya Sasmita
"Jika konflik tidak dikelola dengan baik, mereka dengan cepat berubah menjadi sengketa. Salah satu lembaga badan arbitrase untuk penyelesaian sengketa konstruksi di Indonesia adalah Badan Arbitrase Nasional Indonesia BANI. Penelitian ini menunjukan proses arbitrase pada proyek konstruksi dan faktor-faktor risiko yang mempengaruhi waktu penyelesaian sengketa konstruksi dalam proses arbitrase di Badan Arbitrase Nasional Indonesia BANI. Penelitian dilakukan dengan wawancara terstruktur dan survei untuk mengumpulkan data. Selanjutnya dilakukan analisa statistik dan analisa risiko kualitatif. Terdapat 3 tiga proses yang memiliki risiko dominan dalam arbitrase yaitu putusan, pemeriksaan, dan permohonan arbitrase yang dilakukan respon untuk mengurangi waktu yang dibutuhkan dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase.

If conflicts are not managed properly, they quickly turn into disputes. One of the institutions of the arbitration institutional for the settlement of construction disputes in Indonesia is the Indonesian National Board of Arbitration BANI. This study shows the arbitration process on construction projects and risk factors that are in the process of arbitration at the Indonesian National Board of Arbitration BANI. The study was conducted with structured interviews and surveys to collect data. Furthermore, statistical analysis and qualitative risk analysis. There are 3 three processes that have the dominant criteria in arbitration, namely award, examinations, and arbitration appeals made to reduce the time required in arbitration dispute settlement."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2017
T48721
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cut Memi
"ABSTRAK
Pasal 3 Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyatakan bahwa pengadilan negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dengan perjanjian arbitrase, akan tetapi sampai saat ini masih saja terdapat pertentangan kompetensi absolut antara arbitrase dan pengadilan. Sebagai contoh dan sekaligus fokus dalam pembahasan tulisan ini adalah dalam hal penanganan perkara antara PT B melawan PT CTPI. Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah metode penelitian hukum normatif. Berdasarkan Putusan Nomor 10/PDT.G/2010/PN.JKT.PST, perkara ini telah diputus oleh pengadilan dengan menyatakan bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berwenang mengadili perkara bahkan putusan ini kemudian dikuatkan sampai tingkat peninjauan kembali di Mahkamah Agung berdasarkan Putusan Nomor 238 PK/PDT/2014. Sementara di pihak lain perkara ini juga diputus oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dengan Putusan Nomor 547/XI/ARB-BANI/2013 yang menyatakan bahwa BANI berwenang dalam mengadili perkara yang sama. Pertentangan kompetensi absolut antara dua lembaga tersebut tentu perlu diselesaikan dengan menentukan lembaga mana yang sebenarnya berwenang dalam menangani perkara bersangkutan. Berdasarkan kajian yang dilakukan dalam tulisan ini, diperoleh jawaban bahwa yang berwenang dalam mengadili perkara PT B melawan PT CTPI adalah BANI bukan pengadilan."
Jakarta: Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2017
353 JY 10:2 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Simamora, Petronella Maytea Lantio
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana aspek hukum dari keputusan dan pelaksanaan arbitrase di Indonesia dengan maksud untuk mempelajari penegakan arbitrase, upaya hukum terhadap putusan arbitrase serta kendala dalam pelaksanaan putusan arbitrase di Indonesia. Pasal 60 UU No. 30/1999 (UU Arbitrase dan APS) menyatakan bahwa putusan arbitrase bersifat final dan mengikat para pihak, artinya putusan tersebut tidak dapat diajukan banding, kasasi dan peninjauan kembali. Akan tetapi, berdasarkan Pasal 70 putusan arbitrase dapat dibatalkan. Selain itu, pelaksanaan putusan arbitase masih menghadapi kendala di dalam praktek. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase hanya akan efektif jika para pihak yang terlibat sengketa adalah para pihak yang bona fide, pihak yang menang berusaha supaya putusan arbitrase didaftarkan pada pengadilan negeri agar memiliki kekuatan hukum, dan pihak yang kalah tetap menghormati dan tidak menghalanghalangi eksekusi. Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif. Penelitian yang bersifat deskriptif dimaksudkan untuk menggambarkan serta menguraikan semua data yang diperoleh, terkait dengan permasalahan yang diteliti. Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan, yaitu dengan menganalisis putusan pengadilan serta membuat catatan dari buku literatur, peraturan perundang-undangan, dokumen dan hal-hal lain yang relevan dengan masalah yang diteliti. Selanjutnya data yang diperoleh diolah dan dianalisis lebih lanjut untuk menjawab permasalahan yang diteliti.

