Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 128207 dokumen yang sesuai dengan query
cover
I.G.N. Putra Gunadhi
"Untuk menilai manfaat tindakan Kontra Pulsasi Extemal Diperkuat
(KPEK - ’EECP’) pada penatalaksanaan penderita APS, telah dilakukan penelitian "pre-post uncontrolled clinical trials" terhadap 38 penderita APS (36 laki-laki, 2 wanita) berumur rata-rata 56,31±1,34 tahun dengan rentang usia 43 - 73 tahun, dilakukan di RS Jantung Harapan Kita Jakarta pada periode 1 Desember 1992 sampai dengan 31 Agustus 1993. Semua penderita menjalani tindakan KPEK 36 jam, 1 jam setiap hari yang sama) pra dan pasca tindakan KPEK serta perubahan keluhan subyektif
pasca tindakan. 35 orang diantaranya dievaluasi dengan uji latih Jantung beban dan skintigrafi talium 1 minggu pra dan pasca tindakan KPEK. Didapatkan perbaikan kelas angina sesuai kriteria CCS pada 32 (84,2%) penderita serta. Dari hasil skintigrafi talium 201, 9 penderita (23,6%) tidak
didapatkan defek iskemi lagi, pengurangan area iskemi didapatkan pada 24 penderita (63,2%) dan hanya 5 penderita (13,2%) tidak mengalami perbaikan. Sehingga total penderita yang menunjukkan perbaikan defek iskemi adalah 33 orang (86,8%). Toleransi latihan (’exercise duration’) dari ULJB juga mengalami peningkatan pada kelompok penderita yang menunjukkan bebas defek iskemi dari 5,76±2,35 menjadi 7,78±2,28 menit (P<0,02), demikian juga pada kelompok yang menunjukkan pengurangan area iskemi dari 5,61±2,19 menjadi 6,65±1,85 menit ( P < 0,05 ). Sedangkan pada kelompok yang tidak
mengalami perbaikan tidak menunjukkan peningkatan toleransi latihan. Produk ganda pada ULJB pada kelompok penderita yang mengalami bebas defek iskemi menunjukkan penurunan dari 25166,67±4609,26 menjadi 24503,33±4012,03 ( P < 0,001 ), demikian juga pada kelompok yang menunjukkan pengurangan area iskemi dari 22910,48±6193,11 menjadi 21644,29±4227,46 ( P < 0,001 ), tapi sebaliknya pada kelompok yang tidak mengalami perbaikan menunjukkan peningkatan dari 23392±4470,75 menjadi 26908±5738,59 mmHg LJ/menlt ( P < 0,001 ). Perbaikan defek reperfusi dan peningkatan toleransi latihan menggambarkan perbaikan perfusi koroner ke daerah miokard yang mengalami iskemi."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1994
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
S Nugroho Hadisumarto
"Telah dilakukan penelitian Rancangan Analitik dengan Studi
Kros-seksional tentang Penilaian aktivitas koagulasi darah
pada pender ita APTS.
Penelitian dilakukan di RS Jantung Harapan Kita selama
periode 1 Februari 1993 sampai dengan 1 Agustus 1993 .
Didapatkan 46 penderita APTS yang memenuhi kriteria penelitian,
terdiri dari 37 kasus laki-laki (80,4%) dan 9 kasus wanita
(19,6%) dengan umur rata-rata 57,37 ± 11,73 tahun.
Sebagai kelompok kontrol didapat 25 APS penderita yang terdiri
dari 20 kasus laki-laki (80%) dan 5 kasus wanita (20%) dengan
umur rata-rata 57,88 ± 7,33 tahun.
Pada analisa bivariat dengan uji T tidak terdapat perbedaan
yang bermakna yaitu nilai PT dan APTT pada kelompok APTS
dengan APS. Sedang nilai MR pada kelompok APTS dan kontrol
terdapat
dibanding
perbedaan yang bermakna yaitu 75,39 ± 17,54 detik
106,48 ± 23,47 detik (p<0,05), nilai MR pender ita
APTS terlihat jelas memendek dimana hal ini menunjukkan adanya
peningkatan aktivitas koagulasi (hiperkoagulasi).
Pemendekan nilai MR didapat pada 43 kasus APTS (93,4%)
dibanding 3 kasus APS (12%). Dengan uji Kai Kwadrat terdapat
perbedaan yang sangat bermakna antara kedua kelompok ini (p <
0,01). Hal ini menunjukkan bahwa penderita APTS mempunyai
peluang untuk memdapatkan hasil pemendekan MR 7,8 kali lebih
besar dibanding penderita APS. Dari segi diagnostik adanya peningkatan aktivitas koagulasi pada penderita APTS dengan pemeriksaan MR mepunyai sensitivitas dan spesifitas yang tinggi yaitu 93,4% dan 88X sehingga
cukup baik sebagai pemeriksaan penunjang.