ABSTRACT
This study aimed to find out how the legal aspects of the decision and enforcement of arbitration in Indonesia with a view to study the enforcement of arbitration, the legal effort against the decision of arbitration as well as constraints in the execution of arbitration decision in Indonesia. Article 60 of Law No. 30/1999 (Arbitration and ADR Law) states that arbitral award is final and legally binding the parties, which means that the award could not be corrected by an appeal, cassation and review. However, in accordance with the Article 70 of the arbitration law the arbitral award can be annulled. Furthermore, the decision of arbitration is very hard to be implemented. It is due to the settlement of disputes through arbitration that will only be effective if the parties involved in the dispute are bona fide parties. The winning party tried to keep the decision of the Arbitration filed in state court in order to have legal force, and the losing party still respects and does not hinder the execution. This research includes the study of normative and descriptive legal. The research which is descriptive of this study are intended to illustrate and describe all the data obtained, related to the problem being investigated. In this research, data collection techniques used are literature studies, namely by analyzing court decisions and make notes of books of literature, legislation, documents and other matters relevant to the issues being investigated."
2016
T46529
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sarah Ully Puspita Rana
"Tesis ini membahas mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia. Indonesia telah mengaksesi Konvensi New York 1958 sejak 1981 yang berarti Indonesia tunduk pada konvensi untuk mengakui dan melaksanakan putusan dari arbitrase asing. Selanjutnya Indonesia membuat Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing sebagai peraturan pelaksana dan mengisi kekosongan dari peraturan hukum. Pada tahun 1990 dibuat Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang memuat peraturan mengenai arbitrase asing. Meskipun telah terdapatnya aturan yang mengatur mengenai putusan arbitrase asing akan tetapi pelaksanaan dari putusan arbitrase asing belum berjalan dengan baik. Indonesia dianggap sebagai “unfriendly arbitration state” yang terkadang sulit untuk melaksanakan putusan arbitrase, terutama yang melibatkan pihak asing. Pelaksanaan ini menjadi penting sebab penyelesaian sengketa kerap menjadi pilihan utama bagi investor asing. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah doktrinal terhadap bahan hukum serta dilakukan studi putusan dengan Nomor Putusan 26/PK/Pdt.Sus-Arbt/2016, Putusan Nomor 88 PK/Pdt.Sus-Arbt/2014, Putusan Nomor 795 K/Pdt.Sus-Arbt/2017. Putusan Nomor 154 K/Pdt/2018. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Indonesia telah memiliki ketentuan hukum mengenai putusan arbitrase asing. Pada studi putusan menunjukkan terdapat satu putusan yang ditolak dan tiga putusan yang diterima untuk diakui akan tetapi pihak yang kalah dalam putusan tersebut mengajukan upaya hukum sehingga putusan arbitrase asing tidak berjalan. Efektivitas dari putusan arbitrase belum berlaku efektif.