Akhirnya dengan analisis statistik regresi logistik ganda
didapatkan faktor risiko merokok mempunyai peranan bermakna
terhadap peningkatan aktivitas koagulasi. Sedangkan hipertensi, hiperkolesterolemia dan diabetes melitus pada keadaan iskemik akut tidak terlihat mempunyai peranan yang bermakna terhadap peningkatan aktivitas koagulasi."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1994
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jetty H. Sedyawan
"ABSTRAK
Angina pektoris Tak Stabil (ATS) adalah sindroma klinik yang berbahaya, merupakan pola angina pektoris yang dapat berubah menjadi infark miokard ataupun kematian. ATS menarik perhatian karena letaknya pada spektrum iskemia miokard di antara angina pektoris stabil dan infark miokard, sehingga merupakan tantangan dalam upaya pencegahan terjadinya infark miokard. Tujuan penelitian adalah untuk menentukan faktor-faktor penunjuk prognosis, mengetahui gambaran insiden infark miokard dan tingkat kematian pada ATS selama perawatan rumah sakit dan perawatan tindak lanjut ("follow up").
Dilakukan penelitian prospektif terhadap penderita ATS yang dirawat di RS Jantung Harapan Kita, Jakarta dalam periode waktu antara 1 Oktober 1985 sampai 1 Oktober 1987. Dari 114 penderita ATS yang dirawat dalam periode waktu tersebut, terdapat 48 penderita yang memenuhi persyaratan penelitian, terdiri dari 43 laki-laki dan 5 wanita dengan usia antara 43-67 tahun. Kriteria diagnosis ATS adalah angina pertama kali, angina kresendo, angina saat istirahat dan angina sesudah Infark Miokard Akut (IMA) tanpa disertai perubahan enzim dan elektrokardiogram dari IMA. Ketentuan lain adalah adanya perubahan sementara gambaran elektrokardiogram, yaitu segmen ST, gelombang T atau keduanya sewaktu angina. Penelitian meliputi 3 fase, yaitu fase akut, rawat dan tindak lanjut. Setiap kasus mengikuti ketiga fase tersebut. Rangkaian fase akut dan fase rawat merupakan lama perawatan rumah sakit. Lama fase tindak lanjut: 6-30 bulan dengan rata-rata: 17.23 ± 6.45 bulan.
Hasil analisa penelitian menunjukkan bahwa kebiasaan merokok (p<0,05), Rasio Torak Jantung (CTR) >60% (p<0,01) dan adanya angina berulang ("recurrent angina") (p<0,01) merupakan faktor-faktor risiko terjadinya IMA pada ATS. Kombinasi faktor-faktor tersebut meningkatkan insiden IMA. Insiden IMA masing-masing 100% dan 0% pada penderita-penderita dengan 3 faktor dan tanpa faktor risiko. Nilai risiko relatif merokok 3.89, angina berulang 5.38 dan CTR>60 % 4.55. Insiden IMA dalam perawatan rumah sakit 6.25% dan pada fase tindak lanjut 20.45%. Tingkat kematian fase perawatan rumah sakit 2.08% dan fase tindak lanjut 0.00%.
Dengan mengetahui faktor-faktor risiko sebagai penunjuk prognosis dan data menunjukkan insiden IMA pada penderita ATS cukup tinggi, maka penatalaksanaan ATS harus optimal, khususnya yang disertai faktor-faktor risiko tersebut. Selain pengobatan farmakologis perlu dilakukan pemeriksaan angiografi koroner untuk selanjutnya bila ada indikasi dapat dilakukan tindakan revaskularisasi dalam upaya pencegahan terjadinya infark miokard dan kematian. "
1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Grace Wilmayanti
"Program Rujuk Balik (PRB) merupakan pelayanan pemberian obat-obatan untuk peserta BPJS penderita penyakit kronis di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) atas surat keterangan yang dibuat oleh dokter spesialis/sub spesialis sehingga memudahkan pasien penderita penyakit kronis dengan kondisi sudah stabil untuk mendapatkan obat-obatan yang diresepkan untuk pemeliharaan kondisi kronisnya selama tiga bulan berturut-turut. Salah satu penyakit kronis kardiovaskular dengan angka pembiayaan tinggi yang ditanggung dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) serta diatur dalam PRB adalah angina pectoris. Resep pasien dengan diagnosis angina pectoris perlu dilakukan pengkajian resep secara teliti oleh seorang Apoteker di Apotek yang melayani resep PRB BPJS Kesehatan untuk meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian, melindungi pasien dari penggunaan obat yang tidak rasional, serta menghindari kerugian materil bagi Apotek yang melayani resep BPJS Kesehatan. Data diperoleh dari resep-resep PRB BPJS Kesehatan yang dilayani oleh Apotek Kimia Farma 48 Matraman sejak tanggal 2 sampai 27 Oktober 2023. Resep pasien dengan diagnosis Angina Pectoris (I 20.8) yang tertera pada lembar Surat Rujukan Balik (PRB) Fasilitas Kesehatan Jakarta. Pada ketiga resep, ketidaklengkapan aspek administrasi meliputi berat badan pasien, paraf dokter, dan nomor resep. Pada aspek farmasetik tidak ditemukan masalah. Pada aspek klinis, masalah yang teridentifikasi adalah efek samping dan interaksi obat.

The Refer-Back Program (PRB) is a service providing medicines for National Health Insurance (BPJS) participants suffering from chronic diseases at First Level Health Facilities based on a certificate made by a specialist/sub-specialist doctor, making it easier for patients suffering from chronic diseases whose conditions are stable to obtain prescribed medication for the maintenance of their chronic condition for three consecutive months. One of the chronic cardiovascular diseases with high funding rates which is covered by the National Health Insurance and regulated in the PRB is angina pectoris. Prescriptions for patients with a diagnosis of angina pectoris need to be carefully reviewed by a pharmacist at a pharmacy that serves PRB BPJS Health prescriptions to improve the quality of pharmaceutical services, protect patients from irrational drug use, and avoid material losses for pharmacies that serve BPJS Health prescriptions. Data was obtained from PRB BPJS Health prescriptions served by Kimia Farma 48 Matraman Pharmacy from 2 to 27 October 2023. Prescriptions for patients with a diagnosis of Angina Pectoris (I 20.8) listed on the Jakarta Health Facility Counter Referral Letter (PRB) sheet. In the three prescriptions, incomplete administrative aspects included the patient's weight, doctor's initials and prescription number. In the pharmaceutical aspect, no problems were found. In the clinical aspect, the problems identified are side effects and drug interactions.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
PR-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Widyastuti
"[ABSTRAK
Latar belakang. Angka kejadian akut kardiovaskular diperkirakan akan semakin
meningkat. Pasien dengan Angina APS dapat berkembang menjadi Sindroma Koroner Akut
(SKA). Konsep proses inflamasi dan stress oksidatif berperan terhadap patogenesis
atherosklerosis. Radikal bebas seperti reactive oxygen atau nitrogen species, dan HOCL
(hypochlorous acid) dapat mengakibatkan kerapuhan plak. HOCL merupakan Reactive
Oxygen Species (ROS) kuat yang menyebabkan ketidakstabilan plak sehingga mudah ruptur.
Plak yang mudah ruptur disebut plak vulnerable. HOCL adalah substrat yang dihasilkan oleh
myeloperoxidase (MPO). Studi histopatologi plak vulnerablemenilai ukuran pusat nekrotik adalah
prediktor kuat terjadinya ruptur plak (OR 0.35; P <0.05), dan (OR 2.0; P <0.02).CT angiografi
koroner adalah suatu modalitas pencitraan non invasif yang mampu memvisualisasi
morfologi plak vulnerable salah satunya dengan mengidentifikasi adanya Napkin Ring Sign
(NRS). NRS sangat spesifik untuk menilai pusat nekrotik. Studi ini bertujuan melihat hubungan
MPO dengan plak vulnerableyang dinilai dengan Napkin Ring Sign pada pasien angina pektoris
stabil.
Metode. Penelitian ini adalah studi potong lintang yang dilakukan di Pusat Jantung Nasional
Harapan Kita dari periode Juni ? November 2014. Studi dilakukan pada 41 subyek, pada
pasien dengan angina pektoris stabil, jumlah laki ? laki sebanyak 32 orang ( 78%) dan
perempuan 9 orang (22%), Pengambilan sampel secara konsekutif. Pengukuran kadar MPO
dilakukan dengan menggunakan colorimetri assay. Pemeriksaan CT angiografi koroner
dilakukan untuk mengidentifikasi NRS.Analisa statistik untuk mencari hubungan antara
kadar MPO dengan plak vulnerable yang ditandai dengan NRSpada pemeriksaan CT
angiografi koroner.