This thesis discusses the recognition and implementation of foreign arbitration awards in Indonesia. Indonesia has acceded to the 1958 New York Convention since 1981, which means that Indonesia is subject to the convention to recognize and enforce awards from foreign arbitration. Furthermore, Indonesia made Supreme Court Regulation Number 1 of 1990 Concerning Procedures for Executing Foreign Arbitration Awards as implementing regulations and filling the gaps in legal regulations. In 1990 Law Number 30 of 1999 Concerning Arbitration and Alternative Dispute Resolution was enacted which contained regulations regarding foreign arbitration. Even though there are rules governing foreign arbitration awards, the implementation of foreign arbitration awards has not gone well. Indonesia is considered an “unfriendly arbitration state” where it is sometimes difficult to implement arbitration awards, especially those involving foreign parties. This implementation is important because dispute resolution is often the main choice for foreign investors. The research method used in this research is doctrine on legal materials and a decision study was carried out with Decision Number 26/PK/Pdt.Sus-Arbt/2016, Decision Number 88 PK/Pdt.Sus-Arbt/2014, Decision Number 795 K/Pdt.Sus-Arbt/2017, Decision Number 154 K/Pdt/2018. The research results show that Indonesia has legal provisions regarding foreign arbitration awards. The study of decisions shows that there was one decision that was rejected and three decisions that were accepted to be recognized, but the party who lost the decision filed legal action so that the foreign arbitration award did not take effect. The effectiveness of the arbitration award has not yet become effective."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Febby Mutiara Nelson
"Kepastian hukum baik mengenai hukum materil yang menyangkut substansial maupun hukum formil yang menyangkut proses beracara di pengadilan sangat dibutuhkan untuk terselenggaranya kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemerintah Indonesia memberlakukan beberapa undang-undang penting ditengah krisis ekonorni dan reformasi yang tengah berlangsung tahun 1998. Banyak pihak menduga bahwa undang-undang yang diberlakukan adalah sebagai bagian dari nota kesepahaman (letter of intent) dengan pihak International Monetery Fund (IMF). Deregulasi terutama dilakukan pada beberapa materi perundang-undangan baru, khususnya yang menyangkut bidang perekonomian dan dunia usaha. Salah satunya adalah Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, dimana undang-undang ini sangat diharapkan oleh konsumen maupun pelaku usaha di Indonesia. Namun dalam pelaksanaan Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) tersebut tidak terlepas dari permasalahan hukum yang ada. Dalam UUPK dikenal adanya upaya keberatan terhadap putusan arbitrase yang diajukan pada tingkat pengadilan negeri. Hukum acara tentang ini diatur didalam Perma Nomor 1 tahun 2006, yang menyatakan bahwa BPSK bukanlah sebagai salah satu pihak yang bersengketa dan objek dari keberatan tersebut adalah putusan arbitrase BPSK yang memenuhi Pasal 6 UUPK. Majelis Hakim Pengadilan Negeri memeriksa keberatan hanya berdasarkan putusan BPSK dan berkas perkara yang diajukan. Dalam Perma tersebut tidak dijelaskan bagaimana bentuk keberatan tersebut, apakah gugatan atau permohonan, sedangkan dalam hukum acara perdata tidak dikenal upaya hukum keberatan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T18474
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Stellen Rosalina S
"Tesis ini mengkaji mengenai: (i) implementasi pranata Emergency Arbitration dan Emergency Interim Relief di beberapa negara; dan (ii) cara pengadopsian pranata tersebut ke dalam hukum arbitrase Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian empiris dengan menggunakan pendekatan perbandingan, pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Hasil penelitian menunjukan bahwa pranata Emergency Arbitration dan Emergency Interim Relief ini merupakan mekanisme yang dapat digunakan bagi para pihak yang memerlukan tindakan segera dalam keadaan mendesak bahkan sebelum dibentuknya majelis arbitrase. Pranata ini ditujukan untuk mempertahankan ataupun memulihkan status quo hingga akhir persidangan serta menjaga ketertiban proses arbitrase. Berbagai lembaga arbitrase internasional mulai mengadopsi pranata ini yang diperkenalkan pertama kali di tahun 1990 oleh ICC. Pranata ini dinilai dapat melindungi kepentingan mendesak para pihak, prosesnya sangat cepat serta dapat meningkatkan voluntary compliance. Akan tetapi, finalitas putusan Emergency Arbitrator masih menjadi isu kontroversial, akibat tidak dapat ditegakkan di bawah New York Convention 1958. Negara-negara mulai menerapkan strategi masing-masing guna mengatasi problematika tersebut, yaitu mengaturnya dalam hukum nasional masing-masing; melalui New York Convention 1958; dan melalui pendekatan analogi atas hukum nasional yang telah ada. Melihat berbagai kelebihan pranata ini serta kultur berperkara masyarakat Indonesia yang masih sering menunda-nunda pelaksanaan putusan arbitrase sehingga kepentingan pihak yang menang menjadi dirugikan. Maka sudah sepantasnya Indonesia juga ikut mengadopsi pranata ini ke dalam peraturan lembaga arbitrase terkait mengenai hukum acara dan aturan teknis serta ke dalam UU No.30 Tahun 1999, khususnya pasal mengenai definisi arbiter darurat serta pasal pengakuan dan penegakan Emergency Interim Relief.