Hasil.Kadar MPO (nmol) pada pasien dengan positif NRS lebih tinggi dibandingkan yang
negatif 124,371 + 15,324 vs 105,206 + 18,335, aktivitas MPO (milliunit/mL) 829,136 +
102,157 vs701,371 + 122,235. Analisa bivariat erdapat hubungan yang bermakna antara
kadar MPO dengan NRS p 0,002, IK 95%2.3,0 - 39,9. Dari multivariat regresi logistik
didapatkan kadar MPO > 117,2 (median), memiliki OR 9,6 (IK 95% 2,3 -39) dengan p
0,002. Setelah dilakukan penyesuaian dengan faktor resiko, pada analisa multivariat regresi
logistik, didapatkan OR 20,3 (IK 95% 3,1-31,7) dengan p 0,002.
Kesimpulan. Kadar MPO memiliki hubungan yang bermakna dengan plak vulnerable yang
ditandai dengan temuan NRS pada CT angiografi koroner pada pasien dengan APS.
Kata kunci : atherosklerosis, plak vulnerable, myeloperoxidase, napkin ring sign.

ABSTRACT
Background.Coronary Heart Disease ( CHD) is still the major health problem in worldwide.
Atherosclerosis is a chronic inflammatory process where oxidative damage play a role in
atherosclerosis. Overexpression of Reactive Oxygen Species ( ROS) could be detrimental and
weaken the plaque. This type of plaque is often referred to as vulnerable plaque. Reactive
oxygen or nitrogen species, and HOCL (hypochlorous acid) responsible for plaque
vulnerability leading to Acute Coronary Syndrome. HOCL is a substrat of Myeloperoxidase
(MPO). MPO is a member of the heme peroxidase superfamily, generates reactive oxidants
contributes to plaque vulnerability. Coronary Computed Tomography Angiography (CCTA)
is a non invasive modality which able to identify morphology of vulnerable plaque. Napkin-
Ring Sign (NRS) has been associated with high-risk plaques in several studies.
Methods. A cross sectional study in 41 patients stable angina pectoris was done.The subjects
was taken blood sample and underwent CCTA to evaluate NRS in National Cardiovascular
Center Harapan Kita from June to November 2014. Statistical analysis is done to explore the
association between MPO and vulnerable plaque marked with NRS in stable angina pectoris.
Results. There was association between MPO level with vulnerable plaque marked with
Napkin Ring Sign, p value 0,002 , CI 95%2.3,0 - 39.9. Level of MPO is higher in positif
NRS vs non NRS (nmol) 124,371 + 15,324 vs 105,206 + 18,335, activity of MPO
(milliunit/mL) 829,136 + 102,157 vs701,371 + 122,235. Logistic regression analysis showed
level of MPO ≥ 117,2 nmol (median), OR 9,6 (CI95% 2,3 -39) p value0,002. After
adjustment with confounding factor MPO level ≥ 117,2 nmol (median), OR 20,3 (IK 95%
3,1-31,7) , p value 0,002.
Conclusion.There was association between Myeloperoxidase level with vulnerable plaque
marked with Napkin Ring Sign;Background.Coronary Heart Disease ( CHD) is still the major health problem in worldwide.
Atherosclerosis is a chronic inflammatory process where oxidative damage play a role in
atherosclerosis. Overexpression of Reactive Oxygen Species ( ROS) could be detrimental and
weaken the plaque. This type of plaque is often referred to as vulnerable plaque. Reactive
oxygen or nitrogen species, and HOCL (hypochlorous acid) responsible for plaque
vulnerability leading to Acute Coronary Syndrome. HOCL is a substrat of Myeloperoxidase
(MPO). MPO is a member of the heme peroxidase superfamily, generates reactive oxidants
contributes to plaque vulnerability. Coronary Computed Tomography Angiography (CCTA)
is a non invasive modality which able to identify morphology of vulnerable plaque. Napkin-
Ring Sign (NRS) has been associated with high-risk plaques in several studies.
Methods. A cross sectional study in 41 patients stable angina pectoris was done.The subjects
was taken blood sample and underwent CCTA to evaluate NRS in National Cardiovascular
Center Harapan Kita from June to November 2014. Statistical analysis is done to explore the
association between MPO and vulnerable plaque marked with NRS in stable angina pectoris.
Results. There was association between MPO level with vulnerable plaque marked with
Napkin Ring Sign, p value 0,002 , CI 95%2.3,0 - 39.9. Level of MPO is higher in positif
NRS vs non NRS (nmol) 124,371 + 15,324 vs 105,206 + 18,335, activity of MPO
(milliunit/mL) 829,136 + 102,157 vs701,371 + 122,235. Logistic regression analysis showed
level of MPO ≥ 117,2 nmol (median), OR 9,6 (CI95% 2,3 -39) p value0,002. After
adjustment with confounding factor MPO level ≥ 117,2 nmol (median), OR 20,3 (IK 95%
3,1-31,7) , p value 0,002.
Conclusion.There was association between Myeloperoxidase level with vulnerable plaque
marked with Napkin Ring Sign, Background.Coronary Heart Disease ( CHD) is still the major health problem in worldwide.
Atherosclerosis is a chronic inflammatory process where oxidative damage play a role in
atherosclerosis. Overexpression of Reactive Oxygen Species ( ROS) could be detrimental and
weaken the plaque. This type of plaque is often referred to as vulnerable plaque. Reactive
oxygen or nitrogen species, and HOCL (hypochlorous acid) responsible for plaque
vulnerability leading to Acute Coronary Syndrome. HOCL is a substrat of Myeloperoxidase
(MPO). MPO is a member of the heme peroxidase superfamily, generates reactive oxidants
contributes to plaque vulnerability. Coronary Computed Tomography Angiography (CCTA)
is a non invasive modality which able to identify morphology of vulnerable plaque. Napkin-
Ring Sign (NRS) has been associated with high-risk plaques in several studies.
Methods. A cross sectional study in 41 patients stable angina pectoris was done.The subjects
was taken blood sample and underwent CCTA to evaluate NRS in National Cardiovascular
Center Harapan Kita from June to November 2014. Statistical analysis is done to explore the
association between MPO and vulnerable plaque marked with NRS in stable angina pectoris.
Results. There was association between MPO level with vulnerable plaque marked with
Napkin Ring Sign, p value 0,002 , CI 95%2.3,0 - 39.9. Level of MPO is higher in positif
NRS vs non NRS (nmol) 124,371 + 15,324 vs 105,206 + 18,335, activity of MPO
(milliunit/mL) 829,136 + 102,157 vs701,371 + 122,235. Logistic regression analysis showed
level of MPO ≥ 117,2 nmol (median), OR 9,6 (CI95% 2,3 -39) p value0,002. After
adjustment with confounding factor MPO level ≥ 117,2 nmol (median), OR 20,3 (IK 95%
3,1-31,7) , p value 0,002.
Conclusion.There was association between Myeloperoxidase level with vulnerable plaque
marked with Napkin Ring Sign]"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suci Indriani
"Latar Belakang: Statin (3-hydroxy-3-methylglutaryl coenzyme A reductase inhibitors) melalui efek pleiotrofiknya telah terbukti menurunkan angka kejadian kardiovaskular mayor (KKM) setelah intervensi perkutan pada pasien angina pektoris stabil maupun pasien sindroma koroner akut. Namun masih banyak perdebatan mengenai manfaat statin segera sebelum dilakukan intervensi perkutan primer (IKPP) pada pasien IMA-EST. Tujuan: Untuk mengetahui pengaruh pemberian terapi akut atorvastatin dosis tinggi (80 mg) dan plasebo sebelum IKPP terhadap perfusi mikrovaskular pada pasien IMA-EST yang dinilai dengan teknik IRM (indeks resistensi mikrovaskular). IRM merupakan pemeriksaan mikrovaskular yang spesifik dan bersifat kuantitatif, dapat memberikan nilai prognostik dan prediktor perbaikan fungsi ventrikel kiri setelah dilakukannya IKPP. Metode: Penelitian ini merupakan studi eksperimental acak yang tersamar ganda. Diberikan atorvastatin dosis 80 mg atau plasebo. Sampel diambil secara consecutive dari populasi terjangkau IMA-EST yang menjalani IKPP dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Reperfusi miokardium dinilai dengan parameter IRM dengan menggunakan kawat dengan sensor tekanan dan suhu setelah IKPP selesai dilakukan. Hasil Penelitian: Terdapat 66 sampel yang terbagi dalam 2 kelompok yakni 32 orang mendapatkan atorvastatin 80 mg dan 34 orang mendapatkan plasebo. Tidak didapatkan perbedaan yang signifikan pada kelompok yang mendapatkan atorvastatin 80 mg dan plasebo dalam hal parameter fractional flow reserve (FFR) (0.94 vs. 0.96, p = 0.39), coronary flow reserve (CFR) (1.1 vs. 1.2, p = 0.09) dan IRM (41.54 [12.8-198.2] vs. 41.60 [10.4 ? 200.3], p = 0.61). Kesimpulan: Pemberian terapi atorvastatin dosis tinggi 80 mg sebelum tindakan IKPP pada pasien IMA-EST tidak memberikan pengaruh terhadap perfusi mikrovaskular yang dinilai dengan parameter IMR.