This thesis examines (i) the implementation of Emergency Arbitration and Emergency Interim Relief regulations in several countries; and (ii) the method of adopting this regulations into Indonesian Arbitration law. The method used in this research is empirical research using a comparative approach, statutory approach, and case approach. The research results show that Emergency Arbitration and Emergency Interim Relief regulations are mechanisms that can be used for parties who require immediate action in an urgent situation even before the arbitral tribunal was formed. This regulation is aimed at maintaining or restoring the status quo until the end of the trial as well as maintaining order in the arbitration process. Various international arbitration institutions have begun to adopt this regulation which was first introduced in 1990 by the ICC. This regulation is considered to be able to protect the urgent interests of the parties, very fast process and can increase voluntary compliance. However, the finality of the Emergency Arbitrator's decision is still a controversial issue, because it cannot be enforced under the 1958 New York Convention. Countries have begun to implement their respective strategies to overcome these problems, namely regulating them in their respective national laws; through the New York Convention 1958; and through an analogy approach to existing national laws. Seeing the various advantages of this regulation and also the Indonesian litigation culture who often delay the implementation of arbitrator decisions and cause the disadvantage for the interests of the winning party. Then it is appropriate that Indonesia also adopts this regulation into the arbitration institutions rules regarding procedural law and technical rules as well as into Law No.30 of 1999 regarding the definition of emergency arbitrator also the recognition and enforcement of Emergency Interim Relief."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Arbitrase adalah forum yang paling populer dipilih oleh para pemangku kepentingan pada sengketa perdagangan InternationaI di beberapa negara. Ada beberapa argumen sehingga beberapa stakeholder memilih arbitrase untuk menyelesaikan sengketa. Tapi kadang-kadang, di negara-negara tertentu masih ada beberapa hambatan dalam mengenali dan menegakkan penghargaan Meskipun ada Konvensi Internasional tentang Pengakuan dan Penegakan arbitrase asing dengan nama THC New York Convention 7958, namun pada kenyataannya, konvensi tidak dapat dilaksanakan ' artikel ini akan mengeksplorasi konsep-konsep dasar dari arbitrase, pemikiran forum dn arbitrase whiether adalah cara terbaik untuk menyelesaikan sengketa perdagangan internasional. Pembahasan akan menjelaskan kebijakan publik merupakan dasar untuk menolak atau annult penghargaan arbitrase internasional, yang akhir diskusi akan menjelaskan beberapa kasus perdagangan internasional di Indonesia.