Background: Statin (3-hydroxy-3-methylglutaryl coenzyme A reductase inhibitors), given before percutaneous coronary intervention (PCI) was proven to reduce Major Cardiovascular Events (MACE) in patient with stable angina as well as acute coronary syndromes through its pleiotropic effect. Nevertheless, the debate regarding statin administration before primary PCI (PPCI) in STEMI patients is still on the rise. Objective: To establish therapeutic effect of high dose atorvastatin (80 mg) and placebo before primary PCI on microvascular perfusion in STEMI patient using index of microcirculatory resistance (IMR). IMR are specific and quantitative assessment of coronary microvascular dysfunction, reliable on-site predictors of short-term myocardial viability and left ventricle functional recovery of patients undergoing primary PCI for STEMI. Methods: This study is a double blind randomized controlled trial. A high loading dose of atorvastatin (80 mg) or placebo was administered before PPCI. Samples were taken from the population of STEMI patients which underwent PPCI and meet the inclusion and exclusion criteria. The primary end point of this study is IMR. After successful primary percutaneous coronary intervention, IMR was measured using a pressure-temperature sensor-tipped coronary guidewire. Result: Total of 66 patients was divided into 2 groups, atorvastatin group (32 patients) and placebo group (34 patients). There were no significant differences between both groups in regard of fractional flow reserve (FFR) (0.94 vs. 0.96, p = 0.39), coronary flow reserve (CFR) (1.1 vs. 1.2, p = 0.09) and also IMR (41.54 [12.8-198.2] vs. 41.60 [10.4 ? 200.3], p = 0.61). Conclusion: Administration of high loading dose of atorvastatin (80 mg) before primary PCI in STEMI patients didn?t have effect on microvascular perfusion measured by index of microcirculatory resistance."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Barri Fahmi
"Latar belakang. Nekrosis miokardium menginduksi reaksi inflamasi yang hebat dan penempelan netrofil melalui Intercellular Adhesion Molecule (ICAM). Hasil studi ARMYDA-CAMS menunjukkan bahwa pemberian Atorvastatin secara kontinyu pra-Intervensi Koroner Perkutan (IKP) dapat menurunkan kadar ICAM pasca-tindakan pada pasien dengan Angina Pektoris Stabil (APS). Hingga saat ini belum ada penelitian yang melihat efek akut pemberian Atorvastatin 80 mg pada pasien Infark Miokardum Akut dengan Elevasi Segmen ST (IMA-ST) yang menjalani Intervensi Koroner Perkutan Primer (IKPP).
Metode. Penelitian ini merupakan suatu uji klinis acak tersamar ganda. Evaluasi dilakukan pada 76 pasien IMA-ST yang menjalani IKPP di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita dari bulan Februari hingga bulan Agustus 2014. Pasien dibagi secara acak tersamar ganda menjadi dua kelompok (Atorvastatin 80 mg dan Plasebo). Pemeriksaan ICAM diambil dua kali (0 dan 24 jam pasca-IKPP). Dilakukan analisis statistik untuk menilai efek pemberian Atorvastatin yang dinilai dengan delta ICAM.
Hasil. Tidak terdapat perbedaan bermakna pada data dasar kedua kelompok dalam hal klinis, pemeriksaan penunjang, dan angiografik. Nilai delta ICAM menunjukkan perbedaan yang signifikan, yaitu pada kelompok Atorvastatin 80 mg (-13,0±38,5 ng/mL) dan Plasebo (26,1±67,0 ng/mL, p 0,003). Analisa regresi linear (adjusted analysis; sesuai usia, jenis kelamin, diabetes, dan insufisiensi renal) menunjukkan koefisiensi -31,17 ng/mL dengan p 0,037.
Kesimpulan. Pemberian Atorvastatin 80 mg secara akut pada pasien IMA-ST menurunkan respon inflamasi endotelium yang dinilai dengan kadar ICAM.