Arbitration is the most PoPular forum chosen by the stakeholders on the internationai trade disputes in some
countries. There are some arguments so some stakeholders choose an arbitration to settle the disputes. But sometimes, in certain countries there are still some impediment in recognize and enforcing the awards Although there is an Internatìonal Conventíon on The Recognition and Enforcement of foreign arbitral awards with named Thc New York Convention 7958, but in reality, the convention cannot be implemented' This article will explore the basic concepts of arbitration, the thinking of whiether dn arbitration forum is the best way to settle an international trade dispute's. The díscussion will descríbe of public policy is a ground for refuse or annult the international arbitration awards, The end of discussion will describe some international trade cases in Indonesia."
Universitas Indonesia, 2013
MK-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Silitonga, Andri Malkiyano
"Perkembangan litigasi perubahan iklim dalam beberapa dekade terakhir memungkinkan individu dan kelompok mengajukan gugatan langsung terkait isu dan kebijakan perubahan iklim. Meskipun pengadilan berperan penting, penggunaan penyelesaian di luar pengadilan masih minim. Padahal, isu perubahan iklim bersifat luas, kompleks, dan melibatkan banyak pihak di luar batas yurisdiksi negara. Tulisan ini mengeksplorasi potensi mekanisme arbitrase sebagai forum penyelesaian sengketa di luar pengadilan untuk menangani sengketa yang berkaitan dengan perubahan iklim. Hasil yang ditemukan adalah sengketa perubahan iklim yang diajukan melalui arbitrase memiliki perbedaan karakteristik dibandingkan dengan forum pengadilan. Sengketa yang diajukan setidaknya merupakan isu peripheral, di mana perubahan iklim merupakan motivasi suatu gugatan meskipun bukan merupakan suatu bahasan secara utuh. Sengketa dapat diselesaikan dengan adanya mutual consent antara pihak, di mana sengketa yang timbul antara lain timbul dari perubahan komitmen pemerintah mengenai kebijakan perubahan iklim serta kegagalan pemerintah dalam mengatasi dampak perubahan iklim. Di Indonesia, arbitrase dapat digunakan untuk menyelesaikan sengketa perubahan iklim dengan cara mengadakan arbitrase secara Ad hoc maupun institusional. Berkaca dari komitmen Indonesia terkait perubahan iklim, arbitrase memiliki potensi besar untuk menyelesaikan sengketa perubahan iklim yang timbul di masa depan.

The development of climate change litigation in recent decades has allowed individuals and groups to directly file lawsuits related to the issues and policies of climate change. Despite the crucial role of the courts, the use of non-litigation dispute resolution is still minimum. However, the issue of climate change is broad, complex, and involves many parties beyond the jurisdiction of a single country. This article explores the potential of arbitration mechanisms as a dispute resolution forum outside the court system to address disputes related to climate change. The findings indicate that climate change disputes submitted through arbitration exhibit different characteristics compared to court forums. These disputes are typically peripheral issues, where climate change serves as the motivation for a lawsuit rather than the main focus. Disputes can be resolved through mutual consent, with issues arising from changes in government commitments to climate change policies and the government's failure to address the impacts of climate change. In Indonesia, arbitration can be used to settle climate change disputes through ad hoc or institutional arbitration. Reflecting on Indonesia's commitment to climate change, arbitration has significant potential to resolve future climate change disputes."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yasmine Dwihanjani