Background. Myocardial necrosis triggers complement activation and neutrophyl adhesion which is mediated by Intercellular Adhesion Molecule (ICAM). Results from ARMYDA-CAMS, showed that Atorvastatin continuous treatment reduced ICAM value in patients with stable angina pectoris. To date, there are no study yet which investigates the effect of acute Atorvastatin 80 mg treatment in patients with ST Segment Elevation Myocardial Infarction (STEMI) post Primary Percutaneous Coronary Intervention (PPCI).
Methods. This is a randomized, double-blinded, controlled trial. Evaluations were performed on 76 STEMI patients who underwent PPCI at National Cardiac Center Harapan Kita (NCCHK) from February 2014 to August 2014. Patients were randomly classified into two groups (Atorvastatin 80 mg and Placebo). Laboratory data on ICAM were taken twice (0-hour and 24-hour post PPCI) and examined at Prodia?s Laboratorium. Statistical analyses using SPSS were performed to evaluate the effect of Atorvastatin treatment, which was measured by delta ICAM.
Results. There were no difference between two groups (Atorvastatin vs. Placebo) in terms of clinical, supporting data, and angiographic findings. Delta ICAM values showed significant difference between two groups, which are Atorvastatin 80 mg (-13,0±38,5 ng/mL) and Plasebo (26,1±67,0 ng/mL, p 0,003). Linear regression analysis (adjusted analysis; according to age, sex, diabetes, and renal insufficiency) showed coefficient of -31,17 ng/mL with p 0,037.
Conclusion. This study showed that acute Atorvastatin 80 mg treatment pre-PPCI reduces endothelial inflammatory response which was measured by ICAM.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Novi Ariyanti
"Latar Belakang : Model prediksi risiko mortalitas dan morbiditas pascapembedahan jantung digunakan untuk penjelasan kepada pasien mengenai risikoperioperasi, pemilihan tatalaksana, perbandingan hasil pascaoperasi dan alokasidana oleh penjamin kesehatan nasional. Husink dkk mengembangkan suatu sistemskor prediksi mortalitas dan morbiditas pasca pembedahan katup jantung yaitu skorHarapan Kita pada tahun 2015. Sistem skor model prediksi mortalitas memilikidaya kalibrasi dan diskriminasi yang baik sedangkan model prediksi morbiditasmemiliki daya kalibrasi baik dan daya diskriminasi sedang. Sampai saat ini belumada validasi eksternal pada sistem skor Harapan Kita tersebut, sehingga perludilakukan untuk dapat selanjutnya diimplementasikan secara klinis.
Tujuan : Memvalidasi secara eksternal sistem skor Harapan Kita sebagai prediktormortalitas dan morbiditas di rumah sakit pasien yang menjalani pembedahan katupjantung.
Metode : Penelitian merupakan studi potong lintang dengan metode validasieksternal temporal yang dilakukan di Departemen Kardiologi dan KedokteranVaskular Universitas Indonesia/Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh DarahHarapan Kita, menggunakan data sekunder Januari 2015 hingga September 2016,yang diambil secara total sampling. Analisis data ditujukan untuk mendapatkannilai kalibrasi dan diskriminasi.
Hasil : Sampel akhir berjumlah 789, kejadian mortalitas di rumah sakit 8.6 68dari 789 sampel dan prediksi mortalitas dengan skor Harapan Kita 11.9 .Kejadian morbiditas di rumah sakit 34.7 dan prediksi morbiditas dengan skorHarapan Kita 19.1 . Setelah dilakukan penghitungan skor Harapan Kita padasemua sampel studi, didapatkan nilai kalibrasi prediksi mortalitas p = 0.169 dandiskriminasi/AUC sebesar 0,761 95 IK; 0.702-0.821 sedangkan prediktormorbiditas kalibrasi p = 0.689 dan AUC 0.753 95 IK; 0.716-0.789.
Kesimpulan : Sistem skor Harapan Kita secara eksternal valid untuk memprediksimortalitas dan morbiditas pasien yang menjalani pembedahan katup jantung.

Background: Mortality and morbidity risk prediction model after cardiac surgeryis used to explain perioperative risk, choice of treatment, comparation of surgeryresults, and for financial allocation consideration by national health insurance.Harapan Kita score was developed in 2015. This scoring system had a goodcalibration and discrimination for predicting mortality also a good calibration butmoderate discrimination for predicting morbidity. However this score never beenexternally validated.
Objective: To validate externally the Harapan Kita scoring system as an inhospitalmortality and morbidity predictor in patients who is undergoing valvular heartsurgery.