"Arbitrase adalah salah satu alternatif penyelesaian sengketa yang banyak diminati oleh masyarakat. Pelaksanaan arbitrase didasarkan pada suatu perjanjian arbitrase yang memberikan kewenangan mengadili kepada arbiter/majelis arbitrase. Namun, ketika perjanjian pokok yang mengandung perjanjian arbitrase berakhir atau batal, timbul pertanyaan mengenai keabsahan perjanjian arbitrase di dalamnya dan kewenangan mengadili arbiter/majelis arbitrase. Hal tersebut berkaitan erat dengan prinsip separabilitas dan Kompetenz-Kompetenz. UU Arbitrase mengatur prinsip separabilitas, namun tidak terdapat ketentuan yang jelas mengenai Kompetenz-Kompetenz atau forum mana yang sebenarnya berwenang untuk mengadili sengketa mengenai keabsahan perjanjian arbitrase dan kewenangan arbiter/majelis arbitrase. Dalam praktiknya, putusan pengadilan Indonesia juga masih menunjukkan inkonsistensi dalam pelaksanaan prinsip separabilitas dan penentuan pihak yang berwenang untuk memeriksa keabsahan perjanjian arbitrase dan wewenang arbiter/majelis arbitrase. Penelitian ini akan menggali alasan negara Indonesia tidak mengatur prinsip Kompetenz-Kompetenz bersamaan dengan separabilitas secara tegas, akibat hukum batal atau berakhirnya perjanjian pokok terhadap perjanjian arbitrase di dalamnya ditinjau dari prinsip separabilitas dan Kompetenz-Kompetenz, dan kecukupan ketentuan kompetensi pengadilan dalam UU Arbitrase untuk mengakomodasi pelaksanaan arbitrase di Indonesia. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui studi pustaka serta menggunakan metode deskriptif evaluatif dan pendekatan perbandingan hukumdengan negara Singapura, Malaysia, Filipina, dan Vietnam sebagai negara pembanding. Hasil penelitian menunjukkan bahwa UU Arbitrase tidak mengatur prinsip Kompetenz-Kompetenz bersamaan dengan separabilitas secara tegas karena politik demikian yang dipilih oleh pembuat undang-undang. Adapun berdasarkan prinsip separabilitas dan Kompetenz-Kompetenz, batal atau berakhirnya perjanjian pokok tidak membatalkan perjanjian arbitrase dan menghilangkan wewenang mengadili arbiter/majelis arbitrase. Dapat disimpulkan pula bahwa ketentuan kompetensi pengadilan dalam UU Arbitrase perlu diperjelas agar dapat mengakomodasi pelaksanaan arbitrase di Indonesia dengan lebih baik.
.....Arbitration is an alternative dispute resolution that is much in demand by the public. The implementation of arbitration is based on an arbitration agreement which bestows the authority to adjudicate to an arbitrator/arbitral tribunal. However, when the main agreement containing the arbitration agreement is cancelled or expires, questions regarding the validity of the arbitration agreement contained therein and the arbitrator/arbitral tribunal’s authority to adjudicate arise. This is closely related to the principle of separability and Kompetenz-Kompetenz. Indonesia Arbitration Law regulates the principle of separability, yet there are no clear provisions regarding Kompetenz-Kompetenz or which forum is authorized to adjudicate disputes regarding the validity of the arbitration agreement and the authority of the arbitrator/arbitral tribunal. In practice, a form of inconsistency can still be found within Indonesian court decisions which dealt with the implementation of the separability principle and the determination of a competent forum to assess the validity of the arbitration agreement and the authority of the arbitrator/arbitral tribunal. This research will explore the reasons as to why Indonesia Arbitration Law does not clearly regulate the principle of Kompetenz-Kompetenz together with separability, the legal consequences of canceling or terminating the main agreement on the arbitration agreement contained within it in terms of the separability and Kompetenz-Kompetenz principle, and the adequacy of provisions regarding competence of courts in Indonesia Arbitration Law to accommodate the execution of arbitration in Indonesia. The data collection in this research was carried out through literature study by implementing a descriptive evaluative method and a comparative legal approach with Singapore, Malaysia, the Philippines and Vietnam as the countries used for comparison. The results of the study show that Indonesia Arbitration Law does not clearly regulate the principle of Kompetenz-Kompetenztogether with separability because such politics was chosen by the legislators. Moreover, based on the principle of separability and Kompetenz-Kompetenz, canceling or terminating the main agreement neither cancels the arbitration agreement within it nor eliminates the authority of the arbitrator/arbitral tribunal. It can also be concluded that the provisions on the competence of courts within the Arbitration Law need to be clarified in order to better accommodate the implementation of arbitration in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>