Methods: This is a cross sectional study with temporal external validation methodthat performed at the Department of Cardiology and Vascular Medicine,Universitas Indonesia National Cardiovascular Center Harapan Kita, usingsecondary data from January 2015 until September 2016, which taken by totalsampling method. Data analysis is intended to develop the calibration anddiscrimination level.
Results: The final samples were 789, with 8.6 68 from 789 samples mortalityevent and a mortality predictor of Harapan Kita Score 11.9. The Odds Ratio OR of all variables were similar with the OR of Harapan Kita score previous study. Callibration value for mortality predictor were p 0.169 with a discrimination AUC 0.761 95 CI 0.702 0.821 meanwhile calibration value formorbidity predictor were p 0.689 and AUC 0.753 95 CI 0.716 0.789.
Conclusion: Harapan Kita scoring system valid externally to predict in hospitalmortality and morbidity in patients undergoing valvular heart surgery
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T55651
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Erwin
"Tingginya angka kejadian rawat inap pasien gagal jantung memiliki resiko kejadian rawat ulang yang sama bila manajemen diri pasien gagal jantung tidak baik. Manajemen diri dipengaruhi oleh berbagai faktor yang beragam dan penelitian ingin mengetahui faktor yang berhubungan dengan manajemen diri pasien gagal jantung. Penelitian ini adalah penelitian cross sectional dengan metode pengambilan data retrospektif pada 70 pasien gagal jantung di ruang rawat jalan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor dukungan keluarga dan faktor aktifitas pelayanan keperawatan merupakan faktor yang paling dominan dalam mempengaruhi kemampuan manajemen diri pasien gagal jantung (p value=0.000, OR=50.1, CI 95% dan p value=0.013, OR=7.3, CI 95%). Hasil penelitian menyarankan agar pelayanan keperawatan pasien gagal jantung mengutamakan program manajemen diri baik di institusi pelayanan kesehatan hingga sampai di rumah sehingga dukungan keluarga lebih optimal.

The high incidence of hospitalized patients with heart failure will have a risk of re-hospitalization rate if the self-management of patiens with heart failure is insufficient. Self-management is influenced by many factors. This study investigated factors associated with self-management of patients with heart failure.The study used a cross-sectional approach with retrospective data collection method in 70 respondents in outpatient clinics.
The results found that the factor of family support and nursing care activities are the most dominant factors influencing the ability of self-management in patients with heart failure (p value=0.000, OR=50.1, 95%CI and p value=0.013, OR=7.3, 95%CI). The results of this study suggested that in providing care of patients with heart failure, a self-management program should become a priority both for health care institutions and patients at home so that the family support is more optimal.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2013
T35786
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asikin Hanafiah
"Pada kesempatan yang sangat berbahagia ini perkenankanlah saya terlebih dahulu memanjatkan puji syukur ke Hadirat Allah Subhanahu Wata'ala, yang telah melimpahkan Rahmat dan Hidayah-Nya kepada kita semua sehingga upacara Pengukuhan pada pagi ini dapat diselenggarakan.
Sejak menerima keputusan pengangkatan saya sebagai Guru Besar tetap pertama di Indonesia dalam disiplin ilmu Kardiologi, saya dihadapkan pada pilihan judul untuk pidato pengukuhan. Pemilihan ini dipengaruhi oleh nasehat orang, sejarah perkembangan kardiologi di Indonesia, pengalaman serta tugas yang saya emban selama ini dalam membina dan mengembangkan ilmu kardiologi, saya pilih topik:
Perkembangan Ilmu Kardiologi di Indonesia Menuju Era Globalisasi.
Syahdan pada suatu hari, Manusia merasa sesuatu berdetak dalam dadanya. Sesuatu yang luar biasa dan menakjubkan telah terjadi, lahirnya sejarah jantung kita. Alat tubuh ini menjalankan irama hidup kita, dan menghentikannya. Ia merupakan pusat yang paling pribadi seorang manusia pada semua peradaban dan semua agama. Rene Guenon telah meringkaskannya secara baik dalam karyanya waktu ia menulis: 'At the heart of symbolism is found the symbolism of the heart', sehingga sejak peradaban purbakala pun jantung sudah merupakan lambang dari sesuatu yang paling berharga yang dimiliki manusia Cinta. Pernahkah anda mendengar tentang St.Valentine's Day yang berlambangkan gambar jantung, yang dirayakan setiap tanggal 14 Februari untuk menyatakan cinta kasih? Jantung memang sejak dulu dianggap sebagai lambang cinta kasih, kesetiaan dan ketulusan."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1993
PGB-Pdf
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>